Pagelaran Kesenian Bodoran ala Betawi

Gelak tawa para penonton terdengar ramai. Segala jenis usia tampak turut menikmati pertunjukan, dari anak-anak hingga kakek dan nenek. Perhatian mereka semua tertuju pada sekelompok orang di tengah lapangan, yang sedang mengenakan pakaian adat Betawi. Ada pula beberapa alat musik tradisional Betawi yang turut serta mengiringi. Adegan demi adegan berlangsung dan sorak sorai penonton seakan tidak ada habisnya meramaikan pertunjukan. Inilah sebuah pagelaran kesenian khas Betawi, yang dikenal sebagai lenong.

Lenong merupakan seni pertunjukan peran atau sandiwara tradisional asal Jakarta yang dibawakan dalam dialek Betawi dan diiringi dengan musik gambang kromong. Lenong sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu lenong denes dan lenong preman. Lenong denes berasal dari kata denes yang dalam dialek Betawi berarti resmi atau dinas. Hal ini terlihat dari para pemeran lenong yang kerap mengenakan pakaian formal, cerita seputar kerajaan atau lingkungan para bangsawan, dan bahasa yang halus. Sedangkan dalam lenong preman, busana yang digunakan tidak ditentukan oleh sutradara. Adegan yang dibawakan pun terinspirasi dari cerita sehari-hari, dan menggunakan bahasa sehari-hari.

Adapun fungsi atau tujuan dari kesenian lenong adalah sebagai media untuk menyampaikan pesan moral melalui cerita yang dimainkan oleh para pemeran. Bedanya dengan kesenian lain yang memiliki pesan moral, pesan-pesan pada lenong lebih mudah untuk diterima karena tersampaikan secara langsung melalui dialog dan interaksi antara pemain dengan penonton. Tetap mengedepankan unsur hiburan, seringkali terselip beberapa pantun maupun lelucon. Ciri khas inilah yang menciptakan suasana meriah, sehingga pesan moral yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton tanpa kesan kaku atau dipaksakan.

Gambang Kromong

Lenong Betawi diiringi oleh musik gambang kromong

Terdapat beberapa hal yang membedakan lenong dengan seni pertunjukan peran lainnya, salah satunya dari segi rangkaian prosesi yang dilakukan sebelum lenong dipentaskan. Pertama, lenong selalu diawali dengan ungkup yang biasanya berisi pembacaan doa. Selanjutnya, prosesi kedua yakni sepik dilakukan, di mana akan ada penyambutan berupa penjelasan cerita yang nantinya akan dipentaskan. Setelah prosesi ini selesai, baru kemudian masuk ke prosesi terakhir yakni pengenalan tentang karakter. Setelah ketiga prosesi tersebut selesai dilakukan, barulah pertunjukan lenong akan dimulai.

Saat ini, lenong telah mengalami banyak perubahan bentuk. Mulai dari durasi pementasan yang sudah berubah menjadi lebih singkat, hingga alur cerita yang dibawakan pun sudah semakin bervariasi. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan pada zaman, agar lenong tetap bisa bertahan di tengah era globalisasi. Sebagai salah satu akar budaya dan kesenian penduduk asli Jakarta, memang sudah sepatutnya kesenian lenong kita lestarikan.

Artikel : Baly Chaniago | Foto : Iqbal Fadly

Adat Betawi, Ikon Jakarta

“Nyok, kite nonton ondel-ondel
Nyok, kite ngarak ondel-ondel
Ondel-ondel ade anaknye
Anaknye ngigel ter-iteran”

“Yuk kita nonton ondel-ondel
Yuk kita ngiringin ondel-ondel
Ondel-ondel ada anaknya
Anaknya joget sambil muterin tangan”

Bagi warga Jakarta, kutipan lirik di atas sudah tidak asing lagi di telinga. Dinyanyikan oleh almarhum Benyamin Sueb, lagu tersebut menceritakan tentang salah satu kesenian khas Betawi yang kerap dipamerkan pada hari ulang tahun Jakarta dan di berbagai perayaan besar, seperti karnaval, pernikahan, hajatan, sunatan, hingga acara peresmian gedung-gedung. Namun, bukan hanya sekadar hiasan berupa boneka besar yang dirangkai dari bambu dan kain, ondel-ondel ternyata memiliki sejarah yang menarik hingga akhirnya dikenal luas seperti sekarang.

Dengan tinggi sekitar 2.5 meter, ondel-ondel sesungguhnya sudah ada di Jakarta sejak zaman Belanda. Pada awal kemunculannya, ondel-ondel dikenal dengan nama baronga yang konon berasal dari kata berbarengan. Hal ini didasari oleh bagaimana kegiatan pengarakan boneka raksasa ini biasanya dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama. Pada masa itu, masyarakat Betawi percaya bahwa arwah nenek moyang akan senantiasa menjaga keturunannya dan kepercayaan ini diwujudkan dalam bentuk ondel-ondel. Karena dipercaya berfungsi sebagai penolak bala, ondel-ondel tradisional memiliki wajah yang cenderung menyeramkan. Fungsi ini pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat Betawi pada zaman dahulu selalu menyiapkan sajen dan melakukan ritual ketika merakit ondel-ondel.

Saat dipentaskan, ondel-ondel pun harus berpasangan, karena masyarakat Betawi mempercayainya sebagai bentuk keseimbangan antara kekuatan baik dan buruk. Biasanya pada ondel-ondel tradisional, wajah boneka laki-laki akan dicat merah, matanya dibuat melotot, dan dilengkapi dengan kumis dan senyuman yang menyeringai. Sedangkan wajah ondel-ondel perempuan biasanya dicat putih dan mulutnya yang bergincu merah nampak tersenyum manis.

Tidak ada ketentuan warna untuk pakaian, namun komposisi warna kontras ciri khas budaya Betawi kerap digunakan. Warna yang sering muncul dalam pakaian ondel-ondel adalah kombinasi dari merah, merah muda, oranye, kuning, hijau, biru, hitam dan putih. Warna-warna tersebut sengaja dikombinasikan bertabrakan untuk memberi kesan meriah agar menarik perhatian orang banyak.

Dengan melajunya zaman, maka tak diingkari telah terjadi pula pergeseran makna, bahkan desain pada boneka yang telah menjadi salah satu ikon Jakarta ini. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin disebut memiliki kontribusi besar dalam perkembangan penampilan ondel-ondel dengan mengubah wajah boneka yang sebelumnya cukup mengintimidasi menjadi lebih bersahabat.

Sekarang ondel-ondel bukan lagi penolak bala, namun telah berubah menjadi media hiburan masyarakat yang tak jarang pula kita temui berkeliling di jalanan ibu kota. Keberadaan ondel-ondel yang berumur panjang dan hampir selalu muncul di setiap kegiatan masyarakat Jakarta membuktikan bahwa ondel-ondel memiliki signifikansi yang penting di berbagai dimensi kehidupan masyarakat Betawi.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Nurhudayanti

Jajanan khas betawi satu ini terbuat dari beras ketan, telur ayam, dan ebi goreng. Setelah itu kerak telor dibubuhi cabai merah, kencur, jahe, garam, gula pasir, merica butiran, dan suwiran kelapa yang sudah disangrai. Menurut sejarahnya, kuliner tradisional ini tercipta secara tidak sengaja oleh sekawanan orang Betawi yang tinggal di daerah Menteng. Pada waktu itu, Jakarta masih memiliki banyak pohon kelapa yang tumbuh subur, sehingga masyarakat Betawi ingin memanfaatkan hasil dari buah kelapa itu selain diminum atau diolah menjadi minyak saja. Dari coba-coba inilah kemudian tercipta kerak telor.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Ariyani Tedjo

Menilik namanya, kata selendang berasal dari warna merah, hijau dan putih kue yang menjadi salah satu bahan utama dari es selendang mayang. Sementara kata mayang merujuk pada sensasi manis dan kenyal kue yang dibuat dari tepung kanji atau sagu aren, gula, air dan pewarna makanan. Adonan kemudian dipotong tipis-tipis seperti kue lapis menggunakan bambu tipis sesaat sebelum es disajikan. Selanjutnya kue diracik bersama sirup gula merah dan es batu, lalu disiram kuah santan, sehingga menciptakan rasa manis dengan selingan rasa gurih.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Ariyani Tedjo

Berbeda dengan bir pada umumnya, bir pletok tidak mengandung alkohol. Minuman tradisional khas Betawi ini terbuat dari lada, jahe, dan kulit kayu secang. Awalnya, bir pletok diracik lantaran orang Betawi terinspirasi dari kebiasaan warga Belanda di Indonesia yang seringkali meminum anggur pada saat perayaan. Namun karena anggur masuk kategori minuman yang dilarang agama, orang Betawi akhirnya membuat minuman racikan sendiri yang diberi nama bir pletok.

Beberapa manfaat kesehatannya adalah memperlancar peredaran darah, mengatasi nyeri lambung, meredakan radang sendi, mengobati migrain dan menghangatkan badan. Dapat disajikan secara hangat ataupun dingin, rasa bir pletok terbilang unik karena ada manis dan sedikit pedas, serta aroma yang wangi.

Artikel : Alisa Pratomo