Pos

Belum cukup dengan Tanjung Bira, Travelers bisa menikmati pesona ke­­­indahan Pantai Apparallang yang mengagumkan. Terletak di Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Appa dan rallang dalam bahasa Konjo memiliki arti ‘ujung yang curam’. Tebing kokoh yang memanjang sukses memberikan sudut pandang lain melihat pantai. Tiket masuk ke Apparalang yaitu Rp 10.000 per orang. Pantai ini berjarak sekitar 200 km dari Makassar dan sekitar 40 km dari Kabupaten Bulukumba.

Suara deburan ombak yang menghantam batu karang, gradasi warna, tebing terjal mengundang decak kagum para pengunjung yang bisa menyaksikannya dari dekat. Pantai Apparallang memang tidak bisa dihampiri dengan berjalan kaki sambil bermain ombak.

Apparallang

Pihak pengelola setempat telah menyediakan tangga kayu setinggi 7 m serta anjungan untuk memudahkan pengunjung melihat laut lebih dekat dengan fasilitas yang tetap aman. Sayangnya, beberapa sampah plastik bekas botol minuman terlihat di anjungan kayu. Jika Travelers berkunjung ke tempat ini sebaiknya menyimpan sampah masing-masing sampai menemukan tempat sampah agar kelestariannya tetap terjaga.

Pengunjung yang menguji adrenalin dengan melakukan cliff jumping dari atas tebing menjadi tontonan yang mendebarkan. Atraksi melompat dari atas tebing seakan melepaskan kepenatan lalu disambut dengan suara tubuh yang menghantam air laut yang menyegarkan. Tidak jarang para cliff jumper ini ketagihan untuk melompat lebih dari sekali.

Travelers diperbolehkan untuk berenang jika ombak sedang tenang. Kejernihan perairan di Apparallang sudah pasti menyita perhatian pengunjung yang ingin sekadar bermain air. Tetapi Travelers harus tetap waspada akan ombak yang tinggi dan gugusan karang yang tajam. Akan lebih aman jika Travelers tidak berenang seorang diri.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : Ayub Ardiyono

  • Dusun Kadien, Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, Ara, Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan

  • Hubungi

    0811-4605-987

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 07.00 – 17.00 WITA


Dari atas dermaga Pulau Liukang Loe, Travelers bisa melihat dengan jelas ikan serma dan terumbu karang dalam kejernihan air. Pulau Liukang Loe yang bisa dicapai dari Tanjung Bira ini merupakan arena bermain bagi anak-anak saat air sedang surut. Menangkap ikan dengan menggunakan jaring menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh anak-anak yang mendiami sekitar Pulau Liukang Loe ini.

Cara memukulkan air dengan kayu dari berbagai arah mampu menggiring ikan-ikan malalea dan bonga masuk ke dalam jaring yang dibentangkan. Kejernihan air di Pulau Liukang Loe ini pun menarik minat para Travelers untuk segera loncat dan snorkeling.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy

  • Bira, Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan 92571

  • Hubungi

    0822-9126-2332

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 07.00 – 18.00 WITA


Pantai yang satu ini terletak sedikit jauh dari pemukiman, maka dari itu tidak heran apabila tempatnya masih terbilang sepi. Travelers bisa memanfaatkan ketenangan pantai untuk melakukan olahraga pagi seperti lari maupun yoga ditemani suara riuh pohon kelapa. Pesona di malam hari pun tidak kalah menarik di Kaluku, di mana Travelers dapat menyaksikan taburan bintang di langit malam dengan mata telanjang.

Apabila berkunjung, Travelers bisa memilih penginapan yang menghadap ke timur agar bisa menikmati matahari terbit saat pagi hari. Tidak jauh dari penginapan, Travelers juga dapat berjalan kaki untuk mengunjungi proses pembuatan kapal pinisi yang menjadi ciri khas Bulukumba.

Sebagian besar pengunjung datang ke kawasan Bulukumba untuk island hopping, snorkeling maupun diving. Tetapi ada juga yang berkunjung untuk rehat sejenak sambil mengagumi karunia sang pencipta di Bulukumba.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy

Kaluku


Wahyu dalam Mahakarya

Di abad ke-17, atas perintah dari Sultan Iskandar Muda dari Aceh, tiga ulama Minangkabau dari Sumatera Barat datang ke Sulawesi Selatan dengan tujuan utama yaitu menyelesaikan berbagai masalah ketidakselarasan antara syariat Islam dan hukum adat yang telah dianut oleh masyarakat lokal secara turun-temurun. Diyakini sebagai peletak batu pertama ajaran Islam di Sulawesi Selatan, mereka adalah Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk ri Tiro.

Berkat ajaran ketiga ulama tersebut, Kesultanan Gowa-Tallo kemudian memeluk Islam dan menjadikannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1607. Oleh karena itu, pada periode ini pula, kesultanan kerap berfungsi sebagai pemecah masalah ketika terjadi ketidakcocokan antara adat dan syariat.

Bermulai dari sini, Islam akhirnya menjadi agama dominan di Sulawesi Selatan dan memiliki elemen penting dalam peradaban masyarakat. Berikut ini adalah tiga masjid dengan kekayaan nilai sejarah, keindahan arsitektur, dan tentunya nilai religi, yang dapat Travelers kunjungi di Kota Anging Mamiri.

Masjid Raya Makassar

Pertama kali dirancang oleh arsitek Muhammad Soebardjo, Masjid Raya Makassar dibangun pada tahun 1948 dengan dana awal pembangunan Rp60.000 yang diprakarsai oleh K. H. Ahmad Bone, seorang ulama asal Kabupaten Bone.

Setelah diresmikan dua tahun kemudian, konon Masjid Raya Makassar sempat menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara saat itu. Bagaimana tidak? Bangunan induknya saja dapat menampung hingga 10.000 jemaah dan jika digabung dengan halaman masjid dapat mencapai 50.000 jemaah.

Selain sebagai salah satu masjid termegah di kawasan Indonesia Timur, Masjid Raya Makassar yang berada di Kecamatan Bontoala merupakan saksi bisu sejarah bagi masyarakat Makassar yang pada masa penjajahan selalu dipecah belah menjadi berbagai golongan, aliran, dan organisasi agar tidak bersatu menghimpun kekuatan.

Usaha untuk membangun masjid besar yang bisa menampung ribuan jemaah pun selalu dihalang-halangi. Kekhawatiran penjajah kala itu memang terbukti. Setelah masjid ini mulai digunakan pada Agustus 1949, masyarakat Makassar yang sebelumnya tercerai-berai di sejumlah masjid-masjid kecil, mulai berkumpul di Masjid Raya Makassar hingga sentralisasi kekuatan pun terbentuk.

Kehadiran Masjid ini juga dianggap sebagai bagian dari sejarah yang membanggakan masyarakat Makassar karena telah menjadi tuan rumah perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) pertama di Indonesia pada tahun pada 1955 silam.

Setelah puluhan tahun berlalu, bangunan awal masjid pun tak kuat menahan usia dan akhirnya harus mengalami sejumlah renovasi, dan Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia pada saat itu, menjadi penyumbang dana terbesar dalam proses pemugaran yang berlangsung dari tahun 1999 hingga tahun 2009.

Sekarang masjid dua lantai ini memiliki dua menara yang masing-masing memiliki tinggi 47 m (menara lama) dan 66,66 m (menara baru) yang melambangkan jumlah ayat dalam kitab suci Alquran, serta memiliki fasilitas berupa perpustakaan dan kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan. Daya tarik lainnya adalah masjid ini memiliki Alquran raksasa yang diletakan pada lantai dua masjid dan memiliki ukuran 1 m x 1,5 m dengan berat 584 kg.


Masjid 99 Kubah

masjid 99 kubah

Sesuai namanya, masjid yang berdiri tak jauh dari Pantai Losari ini memiliki puluhan kubah dengan ukuran beragam yang berbaris mengelilingi kubah utama berdiameter terbesar yang berada di tengah. Corak warna merah, jingga dan kuning membentuk pola yang cantik, terlebih jika dilihat dari atas.

Bagian eksterior kubah masjid pun amat menarik perhatian, terlebih lagi ketika ratusan lampu ditembakkan ke arah kubah saat malam hari tiba atau ketika hari mulai senja, rona jingga berpadu dengan warna dari masjid ini menambah kemolekan dan kemegahan masjid ini.

Masjid yang dibangun pada tahun 2017 ini adalah karya dari Ridwan Kamil yang juga Gubernur Jawa Barat. Pesona Masjid 99 Kubah ini pun didasari ide 99 nama-nama Allah (Asmaul Husna). Asmaul Husna sendiri berarti nama baik, agung dan mulia, yang dalam agama Islam terasosiasikan sebagai atribut ketuhanan.

Walaupun belum selesai dibangun, Masjid Kubah 99 diproyeksi dapat menampung hingga 10.000 jemaah dan akan dilengkapi dengan pelataran layaknya Masjidil Haram di Mekah. Selain itu, akan ada juga atraksi air mancur di depan masjid yang dapat dinikmati selama 30 menit selepas Magrib.

Perpaduan dari desain masjid yang unik serta pemandangan Pantai Losari yang memesona telah mencuri perhatian wisatawan dan menjadikan Masjid 99 Kubah sebagai ikon wisata baru di Kota Makassar.


Masjid Apung

masjid terapung

Masjid yang dibangun pada tahun 2009 ini bernama resmi Masjid Amirul Mukminin, namun masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan sebutan Masjid Terapung atau Masjid Apung. Masjid ini terletak 1 km dari anjungan Pantai Losari dan memiliki bentuk menyerupai rumah panggung, rumah tradisional Makassar-Bugis.

Masjid ini sendiri memiliki 3 lantai, lantai pertama digunakan untuk jemaah pria, lantai kedua disediakan untuk jemaah wanita, sedangkan lantai yang berada di bawah kubahnya dapat Travelers gunakan untuk menikmati pemandangan, terutama pada saat matahari terbenam di Pantai Losari.

Berdiri di atas laut dengan ukuran luas 1.683 m persegi, Masjid Amirul Mukminin ditopang oleh 164 tiang pancang, dan mampu menampung sebanyak 500 jemaah. Pilihan desain arsitektur kontemporer dengan warna putih dan abu-abu yang mendominasi hampir keseluruhan bangunan masjid, serta dua buah kubah dengan mozaik bergradasi biru, menjadikan masjid ini terlihat kian memesona, sehingga tak heran apabila kini Masjid Amirul Mukminin telah menjadi salah satu ikon Kota Makassar.

masjid agung syekh yusuf gowa

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy, Rezki Sugiharto

  • Catatan
    • Masih banyak masjid-masjid lain di Makassar dan sekitarnya dengan nilai sejarah dan pancaran keindahan arsitektur, seperti Masjid Agung Syekh Yusuf di Kabupaten Gowa.
    • Dengan 1.5 juta jiwa menyebut Makassar sebagai rumah dan mayoritasnya memeluk agama Islam, maka tak heran jika wisata religi bernuansa Islami menjadi salah satu aktivitas yang digemari oleh mereka yang berkunjung ke ibu kota Sulawesi Selatan ini. Selain sebagai tempat ibadah umat Muslim, masjid-masjid di Makassar juga menjadi ikon destinasi wisata religi.

    • Lokasi : Jl. Somba Opu, Maloku, Kec. Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) 24 jam
    • Lokasi : Jl. Mesjid Raya, Sungguminasa, Kec. Somba Opu, kab. Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 09.00 – 20.00 WITA

Penyu Pertahanan dan Pelestarian

Bila dilihat dari atas, bentuk bangunan yang berusia ratusan tahun ini memang tampak seperti seekor penyu raksasa. Penyu yang terbuat dari batu ini akan terlihat bagai penyu yang seolah merangkak dengan pasti menuju samudra yang siap diarungi, atau penyu yang selalu waspada akan ancaman yang datang dari Selat Makassar di hadapannya.

Penyu raksasa yang berdiri di pesisir Kota Makassar ini memang dibangun berdasarkan filosofi seekor penyu yang melambangkan kekuatan darat dan laut, sebagai keunggulan Kerajaan Gowa – Tallo yang mendirikannya.

Bangunan ini dulunya bernama Benteng Jumpandang atau Ujungpandang. Dibangun sekitar tahun 1545 dengan bahan dasar sederhana seperti batu dan tanah liat. Namun, seiring berjalannya zaman bangunan benteng diperkuat lagi dengan batu padas hitam dari pegunungan karst yang ada di sekitar Makassar.

Benteng yang juga dikenal masyarakat dengan nama Benteng Panyua atau ‘penyu’ ini merupakan salah satu dari 17 benteng yang Kerajaan Gowa – Tallo (atau nantinya lebih dikenal sebagai Kesultanan Makassar) dirikan, sebagai garnisun utama salah satu kekuatan politik dan militer Nusantara terbesar pada zamannya. Akan tetapi, Kesultanan Makassar mendapat tentangan dari Belanda lewat VOC yang memaksakan agenda monopoli rempah mereka.

Di pertengahan abad ke-17, VOC melakukan sejumlah penyerangan terhadap Makassar yang terus bertahan dengan benteng-bentengnya. Namun Perang Makassar berakhir lewat Perjanjian Bungaya di tahun 1667, yang salah satu pasalnya mengharuskan Makassar untuk menyerahkan Benteng Jumpandang ke tangan VOC.

Di bawah Cornelis Speelman, gubernur jenderal VOC pada masa itu, Benteng Jumpandang yang mengalami kerusakan akibat Perang Makassar diperbaiki dan dimodifikasi dengan style arsitektur Belanda. Namanya pun dirubah menjadi Fort Rotterdam, berdasarkan kota kelahiran sang gubernur jenderal. Untuk ratusan tahun setelahnya, Fort Rotterdam menjadi salah satu titik penting dalam kekuasaan Belanda di Nusantara, terutama di Sulawesi atau Hindia-Belanda bagian timur.

Dengan areal kompleks seluas 2,5 ha dan 16 bangunan yang ada di dalamnya, otomatis Fort Rotterdam difungsikan sebagai pusat pemerintahan VOC yang baru. Fort Rotterdam menjadi gudang penyimpanan berbagai kargo dan komoditas berharga milik Hindia-Belanda yang singgah di Makassar.

Pertahanan Fort Rotterdam saat itu juga semakin diperkokoh dengan 5 bastion utamanya yang masih berdiri hingga saat ini: Bastion Bone, Bacan, Buton, Mandarsyah, dan Amboina. Sebagai basis militer, Fort Rotterdam juga berfungsi sebagai penjara. Bahkan Pangeran Diponegoro sempat menjadi salah satu tawanan di tempat ini di waktu pengasingannya.

Di tahun 1938, pemerintah Hindia-Belanda membentuk Celebes Museum di salah satu bangunan di area Fort Rotterdam. Museum ini menampung berbagai relik dan artefak yang ditemui di seluruh Sulawesi Selatan, seperti mata uang kuno, naskah-naskah Lontara, keramik dan gerabah, dan lain sebagainya.

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1970 museum ini diresmikan dan berganti nama menjadi Museum La Galigo. Banyak pihak juga turut berkontribusi untuk memperkaya koleksi dari museum, sehingga saat ini museum ini menampung begitu banyak informasi seputar kehidupan masyarakat di seluruh Provinsi Sulawesi Selatan, mulai dari temuan arkeologi prasejarah, koleksi kerajinan dan kebudayaan tradisional, kearifan lokal, hingga sejarah kerajaan-kerajaan setempat.

Areal Fort Rotterdam dan Museum I La Galigo menjadi salah satu tujuan wisata terfavorit di Makassar saat ini. Selain karena nilai historisnya yang tinggi, tempat ini amat mudah untuk dijangkau karena letaknya yang dekat dengan pusat kota. Walau kian berganti nama dan bentuk, atau berpindah tangan kepemilikan, sang penyu bercangkang batu padas ini tetap kokoh berdiri selama ratusan tahun sebagai saksi sejarah Kota Makassar, dengan cerita-cerita seputar salah satu daerah yang paling signifikan dalam lintas sejarah Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

  • No.Road, Jl. Ujung Pandang, Bulo Gading, Kec. Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90171

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 09.00 – 18.00 WITA

  • Hubungi

    (0411) 362 1701, 362 1702

  • Email

    kebudayaan@kemdikbud.go.id

  • www.kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/