Pos

Terbuat dari terubuk, kentang, sohun, petai, dan ebi, hidangan ini disebut sayur besan karena memang sayur ini merupakan sajian istimewa saat orang Betawi melakukan pernikahan, alias besanan. Ada filosofi menarik dibalik bentuk terubuk, yakni saat pucuk terubuk dibuka, maka akan terlihat kumpulan seperti telur ikan. Butiran yang terkumpul dalam satu wadah ini diibaratkan orang-orang yang bersatu secara rukun karena ikatan pernikahan.

Sayur besan diolah dari bumbu-bumbu sederhana seperti bawang merah dan putih, cabai, terasi, ebi, serta santan kelapa. Beberapa menu sayur besan juga dilengkapi dengan buncis atau kacang panjang, wortel, dan labu siam.

Artikel : Alisa Pratomo

Tarian Kehormatan Sang Gajah Putih

Tari guel merupakan salah satu kesenian Gayo yang sering dijumpai di masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, dalam pernikahan maupun penyambutan tamu kehormatan. Tarian yang memiliki kesan magis ini memiliki kisah dan arti tersendiri dalam gerakan-gerakan di tiap babaknya yang terdiri dari munatap, redep, ketibung, hingga cincang nangka. Tiap babak tersebut adalah cerminan dari legenda yang melahirkan tari guel. Sebuah legenda tentang sosok Gajah Putih yang konon hidup di Dataran Tinggi Gayo.

Cerita awal mula tari guel atau legenda Gajah Putih, dimulai dari kakak beradik Bener Meriah dan Sengeda, anak-anak dari Raja Linge dengan Putri Malaka. Setelah kematian Bener Meriah, Sengeda bermimpi akan mendiang abangnya yang telah menjelma menjadi seekor gajah putih.

Suatu hari, Sengeda pergi bersama rombongan dalam kunjungan kerajaan ke kraton Aceh Darussalam. Disana, ia melukis sosok Gajah Putih yang muncul di mimpinya, dimana seorang Putri Aceh melihatnya dan begitu tertarik dengan sosok Gajah Putih dalam lukisan itu. Setelah mendengar cerita putrinya, Sultan Aceh segera mengadakan sayembara untuk menemukan dan membawa sang gajah ke hadapannya di kraton Aceh Darussalam.

Gajah Putih adalah binatang liar dan istimewa yang sulit untuk ditaklukkan. Tidak ada yang bisa menjinakkannya selain Sengeda, berkat mimpinya akan Bener Meriah. Sengeda memerintahkan orang-orang untuk membunyikan berbagai alat musik, dimana kata guel, yang berarti ‘membunyikan’ konon berasal. Setelah itu Sengeda mulai menari mengikuti irama lewat gerakan-gerakan yang menyimbolkan alam sekitarnya.

Sengeda melompat-lompat dan mengibaskan kainnya bagaikan burung mengepakkan sayapnya. Sengeda lalu melingkarkan tangannya dengan lembut dan elegan, seolah belalai gajah yang ingin mengambil kepercayaan sang Gajah Putih, membujuknya untuk dapat ikut bersamanya demi memenuhi perintah sang Sultan.

Walau legenda seputar tari guel memiliki banyak versi, ceritanya selalu melibatkan Gajah Putih dan Sengeda yang disimbolkan sebagai dua penari laki-laki utama dalam tari guel. Penari yang bertindak sebagai Gajah Putih akan duduk terdiam di tengah panggung dengan kostum Kerawang Gayo yang didominasi warna putih. Kemudian penari yang bertindak sebagai Sengeda, akan menari dengan santun dan khidmat sebagai upaya menjinakkan sang gajah, menggiringnya untuk bergerak dan ikut menari bersamanya dalam satu kesatuan, menyimbolkan keberhasilan Sengeda dalam menaklukkan Gajah Putih.

Dalam banyak mitologi di Asia, gajah kerap menyimbolkan kebijaksanaan, kecerdasan, kelembutan serta kegagahan, dan tari guel memang menyiratkan semua nilai itu. Itulah alasan mengapa tarian ini biasa ditemukan dalam pesta pernikahan adat Gayo, sebagai doa dan harapan agar tiap pasangan dapat memegang nilai-nilai tersebut sebagai bekal dalam berumah tangga.

Ayunan bahu dan jari yang lembut, kaki yang tegas menghentak keras, serta kibasan kain Upuh Ulen-Ulen yang megah menjadi khas dari gerakan tari guel. Dengan diiringi alat musik tradisional Gayo seperti canang, gegedem, dan gong, tarian ini selalu memeriahkan acara adat di Tanoh Gayo dan menjadi pengingat akan kedekatan masyarakat Gayo dengan alamnya, lewat cerita Sengeda dan Gajah Putih.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Tanoh Gayo