Sajian telur yang ini dimasak di atas daun pisang tanpa menggunakan air atau minyak, dan cukup dengan tambahan garam, bawang merah, dan cabai sesuai selera. Umumnya, telur yang digunakan adalah telur bebek, tetapi banyak juga yang menggunakan telur ayam. Tenaruh dedah merupakan sajian omelette khas Gayo yang pas untuk santapan pagi Anda.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Belacan depik merupakan salah satu dari banyak masakan di Tanoh Gayo yang dihasilkan dari ikan depik. Belacan merupakan fermentasi dari ikan depik dan nangka rebus, dan biasa digunakan sebagai campuran untuk sambal. Sekilas, belacan akan mirip dengan sajian terasi biasa, namun ikan depik yang merupakan ikan air tawar membuat belacan tidak menghasilkan rasa amis seperti terasi pada umumnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Masakan berkuah yang rasanya akan mengingatkan kita dengan tom-yam Thailand ini berbahan dasar ikan air tawar, seperti mujahir yang hidup di Danau Lut Tawar, yang dimasak dengan bawang merah, bawang putih, kunyit, cabai, andaliman dan air secukupnya.

Masam jing dimasak dengan api kecil, membuat bumbunya meresap ke ikan yang akan menghasilkan daging ikan yang lembut. Yang membuat masam jing Gayo berbeda dari masakan berkuah sejenisnya seperti asam padeh dari Padang, adalah daun gegarang yang memberinya rasa mint serta aroma yang sangat khas.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Mencegah Kepunahan Orangutan Sumatra

Sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, Taman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu spot wisata favorit bagi turis mancanegara dengan orangutan sumatra yang kerap menjadi daya tarik utamanya. Walau dulunya orangutan hidup di seluruh kawasan Asia Tenggara, kini orangutan hanya dapat dijumpai di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra. Dan untuk dapat menjumpai orangutan sumatra dari jarak dekat, Anda bisa berkunjung ke taman nasional yang berada di Tanoh Gayo ini.

Dengan usia yang bisa mencapai 40-50 tahun, orangutan sumatra hidup berdampingan dengan masyarakat yang mendiami kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Di Gayo Lues sendiri, orangutan sangat mudah untuk dijumpai. Dari Desa Kedah, hanya dengan sedikit trekking Anda sudah bisa bertemu orangutan liar di belantara rimba Gunung Leuser. Walau sering terlihat berkeliaran di sekitar pemukiman penduduk, orangutan sumatra umumnya adalah binatang yang pemalu, apalagi dengan manusia.

Orangutan sumatra memiliki postur yang lebih kecil dari kerabatnya di Pulau Kalimantan. Dengan bulu berwarna kemerahan, panjang tubuh orangutan dapat mencapai 1,25 hingga 1,5 meter, dengan berat yang berkisar antara 50-90 kg untuk jantan, dan 30-50 kg untuk betinanya. Orangutan jantan umumnya penyendiri, sedangkan orangutan betina sering dijumpai dalam kelompok bersama anak-anaknya.

Orangutan betina memiliki interval antar tiap kehamilan yang cukup lama, yaitu satu anak dalam setiap 8 tahun. Waktu kehamilan orangutan juga mirip dengan manusia, yaitu kurang lebih 9 bulan. Setelah lahir, anak orangutan akan diasuh oleh ibunya hingga usia sekitar 7 tahun, dan seorang anak orangutan akan memiliki ikatan yang sangat erat dengan ibunya.

Pada dasarnya, jumlah populasi orangutan sumatra jauh lebih sedikit dibandingkan orangutan Kalimantan, dan sayangnya, jumlah populasi orangutan sumatra ditakutkan akan terus berkurang kedepannya.

Terdapat estimasi bahwa orangutan sumatra akan menjadi salah satu spesies great apes pertama yang punah di alam liar. Mengapa? Banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan dan pemukiman, serta pembalakan liar semakin mengurangi habitat alami dari begitu banyak orangutan sumatra. Kebakaran hutan dan perburuan juga menjadi penyebab merosotnya populasi orangutan sumatra di alam liar.

Saat ini, terdapat banyak organisasi dari luar maupun dalam negeri yang berjuang untuk menyelamatkan orangutan sumatra dari ancaman kepunahan. Orangutan adalah hewan yang memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang hampir mirip dengan manusia, dengan kemiripan DNA yang mencapai 95%. Maka dari itu, sebagai kerabat terdekat dari spesies kita, kelangsungan hidup orangutan sumatra di alam liar adalah tanggung jawab kita bersama.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Mardiansyah BP

Tarian Kehormatan Sang Gajah Putih

Tari guel merupakan salah satu kesenian Gayo yang sering dijumpai di masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, dalam pernikahan maupun penyambutan tamu kehormatan. Tarian yang memiliki kesan magis ini memiliki kisah dan arti tersendiri dalam gerakan-gerakan di tiap babaknya yang terdiri dari munatap, redep, ketibung, hingga cincang nangka. Tiap babak tersebut adalah cerminan dari legenda yang melahirkan tari guel. Sebuah legenda tentang sosok Gajah Putih yang konon hidup di Dataran Tinggi Gayo.

Cerita awal mula tari guel atau legenda Gajah Putih, dimulai dari kakak beradik Bener Meriah dan Sengeda, anak-anak dari Raja Linge dengan Putri Malaka. Setelah kematian Bener Meriah, Sengeda bermimpi akan mendiang abangnya yang telah menjelma menjadi seekor gajah putih.

Suatu hari, Sengeda pergi bersama rombongan dalam kunjungan kerajaan ke kraton Aceh Darussalam. Disana, ia melukis sosok Gajah Putih yang muncul di mimpinya, dimana seorang Putri Aceh melihatnya dan begitu tertarik dengan sosok Gajah Putih dalam lukisan itu. Setelah mendengar cerita putrinya, Sultan Aceh segera mengadakan sayembara untuk menemukan dan membawa sang gajah ke hadapannya di kraton Aceh Darussalam.

Gajah Putih adalah binatang liar dan istimewa yang sulit untuk ditaklukkan. Tidak ada yang bisa menjinakkannya selain Sengeda, berkat mimpinya akan Bener Meriah. Sengeda memerintahkan orang-orang untuk membunyikan berbagai alat musik, dimana kata guel, yang berarti ‘membunyikan’ konon berasal. Setelah itu Sengeda mulai menari mengikuti irama lewat gerakan-gerakan yang menyimbolkan alam sekitarnya.

Sengeda melompat-lompat dan mengibaskan kainnya bagaikan burung mengepakkan sayapnya. Sengeda lalu melingkarkan tangannya dengan lembut dan elegan, seolah belalai gajah yang ingin mengambil kepercayaan sang Gajah Putih, membujuknya untuk dapat ikut bersamanya demi memenuhi perintah sang Sultan.

Walau legenda seputar tari guel memiliki banyak versi, ceritanya selalu melibatkan Gajah Putih dan Sengeda yang disimbolkan sebagai dua penari laki-laki utama dalam tari guel. Penari yang bertindak sebagai Gajah Putih akan duduk terdiam di tengah panggung dengan kostum Kerawang Gayo yang didominasi warna putih. Kemudian penari yang bertindak sebagai Sengeda, akan menari dengan santun dan khidmat sebagai upaya menjinakkan sang gajah, menggiringnya untuk bergerak dan ikut menari bersamanya dalam satu kesatuan, menyimbolkan keberhasilan Sengeda dalam menaklukkan Gajah Putih.

Dalam banyak mitologi di Asia, gajah kerap menyimbolkan kebijaksanaan, kecerdasan, kelembutan serta kegagahan, dan tari guel memang menyiratkan semua nilai itu. Itulah alasan mengapa tarian ini biasa ditemukan dalam pesta pernikahan adat Gayo, sebagai doa dan harapan agar tiap pasangan dapat memegang nilai-nilai tersebut sebagai bekal dalam berumah tangga.

Ayunan bahu dan jari yang lembut, kaki yang tegas menghentak keras, serta kibasan kain Upuh Ulen-Ulen yang megah menjadi khas dari gerakan tari guel. Dengan diiringi alat musik tradisional Gayo seperti canang, gegedem, dan gong, tarian ini selalu memeriahkan acara adat di Tanoh Gayo dan menjadi pengingat akan kedekatan masyarakat Gayo dengan alamnya, lewat cerita Sengeda dan Gajah Putih.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Tanoh Gayo