Pos

Berada di jantung Kota Jogja, Jalan Malioboro selalu menjadi penting bagi penduduk Kota Jogja dengan sejarahnya yang panjang, mulai dari zaman penjajahan hingga kemerdekaan. Jalan ini mulai ramai semenjak didirikannya Benteng Vredeburg di bagian selatan jalan pada tahun 1790, yang sekitarnya kemudian berkembang menjadi kawasan komersial yang ramai dengan orang Belanda dan Tionghoa. Berdirinya Stasiun Tugu Yogya di tahun 1887 kian menambah ramainya jalan ini, membuat nama Malioboro semakin dikenal khalayak ramai.

Saat ini Malioboro dipenuhi banyak monumen dan bangunan penting dari Kota Jogja seperti bangunan bersejarah serta kantor-kantor pemerintahan. Di jalan utamanya, Malioboro memiliki jalan besar untuk pejalan kaki yang ramai dengan pedagang kaki lima.

Cindera mata, jajanan pasar, hingga kerajinan khas Jogja seperti batik dapat Anda temui disini. Bagi Anda yang gemar belanja, pastikan Anda mengunjungi Jalan Malioboro dan merasakan kemeriahannya secara langsung.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Awalnya, benteng ini dibangun tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan kondisi yang amat sederhana. Bangunan ini kemudian berubah fungsi, bentuk, dan kepemilikan untuk tahun-tahun seterusnya, namun tetap menjadi saksi bisu akan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia.

Meski fungsi utamanya sebagai benteng pertahanan dan tempat pasukan Belanda mengawasi Keraton, Vredeburg sendiri bermakna ‘perdamaian‘, sebagai representasi satu masa ketika Belanda dan Kesultanan Yogyakarta tidak saling menyerang.

Kini benteng yang difungsikan sebagai museum ini menyimpan cerita sejarah perjuangan Republik Indonesia, terutama yang terjadi di sekitar Yogyakarta. Mulai dari Perang Diponegoro, kongres pertama Budi Utomo, hingga peran Sultan Hamengkubuwono IX dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, semua terhantarkan baik lewat diorama-diorama di museum ini.

Sebagai tempat yang menumbuhkan semangat juang dan kemerdekaan Indonesia, Museum Benteng Vredeburg juga dilengkapi dengan wahana interaktif, perpustakaan, dan ruang audio visual yang memutar film perjuangan.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly & George Timothy