Tarian Seribu Tangan di Negeri Seribu Bukit

Pada 13 Agustus 2017, Stadion Seribu Bukit di Blangkejeren, ibukota Kabupaten Gayo Lues, dipenuhi oleh lautan manusia dari berbagai pelosok dunia yang datang untuk menyaksikan pementasan tari. Hari itu adalah hari dimana Kabupaten Gayo Lues berhasil memecahkan rekor dunia atas tarian kolosal dengan jumlah penari terbanyak: 12,262 dan 15 penari pemandu.

Semua penarinya adalah laki-laki, datang dari 145 kampung di Gayo Lues dan beberapa kabupaten sekitar. Semua penarinya berasal dari berbagai golongan, generasi, profesi dan latar belakang. Namun di hari itu semua berbaris sejajar layaknya jajaran Bukit Barisan yang mengelilingi Blangkejeren, tersatukan dalam keselarasan riuh gerak tari saman.

Tari saman mengakar di masyarakat Gayo yang hidup di kaki Gunung Leuser, umum dijumpai di Kabupaten Gayo Lues sampai ke Aceh Tenggara, dimana tiap kampung biasanya memiliki pasuken atau grup tarinya sendiri. Tarian ini adalah salah satu bentuk kekayaan Indonesia yang diakui sebagai milik dunia, setelah UNESCO mengkategorikannya dalam daftar Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity di tahun 2011.

Selain melambangkan kebersamaan dan kekompakan masyarakat Gayo, tari saman juga menyiratkan unsur magis yang kental. Nyanyian dan syairnya adalah doa-doa, ajaran syariah Islam, nasihat serta pesan dalam beradat istiadat. Para penari bersimpuh dalam barisan rapat dengan bahu bersentuhan, layaknya barisan dalam ibadah salat.

Diawali dengan rengum dan salam, ribuan penari mengeluarkan suara dengung bernada rendah yang menyiratkan penyerahan diri terhadap Tuhan serta permohonan izin kepada para tamu yang hadir. Tidak heran jika tarian ini dapat menyihir dan menggetarkan siapapun yang menontonnya.

Tari saman memiliki unsur gerak yang semuanya bertumpu pada tangan, badan dan kepala. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah guncang (ayunan mengguncangkan tubuh), gerutup (tepukan ke dada yang menggebu), lingang (gerakan melenggang), tungkuk (posisi membungkuk) dan anguk (gerakan menganggukkan kepala). Salah satu unsur gerak yang terkenal dari tari saman adalah surang-saring, dimana para penari bergerak dengan pola selang-seling secara bergantian dengan tempo yang semakin cepat.

Kompleksitas gerak dalam tari saman membuatnya menantang untuk dipentaskan, dimana tiap penari harus berada dalam kondisi prima. Ini karena tari saman menuntut konsentrasi tinggi dan kontrol penuh dari para penarinya dalam mengatur kecepatan, kuatnya tepukan, dan harmonisasi gerakan dengan penari di sebelahnya. Di atas itu, penari juga diharuskan bernyanyi dengan memperhatikan kemerduan, kekompakan, dan kekhusyukan tersendiri.

Tidak ada yang tahu dengan pasti asal muasal tari saman. Salah satu cerita yang populer mengatakan bahwa awalnya tarian ini dikenal sebagai permainan anak dengan variasi tepukan sambil bernyanyi riang. Sekitar abad 14-16, seorang tokoh di Gayo Lues bernama Syekh Muhammad Saman mengembangkan permainan anak itu menjadi tarian sebagai media dakwah dalam menyebarkan agama Islam.

Tari saman masih terus dilestarikan dan diajarkan ke anak-anak Gayo Lues hingga sekarang. Jika Anda ke Blangkejeren, Anda dapat menonton anak-anak berlatih saman, atau mungkin ikut bergabung untuk mempelajari tari asli Gayo Lues ini.

Di Gayo Lues sendiri, tari saman umum dijumpai sebagai hiburan pada acara-acara tertentu seperti pesta pernikahan atau hari raya. Saman jalu, jenis saman dimana dua grup saman menari berhadapan dan biasanya berlangsung lebih dari sehari semalam, juga masih sering dilakukan untuk membina silaturahmi antar kampung.

Kini tari saman sudah sering mewakilkan Indonesia di berbagai acara kebudayaan mancanegara, bahkan kerap menjadi highlight acara yang membuat tiap penontonnya berdecak kagum. Pagelaran massal tari saman seperti 13 Agustus 2017 kemarin diharapkan bisa menjadi salah satu event nasional yang dapat dilakukan secara rutin. Agar dapat menarik wisatawan asing ke Tanoh Gayo dan semakin memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia di mata dunia.

Di luar provinsi Aceh, banyak yang mengira tari Ratoh Duek atau tari Ratoh Jaroe sebagai tari saman karena memiliki kemiripan dalam formasi penari dengan gerakan cepat dan atraktif. Namun, tari Ratoh Duek merupakan harta budaya Aceh lainnya yang umumnya ditarikan oleh perempuan dengan warna-warni kostum dan banyak dijumpai di Aceh bagian pesisir.

Tari saman asli haruslah dilakukan oleh kaum adam dengan jumlah yang ganjil, dinyanyikan dalam bahasa Gayo, dan dengan keseragaman kostum Kerawang Gayo Lues beserta teleng-nya, atribut yang dikenakan di kepala tiap penari.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Mardiansyah BP & Ova Senjaya

Tangis dan Tawa Dalam Lantunan Syair

Lengkingan syair nan merdu dari seorang ceh (pemimpin didong), memecah keheningan malam yang dingin di Takengon. Bait demi bait syair yang ritmis menghantarkan cerita yang menyentuh hati tentang Tanoh Gayo. Perlahan, para penunung (pengiring didong) yang duduk bersama ceh dalam formasi lingkaran, mulai mengiringi nyanyian sang ceh dengan tepukan tangan, atau tepukan di atas bantal kecil dalam berbagai variasi tepukan. Tepukan-tepukan itu menjadi semakin cepat seiring berjalannya lagu, untuk diakhiri dengan hentakan serempak yang menggetarkan para pendengarnya.

Sebuah orkestrasi yang tampak sederhana, namun kemeriahan irama yang dihasilkannya akan membuat Anda ikut bergoyang mendengarnya. Bagi yang mengerti bahasa Gayo, akan tergerak oleh kesyahduan syair yang dilantunkan oleh tiap ceh. Antara menitikan air mata merenungi pesan lirih yang terkandung di dalamnya, atau justru tertawa terpingkal-pingkal karena guyonan di dalamnya. Itulah gambaran kecil dari didong, salah satu kesenian tradisional yang paling digemari dalam masyarakat Gayo.

Didong adalah gabungan seni sastra lisan dengan seni suara yang mengakar dalam masyarakat Gayo, khususnya di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Umumnya, didong dimainkan oleh 20-30 orang yang tergabung dalam sebuah kelompok didong, dan dipimpin oleh seorang ceh yang juga menjadi penyair utama dan pengarang dari lagu-lagu yang dibawakan.

Didong memiliki sejarah panjang dalam mempersatukan dan membangun masyarakat Gayo dari masa-masa sulit. Pada mulanya, didong merupakan media dakwah yang berkembang menjadi hiburan masyarakat. Karena selalu bisa menarik perhatian, banyak pembangunan masjid, jalan, atau jembatan yang dapat terlaksana berkat penggalangan dana lewat acara didong. Pesan-pesan yang terkandung dalam lirik didong juga menyebarkan semangat perjuangan di masa penjajahan. Didong juga berfungsi sebagai media informasi yang menyebarkan berita terbaru sebelum adanya radio maupun televisi.

Seorang ceh juga diharuskan memiliki ketangkasan berbalas syair, terutama pada saat didong jalu atau ‘adu didong’. Layaknya berbalas pantun, dua kelompok didong akan ber-didong secara bergantian. Membalas serangan dan sindiran yang tersahut dalam syair kelompok lawan, seperti rap battle dalam budaya hip-hop Amerika. Perlombaan didong jalu dilakukan semalam suntuk dan selalu ramai mengundang gelak tawa penonton. Mulai dari penonton yang ingin mendukung kelompok didong favoritnya, atau penonton yang sekedar mencari hiburan tengah malam.

Saat Anda ke Tanoh Gayo, sempatkan untuk menyaksikan keseruan pertandingan didong yang umum dijumpai di acara-acara desa. Sebuah seni sastra yang kaya akan perasaan yang akan selalu mampu untuk menghadirkan kesenduan atau senyuman bagi masyarakat Gayo manapun yang menyaksikannya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Tanoh gayo

Goa Loyang Datu yang berada di desa Isaq ini memiliki luas ruang 1,980 meter persegi. Di dasarnya mengalir sungai dengan air terjun kecil yang menambah keelokan tempat ini. Legenda seputar goa yang menjorok ke bawah ini menceritakan tentang seorang anak kesayangan dari Muyang Mersa, penguasa daerah Linge pada zaman dahulu kala, yang bernama Merah Mege.

Merasa cemburu pada Merah Mege yang menjadi kesayangan ayahnya, abang-abangnya mengajak Merah Mege pergi ke hutan kemudian mendorongnya jatuh ke dalam goa. Segenap abangnya lalu berbohong kepada Muyang Mersa, yang sangat terpukul akan berita hilangnya Merah Mege.

Beberapa hari setelah anak kesayangannya itu hilang, Muyang Mersa menyadari keanehan pada tingkah laku anjing peliharaan Merah Mege. Ketika disuguhi makan, anjing itu segera mengambil dan membawa lari makanannya. Saat Muyang Mersa mengikutinya, anjing itu membawa Muyang Mersa ke Goa Loyang Datu, dimana Merah Mege yang ternyata masih hidup terjebak di dalamnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramadhan

Menggali Asal Muasal Orang Gayo

Alam Indonesia yang subur selalu menyangga tumbuhnya peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Sekitar 60% dari seluruh penemuan manusia purba di dunia ditemukan di Indonesia, dan tiap penemuan membuka mata masyarakat Indonesia untuk mengenal leluhur dan mempelajari identitasnya lebih dalam.

Tanoh Gayo juga menambah daftar penemuan ini, melalui Loyang Mendale atau Ceruk Mendale, salah satu objek wisata di Aceh Tengah yang mulai ramai dikunjungi wisatawan. Satu dekade terakhir, beberapa situs di sekitar Danau Lut Tawar menarik perhatian para arkeolog, yaitu Loyang Mendale, Ujung Karang, dan Putri Pukes. Ketiga situs ini menyimpan banyak temuan akan jejak manusia purbakala di Indonesia dalam berbagai bentuk dan kondisi dengan kisaran usia mulai dari 3,000 hingga 8,400 BP (Before Present / tahun yang lalu).

Penemuan di Aceh Tengah ini merupakan salah satu situs penemuan arkeologi terlengkap mengenai arus penyebaran ras Austronesia dan Mongoloid di Indonesia. Situs Arkeologi Loyang Mendale tidaklah sulit untuk dicapai. Berada di tebing bebatuan kapur di tepian Danau Lut Tawar yang hanya berjarak beberapa menit dari pusat Kota Takengon.

Salah satu temuan arkeologi di area ini mencakup fragmen gerabah berpola hias teknik lukis yang diperkirakan berusia 3,000 BP. Pola-pola hias dengan motif huruf X dan huruf S berwarna merah ini diprediksi sebagai awal dari perkembangan motif Kerawang Gayo yang masih ditekuni hingga sekarang dalam pakaian dan arsitektur tradisional masyarakat Gayo.

Anyaman rotan berusia 4,400 BP juga ditemukan di situs Loyang Ujung Karang. Temuan anyaman rotan dan pola hias dalam gerabah ini menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar Danau Lut Tawar telah menyadari aspek estetika sejak lama, yang kemudian berkembang menjadi kesenian tradisional setempat.

Sorotan utama dari situs ini adalah temuan kerangka manusianya. Seluruh kerangka yang ditemukan berada dalam posisi kaki terlipat, layaknya bayi yang berada dalam kandungan. Beberapa dari kerangka itu juga menghadap ke posisi timur, ke arah matahari terbit yang merepresentasikan kelahiran kembali.

Di situs Ujung Karang bahkan ditemukan kerangka dengan tempayan yang diprediksi berfungsi sebagai bekal kubur, terletak disamping dan di atas dada kerangka. Semua sistem penguburan purbakala itu mengindikasikan bagaimana masyarakat purba yang mendiami daerah ini telah mengenal religi atau kepercayaan akan kehidupan setelah kematian, bahkan sejak masa itu.

Terdapat banyak dongeng dan kisah mengenai asal muasal orang Gayo yang masih harus dibuktikan kebenarannya. Namun, berdasarkan tes DNA beberapa tahun yang lalu, kerangka manusia purbakala di Loyang Mendale memang memiliki kedekatan hubungan genetik dengan orang Gayo saat ini. Fakta itu menunjukkan bahwa manusia kuno yang mendiami sekitaran Danau Lut Tawar sejak 8,500 tahun yang lalu, berkembang dan berketurunan menjadi masyarakat Gayo yang kita kenal hari ini. Menempatkan masyarakat Gayo sebagai salah satu suku tertua di Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

‘Air terjun Pelangi’ – julukan bagi air terjun yang merupakan salah satu air terjun tertinggi di Provinsi Aceh ini. Air terjun dengan ketinggian 50 meter ini memancarkan keindahannya dengan pelangi yang mendampingi kala matahari bersinar terang. Air terjun ini terletak di Desa Tansaran Bidin, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah. Dengan keasrian pesona alamnya, Tansaran Bidin sangat cocok bagi Anda yang menyukai petualangan dan hiking.

Berjarak kurang lebih 35 km dari pusat kota Kabupaten Bener Meriah, dibutuhkan waktu perjalanan sekitar 1 jam menuju lokasi air terjun ini. Anda akan melewati perdesaan dan perkebunan kopi, sebelum melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 90 menit menyusuri hutan. Jalan setapak yang sedikit menanjak, curam dan terjal menjadi tantangan tersendiri yang harus dilalui untuk dapat menikmati keindahan air terjun ini.

Sepanjang perjalanan menelusuri hutan, Anda akan dimanjakan dengan pemandangan bunga-bunga hutan yang tumbuh liar beserta aliran sungai kecil. Sesampainya di air terjun rasa lelah mendaki dan menelusuri hutan akan berganti menjadi kekaguman menyaksikan pancuran air yang keluar dari tebing-tebing tinggi. Di lokasi air terjun, percikan air yang membasahi tanah menjadikannya lembab dan licin, sehingga Anda perlu extra berhati-hati selama berada disana.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : Adipati Dolken