Tutur Kisah dalam Gerak Tubuh

Manusia adalah makhluk yang berpegang pada kekuatan cerita. Nasihat, pesan moral maupun cerminan hidup tersampaikan lewat dongeng, legenda, dan cerita rakyat yang mengisi rentang hidup kita. Itulah mengapa elemen bercerita dapat kita temukan dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dalam kesenian asli Indonesia seperti kedua tari tradisional yang telah melekat dengan budaya Betawi berikut ini: tari topeng dan tari lenggang nyai.

Tari topeng Betawi dan tari lenggang nyai berkembang di Jakarta sebagai bentuk ekspresi masyarakat Betawi atas nilai-nilai kehidupan. Sebagai kesenian dari suku Betawi, kedua tarian ini memiliki sejumlah persamaan seperti musik yang diiringi gambang keromong, orkes tradisional dari suku Betawi yang hampir serupa gamelan dengan pengaruh alat musik Cina serta Eropa. Kostum pada kedua tarian juga sama-sama didominasi akan warna merah cerah dan hias kepala khas Tionghoa. Akan tetapi, tiap tarian memiliki perbedaan dalam unsur bercerita yang menjadi karakteristik tersendiri dari kedua tarian.

Jenis tarian yang menggunakan topeng sebagai atribut utama dapat dijumpai di banyak kebudayaan di dunia. Berkat gerakan dan atributnya yang atraktif, tari topeng Betawi kini berkembang sebagai salah satu kesenian yang identik dengan kota Jakarta. Di Nusantara saja, tari topeng tidak hanya berkembang dalam tradisi masyarakat Betawi. Tari beratribut topeng juga dapat ditemukan dalam budaya suku Bali, Cirebon, Dayak hingga Batak, walau dengan bentuk topeng atau nama tarian yang berbeda.

Tari Topeng Betawi

Tari Topeng Betawi

Suku Betawi pada masa lampau menganggap topeng atau kedok memiliki kesaktian. Topeng dipercaya sebagai penolak bala, bahkan dapat mengusir perasaan duka. Kepercayaan ini berangkat dari sebuah mitos akan Dewa Umar Maya, sosok dalam legenda setempat yang konon dapat merasuki patung dan topeng kayu. Tari topeng pun kemudian muncul di komunitas Betawi Pinggir (Betawi Ora), dan mulai dipentaskan agar masyarakat dapat terhindar dari malapetaka. Hingga saat ini, tari topeng masih dapat ditemukan dalam berbagai acara masyarakat Betawi, seperti khitanan, pernikahan, atau saat membayar nazar.

Dalam tari topeng Betawi, umumnya terdapat tiga jenis topeng yang mencerminkan sifat-sifat manusia yang berbeda. Topeng berwarna putih yang melambangkan kelembutan dikenal dengan nama Panji atau Kelana. Topeng berwarna merah jambu disebut Samba, melambangkan kelincahan perempuan. Sedangkan sang Jingga, topeng yang berwarna merah, melambangkan kekuatan dan ketegasan dari laki-laki.

Tiap sifat yang berbeda-beda tersebut tergambar dalam pola gerak para penari saat sedang mengenakan topeng tertentu. Lembut dan lemah gemulai saat mengenakan topeng putih, namun cepat dan menghentak saat mengenakan topeng merah. Perbedaan sifat yang harus dipancarkan tiap penari inilah yang membuat tari topeng Betawi dianggap memiliki unsur opera atau teater, dengan lakon yang digabung dengan tarian. Tiap gerakan dalam tari topeng mengandung pesan, sehingga keseluruhan tarian dapat dilihat sebagai sebuah presentasi cerita.

Tari Lenggang Nyai

Tari Lenggang Nyai

Lain halnya dengan tari topeng yang sudah ada sejak masa sebelum Indonesia merdeka, tari lenggang nyai baru berkembang di masyarakat Betawi di awal dekade 2000-an. Meski tergolong baru, saat ini tari lenggang nyai telah melekat sebagai salah satu kesenian khas Jakarta yang dilestarikan lewat berbagai kegiatan sanggar-sanggar Betawi. Unsur cerita dalam tarian ini terdapat pada cerita rakyat yang menginspirasinya, tentang seorang gadis Betawi bernama Nyai Dasimah yang hidup pada masa kolonial Inggris di Batavia.

Alkisah, Nyai Dasimah harus menentukan pilihannya akan pasangan hidup, dengan seorang pria pribumi atau dengan seorang pria Inggris bernama Edward William. Setelah memilih untuk menikah dengan Edward William, Nyai Dasimah malah mendapat pengekangan dan perlakuan semena-mena lainnya dari sang suami. Sebagai gadis Betawi yang ceria, ia pun memberontak terhadap perlakuan suaminya dan menuntut haknya sebagai seorang wanita akan kebahagiaan dan cinta.

Kisah Nyai Dasimah pun menginspirasi seniman Wiwik Widiastuti untuk menciptakan tari lenggang nyai. Nyai Dasimah dianggap mencerminkan semangat kebebasan dan perjuangan perempuan Betawi atas hidupnya sendiri, dan kisah sang Nyai tercermin dalam pola gerak tari lenggang nyai. Ada gerakan lincah yang melambangkan keceriaan dan keluwesan Nyai Dasimah sebagai perempuan Betawi. Namun ada juga gerakan yang mencerminkan kegalauan sang Nyai saat dihadapkan dengan pilihan akan pasangan hidup atau kesedihannya saat harus menghadapi perlakuan suaminya.

Hingga saat ini, kedua tarian berunsur cerita ini kerap memeriahkan berbagai acara di Jakarta bersama tari tradisional Betawi lainnya seperti tari yapong, tari ondel-ondel, tari cokek, dan lain sebagainya. Seperti warna-warni atributnya, tari topeng Betawi dan tari lenggang nyai terus menghias ibu kota lewat cerita-cerita tiap manusia yang sempat hidup di Jakarta, dalam sejarah panjangnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly

  • Fakta 1

    Terdapat banyak jenis dari topeng Betawi seperti tari topeng tunggal, lipet gandes, enjot-enjotan, ronggeng topeng, dan lain sebagainya.

  • Fakta 2

    Walau ceritanya memilki banyak versi, sosok Nyai Dasimah menginspirasi banyak orang dalam bentuk film, buku, dan tarian seperti dalam tari lenggang nyai.

Pagelaran Kesenian Bodoran ala Betawi

Gelak tawa para penonton terdengar ramai. Segala jenis usia tampak turut menikmati pertunjukan, dari anak-anak hingga kakek dan nenek. Perhatian mereka semua tertuju pada sekelompok orang di tengah lapangan, yang sedang mengenakan pakaian adat Betawi. Ada pula beberapa alat musik tradisional Betawi yang turut serta mengiringi. Adegan demi adegan berlangsung dan sorak sorai penonton seakan tidak ada habisnya meramaikan pertunjukan. Inilah sebuah pagelaran kesenian khas Betawi, yang dikenal sebagai lenong.

Lenong merupakan seni pertunjukan peran atau sandiwara tradisional asal Jakarta yang dibawakan dalam dialek Betawi dan diiringi dengan musik gambang kromong. Lenong sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu lenong denes dan lenong preman. Lenong denes berasal dari kata denes yang dalam dialek Betawi berarti resmi atau dinas. Hal ini terlihat dari para pemeran lenong yang kerap mengenakan pakaian formal, cerita seputar kerajaan atau lingkungan para bangsawan, dan bahasa yang halus. Sedangkan dalam lenong preman, busana yang digunakan tidak ditentukan oleh sutradara. Adegan yang dibawakan pun terinspirasi dari cerita sehari-hari, dan menggunakan bahasa sehari-hari.

Adapun fungsi atau tujuan dari kesenian lenong adalah sebagai media untuk menyampaikan pesan moral melalui cerita yang dimainkan oleh para pemeran. Bedanya dengan kesenian lain yang memiliki pesan moral, pesan-pesan pada lenong lebih mudah untuk diterima karena tersampaikan secara langsung melalui dialog dan interaksi antara pemain dengan penonton. Tetap mengedepankan unsur hiburan, seringkali terselip beberapa pantun maupun lelucon. Ciri khas inilah yang menciptakan suasana meriah, sehingga pesan moral yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton tanpa kesan kaku atau dipaksakan.

Gambang Kromong

Lenong Betawi diiringi oleh musik gambang kromong

Terdapat beberapa hal yang membedakan lenong dengan seni pertunjukan peran lainnya, salah satunya dari segi rangkaian prosesi yang dilakukan sebelum lenong dipentaskan. Pertama, lenong selalu diawali dengan ungkup yang biasanya berisi pembacaan doa. Selanjutnya, prosesi kedua yakni sepik dilakukan, di mana akan ada penyambutan berupa penjelasan cerita yang nantinya akan dipentaskan. Setelah prosesi ini selesai, baru kemudian masuk ke prosesi terakhir yakni pengenalan tentang karakter. Setelah ketiga prosesi tersebut selesai dilakukan, barulah pertunjukan lenong akan dimulai.

Saat ini, lenong telah mengalami banyak perubahan bentuk. Mulai dari durasi pementasan yang sudah berubah menjadi lebih singkat, hingga alur cerita yang dibawakan pun sudah semakin bervariasi. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan pada zaman, agar lenong tetap bisa bertahan di tengah era globalisasi. Sebagai salah satu akar budaya dan kesenian penduduk asli Jakarta, memang sudah sepatutnya kesenian lenong kita lestarikan.

Artikel : Baly Chaniago | Foto : Iqbal Fadly

Adat Betawi, Ikon Jakarta

“Nyok, kite nonton ondel-ondel
Nyok, kite ngarak ondel-ondel
Ondel-ondel ade anaknye
Anaknye ngigel ter-iteran”

“Yuk kita nonton ondel-ondel
Yuk kita ngiringin ondel-ondel
Ondel-ondel ada anaknya
Anaknya joget sambil muterin tangan”

Bagi warga Jakarta, kutipan lirik di atas sudah tidak asing lagi di telinga. Dinyanyikan oleh almarhum Benyamin Sueb, lagu tersebut menceritakan tentang salah satu kesenian khas Betawi yang kerap dipamerkan pada hari ulang tahun Jakarta dan di berbagai perayaan besar, seperti karnaval, pernikahan, hajatan, sunatan, hingga acara peresmian gedung-gedung. Namun, bukan hanya sekadar hiasan berupa boneka besar yang dirangkai dari bambu dan kain, ondel-ondel ternyata memiliki sejarah yang menarik hingga akhirnya dikenal luas seperti sekarang.

Dengan tinggi sekitar 2.5 meter, ondel-ondel sesungguhnya sudah ada di Jakarta sejak zaman Belanda. Pada awal kemunculannya, ondel-ondel dikenal dengan nama baronga yang konon berasal dari kata berbarengan. Hal ini didasari oleh bagaimana kegiatan pengarakan boneka raksasa ini biasanya dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama. Pada masa itu, masyarakat Betawi percaya bahwa arwah nenek moyang akan senantiasa menjaga keturunannya dan kepercayaan ini diwujudkan dalam bentuk ondel-ondel. Karena dipercaya berfungsi sebagai penolak bala, ondel-ondel tradisional memiliki wajah yang cenderung menyeramkan. Fungsi ini pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat Betawi pada zaman dahulu selalu menyiapkan sajen dan melakukan ritual ketika merakit ondel-ondel.

Saat dipentaskan, ondel-ondel pun harus berpasangan, karena masyarakat Betawi mempercayainya sebagai bentuk keseimbangan antara kekuatan baik dan buruk. Biasanya pada ondel-ondel tradisional, wajah boneka laki-laki akan dicat merah, matanya dibuat melotot, dan dilengkapi dengan kumis dan senyuman yang menyeringai. Sedangkan wajah ondel-ondel perempuan biasanya dicat putih dan mulutnya yang bergincu merah nampak tersenyum manis.

Tidak ada ketentuan warna untuk pakaian, namun komposisi warna kontras ciri khas budaya Betawi kerap digunakan. Warna yang sering muncul dalam pakaian ondel-ondel adalah kombinasi dari merah, merah muda, oranye, kuning, hijau, biru, hitam dan putih. Warna-warna tersebut sengaja dikombinasikan bertabrakan untuk memberi kesan meriah agar menarik perhatian orang banyak.

Dengan melajunya zaman, maka tak diingkari telah terjadi pula pergeseran makna, bahkan desain pada boneka yang telah menjadi salah satu ikon Jakarta ini. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin disebut memiliki kontribusi besar dalam perkembangan penampilan ondel-ondel dengan mengubah wajah boneka yang sebelumnya cukup mengintimidasi menjadi lebih bersahabat.

Sekarang ondel-ondel bukan lagi penolak bala, namun telah berubah menjadi media hiburan masyarakat yang tak jarang pula kita temui berkeliling di jalanan ibu kota. Keberadaan ondel-ondel yang berumur panjang dan hampir selalu muncul di setiap kegiatan masyarakat Jakarta membuktikan bahwa ondel-ondel memiliki signifikansi yang penting di berbagai dimensi kehidupan masyarakat Betawi.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Nurhudayanti

Jajanan khas betawi satu ini terbuat dari beras ketan, telur ayam, dan ebi goreng. Setelah itu kerak telor dibubuhi cabai merah, kencur, jahe, garam, gula pasir, merica butiran, dan suwiran kelapa yang sudah disangrai. Menurut sejarahnya, kuliner tradisional ini tercipta secara tidak sengaja oleh sekawanan orang Betawi yang tinggal di daerah Menteng. Pada waktu itu, Jakarta masih memiliki banyak pohon kelapa yang tumbuh subur, sehingga masyarakat Betawi ingin memanfaatkan hasil dari buah kelapa itu selain diminum atau diolah menjadi minyak saja. Dari coba-coba inilah kemudian tercipta kerak telor.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Ariyani Tedjo

Menilik namanya, kata selendang berasal dari warna merah, hijau dan putih kue yang menjadi salah satu bahan utama dari es selendang mayang. Sementara kata mayang merujuk pada sensasi manis dan kenyal kue yang dibuat dari tepung kanji atau sagu aren, gula, air dan pewarna makanan. Adonan kemudian dipotong tipis-tipis seperti kue lapis menggunakan bambu tipis sesaat sebelum es disajikan. Selanjutnya kue diracik bersama sirup gula merah dan es batu, lalu disiram kuah santan, sehingga menciptakan rasa manis dengan selingan rasa gurih.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Ariyani Tedjo