Sewu artinya ‘seribu’, dan Candi Sewu memang sering dikaitan dengan legenda Rara Jonggrang dan 1000 candinya. Candi yang berada dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan ini merupakan candi dengan corak Buddha yang dibangun oleh dinasti Syailendra dari Kerajaan Medang.

Menurut prasasti, candi ini bernama asli Vajrasana Manjusrigrha dan dimaksudkan sebagai tempat untuk memuliakan salah seorang boddhisatwa dalam agama Buddha yaitu Manjusri. Kompleks Candi Sewu memiliki desain yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala Vajradhatu.

Kompleks Candi Sewu terdiri dari satu candi utama yang dikelilingi dengan 240 candi perwara dan 8 candi apit. Candi utama yang bermahkotakan stupa ini dulunya menampung arca besar dari sang boddhisatwa Manjusri dengan tinggi sekitar 4 meter.

Sayangnya, patung yang diyakini terbuat dari perunggu ini sekarang hilang dan tidak diketahui keberadaannya. Candi Sewu cukup dikenal dengan sepasang patung besar yang menjaga tiap pintu masuknya. Patung besar ini dikenal sebagai wujud Dwarapala, sang raksasa penjaga pintu masuk yang bersenjatakan gada.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly

Candi Buddha dengan arsitektur bergaya Hindu ini terletak di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dan berjarak tidak jauh dari Candi Prambanan. Dibangun antara tahun 830 – 850 M oleh Rakai Pikatan, raja Medang beragama Hindu yang juga membangun Candi Prambanan.

Tujuan pembangunan Candi Plaosan adalah sebagai hadiah untuk Pramodhawardhani, sang permaisuri yang beragama Buddha. Hal ini menjadikan Candi Plaosan sebagai bentuk tanda cinta dan simbol penyatu perbedaan beragama, membuatnya sering dijuluki sebagai candi yang paling romantis. Lokasinya yang berada di tengah area persawahan juga menambah kecantikan dan romantisme dari tempat ini.

Candi Plaosan memiliki dua gugus candi, Plaosan Lor (utara) dan Plaosan Kidul (selatan) yang terpisahkan oleh jalan. Gugus Plaosan Lor memilki dua candi kembar, dengan relief laki-laki di candi yang satu, dan relief perempuan di candi lainnya. Kedua candi ini dikelilingi oleh sejumlah stupa dan candi perwara yang belum sepenuhnya direstorasi.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly

Situs Arkeologi Ratu Boko atau Ratu Baka merupakan kompleks candi yang terhampar seluas 25 ha dan terdiri dari sejumlah bangunan. Situs ini dibangun oleh Rakai Panangkaran di abad ke-8 sebagai tempat beribadah umat Buddha dengan nama Abhayagiri Wihara yang berarti ‘wihara di atas bukit yang damai’.

Lokasinya memang terletak di atas bukit dengan ketinggian 196 mdpl, menampakkan pemandangan elok kota Jogja dari ketinggian. Candi Prambanan dengan latar Gunung Merapi juga dapat terlihat di salah satu sisi dari situs ini.

Setelah abad ke-8, Hindu kembali menjadi agama utama di Kerajaan Medang yang berkuasa pada saat itu dan situs Ratu Boko mulai dipergunakan sebagai keraton atau kediaman raja, menjadi alasan mengapa tempat ini mengandung elemen dari agama Hindu maupun Buddha.

Anda dapat berkeliling di area candi yang luas. Membayangkan kehidupan masyarakat Kerajaan Medang di zaman terdahulu lewat reruntuhan beberapa bangunan di situs ini yang masih tersisa seperti Candi Pembakaran, Candi Batukapur, Paseban, Pendopo, Keputren dan bekas kolam pemandian.

Di dalam kawasan candi juga terdapat gua yang diperkirakan berfungsi untuk tempat meditasi. Namun yang paling menarik dari tempat ini adalah gerbang paduraksa yang ikonik dengan 3 pintunya. Kunjungan Anda di Ratu Boko dapat diakhiri dengan bersantai sore di bagian taman yang luas sambil menunggu terbenamnya matahari.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly & Ibna Alfattah

Identitas yang Hampir Terlupakan

Saat ini siapa yang tak mengenal Candi Borobudur dan Candi Prambanan? Dua primadona pariwisata Indonesia yang menarik jutaan pengunjung setiap tahunnya. Tapi ketika Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur asal Inggris yang sedang berkuasa di Hindia awal abad ke-19 menemukannya, kedua monumen itu berada dalam kondisi hancur. Pada saat itu tidak ada yang tahu pasti untuk apa, bagaimana, dan oleh siapa pembangunannya, selain cerita-cerita penuh bumbu mistis dan takhayul yang masyarakat setempat kaitkan dengan keduanya.

Sejumlah penelitian yang dilakukan sejak penemuannya saat itu menunjukkan bahwa Candi Borobudur dan Candi Prambanan merupakan peninggalan kerajaan yang sama yaitu Kerajaan Medang atau Mataram Kuno. Kedua candi berdiri sebagai pusat perziarahan keagamaan pada masanya, meskipun kedua candi ini dibangun oleh dua wangsa atau dinasti dengan corak keagamaan yang berbeda.

Beberapa prasasti menceritakan bahwa Kerajaan Medang pernah berkuasa di ‘Bhumi Mataram’, wilayah yang sekarang menjadi Yogyakarta dan sekitarnya, pada abad ke-8 hingga abad ke-10. Kerajaan Medang adalah masyarakat agraris yang menganut kepercayaan Hindu dan Buddha, dengan pusat pemerintahan yang berpindah-pindah antara sekitaran Jogja dan Jawa Tengah seiring pergantian raja atau dinasti.

Akibat dari letusan besar Gunung Merapi pada abad ke-10, Kerajaan Medang memindahkan seluruh kerajaannya ke daerah Jawa Timur. Sejak itulah Candi Borobudur dan Candi Prambanan mulai ditinggalkan dan dilupakan, terlelap dalam pergerakan zaman.

Candi Borobudur yang menjulang setinggi 35 m dengan luas 2,500 m², berada di puncak bukit di Magelang, Jawa Tengah. Bhumi Sambhara Budhara yang bermakna ‘sepuluh tingkatan kebajikan bodhisatwa’ dalam bahasa Sansekerta, adalah nama yang dipercaya sebagai sebutan asli untuk candi ini.

Kuil Buddha terbesar di dunia ini dibangun oleh dinasti Syailendra dengan corak Buddha aliran Mahayana, sekitar tahun 780 hingga 840 M. Sesuai nama aslinya, desain Borobudur mengandung representasi ajaran Buddha dalam tiap aspek bangunannya.

1,460 panel relief yang terpahat di dinding candi menceritakan ajaran-ajaran Buddha seperti hukum karma maupun jataka (cerita kehidupan Buddha sebelum terlahir kembali sebagai Siddharta Gautama). Walau secara artistik bangunannya berkiblat pada style India Gupta, relief di Candi Borobudur menggambarkan berbagai elemen sosial masyarakat Jawa pada zamannya dengan cukup detail. Bagaikan sebuah album foto lama yang terbuat dari batu, para sejarawan sering merujuk kepada relief di Candi Borobudur dalam perbincangan soal kehidupan masyarakat Jawa atau bahkan Asia Tenggara di abad ke-8.

Salah satu filosofi yang menonjol dari Candi Borobudur ada pada sepuluh tingkatannya yang terbagi lagi dalam tiga zona. Bagian kaki Candi Borobudur menjadi zona pertama atau Kamadhatu yang melambangkan alam dunia dan kehidupan manusia.

Rupadhatu, galeri relief di bagian tengah candi, melambangkan kehidupan manusia yang sudah terlepas dari belenggu duniawi. Zona yang bagaikan mahkota di puncak candi memiliki tiga teras berbentuk lingkaran dengan 72 stupa kecil yang mengelilingi stupa utama tepat di pusat bangunan. Zona ketiga dan terakhir ini dikenal sebagai Arupadhatu yang melambangkan alam tertinggi atau nirwana.

Lain halnya dengan Candi Borobudur, Candi Prambanan dibangun oleh dinasti Sanjaya yang menganut kepercayaan Hindu Siwa. Pembangunannya diprakarsai oleh raja Medang Mataram Rakai Pikatan sekitar tahun 850. Candi yang berada di Sleman, Yogyakarta ini dikenal warga setempat dengan sebutan Candi Rara Jonggrang, walaupun sebutan asli untuk candi ini adalah Siwagrha yang dalam bahasa Sansekerta bermakna ‘rumah Siwa’.

Keistimewaan dari Candi Prambanan adalah banyaknya jumlah candi yang berada di kompleks percandian ini. Secara keseluruhan terdapat 240 candi yang tersebar di tiga halaman yang memusat pada enam candi besarnya. Candi Prambanan merupakan persembahan untuk Trimurti atau tiga dewa utama dalam agama Hindu: Brahma sang pencipta, Wisnu sang pemelihara, dan Siwa sang pelebur.

Ketiga dewa direpresentasikan dengan candinya tersendiri yang berhadapan dengan candi wahana atau kendaraan ketiganya: Nandi, Garuda, dan Hamsa atau Angsa. Keenam candi yang berdiri di halaman utama juga ditemani oleh sepasang candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi patok. Di luar halaman utama, berbaris 224 buah candi perwara yang mengelilingi candi-candi utama. Sayangnya, sebagian besar dari candi perwara belum direstorasi dan masih berupa reruntuhan.

Siwa menjadi dewa utama di kompleks percandian ini dengan candinya yang berdiri setinggi 47 meter, menjadikannya candi tertinggi di Indonesia. Bentuknya yang menjulang menyimbolkan Mahameru, gunung suci tempat bersemayamnya para dewa dalam agama Hindu.

Relief di serambi Candi Siwa melukiskan bagian awal dari kisah Ramayana, yang berlanjut di relief yang ada di serambi Candi Brahma. Sedangkan relief pada Candi Wisnu, menggambarkan kisah titisan Dewa Wisnu di Bumi sebagai Krisna. Selain kecantikan arsitekturnya, keindahan Candi Prambanan juga terletak di detail sejumlah arca yang ditemukan di beberapa ruang candi.

Semenjak penemuannya di abad ke-19, Candi Borobudur dan Candi Prambanan telah melewati berbagai tahap restorasi hingga dapat berwujud seperti sekarang. Keduanya pun telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Namun sebenarnya masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dari kedua candi tersebut, akibat kurangnya data sejarah dan hilangnya beberapa bagian dari kedua candi.

Sejarah selalu menjadi bagian dari identitas suatu bangsa. Seperti Taj Mahal yang melekat dengan India maupun Tiongkok dengan Tembok Besar-nya, Candi Borobudur dan Candi Prambanan telah menjadi aset yang menunjukkan kebesaran Nusantara.

Terabaikannya dua mahakarya ini selama ratusan tahun sempat menghambat kita untuk mempelajari identitas nenek moyang dan diri kita sendiri sebagai suatu bangsa.Tanah air selalu kaya akan nilai spiritual dengan berbagai kepercayaan, dan dua megastruktur kuno yang dulu berada dalam satu kerajaan ini mengingatkan kita akan nilai persatuan, keharmonisan dan toleransi beragama yang dijunjung nenek moyang kita dalam bernegara. Agar nilai-nilai luhur tersebut tidak terputus, mungkin saatnya kita benar-benar mendengarkan amanah Presiden Soekarno: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly & Adipati Dolken

Menapak Jejak Para Sultan

Selama berabad-abad, berbagai kerajaan dan dinasti silih berganti berkuasa atas Nusantara. Nama dari banyak kerajaan tumbuh besar, sebelum akhirnya memudar. Semua dengan pahlawan dan cerita kejayaannya tersendiri.

Dengan bahasa dan adat yang mungkin serupa, namun tak sama. Di antara semua, nama Kesultanan Yogyakarta menjadi salah satu yang sering menonjol dalam topik mengenai kerajaan-kerajaan di Nusantara. Bukan karena wilayah pemerintahannya yang besar, maupun armada lautnya yang menaklukkan pulau seberang.

Meskipun tergolong berwilayah kecil, Kesultanan Yogyakarta menjadi spesial karena pemerintahannya yang masih bertahan sebagai kerajaan. Di tengah pemerintahan Republik Indonesia, 73 tahun setelah seluruh daerah yang merupakan eks dari berbagai wilayah kerajaan yang berbeda-beda, berjalan berdampingan sebagai satu negara.

Pulau Jawa nan subur telah menyaksikan tumbuh kembangnya puluhan kerajaan. Di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah sendiri, pernah berdiri kerajaan besar seperti Kerajaan Mataram Kuno yang menganut kepercayaan Hindu-Buddha, hingga Kesultanan Mataram yang bernafaskan Islam pada abad ke-17.

Kesultanan Mataram menelurkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah Nusantara, seperti Sultan Agung Hanyokrokusumo yang membawa Kesultanan Mataram menuju puncak kejayaan yang merangkul hampir seluruh Pulau Jawa dalam kerajaannya.

Kesultanan Mataram juga melewati beberapa perubahan dalam sistem pemerintahnnya. Ibukotanya berpindah-pindah dari Kotagede dan Pleret, yang keduanya kini berada di dalam administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga ke Solo yang ada di Provinsi Jawa Tengah.

Perpindahan tersebut dipicu oleh banyak hal. Mulai dari pemberontakan rakyat hingga perseteruan dengan VOC yang cengkramannya atas Nusantara semakin kuat pada saat itu. Keributan yang tak kunjung habis dengan VOC, menghasilkan suatu kesepakatan politik yang dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti.

Kesepakatan bertanggal 13 Februari 1755 ini membagi kerajaan di Mataram menjadi dua yaitu, Keraton Surakarta yang berpusat di Solo untuk Sunan Pakubuwana III, dan Keraton Yogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi yang kemudian dikenal dengan nama Sultan Hamengkubuwana I. Semenjak itulah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri di pesisir selatan Pulau Jawa.

Sultan Hamengkubuwana I mendirikan pusat kerajaannya di tengah hutan yang berada di antara Sungai Code dan Sungai Winanga. Pada tahun 1756 istana Keraton Yogyakarta dibangun, dan masih bertahan sebagai rumah para sultan dan keturunannya hingga saat ini.

Kawasan Keraton Yogyakarta terhampar seluas 14,000 m2 dan terdiri dari berbagai bangunan, halaman, dan lapangan. Kompleks inti dari keraton sendiri terdiri atas tujuh bagian yang tiap pelataran dan ruangannya memiliki nama serta fungsinya masing-masing. Pembangunannya dipimpin langsung oleh Hamengkubuwana I yang menanamkan berbagai falsafah Jawa dalam rancangan struktur dasar keraton yang sarat akan nilai keagamaan maupun kebudayaan.

Ketujuh bagian inti keraton dari yang paling utara dimulai dengan Pelataran Pagelaran yang berdekatan dengan Alun-alun Lor Kota Jogja. Halaman bersejarah Sitihinggil Lor, tempat acara-acara resmi kerajaan berlangsung seperti penobatan para raja, berada di pelataran ini.

Kompleks inti keraton berlanjut ke bagian Kamandhungan Lor di mana terdapat ruang sidang dan pos jaga para abdi dalem atau pegawai keraton, dan Pelataran Bangsal Sri Manganti yang digunakan untuk menyambut kedatangan tamu-tamu besar.

Bagian keempat dari inti keraton adalah pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta yang bernama Kedhaton atau Halaman Bangsal Kencana yang di dalamnya tersimpan singgasana dan berbagai pusaka utama kerajaan. Selain menjadi tempat para sultan dan keluarga menghabiskan kesehariannya, Bangsal Kencana juga menjadi tempat diselenggarakannya pernikahan agung dan sejumlah acara kerajaan lainnya.

Bagian kelima adalah Kemagangan, tempat diselenggarakan acara kebudayaan seperti pagelaran wayang kulit Bedhol Songsong, maupun persiapan upacara Sekaten oleh para abdi dalem. Kamandhungan Kidul menjadi bagian berikutnya, yang dilanjutkan dengan Sitihinggil Kidul, bagian inti keraton terakhir yang berada di ujung selatan dan berbatasan dengan Alun-alun Kidul atau selatan Kota Jogja.

Pemilihan bentuk, jumlah, dan warna dalam tiap elemen arsitektur maupun ornamen yang tersebar di Keraton juga mengandung falsafah hidup masyarakat Jawa. Lambang-lambang yang terpahat di atasnya menyimbolkan rencana, doa dan harapan bagi seluruh penghuni keraton, selain menjadi petunjuk kebajikan bagi Sang Sultan. Bahkan tiap pohon yang ditanam di dalamnya juga memiliki makna simbolis yang beragam, dengan amanahnya tersendiri.

Jika Anda berkunjung ke Keraton Jogja, Anda dapat membayangkan kehidupan para sultan, pangeran dan putri terdahulu lewat peninggalan mereka yang tersimpan di museum-museum dalam keraton. Pada saat-saat tertentu Anda juga dapat menyaksikan tarian khas Jawa yang diiringi megahnya alunan gamelan keraton.

Selain ketujuh bagian intinya, kawasan keraton juga meliputi objek wisata Tamansari yang juga dibangun oleh Hamengkubuwana I. Kompleks Tamansari dulunya berhiaskan taman dengan berbagai pohon bunga, dan berdiri di atas segaran atau danau buatan yang sekarang sudah menjadi pemukiman warga. Dengan kolam pemandian dan ruang-ruang peristirahatan, fungsi utama dari istana air Tamansari adalah sebagai pesanggrahan atau tempat rekreasi keluarga kerajaan.

Sebagai kesultanan, kawasan Keraton Jogja tidak lepas dari bangunan dengan nilai spiritual. Di area Tamansari terdapat Sumur Gumuling yang dulunya merupakan masjid dengan desain yang melingkar, serta Pulo Panembung yang berfungsi sebagai tempat semedi untuk sultan terdahulu.

Berbeda dengan keraton yang masih dipakai hingga saat ini, area Tamansari hanya dipergunakan sampai masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana II akibat serangan Inggris terhadap Kesultanan Jogja pada tahun 1812. Meski sebagian besar dari area yang tersisa hanya berupa reruntuhan, kemegahan dan kecantikan arsitektur Tamansari masih dapat dinikmati lewat gapura-gapura besar dan halaman kolamnya.

Seperti Kerajaan Mataram Kuno dengan Borobudur-nya, Kesultanan Yogyakarta telah meninggalkan berbagai monumen yang menjadi cagar budaya dan amat dijaga kelestariannya. Selain keraton dan Tamansari, situs-situs Kesultanan Jogja lainnya yang tersebar di sekitar Yogyakarta tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Seperti Panggung Krapyak, Pesanggrahan Warungboto, Masjid Gedhe Kauman, dan Benteng Baluwerti dengan plengkung-nya yang mengelilingi kompleks keraton.

Anda dapat berziarah ke Pasarean Imogiri, kompleks pemakaman raja-raja Mataram yang masih dipergunakan sejak masa Sultan Agung hingga saat ini. Anda juga dapat menambah variasi wisata sejarah Anda dengan mengunjungi Keraton Paku Alaman, keraton termuda di daerah ini yang dibangun untuk para raja Kadipaten Paku Alaman dengan sejarah dan pusakanya tersendiri.

Semenjak kemerdekaan Indonesia, Sultan masih bertakhta di atas Bumi Mataram. Kesultanan Yogyakarta bertahan menjadi daerah istimewa dengan sistem pemerintahan khusus setingkat provinsi. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana IX, kompleks Keraton Yogyakarta mulai dibuka untuk umum agar bisa dipelajari sebagai pusaka milik seluruh masyarakat Indonesia. Sejak itu, Keraton Jogja ramai didatangi pengunjung dari berbagai penjuru tanah air maupun mancanegara, dan menjadi kawasan penting yang menopang pariwisata dan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kompleksitas adat dan tradisi Jawa sangat tercermin dalam Keraton Jogja yang masih mempertahankan nilai budayanya. Bahkan di tengah arus globalisasi dan modernisme seperti sekarang, Kesultanan Yogyakarta terus melestarikan, mengembangkan, dan mengajarkan budaya Jawa lewat tiap bangunan maupun berbagai aktivitas di dalamnya.

Mengingat Majapahit, Sriwijaya, hingga Samudra Pasai, sebagian besar kerajaan masyhur yang pernah berjaya di Nusantara mungkin hanya menyisakan nama dan beberapa monumen peninggalan. Yang membuat Kesultanan Yogyakarta istimewa, adalah kemahsyurannya yang masih berlanjut hingga saat ini, sebagai kebanggaan dan bagian dari Indonesia.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly & Ibna Alfattah