Pos

Merindu Batavia

Sebagai ibu kota, kota terbesar dan terpadat di Indonesia saat ini, tiap sudut di Jakarta penuh dengan sejarah dan cerita yang membentuk Indonesia. Riwayat Jakarta sendiri dimulai ratusan tahun sebelum Indonesia lahir. Prasasti Tugu yang ditemukan di Koja, Jakarta Utara membuktikan bahwa daerah ini telah ramai sejak abad ke-5 M sebagai pelabuhan Kerajaan Tarumanegara.

Berabad-abad setelahnya, berbagai kekuatan politik silih berganti meninggalkan jejaknya di daerah ini. Namun wujud yang berperan besar dalam pembentukan kerangka Jakarta sebagai kota modern adalah bangsa Belanda lewat VOC dan masa pendudukannya atas Nusantara, yang di masa kolonial dikenal sebagai Hindia-Belanda.

VOC atau Verenigde Oostindiche Compagnie adalah kongsi dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602. VOC lahir dalam semangat Abad Penjelajahan (Age of Discovery) yang tengah melanda bangsa Eropa untuk berlomba-lomba menjelajah dunia. Demi menemukan sumber kekayaan baru, atau kejayaan atas bangsa lain.

Di awal abad ke-17, Jayakarta adalah kota pelabuhan yang ramai berkat perdagangan rempah. VOC meliriknya sebagai lokasi yang tepat untuk membangun sebuah koloni. Lewat sejumlah kesepakatan dan kekerasan, VOC berhasil menyingkirkan berbagai pesaingnya di atas Jayakarta. Dan nama baru untuk kota ini pun diresmikan pada 1621: Batavia.

Batavia dirancang sebagai markas besar VOC yang berambisi untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara. Gedung-gedung pun didirikan, kanal-kanal digali, dan jalan-jalan dibentangkan. Saat ini, lebih dari 350 tahun kemudian, masih banyak bangunan peninggalan VOC yang tersisa di Jakarta. Setiap bangunan kolonial ini memiliki pesonanya tersendiri lewat arsitektur khas Eropa yang mencolok. Meski banyak yang tidak dibuka untuk umum, ada juga beberapa bangunan peninggalan yang dialihfungsikan sebagai tempat rekreasi dan akan menjadi tujuan yang tepat bagi Travelers pecinta wisata sejarah.

Salah satu peninggalan kolonial yang paling terkenal adalah kawasan Kota Tua Jakarta yang mulai dikembangkan sejak berdirinya Batavia. Deret bangunan buatan Belanda yang masih berdiri membuat suasana kolonial masih sangat kental di sini.

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Kawasan Kota Tua berpusat pada Taman Fatahillah dan Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah yang dulunya berfungsi sebagai balai kota Batavia. Bangunan yang dulu dikenal sebagai Stadhuis ini dibangun pada tahun 1627, namun direnovasi pada tahun 1710 ke bentuk seperti sekarang dengan desain yang terinspirasi dari istana Kerajaan Belanda di Amsterdam. Sesuai namanya, saat ini Museum Sejarah Jakarta menjadi sarana edukasi tentang sejarah Jakarta yang komprehensif.

Masih di Kawasan Kota Tua, Museum Seni Rupa dan Keramik juga tak kalah menarik untuk dikunjungi. Gedung yang kini menjadi rumah bagi banyak lukisan dari berbagai maestro tanah air ini dulunya berfungsi sebagai Dewan Pengadilan Tinggi Batavia dan dibangun pada tahun 1870.

Museum Seni Rupa dan Keramik

Museum Seni Rupa dan Keramik

Ada juga Museum Wayang yang memamerkan koleksi berbagai jenis wayang dari seluruh Indonesia. Gedung Museum Wayang sendiri dibangun pada 1640 sebagai gereja, sehingga di areal museum masih terdapat batu nisan dari Jan Pieterszoon Coen, Gubernur-Jenderal VOC dan salah satu pencetus Batavia. Setelah puas mengelilingi Kota Tua, sempatkan untuk singgah di Café Batavia yang telah berdiri sejak 1830 dan terkenal karena desain interiornya yang iconic.

Batavia berkembang pesat sebagai pusat perdagangan yang sejahtera. Dengan deretan vila di tepi kanal yang dikelilingi rimbun hijau pepohonan tropis khas Nusantara, kota kecil ini sempat dijuluki ‘The Jewel of Asia’ karena keelokannya. VOC pun semakin dikenal dunia sebagai kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang patut diperhitungkan. Namun seiring VOC terus memperluas kekuasaan ke berbagai daerah di Nusantara, Batavia pun, sebagai salah satu kota pelabuhan tersukses di dunia pada saat itu, menjadi semakin padat dan bertambah besar.

Di pertengahan abad ke-18, dengan populasi yang terus bertambah dan sanitasi yang kurang baik di pusat kota, pembangunan di Batavia merambah hingga ke luar benteng Kota Tua. Daerah Weltevreden (kini menjadi Sawah Besar) pun lahir. Salah satu jejak kolonial yang tersisa di daerah ini adalah Gedung Arsip Nasional yang didirikan pada tahun 1760 sebagai kediaman Reiner de Klerk, salah satu gubernur jenderal VOC. Pada tahun 1797, areal permakaman juga dibangun di sekitar Weltevreden, seiring dengan mewabahnya malaria yang memakan begitu banyak korban, terutama di kalangan orang Eropa. Konon, korban yang begitu banyak juga sempat membuat Batavia dijuluki ‘The Cemetery of European’. Areal permakaman itulah yang kini dikenal sebagai Museum Taman Prasasti, salah satu areal permakaman modern tertua di dunia.

Cafe Batavia

Cafe Batavia

Di akhir abad ke-18, VOC mengalami kemunduruan. Secara eksternal, berbagai perang yang berkecamuk di Eropa dan perlawanan sejumlah kerajaan di Nusantara sendiri menggoyahkan perekonomian Belanda. Korupsi besar-besaran dalam internal kompeni juga memperburuk keadaan, sehingga VOC tak mampu lagi bersaing dengan kompetitornya dan menjadi bangkrut. Pada tahun 1800, VOC resmi dibubarkan. Seluruh aset kolonialnya dipindahkan ke tangan Kerajaan Belanda, termasuk seluruh bagian dari Hindia-Belanda. Dan Batavia, tentunya.

Batavia pun memasuki era baru dengan datangnya abad ke-19. Tiap bangunan dari era ini dapat ditandai lewat gaya arsitektur Indies Empire, yaitu gaya Neoklasikisme Eropa yang beratap tinggi untuk menyesuaikan iklim tropis Hindia-Belanda. Seperti dalam desain Paleis te Rijswijk, istana megah yang selesai dibangun pada 1804 sebagai kediaman gubernur – jenderal dan pusat segala aktivitas pemerintahan Hindia-Belanda.

Kegiatan administrasi yang semakin kompleks dan membutuhkan lebih banyak ruang membuat tercetusnya pembangunan istana baru. Paleis te Koningsplein pun berdiri pada tahun 1873. Kedua istana ini kini dikenal sebagai Istana Negara & Istana Merdeka, bagian dari istana kepresidenan serta pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Istana Negara Jakarta

Istana Negara Jakarta

Pusat kota pun berpindah ke sekitar istana gubernur – jenderal yang baru, yang sekarang menjadi kawasan Gambir dan sekitarnya. Selain aktivitas pemerintahan, Kawasan ini juga difokuskan untuk menjadi pusat pelatihan militer dan pemukiman kaum elite Batavia. Sarana hiburan dalam bentuk gedung teater mulai dibangun pada tahun 1814 oleh Stamford Raffles saat pendudukan singkat Inggris di Batavia.

Setelah Batavia kembali ke tangan Belanda, gedung yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta itu direnovasi ke bentuk yang seperti sekarang. Ada juga Witte Huis yang dibangun pada 1828 sebagai kediaman pribadi Herman Willem Daendels dan kini menjadi bagian dari kompleks Kementrian Keuangan. Salah satu gereja tertua di Indonesia, Gereja Immanuel, juga didirikan di kawasan ini di tahun 1839.

Di penghujung abad ke-19, dunia berkembang pesat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai penemuan teknologi. Kehidupan di Batavia pun kian modern dengan pergerakan zaman. Trem mulai menghubungkan berbagai wilayah dalam kota Batavia pada 1869 dan tenaga listrik mulai menerangi Batavia sejak 1897. Saat itu wilayah Hindia-Belanda hampir mencakup keseluruhan wilayah Indonesia saat ini. Dan sebagai ibu kota, populasi Batavia kian membludak dengan para pendatang dari seluruh Nusantara.

Gedung Kesenian Jakarta

Gedung Kesenian Jakarta

Banyak yang merantau ke Batavia demi membina ilmu di STOVIA, perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berkumpulnya para kaum terpelajar Nusantara inilah yang menjadi awal pergerakan dan kesadaran para pribumi untuk bersatu sebagai bangsa yang merdeka dari Belanda. Hal itu dianggap sebagai salah satu tahap penting dalam sejarah Indonesia mencapai kemerdekaan, dan gedung STOVIA kini dapat dikunjungi sebagai Museum Kebangkitan Nasional.

Bangunan peninggalan dari awal abad ke-20 dapat ditandai lewat arsitektur gaya New Indies yang menggabungkan elemen arsitektur modern seperti Art Deco dengan elemen rumah-rumah tradisional di Hindia-Belanda. Contohnya terdapat pada Gedung Museum Bank Indonesia, yang dibangun pada tahun 1909 sebagai kantor dari De Javasche Bank, bank sentral Hindia-Belanda saat itu. Ada juga Gedung Filateli, kantor pos dan telegraf yang dibangun pada 1913 serta Gedung Museum Bank Mandiri yang mulai dibangun pada 1929 sebagai kantor perusahaan dagang dan perbankan milik Belanda.

Gedung Filateli Jakarta

Gedung Filateli Jakarta

Masa kejayaan Batavia berakhir saat Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tahun 1942, memulai masa penjajahan baru di atas Nusantara. Banyak orang Belanda dan Eropa yang meninggalkan Batavia demi menghindari buruan dari tentara Jepang. Nama kota ini pun dikembalikan ke nama sebelum kedatangan Belanda: Jayakarta atau Jakarta. Pada tahun 1945, seiring dengan kekalahan Jepang di Perang Dunia II, masyarakat pribumi di Hindia-Belanda menolak untuk kembali berada di bawah kekuasaan Belanda, dan lewat Proklamasi yang dibacakan pada 17 Agustus 1945, menyatakan merdeka sebagai negara Indonesia dengan Jakarta sebagai ibu kota.

Selama lebih dari 300 tahun, Jakarta dikenal dunia sebagai Batavia, kota pusat perdagangan rempah Asia dan pusat koloni Belanda di Asia Tenggara. Dari julukan ‘permata Asia’ hingga ‘kuburan orang Eropa’, riwayat Batavia mengalami naik dan turun seiring perkembangan zaman yang tercerminkan dalam bentuk peninggalan yang beragam. Dengan mempelajari sejarah Jakarta lewat bangunan-bangunan kolonialnya, kita dapat melihat Jakarta dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana kejayaan Batavia di masa lalu turut membuka jalan bagi Jakarta untuk menjadi seperti saat ini, sebagai salah satu kota terdepan di Asia Tenggara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramdhani, Creativa Images, Nelce Muaya, Donni Yudha

  • Fakta :

    Nama Batavia diambil dari Batavi, salah satu suku di masa Kekaisaran Romawi yang diyakini sebagai leluhur orang Belanda.


Seluk-Beluk Kehidupan Suku Betawi

Jakarta, sebuah pintu gerbang pertemuan berbagai etnis dari berbagai kawasan yang mewarnai dan memengaruhi pertumbuhan kota, berikut orang-orangnya. Seperti daerah lainnya di Indonesia, Jakarta pun memiliki penduduk asli yang menurut beberapa pakar budaya dan sejarah telah diperkirakan ada serta mendiami kawasan ini sejak abad ke-17, yaitu suku Betawi. Tetapi siapakah suku Betawi ini dan dari mana mereka berasal? Etnis ini lahir dari proses yang panjang dan tidak muncul tiba-tiba.

Berdasarkan penelitian dan bukti-bukti sejarah, etnis Betawi lahir dari percampuran berbagai macam suku bangsa di Nusantara yang telah lebih dulu hidup di Jakarta, serta campuran dari bangsa mancanegara seperti Tionghoa, Portugis, India, Arab dan Belanda.

Pada periode kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Sunda, dan Islam, sebetulnya sudah terdapat dasar-dasar terbentuknya etnis Betawi. Hanya saja, pada saat itu belum ada penyebutan istilah kata Betawi. Orang dulu menyebut penduduk Sunda Kelapa yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta dengan istilah wong Jakarta atau orang Jakarta.

Istilah Betawi mulai muncul pada periode kekuasaan Kolonial Belanda, saat nama Jayakarta berganti menjadi Batavia. Masyarakat atau orang-orang Sunda yang tinggal dekat dengan Batavia menyebut orang Batavia dengan sebutan orang Betawi. Hal ini dikarenakan lidah orang Sunda sulit untuk mengucapkan Batavia dan lambat laun istilah Betawi melekat hingga saat ini.

Secara tertulis, sebutan orang Betawi pertama kali terdapat dalam testamen atau surat wasiat Nyai Inqua, seorang janda tuan tanah Souw Beng Kong, Kapiten Tionghoa pertama di Batavia. Nyai Inqua menyebut seorang pembantu perempuannya sebagai orang Betawi.

Seiring berjalannya waktu dan berbeda dengan kebanyakan daerah lain di Indonesia, suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta tidak begitu terlihat mendominasi, baik secara jumlah maupun peran. Wilayah di Jakarta yang ditempati oleh etnis Betawi juga semakin kecil dan hanya tersebar mulai dari Bogor, Tangerang, Bekasi hingga Karawang.

Sejak meningkatnya jumlah penduduk Betawi yang melakukan migrasi ke beberapa daerah, mulailah muncul istilah Betawi Udik, Betawi Pinggir dan Betawi Tengah. Namun, masih ada pula daerah di Jakarta yang kental dengan nuansa kebudayaan Betawi yaitu Kampung Rawa Belong, Kampung Condet, Kampung Marunda tempat tinggal jawara Betawi si Pitung berasal, dan Kampung Setu Babakan yang hingga kini masih terjaga kelestariannya.

Untuk mengenal lebih dalam mengenai budaya masyarakat Betawi, salah satu tempat yang Travelers dapat kunjungi adalah Setu Babakan yang terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Perkampungan ini merupakan kawasan yang tumbuh dan berkembang dengan komunitas yang erat dengan budaya Betawi, seperti dari adat istiadat, kesenian, religi, arsitektur dan kuliner.

Setu Babakan

Areal Setu Babakan dengan arsitektur tradisional Betawi yang khas.

Didiami oleh sekitar 3000 kepala keluarga, sebagian besar dari mereka merupakan penduduk asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah ini. Sedangkan sebagian kecil lainnya merupakan pendatang dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan daerah lainnya yang sudah menetap lebih dari 30 tahun lamanya.

Perkampungan dengan luas area 32 ha ini pun telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Betawi pada tahun 2004. Penetapan ini bertujuan untuk menciptakan satu kawasan yang melestarikan nuansa budaya Betawi, sekaligus untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan yang berkunjung.

Buka setiap harinya dari pukul 09:00 – 16:00 WIB, Travelers yang berkunjung ke Setu Babakan akan merasakan keramahan penduduk lokal dan keasrian lingkungan alamnya. Khusus hari Sabtu dan Minggu, Travelers dapat menyaksikan pertunjukkan seni budaya Betawi, seperti tari topeng, lenong, tanjidor, dan ondel-ondel yang dipentaskan di panggung terbuka berukuran 60 meter persegi.

Selain pagelaran seni, jika Travelers datang pada waktu yang tepat maka juga bisa menyaksikan prosesi adat kebudayaan Betawi secara langsung, seperti pernikahan, prosesi khitanan dan aktivitas pemuda yang sedang berlatih pencak silat khas Betawi. Ada pula pilihan untuk bermalam di rumah penduduk bagi pengunjung yang memerlukan waktu lebih lama untuk kebutuhan penelitian, pendidikan maupun pelatihan.

Setu Babakan tidak hanya menyajikan pagelaran seni budaya saja, namun juga terdapat wisata danau yang letaknya tepat di tengah-tengah perkampungan. Ada dua danau yang dapat dinikmati, yaitu Danau Mangga Bolong dan Danau Babakan, di mana keduanya dikelilingi oleh asrinya pepohonan kecapi, belimbing, rambutan, sawo, dan melinjo. Biasanya, danau ini dimanfaatkan penduduk setempat untuk memancing atau sekadar menikmati kesejukan dan keasrian di pinggir danau. Travelers juga dapat melakukan aktivitas yang sama dengan menyewa peralatan yang disediakan oleh pengelola danau. Selain itu ada pula wisata perahu untuk mengelilingi danau dengan harga Rp6.000 per orang.

Untuk Travelers pecinta kuliner, kudapan khas Betawi pun banyak disajikan di sepanjang jalan sekeliling danau, seperti kerak telor, dodol Betawi dan soto Betawi yang dijual dengan harga terjangkau. Penduduk setempat juga kerap mengolah beberapa hidangan langsung di depan warung mereka, sehingga proses pembuatannya dapat disaksikan oleh pengunjung. Dengan ini, pengunjung diajak terlibat langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi.

Ada tiga agenda utama di Setu Babakan yaitu agenda rutin, agenda tahunan dan kegiatan dadakan yang dilakukan oleh masyarakat setempat, pemerintah daerah atau pihak swasta yang sedang menyelenggarakan kegiatan di dalam perkampungan. Agenda rutin merupakan pertunjukkan kesenian budaya Betawi yang dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu untuk menarik wisatawan. Sedangkan agenda tahunan terdiri dari atraksi atau Festival Budaya Betawi, Pekan Lebaran, Pekan Desember dan Pekan Pergelaran Kesenian Nuansa islami. Travelers yang berkunjung ke Setu Babakan hanya dikenakan biaya parkir kendaraan sebesar Rp5.000. Komplek Setu Babakan sudah dilengkapi dengan fasilitas umum seperti Museum Betawi, tempat ibadah, toilet umum, tempat bermain anak, teater terbuka, galeri, toko oleh-oleh hingga wisma.

Akses menuju Setu Babakan relatif mudah. Banyak kendaraan umum yang melewati perkampungan ini mulai dari bus kota hingga commuter line. Pengunjung yang menggunakan bus kota dapat langsung turun di depan pintu gerbang Setu Babakan. Jika menggunakan commuter line, pengunjung akan turun di stasiun Lenteng Agung terlebih dahulu sebelum kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus kota atau kendaraan online.

Artikel : Aki Suhartono | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy


Tutur Kisah dalam Gerak Tubuh

Manusia adalah makhluk yang berpegang pada kekuatan cerita. Nasihat, pesan moral maupun cerminan hidup tersampaikan lewat dongeng, legenda, dan cerita rakyat yang mengisi rentang hidup kita. Itulah mengapa elemen bercerita dapat kita temukan dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dalam kesenian asli Indonesia seperti kedua tari tradisional yang telah melekat dengan budaya Betawi berikut ini: tari topeng dan tari lenggang nyai.

Tari topeng Betawi dan tari lenggang nyai berkembang di Jakarta sebagai bentuk ekspresi masyarakat Betawi atas nilai-nilai kehidupan. Sebagai kesenian dari suku Betawi, kedua tarian ini memiliki sejumlah persamaan seperti musik yang diiringi gambang keromong, orkes tradisional dari suku Betawi yang hampir serupa gamelan dengan pengaruh alat musik Cina serta Eropa. Kostum pada kedua tarian juga sama-sama didominasi akan warna merah cerah dan hias kepala khas Tionghoa. Akan tetapi, tiap tarian memiliki perbedaan dalam unsur bercerita yang menjadi karakteristik tersendiri dari kedua tarian.

Jenis tarian yang menggunakan topeng sebagai atribut utama dapat dijumpai di banyak kebudayaan di dunia. Berkat gerakan dan atributnya yang atraktif, tari topeng Betawi kini berkembang sebagai salah satu kesenian yang identik dengan kota Jakarta. Di Nusantara saja, tari topeng tidak hanya berkembang dalam tradisi masyarakat Betawi. Tari beratribut topeng juga dapat ditemukan dalam budaya suku Bali, Cirebon, Dayak hingga Batak, walau dengan bentuk topeng atau nama tarian yang berbeda.

Tari Topeng Betawi

Tari Topeng Betawi

Suku Betawi pada masa lampau menganggap topeng atau kedok memiliki kesaktian. Topeng dipercaya sebagai penolak bala, bahkan dapat mengusir perasaan duka. Kepercayaan ini berangkat dari sebuah mitos akan Dewa Umar Maya, sosok dalam legenda setempat yang konon dapat merasuki patung dan topeng kayu. Tari topeng pun kemudian muncul di komunitas Betawi Pinggir (Betawi Ora), dan mulai dipentaskan agar masyarakat dapat terhindar dari malapetaka. Hingga saat ini, tari topeng masih dapat ditemukan dalam berbagai acara masyarakat Betawi, seperti khitanan, pernikahan, atau saat membayar nazar.

Dalam tari topeng Betawi, umumnya terdapat tiga jenis topeng yang mencerminkan sifat-sifat manusia yang berbeda. Topeng berwarna putih yang melambangkan kelembutan dikenal dengan nama Panji atau Kelana. Topeng berwarna merah jambu disebut Samba, melambangkan kelincahan perempuan. Sedangkan sang Jingga, topeng yang berwarna merah, melambangkan kekuatan dan ketegasan dari laki-laki.

Tiap sifat yang berbeda-beda tersebut tergambar dalam pola gerak para penari saat sedang mengenakan topeng tertentu. Lembut dan lemah gemulai saat mengenakan topeng putih, namun cepat dan menghentak saat mengenakan topeng merah. Perbedaan sifat yang harus dipancarkan tiap penari inilah yang membuat tari topeng Betawi dianggap memiliki unsur opera atau teater, dengan lakon yang digabung dengan tarian. Tiap gerakan dalam tari topeng mengandung pesan, sehingga keseluruhan tarian dapat dilihat sebagai sebuah presentasi cerita.

Tari Lenggang Nyai

Tari Lenggang Nyai

Lain halnya dengan tari topeng yang sudah ada sejak masa sebelum Indonesia merdeka, tari lenggang nyai baru berkembang di masyarakat Betawi di awal dekade 2000-an. Meski tergolong baru, saat ini tari lenggang nyai telah melekat sebagai salah satu kesenian khas Jakarta yang dilestarikan lewat berbagai kegiatan sanggar-sanggar Betawi. Unsur cerita dalam tarian ini terdapat pada cerita rakyat yang menginspirasinya, tentang seorang gadis Betawi bernama Nyai Dasimah yang hidup pada masa kolonial Inggris di Batavia.

Alkisah, Nyai Dasimah harus menentukan pilihannya akan pasangan hidup, dengan seorang pria pribumi atau dengan seorang pria Inggris bernama Edward William. Setelah memilih untuk menikah dengan Edward William, Nyai Dasimah malah mendapat pengekangan dan perlakuan semena-mena lainnya dari sang suami. Sebagai gadis Betawi yang ceria, ia pun memberontak terhadap perlakuan suaminya dan menuntut haknya sebagai seorang wanita akan kebahagiaan dan cinta.

Kisah Nyai Dasimah pun menginspirasi seniman Wiwik Widiastuti untuk menciptakan tari lenggang nyai. Nyai Dasimah dianggap mencerminkan semangat kebebasan dan perjuangan perempuan Betawi atas hidupnya sendiri, dan kisah sang Nyai tercermin dalam pola gerak tari lenggang nyai. Ada gerakan lincah yang melambangkan keceriaan dan keluwesan Nyai Dasimah sebagai perempuan Betawi. Namun ada juga gerakan yang mencerminkan kegalauan sang Nyai saat dihadapkan dengan pilihan akan pasangan hidup atau kesedihannya saat harus menghadapi perlakuan suaminya.

Hingga saat ini, kedua tarian berunsur cerita ini kerap memeriahkan berbagai acara di Jakarta bersama tari tradisional Betawi lainnya seperti tari yapong, tari ondel-ondel, tari cokek, dan lain sebagainya. Seperti warna-warni atributnya, tari topeng Betawi dan tari lenggang nyai terus menghias ibu kota lewat cerita-cerita tiap manusia yang sempat hidup di Jakarta, dalam sejarah panjangnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly

  • Fakta 1

    Terdapat banyak jenis dari topeng Betawi seperti tari topeng tunggal, lipet gandes, enjot-enjotan, ronggeng topeng, dan lain sebagainya.

  • Fakta 2

    Walau ceritanya memilki banyak versi, sosok Nyai Dasimah menginspirasi banyak orang dalam bentuk film, buku, dan tarian seperti dalam tari lenggang nyai.

Adat Betawi, Ikon Jakarta

“Nyok, kite nonton ondel-ondel
Nyok, kite ngarak ondel-ondel
Ondel-ondel ade anaknye
Anaknye ngigel ter-iteran”

“Yuk kita nonton ondel-ondel
Yuk kita ngiringin ondel-ondel
Ondel-ondel ada anaknya
Anaknya joget sambil muterin tangan”

Bagi warga Jakarta, kutipan lirik di atas sudah tidak asing lagi di telinga. Dinyanyikan oleh almarhum Benyamin Sueb, lagu tersebut menceritakan tentang salah satu kesenian khas Betawi yang kerap dipamerkan pada hari ulang tahun Jakarta dan di berbagai perayaan besar, seperti karnaval, pernikahan, hajatan, sunatan, hingga acara peresmian gedung-gedung. Namun, bukan hanya sekadar hiasan berupa boneka besar yang dirangkai dari bambu dan kain, ondel-ondel ternyata memiliki sejarah yang menarik hingga akhirnya dikenal luas seperti sekarang.

Dengan tinggi sekitar 2.5 meter, ondel-ondel sesungguhnya sudah ada di Jakarta sejak zaman Belanda. Pada awal kemunculannya, ondel-ondel dikenal dengan nama baronga yang konon berasal dari kata berbarengan. Hal ini didasari oleh bagaimana kegiatan pengarakan boneka raksasa ini biasanya dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama. Pada masa itu, masyarakat Betawi percaya bahwa arwah nenek moyang akan senantiasa menjaga keturunannya dan kepercayaan ini diwujudkan dalam bentuk ondel-ondel. Karena dipercaya berfungsi sebagai penolak bala, ondel-ondel tradisional memiliki wajah yang cenderung menyeramkan. Fungsi ini pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat Betawi pada zaman dahulu selalu menyiapkan sajen dan melakukan ritual ketika merakit ondel-ondel.

Saat dipentaskan, ondel-ondel pun harus berpasangan, karena masyarakat Betawi mempercayainya sebagai bentuk keseimbangan antara kekuatan baik dan buruk. Biasanya pada ondel-ondel tradisional, wajah boneka laki-laki akan dicat merah, matanya dibuat melotot, dan dilengkapi dengan kumis dan senyuman yang menyeringai. Sedangkan wajah ondel-ondel perempuan biasanya dicat putih dan mulutnya yang bergincu merah nampak tersenyum manis.

Tidak ada ketentuan warna untuk pakaian, namun komposisi warna kontras ciri khas budaya Betawi kerap digunakan. Warna yang sering muncul dalam pakaian ondel-ondel adalah kombinasi dari merah, merah muda, oranye, kuning, hijau, biru, hitam dan putih. Warna-warna tersebut sengaja dikombinasikan bertabrakan untuk memberi kesan meriah agar menarik perhatian orang banyak.

Dengan melajunya zaman, maka tak diingkari telah terjadi pula pergeseran makna, bahkan desain pada boneka yang telah menjadi salah satu ikon Jakarta ini. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin disebut memiliki kontribusi besar dalam perkembangan penampilan ondel-ondel dengan mengubah wajah boneka yang sebelumnya cukup mengintimidasi menjadi lebih bersahabat.

Sekarang ondel-ondel bukan lagi penolak bala, namun telah berubah menjadi media hiburan masyarakat yang tak jarang pula kita temui berkeliling di jalanan ibu kota. Keberadaan ondel-ondel yang berumur panjang dan hampir selalu muncul di setiap kegiatan masyarakat Jakarta membuktikan bahwa ondel-ondel memiliki signifikansi yang penting di berbagai dimensi kehidupan masyarakat Betawi.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Nurhudayanti

Jajanan khas betawi satu ini terbuat dari beras ketan, telur ayam, dan ebi goreng. Setelah itu kerak telor dibubuhi cabai merah, kencur, jahe, garam, gula pasir, merica butiran, dan suwiran kelapa yang sudah disangrai. Menurut sejarahnya, kuliner tradisional ini tercipta secara tidak sengaja oleh sekawanan orang Betawi yang tinggal di daerah Menteng. Pada waktu itu, Jakarta masih memiliki banyak pohon kelapa yang tumbuh subur, sehingga masyarakat Betawi ingin memanfaatkan hasil dari buah kelapa itu selain diminum atau diolah menjadi minyak saja. Dari coba-coba inilah kemudian tercipta kerak telor.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Ariyani Tedjo