Memiliki nama resmi Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, Gereja Katedral Jakarta adalah salah satu gereja Katolik tertua di Jakarta yang memiliki sejarah panjang dalam proses pembangunannya. Katedral yang berdiri sekarang ini bukanlah gedung gereja yang pertama kali dibangun. Bangunan awal gereja hanyalah sebuah rumah bambu berukuran kecil yang diresmikan pada tahun 1810.

Bangunan Katedral yang kita kenal sekarang adalah hasil rancangan Pastor Antonius Dijkmans yang pekerjaannya dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit dan akhirnya diresmikan serta diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta.

Memasuki Katedral melalui pintu utama, pengunjung akan disambut oleh patung Bunda Maria dengan tulisan Beatam Me Dicent Omnes Generationes yang artinya “Semua keturunan menyebut aku bahagia”. Uniknya, di Katedral ini patung Bunda Maria terlihat mengenakan baju motif batik dengan simbol burung garuda di bagian dada dan kerudung berwarna merah dan putih. Hal ini menyimbolkan bahwa Bunda Maria adalah sosok ibu dari setiap suku di Indonesia.

Gereja Katedral Jakarta

Ornamen puncak Gereja Katedral.

Secara umum, bangunan Gereja Katedral berciri khas Eropa dengan gaya Neogotik. Jendela-jendela besar yang tersebar di seluruh permukaan gereja dihiasi dengan lukisan karya seniman grafis Amsterdam, Theo Molkenboer, yang menceritakan tentang peristiwa Jalan Salib Yesus Kristus. Di bagian kanan dan kiri gereja juga terdapat bilik-bilik yang digunakan sebagai tempat pengakuan dosa. Sementara di bagian depan terdapat altar suci pemberian dari Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies yang masih digunakan sebagai altar utama dalam berbagai misa.

Bangunan gereja sendiri sengaja didesain menyerupai salib, dengan luas sekitar 35 m dan lebar 17 m. Mengikuti gaya arsitektur gereja Neogotik pada umumnya, Katedral memiliki tiga menara utama yang menjulang tinggi, yakni Menara Benteng Daud, Menara Gading dan Menara Angelus Dei. Terdapat pula tiga lonceng yang ditempatkan di menara Gereja Katedral, namun hanya lonceng terbesar yang secara reguler berbunyi tiga kali dalam sehari sebagai tanda dimulainya ibadah bagi umat Katolik.

Selain sebagai sebuah tempat ibadah, Gereja Katedral Jakarta juga terbuka untuk Travelers yang sekadar ingin menikmati keindahan dan keagungan interior serta eksterior bangunan gereja klasik ini. Saat Travelers berkunjung, sempatkan mampir ke Museum Katedral untuk menikmati berbagai artefak bersejarah yang dapat membangkitkan rasa kagum terhadap masa lampau. Buka setiap hari, kecuali hari Jumat, Museum Katedral tidak memungut biaya masuk, namun Travelers diharuskan mengisi buku tamu terlebih dahulu.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : George Timothy


Pembangunan monumental keagamaan sebagai lambang kejayaan telah menjadi sebuah tradisi bangsa Indonesia. Sebut saja pembangunan Candi Borobudur dan Prambanan pada zaman kerajaan Hindu-Buddha yang dijadikan bukti kejayaan bangsa pada masa itu. Maka tak heran apabila setelah meraih kemerdekaan dari penjajah, tradisi yang sama pun kembali terwujud dengan pembangunan Istiqlal, yang kemegahannya selaras dengan predikat Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia.

Gagasan awal untuk mendirikan masjid negara secara konkret di diskusikan pada tahun 1950, dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Menteri Agama RI pada saat itu, K.H. Abdul Wahid Hasyim, dan perwakilan dari Partai Syarikat Islam, H. Anwar Tjokroaminoto. Sejumlah tokoh Islam lainnya pun turut diundang untuk datang ke Deca Park, sebuah gedung pertemuan yang pada saat itu berlokasi di sebelah Istana Merdeka.

Perundingan ini menghasilkan pembentukan Yayasan Masjid Istiqlal sekaligus panitia pembangunan yang diketuai oleh H. Anwar Tjokroaminoto. Keputusan dan perencanaan lalu disampaikan kepada Presiden Soekarno dan langsung mendapat sambutan positif. Sayembara segera diadakan untuk memilih arsitek yang tepat dan setelah melewati beberapa tahap penilaian akhirnya kemenangan jatuh ke tangan seorang Kristen-Protestan kelahiran Sumatera Utara, Fredrerich Silaban. Penancapan tiang pertama dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan masjid pun mulai dibuka untuk umum pada 22 Februari 1978.

Kemegahan Masjid Istiqlal sendiri dilengkapi dengan berbagai simbolisme dalam arsitekturnya. Misalkan, tujuh gerbang masuk masjid masing-masing dinamai berdasarkan Asmaul Husna. Selain itu, angka tujuh juga melambangkan tujuh lapis langit dalam kosmologi alam semesta ajaran Islam. Bangunan utama masjid pun dimahkotai kubah dengan bentang diameter 45 m yang melambangkan tahun kemerdekaan Indonesia.

Berbeda dengan arsitektur masjid dengan pengaruh Arab, Persia, Turki maupun India yang memiliki banyak menara, Masjid Istiqlal hanya memiliki satu menara yang melambangkan keesaan Ilahi. Menara ini berukuran tinggi 66,66 m, melambangkan jumlah ayat dalam Alquran. Berbagai sarana dan fasilitas lain turut melengkapi masjid, mulai dari perpustakaan Islam, poliknik umum, madrasah, koperasi, sarana olahraga, hingga lift bagi teman difabel dan juga lansia.

Masjid yang mampu menampung lebih dari 200.000 jemaah ini juga menjadi rumah bagi beduk yang dinobatkan sebagai beduk terbesar di Indonesia. Hal ini tentunya menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Perlu diingat bahwa kecuali tamu resmi negara, Travelers non-Muslim tidak diperkenankan memasuki lantai pertama atau ruang utama tempat mihrab dan mimbar, namun tetap diperbolehkan melihat interior ruangan ini dari balkon di lantai dua. Selebihnya, semua area Masjid Istiqlal dapat dinikmati oleh semua orang yang ingin menginjakkan kaki di masjid yang namanya dalam bahasa Arab berarti ‘merdeka’ ini.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : George Timothy


Seluk-Beluk Kehidupan Suku Betawi

Jakarta, sebuah pintu gerbang pertemuan berbagai etnis dari berbagai kawasan yang mewarnai dan memengaruhi pertumbuhan kota, berikut orang-orangnya. Seperti daerah lainnya di Indonesia, Jakarta pun memiliki penduduk asli yang menurut beberapa pakar budaya dan sejarah telah diperkirakan ada serta mendiami kawasan ini sejak abad ke-17, yaitu suku Betawi. Tetapi siapakah suku Betawi ini dan dari mana mereka berasal? Etnis ini lahir dari proses yang panjang dan tidak muncul tiba-tiba.

Berdasarkan penelitian dan bukti-bukti sejarah, etnis Betawi lahir dari percampuran berbagai macam suku bangsa di Nusantara yang telah lebih dulu hidup di Jakarta, serta campuran dari bangsa mancanegara seperti Tionghoa, Portugis, India, Arab dan Belanda.

Pada periode kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Sunda, dan Islam, sebetulnya sudah terdapat dasar-dasar terbentuknya etnis Betawi. Hanya saja, pada saat itu belum ada penyebutan istilah kata Betawi. Orang dulu menyebut penduduk Sunda Kelapa yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta dengan istilah wong Jakarta atau orang Jakarta.

Istilah Betawi mulai muncul pada periode kekuasaan Kolonial Belanda, saat nama Jayakarta berganti menjadi Batavia. Masyarakat atau orang-orang Sunda yang tinggal dekat dengan Batavia menyebut orang Batavia dengan sebutan orang Betawi. Hal ini dikarenakan lidah orang Sunda sulit untuk mengucapkan Batavia dan lambat laun istilah Betawi melekat hingga saat ini.

Secara tertulis, sebutan orang Betawi pertama kali terdapat dalam testamen atau surat wasiat Nyai Inqua, seorang janda tuan tanah Souw Beng Kong, Kapiten Tionghoa pertama di Batavia. Nyai Inqua menyebut seorang pembantu perempuannya sebagai orang Betawi.

Seiring berjalannya waktu dan berbeda dengan kebanyakan daerah lain di Indonesia, suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta tidak begitu terlihat mendominasi, baik secara jumlah maupun peran. Wilayah di Jakarta yang ditempati oleh etnis Betawi juga semakin kecil dan hanya tersebar mulai dari Bogor, Tangerang, Bekasi hingga Karawang.

Sejak meningkatnya jumlah penduduk Betawi yang melakukan migrasi ke beberapa daerah, mulailah muncul istilah Betawi Udik, Betawi Pinggir dan Betawi Tengah. Namun, masih ada pula daerah di Jakarta yang kental dengan nuansa kebudayaan Betawi yaitu Kampung Rawa Belong, Kampung Condet, Kampung Marunda tempat tinggal jawara Betawi si Pitung berasal, dan Kampung Setu Babakan yang hingga kini masih terjaga kelestariannya.

Untuk mengenal lebih dalam mengenai budaya masyarakat Betawi, salah satu tempat yang Travelers dapat kunjungi adalah Setu Babakan yang terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Perkampungan ini merupakan kawasan yang tumbuh dan berkembang dengan komunitas yang erat dengan budaya Betawi, seperti dari adat istiadat, kesenian, religi, arsitektur dan kuliner.

Setu Babakan

Areal Setu Babakan dengan arsitektur tradisional Betawi yang khas.

Didiami oleh sekitar 3000 kepala keluarga, sebagian besar dari mereka merupakan penduduk asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah ini. Sedangkan sebagian kecil lainnya merupakan pendatang dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan daerah lainnya yang sudah menetap lebih dari 30 tahun lamanya.

Perkampungan dengan luas area 32 ha ini pun telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Betawi pada tahun 2004. Penetapan ini bertujuan untuk menciptakan satu kawasan yang melestarikan nuansa budaya Betawi, sekaligus untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan yang berkunjung.

Buka setiap harinya dari pukul 09:00 – 16:00 WIB, Travelers yang berkunjung ke Setu Babakan akan merasakan keramahan penduduk lokal dan keasrian lingkungan alamnya. Khusus hari Sabtu dan Minggu, Travelers dapat menyaksikan pertunjukkan seni budaya Betawi, seperti tari topeng, lenong, tanjidor, dan ondel-ondel yang dipentaskan di panggung terbuka berukuran 60 meter persegi.

Selain pagelaran seni, jika Travelers datang pada waktu yang tepat maka juga bisa menyaksikan prosesi adat kebudayaan Betawi secara langsung, seperti pernikahan, prosesi khitanan dan aktivitas pemuda yang sedang berlatih pencak silat khas Betawi. Ada pula pilihan untuk bermalam di rumah penduduk bagi pengunjung yang memerlukan waktu lebih lama untuk kebutuhan penelitian, pendidikan maupun pelatihan.

Setu Babakan tidak hanya menyajikan pagelaran seni budaya saja, namun juga terdapat wisata danau yang letaknya tepat di tengah-tengah perkampungan. Ada dua danau yang dapat dinikmati, yaitu Danau Mangga Bolong dan Danau Babakan, di mana keduanya dikelilingi oleh asrinya pepohonan kecapi, belimbing, rambutan, sawo, dan melinjo. Biasanya, danau ini dimanfaatkan penduduk setempat untuk memancing atau sekadar menikmati kesejukan dan keasrian di pinggir danau. Travelers juga dapat melakukan aktivitas yang sama dengan menyewa peralatan yang disediakan oleh pengelola danau. Selain itu ada pula wisata perahu untuk mengelilingi danau dengan harga Rp6.000 per orang.

Untuk Travelers pecinta kuliner, kudapan khas Betawi pun banyak disajikan di sepanjang jalan sekeliling danau, seperti kerak telor, dodol Betawi dan soto Betawi yang dijual dengan harga terjangkau. Penduduk setempat juga kerap mengolah beberapa hidangan langsung di depan warung mereka, sehingga proses pembuatannya dapat disaksikan oleh pengunjung. Dengan ini, pengunjung diajak terlibat langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi.

Ada tiga agenda utama di Setu Babakan yaitu agenda rutin, agenda tahunan dan kegiatan dadakan yang dilakukan oleh masyarakat setempat, pemerintah daerah atau pihak swasta yang sedang menyelenggarakan kegiatan di dalam perkampungan. Agenda rutin merupakan pertunjukkan kesenian budaya Betawi yang dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu untuk menarik wisatawan. Sedangkan agenda tahunan terdiri dari atraksi atau Festival Budaya Betawi, Pekan Lebaran, Pekan Desember dan Pekan Pergelaran Kesenian Nuansa islami. Travelers yang berkunjung ke Setu Babakan hanya dikenakan biaya parkir kendaraan sebesar Rp5.000. Komplek Setu Babakan sudah dilengkapi dengan fasilitas umum seperti Museum Betawi, tempat ibadah, toilet umum, tempat bermain anak, teater terbuka, galeri, toko oleh-oleh hingga wisma.

Akses menuju Setu Babakan relatif mudah. Banyak kendaraan umum yang melewati perkampungan ini mulai dari bus kota hingga commuter line. Pengunjung yang menggunakan bus kota dapat langsung turun di depan pintu gerbang Setu Babakan. Jika menggunakan commuter line, pengunjung akan turun di stasiun Lenteng Agung terlebih dahulu sebelum kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus kota atau kendaraan online.

Artikel : Aki Suhartono | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy


Ratusan Tahun Etnis Tionghoa di Jakarta

Keberagaman Jakarta memang selalu menarik dan unik untuk dibahas. Sebagai ibu kota, Jakarta dipadati dengan berbagai pendatang yang mengadu nasib di tengah gemerlap status megapolisnya. Berbagai perbedaan, kebiasaan, adat serta cara pandang berlebur di kota ini.

Salah satu etnis pendatang yang telah mengakar di sejarah Jakarta sendiri adalah etnis Tionghoa. Perkembangan Jakarta hingga saat ini pun tidak lepas dari pengaruh unsur kebudayaan Tionghoa yang turut mewarnai kebudayaan suku Betawi. Terlihat dari orkes gambang kromong yang mengharmoniskan gamelan dengan alat-alat musik khas dari Tionghoa seperti tehyan, kongahyan dan sukong.

Awalnya, etnis Tionghoa merupakan para pedagang dari Tiongkok yang singgah di Indonesia. Bermaksud untuk memperlancar perdagangan, warga asli Tiongkok ini datang ke Indonesia untuk mencari pelabuhan. Sambil menunggu waktu untuk kembali ke negara asalnya, mereka akan menetap bahkan banyak yang melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal.

Perkembangan etnis Tionghoa yang semakin pesat dan mendominasi perdagangan, membuat pemerintah Hindia-Belanda di Batavia pada tahun 1836 mengeluarkan peraturan baru yang memaksa warga dengan etnis tertentu untuk bersedia ditempatkan di dalam wilayah yang sama seperti kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Bugis dan pecinan. Inilah yang menjadi asal-usul terbentuknya sejumlah pecinan yang masih bertahan sampai saat ini, khususnya di Jakarta.

Salah satu pecinan terbesar yang mewariskan banyak pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan Jakarta sendiri adalah Glodok. Komunitas Tionghoa terbesar yang telah berusia lebih dari 200 tahun ini menjadi pusat kawasan pecinan di Jakarta. Glodok berasal dari kata ‘grojok’ yang diambil dari suara air yang memiliki bunyi grojok-grojok. Pengucapan dalam lidah etnis Tionghoa-lah yang melahirkan kata ‘Glodok’ yang bertahan hingga saat ini sebagai salah satu tempat yang menarik untuk dikunjungi di Jakarta.

Suasana Pasar Pecinan

Suasana Pasar Pecinan

Menjelang Tahun Baru Imlek, kawasan Pecinan di Glodok yang menjadi pusat wilayah Tionghoa di Jakarta ini pun mulai mempertontonkan kemeriahannya. Berbondong-bondong masyarakat datang untuk mengunjungi kios-kios di sepanjang jalan yang menjajakan perlengkapan Imlek. Mulai dari lampion dengan khas warna merahnya yang bergantungan, angpau dengan berbagai variasi, petasan dan kembang api, lilin Imlek yang berukuran besar, serta pernak-pernik khas Imlek lainnya yang tentu saja didominasi oleh warna merah yang diyakini membawa keberuntungan dan kebahagiaan. Tak lupa juga makanan khas Imlek, yaitu kue keranjang serta jeruk mandarin.

Tidak hanya saat perayaan Imlek saja, Travelers bisa menikmati suasana ‘tempo doeloe’ yang tercermin dari bangunan-bangunan tua khas Tiongkok yang masih ada sampai sekarang di kawasan ini. Eksistensi berbagai macam kuliner dan kegiatan masyarakat etnis Tionghoa di kawasan ini pun tidak lepas dari budaya serta kepercayaan yang dianut dan diwariskan turun-temurun kepada setiap generasinya.

Berlokasi di pusat kota, tentu saja memudahkan Travelers untuk mengakses kawasan yang dilintasi berbagai macam moda transportasi umum ini. Apabila menggunakan bus TransJakarta, Travelers bisa turun di Halte Glodok. Disarankan datang saat pagi hari, sehingga Travelers memiliki banyak waktu untuk menelusuri kawasan ini dengan lebih leluasa karena masih tergolong sepi pengunjung.

Jika Travelers memiliki hobi fotografi, jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan momen-momen yang dijumpai karena di sini terdapat banyak bangunan tua bersejarah dan juga kehidupan masyarakatnya yang menarik jika dilihat dari sudut pandang street photography.

Masyarakat Pecinan

Kegiatan pagi masyarakat yang tinggal di pecinan.

Semilir aroma hio mulai terhirup saat menyusuri Gang Petak Sembilan yang tersohor dengan deretan bangunan bernuansa Tionghoa di sepanjang jalan. Sebut saja Vihara Dharma Bhakti, Vihara Kai Zhang Sheng Wang Miao, Klenteng Toa Se Bio, Klenteng Fat Cu Kung Bio, Gedung Candra Naya, dan Gereja Santa Maria. Sejumlah tempat ibadah sekaligus bersejarah itu masih berdiri dan terawat di kawasan yang selalu padat akan pengunjung ini, khususnya saat perayaan Tahun Baru Imlek. Dan jangan khawatir, tidak ada biaya yang dipungut untuk masuk dan mengabadikan momen di vihara atau klenteng. Tetapi, Travelers perlu memperhatikan tata krama mendasar, seperti melepas sepatu di beberapa area yang diwajibkan, tidak berisik atau mengganggu, terutama ketika ada yang sedang beribadah.

Di seberang Gang Petak Sembilan, Travelers bisa menyeruput kopi di Kedai Kopi Es Tak Kie yang berlokasi di Gang Gloria, Jalan Pancoran. Kedai kopi yang berdiri sejak tahun 1927 ini cukup dkenal seantero Jakarta dan digemari oleh masyarakat. Tidak jauh dari situ, Travelers juga bisa menemui restoran bernuansa Tionghoa bernama Pantjoran Tea House. Selain menyajikan menu Chinese, salah satu nilai jual restoran ini adalah tehnya yang legendaris. Uniknya, Pantjoran Tea House ini menyediakan delapan teko teh gratis di depan restorannya untuk melegakan dahaga para pejalan kaki yang lewat di situ.

Selain Glodok, terdapat juga kawasan pecinan lainnya yaitu Jembatan Lima. Kawasan ini dikenal dengan nama pecinan Singkawang karena didominasi oleh keturunan etnis Tionghoa dari Kalimantan terutama daerah Singkawang yang tinggal dan menetap di sini. Dahulu kawasan ini merupakan kawasan yang dipenuhi oleh rawa-rawa dan berbagai macam tanaman seperti pohon kelapa, bambu, jati, sawo serta semak belukar. Selain itu di kawasan ini dulu juga terdapat lima jembatan yang dilalui oleh Sungai Jembatan Lima. Jembatan ini berfungsi sebagai penghubung dari kampung satu dengan kampung lainnya, maka dari itu disebutlah kawasan Jembatan Lima.

Wihara Dharma Bhakti

Wihara Dharma Bhakti atau Kim Tek Ie di Glodok dibangun pada tahun 1650, menjadikannya salah satu klenteng tertua di Jakarta.

Saat ini, kawasan Jembatan Lima merupakan kawasan yang cocok bagi Travelers yang memiliki hobi kuliner karena terdapat aneka jajanan, kedai dan restoran khas Kalimantan Barat. Pilihan kuliner seperti nasi campur khas Pontianak, bakmie, bubur khas Singkawang dengan aneka macam topping, bakso khas Pontianak dan roti srikaya dapat Travelers nikmati di kawasan ini.

Salah satu nama jalan yang terkenal dengan berbagai jajanan Chinese food di sini ialah Jalan Krendang. Berbagai macam jajanan yang ditawarkan di sini pun memiliki gerai yang sederhana dengan tempat duduk seadanya, tetapi ada juga yang sudah memiliki kios dengan meja serta tempat duduk. Lambat laun, perkembangan komunitas Tionghoa di Jembatan Lima ini pun menjadi unik untuk diamati seperti dialek khas Singkawang yang sudah tercampur dengan kebudayaan Betawi.

Salah satu hal yang patut disyukuri oleh warga ibu kota ialah tingginya tingkat keberagaman etnis. Sebagai kawasan pecinan, tempat ini juga terbuka untuk Travelers yang ingin mempelajari sejarah Jakarta yang dipengaruhi unsur kebudayaan Tionghoa. Perpaduan unsur kebudayaan Betawi dan Tionghoa semakin jelas membuktikan bahwa telah terjalin hubungan baik di antara kedua etnis tersebut sejak zaman dahulu. Kawasan pecinan ini akan menarik dikunjungi pada saat menjelang perayaan Imlek. Berbagai atribut pastinya akan menghiasi jalan setiap kawasan pecinan. Pastikan Travelers tidak melewatkan momen yang hanya ada setiap satu kali dalam setahun ini, ya!

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy

  • Fakta 1

    Pecinan atau Chinatown dapat ditemukan di hampir seluruh kota besar di dunia. Pecinan Glodok di Jakarta sering dianggap sebagai kawasan pecinan terbesar di Indonesia.


  • Kampung Jembatan Lima adalah salah satu kampung tua di wilayah Jakarta. Sesuai namanya, pada masa lalu di daerah ini terdapat lima jembatan yang melintasi sungai Cibubur, yakni: Jembatan Jl. Hasyim Ashari, Jembatan Kedung, Jembatan Jl. Petuakan, Jembatan Jl. Sawah Lio 2, dan Jembatan Jl. Sawah Lio 1 (jembatan terbesar).

    Di kampung ini mengalir Sungai Cibubur yang dianggap “seperti bubur”, kotor, dan berlumpur. Di Jembatan Lima terdapat kampung-kampung, jalan dan gang bersejarah yang namanya sudah hilang, seperti Kampung Sawah Lio, Patuakan, Kerendang, Petak Serani, Gudang Bandung, Teratai, Tambora, Gang Laksa, Gang Daging dan sebagainya.

    Sumber : Wikipedia
  • Kata Glodok berasal dari Bahasa Sunda “Golodog”. Golodog berarti pintu masuk rumah, karena Sunda Kalapa (Jakarta) merupakan pintu masuk ke kerajaan Sunda. Karena sebelum dikuasai Belanda yang membawa para pekerja dari berbagai daerah dan menjadi Betawi tau Batavia, Sunda Kelapa dihuni oleh orang Sunda. Perubahan ‘G’ jadi ‘K’ di belakang sering ditemukan pada kata-kata Sunda yg dieja oleh orang non-Sunda, terutama suku Jawa dan Melayu yang kemudian banyak menghuni Jakarta. Sampai saat ini di Jakarta masih banyak ditemui nama daerah yang berasal dari Bahasa Sunda meski dengan ejaan yang telah sedikit berubah.

    Nama Glodok juga berasal dari suara air pancuran dari sebuah gedung kecil persegi delapan di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota (Stadhuis) – pusat pemerintahan Kumpeni Belanda di kota Batavia. Gedung persegi delapan ini, dibangun sekitar tahun 1743 dan sempat dirubuhkan sebelum dibangun kembali tahun 1972, banyak membantu serdadu Kumpeni Belanda karena di situlah mengalir air bersih yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tak cuma bagi serdadu Kumpeni Belanda tetapi juga dimanfaatkan minum bagi kuda-kuda serdadu usai mengadakan perjalanan jauh. Bunyi air pancurannya grojok..grojok..grojok. Sehingga kemudian bunyi yang bersumber dari gedung kecil persegi delapan itu dieja penduduk pribumi sebagai Glodok.[3]

    Dari nama ”pancuran” akhirnya menjadi nama sebuah daerah yang kini dikenal sebagai Pancoran atau orang di kawasan Jakarta Kota menyebutnya dengan istilah ”Glodok Pancoran”. Hingga kini kedua nama yakni Glodok dan Glodok Pancoran masih akrab di telinga orang Jakarta, bahkan hingga ke luar Jakarta.

    Sumber : Wikipedia

    Peristiwa Penting :


    Tempat Menarik dan Bersejarah :

    • Gereja Santa Maria de Fatima Jakarta (Circa Awal Abad Ke-19)
    • Klenteng Kim Tek Ie (Circa 1650)
    • Toko Obat Thaij Seng Hoo
    • Klenteng Toa Se Bio (Circa 1751)
    • Toko Tian Liong
    • Waroeng “Kopi Es” Tak Kie (Circa 1927)
    • Gedung Toko Obat “Thaij Hoo Tong” (Circa 1921)
    • Gedung Rumah Keluarga Souw
    • Gedung Toko Tiga
    • Restoran Siauw A Tjiap
    • Gedung Toko Obat Lay An Tong
    • Toko Kue “Tiong Tjiu Phia” Sin Hap Hoat
    • Toko Pangkas Rambut Ko Tang Kapperszaak (Circa 1936)

    Transportasi :

    • KA Commuter Jabodetabek di Stasiun Jakarta Kota
    • Transjakarta Koridor 1
    • APTB 04 ke Ciputat (via Koridor 1 – Blok M – Radio Dalam – Pondok Indah – Lebak Bulus)
    • PPD P02 ke Cililitan (via Harmoni – Pasar Baru – Senen – Salemba – Matraman – Kampung Melayu – UKI)
    • Mayasari Bakti AC27 patas ke Bekasi (via Mangga Dua – Gunung Sahari – PRJ – Cempaka Putih – Tol Jatibening – Tol Barat)
    • Mayasari Bakti AC27 patas ke Bekasi (via Mangga Dua – Gunung Sahari – PRJ – Cempaka Putih – Tol Jatibening – Tol Timur)
    • Mayasari Bakti AC33 patas ke Poris Plawad (via Glodok – Hayam Wuruk – Roxi – Grogol – Tol Kebon Jeruk – Tol Karawaci – Cikokol)
    • Kopami P02 Senen-Muara Karang
    • KWK B02 ke Warung Gantung
    • KWK B06 ke Kamal
    • KWK U10 Pademangan-Muara Angke
    • Mikrolet M08 ke Tanah Abang (via Glodok – Hayam Wuruk – Cideng)
    • Mikrolet M12 ke Senen (via Glodok – Hayam Wuruk – Sawah Besar – Pasar Baru – Gunung Sahari)
    • Mikrolet M15 ke Tanjung Priok (via Kampung Bandan)
    • Mikrolet M15A ke Tanjung Priok (via Mangga Dua)
    • Mikrolet M25 ke Grogol (via Jembatan Besi – Jembatan Dua – Jembatan Tiga)
    • Mikrolet M39 ke Pademangan (via Mangga Dua)
    • Mikrolet M41 ke Grogol (via Jembatan Besi – Duri – Jembatan Dua – Jembatan Tiga)
    • Mikrolet M43 ke Grogol (via Roxi – Duri – Angke)
    • Mikrolet M53 ke Pulo Gadung (via Mangga Dua – PRJ – Cempaka Putih – Perintis Kemerdekaan)

Tutur Kisah dalam Gerak Tubuh

Manusia adalah makhluk yang berpegang pada kekuatan cerita. Nasihat, pesan moral maupun cerminan hidup tersampaikan lewat dongeng, legenda, dan cerita rakyat yang mengisi rentang hidup kita. Itulah mengapa elemen bercerita dapat kita temukan dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dalam kesenian asli Indonesia seperti kedua tari tradisional yang telah melekat dengan budaya Betawi berikut ini: tari topeng dan tari lenggang nyai.

Tari topeng Betawi dan tari lenggang nyai berkembang di Jakarta sebagai bentuk ekspresi masyarakat Betawi atas nilai-nilai kehidupan. Sebagai kesenian dari suku Betawi, kedua tarian ini memiliki sejumlah persamaan seperti musik yang diiringi gambang keromong, orkes tradisional dari suku Betawi yang hampir serupa gamelan dengan pengaruh alat musik Cina serta Eropa. Kostum pada kedua tarian juga sama-sama didominasi akan warna merah cerah dan hias kepala khas Tionghoa. Akan tetapi, tiap tarian memiliki perbedaan dalam unsur bercerita yang menjadi karakteristik tersendiri dari kedua tarian.

Jenis tarian yang menggunakan topeng sebagai atribut utama dapat dijumpai di banyak kebudayaan di dunia. Berkat gerakan dan atributnya yang atraktif, tari topeng Betawi kini berkembang sebagai salah satu kesenian yang identik dengan kota Jakarta. Di Nusantara saja, tari topeng tidak hanya berkembang dalam tradisi masyarakat Betawi. Tari beratribut topeng juga dapat ditemukan dalam budaya suku Bali, Cirebon, Dayak hingga Batak, walau dengan bentuk topeng atau nama tarian yang berbeda.

Tari Topeng Betawi

Tari Topeng Betawi

Suku Betawi pada masa lampau menganggap topeng atau kedok memiliki kesaktian. Topeng dipercaya sebagai penolak bala, bahkan dapat mengusir perasaan duka. Kepercayaan ini berangkat dari sebuah mitos akan Dewa Umar Maya, sosok dalam legenda setempat yang konon dapat merasuki patung dan topeng kayu. Tari topeng pun kemudian muncul di komunitas Betawi Pinggir (Betawi Ora), dan mulai dipentaskan agar masyarakat dapat terhindar dari malapetaka. Hingga saat ini, tari topeng masih dapat ditemukan dalam berbagai acara masyarakat Betawi, seperti khitanan, pernikahan, atau saat membayar nazar.

Dalam tari topeng Betawi, umumnya terdapat tiga jenis topeng yang mencerminkan sifat-sifat manusia yang berbeda. Topeng berwarna putih yang melambangkan kelembutan dikenal dengan nama Panji atau Kelana. Topeng berwarna merah jambu disebut Samba, melambangkan kelincahan perempuan. Sedangkan sang Jingga, topeng yang berwarna merah, melambangkan kekuatan dan ketegasan dari laki-laki.

Tiap sifat yang berbeda-beda tersebut tergambar dalam pola gerak para penari saat sedang mengenakan topeng tertentu. Lembut dan lemah gemulai saat mengenakan topeng putih, namun cepat dan menghentak saat mengenakan topeng merah. Perbedaan sifat yang harus dipancarkan tiap penari inilah yang membuat tari topeng Betawi dianggap memiliki unsur opera atau teater, dengan lakon yang digabung dengan tarian. Tiap gerakan dalam tari topeng mengandung pesan, sehingga keseluruhan tarian dapat dilihat sebagai sebuah presentasi cerita.

Tari Lenggang Nyai

Tari Lenggang Nyai

Lain halnya dengan tari topeng yang sudah ada sejak masa sebelum Indonesia merdeka, tari lenggang nyai baru berkembang di masyarakat Betawi di awal dekade 2000-an. Meski tergolong baru, saat ini tari lenggang nyai telah melekat sebagai salah satu kesenian khas Jakarta yang dilestarikan lewat berbagai kegiatan sanggar-sanggar Betawi. Unsur cerita dalam tarian ini terdapat pada cerita rakyat yang menginspirasinya, tentang seorang gadis Betawi bernama Nyai Dasimah yang hidup pada masa kolonial Inggris di Batavia.

Alkisah, Nyai Dasimah harus menentukan pilihannya akan pasangan hidup, dengan seorang pria pribumi atau dengan seorang pria Inggris bernama Edward William. Setelah memilih untuk menikah dengan Edward William, Nyai Dasimah malah mendapat pengekangan dan perlakuan semena-mena lainnya dari sang suami. Sebagai gadis Betawi yang ceria, ia pun memberontak terhadap perlakuan suaminya dan menuntut haknya sebagai seorang wanita akan kebahagiaan dan cinta.

Kisah Nyai Dasimah pun menginspirasi seniman Wiwik Widiastuti untuk menciptakan tari lenggang nyai. Nyai Dasimah dianggap mencerminkan semangat kebebasan dan perjuangan perempuan Betawi atas hidupnya sendiri, dan kisah sang Nyai tercermin dalam pola gerak tari lenggang nyai. Ada gerakan lincah yang melambangkan keceriaan dan keluwesan Nyai Dasimah sebagai perempuan Betawi. Namun ada juga gerakan yang mencerminkan kegalauan sang Nyai saat dihadapkan dengan pilihan akan pasangan hidup atau kesedihannya saat harus menghadapi perlakuan suaminya.

Hingga saat ini, kedua tarian berunsur cerita ini kerap memeriahkan berbagai acara di Jakarta bersama tari tradisional Betawi lainnya seperti tari yapong, tari ondel-ondel, tari cokek, dan lain sebagainya. Seperti warna-warni atributnya, tari topeng Betawi dan tari lenggang nyai terus menghias ibu kota lewat cerita-cerita tiap manusia yang sempat hidup di Jakarta, dalam sejarah panjangnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly

  • Fakta 1

    Terdapat banyak jenis dari topeng Betawi seperti tari topeng tunggal, lipet gandes, enjot-enjotan, ronggeng topeng, dan lain sebagainya.

  • Fakta 2

    Walau ceritanya memilki banyak versi, sosok Nyai Dasimah menginspirasi banyak orang dalam bentuk film, buku, dan tarian seperti dalam tari lenggang nyai.