Seluk-Beluk Kehidupan Suku Betawi

Jakarta, sebuah pintu gerbang pertemuan berbagai etnis dari berbagai kawasan yang mewarnai dan memengaruhi pertumbuhan kota, berikut orang-orangnya. Seperti daerah lainnya di Indonesia, Jakarta pun memiliki penduduk asli yang menurut beberapa pakar budaya dan sejarah telah diperkirakan ada serta mendiami kawasan ini sejak abad ke-17, yaitu suku Betawi. Tetapi siapakah suku Betawi ini dan dari mana mereka berasal? Etnis ini lahir dari proses yang panjang dan tidak muncul tiba-tiba.

Berdasarkan penelitian dan bukti-bukti sejarah, etnis Betawi lahir dari percampuran berbagai macam suku bangsa di Nusantara yang telah lebih dulu hidup di Jakarta, serta campuran dari bangsa mancanegara seperti Tionghoa, Portugis, India, Arab dan Belanda.

Pada periode kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Sunda, dan Islam, sebetulnya sudah terdapat dasar-dasar terbentuknya etnis Betawi. Hanya saja, pada saat itu belum ada penyebutan istilah kata Betawi. Orang dulu menyebut penduduk Sunda Kelapa yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta dengan istilah wong Jakarta atau orang Jakarta.

Istilah Betawi mulai muncul pada periode kekuasaan Kolonial Belanda, saat nama Jayakarta berganti menjadi Batavia. Masyarakat atau orang-orang Sunda yang tinggal dekat dengan Batavia menyebut orang Batavia dengan sebutan orang Betawi. Hal ini dikarenakan lidah orang Sunda sulit untuk mengucapkan Batavia dan lambat laun istilah Betawi melekat hingga saat ini.

Secara tertulis, sebutan orang Betawi pertama kali terdapat dalam testamen atau surat wasiat Nyai Inqua, seorang janda tuan tanah Souw Beng Kong, Kapiten Tionghoa pertama di Batavia. Nyai Inqua menyebut seorang pembantu perempuannya sebagai orang Betawi.

Seiring berjalannya waktu dan berbeda dengan kebanyakan daerah lain di Indonesia, suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta tidak begitu terlihat mendominasi, baik secara jumlah maupun peran. Wilayah di Jakarta yang ditempati oleh etnis Betawi juga semakin kecil dan hanya tersebar mulai dari Bogor, Tangerang, Bekasi hingga Karawang.

Sejak meningkatnya jumlah penduduk Betawi yang melakukan migrasi ke beberapa daerah, mulailah muncul istilah Betawi Udik, Betawi Pinggir dan Betawi Tengah. Namun, masih ada pula daerah di Jakarta yang kental dengan nuansa kebudayaan Betawi yaitu Kampung Rawa Belong, Kampung Condet, Kampung Marunda tempat tinggal jawara Betawi si Pitung berasal, dan Kampung Setu Babakan yang hingga kini masih terjaga kelestariannya.

Untuk mengenal lebih dalam mengenai budaya masyarakat Betawi, salah satu tempat yang Travelers dapat kunjungi adalah Setu Babakan yang terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Perkampungan ini merupakan kawasan yang tumbuh dan berkembang dengan komunitas yang erat dengan budaya Betawi, seperti dari adat istiadat, kesenian, religi, arsitektur dan kuliner.

Setu Babakan

Areal Setu Babakan dengan arsitektur tradisional Betawi yang khas.

Didiami oleh sekitar 3000 kepala keluarga, sebagian besar dari mereka merupakan penduduk asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah ini. Sedangkan sebagian kecil lainnya merupakan pendatang dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan daerah lainnya yang sudah menetap lebih dari 30 tahun lamanya.

Perkampungan dengan luas area 32 ha ini pun telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Betawi pada tahun 2004. Penetapan ini bertujuan untuk menciptakan satu kawasan yang melestarikan nuansa budaya Betawi, sekaligus untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan yang berkunjung.

Buka setiap harinya dari pukul 09:00 – 16:00 WIB, Travelers yang berkunjung ke Setu Babakan akan merasakan keramahan penduduk lokal dan keasrian lingkungan alamnya. Khusus hari Sabtu dan Minggu, Travelers dapat menyaksikan pertunjukkan seni budaya Betawi, seperti tari topeng, lenong, tanjidor, dan ondel-ondel yang dipentaskan di panggung terbuka berukuran 60 meter persegi.

Selain pagelaran seni, jika Travelers datang pada waktu yang tepat maka juga bisa menyaksikan prosesi adat kebudayaan Betawi secara langsung, seperti pernikahan, prosesi khitanan dan aktivitas pemuda yang sedang berlatih pencak silat khas Betawi. Ada pula pilihan untuk bermalam di rumah penduduk bagi pengunjung yang memerlukan waktu lebih lama untuk kebutuhan penelitian, pendidikan maupun pelatihan.

Setu Babakan tidak hanya menyajikan pagelaran seni budaya saja, namun juga terdapat wisata danau yang letaknya tepat di tengah-tengah perkampungan. Ada dua danau yang dapat dinikmati, yaitu Danau Mangga Bolong dan Danau Babakan, di mana keduanya dikelilingi oleh asrinya pepohonan kecapi, belimbing, rambutan, sawo, dan melinjo. Biasanya, danau ini dimanfaatkan penduduk setempat untuk memancing atau sekadar menikmati kesejukan dan keasrian di pinggir danau. Travelers juga dapat melakukan aktivitas yang sama dengan menyewa peralatan yang disediakan oleh pengelola danau. Selain itu ada pula wisata perahu untuk mengelilingi danau dengan harga Rp6.000 per orang.

Untuk Travelers pecinta kuliner, kudapan khas Betawi pun banyak disajikan di sepanjang jalan sekeliling danau, seperti kerak telor, dodol Betawi dan soto Betawi yang dijual dengan harga terjangkau. Penduduk setempat juga kerap mengolah beberapa hidangan langsung di depan warung mereka, sehingga proses pembuatannya dapat disaksikan oleh pengunjung. Dengan ini, pengunjung diajak terlibat langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi.

Ada tiga agenda utama di Setu Babakan yaitu agenda rutin, agenda tahunan dan kegiatan dadakan yang dilakukan oleh masyarakat setempat, pemerintah daerah atau pihak swasta yang sedang menyelenggarakan kegiatan di dalam perkampungan. Agenda rutin merupakan pertunjukkan kesenian budaya Betawi yang dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu untuk menarik wisatawan. Sedangkan agenda tahunan terdiri dari atraksi atau Festival Budaya Betawi, Pekan Lebaran, Pekan Desember dan Pekan Pergelaran Kesenian Nuansa islami. Travelers yang berkunjung ke Setu Babakan hanya dikenakan biaya parkir kendaraan sebesar Rp5.000. Komplek Setu Babakan sudah dilengkapi dengan fasilitas umum seperti Museum Betawi, tempat ibadah, toilet umum, tempat bermain anak, teater terbuka, galeri, toko oleh-oleh hingga wisma.

Akses menuju Setu Babakan relatif mudah. Banyak kendaraan umum yang melewati perkampungan ini mulai dari bus kota hingga commuter line. Pengunjung yang menggunakan bus kota dapat langsung turun di depan pintu gerbang Setu Babakan. Jika menggunakan commuter line, pengunjung akan turun di stasiun Lenteng Agung terlebih dahulu sebelum kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus kota atau kendaraan online.

Artikel : Aki Suhartono | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy


Ratusan Tahun Etnis Tionghoa di Jakarta

Keberagaman Jakarta memang selalu menarik dan unik untuk dibahas. Sebagai ibu kota, Jakarta dipadati dengan berbagai pendatang yang mengadu nasib di tengah gemerlap status megapolisnya. Berbagai perbedaan, kebiasaan, adat serta cara pandang berlebur di kota ini.

Salah satu etnis pendatang yang telah mengakar di sejarah Jakarta sendiri adalah etnis Tionghoa. Perkembangan Jakarta hingga saat ini pun tidak lepas dari pengaruh unsur kebudayaan Tionghoa yang turut mewarnai kebudayaan suku Betawi. Terlihat dari orkes gambang kromong yang mengharmoniskan gamelan dengan alat-alat musik khas dari Tionghoa seperti tehyan, kongahyan dan sukong.

Awalnya, etnis Tionghoa merupakan para pedagang dari Tiongkok yang singgah di Indonesia. Bermaksud untuk memperlancar perdagangan, warga asli Tiongkok ini datang ke Indonesia untuk mencari pelabuhan. Sambil menunggu waktu untuk kembali ke negara asalnya, mereka akan menetap bahkan banyak yang melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal.

Perkembangan etnis Tionghoa yang semakin pesat dan mendominasi perdagangan, membuat pemerintah Hindia-Belanda di Batavia pada tahun 1836 mengeluarkan peraturan baru yang memaksa warga dengan etnis tertentu untuk bersedia ditempatkan di dalam wilayah yang sama seperti kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Bugis dan pecinan. Inilah yang menjadi asal-usul terbentuknya sejumlah pecinan yang masih bertahan sampai saat ini, khususnya di Jakarta.

Salah satu pecinan terbesar yang mewariskan banyak pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan Jakarta sendiri adalah Glodok. Komunitas Tionghoa terbesar yang telah berusia lebih dari 200 tahun ini menjadi pusat kawasan pecinan di Jakarta. Glodok berasal dari kata ‘grojok’ yang diambil dari suara air yang memiliki bunyi grojok-grojok. Pengucapan dalam lidah etnis Tionghoa-lah yang melahirkan kata ‘Glodok’ yang bertahan hingga saat ini sebagai salah satu tempat yang menarik untuk dikunjungi di Jakarta.

Suasana Pasar Pecinan

Suasana Pasar Pecinan

Menjelang Tahun Baru Imlek, kawasan Pecinan di Glodok yang menjadi pusat wilayah Tionghoa di Jakarta ini pun mulai mempertontonkan kemeriahannya. Berbondong-bondong masyarakat datang untuk mengunjungi kios-kios di sepanjang jalan yang menjajakan perlengkapan Imlek. Mulai dari lampion dengan khas warna merahnya yang bergantungan, angpau dengan berbagai variasi, petasan dan kembang api, lilin Imlek yang berukuran besar, serta pernak-pernik khas Imlek lainnya yang tentu saja didominasi oleh warna merah yang diyakini membawa keberuntungan dan kebahagiaan. Tak lupa juga makanan khas Imlek, yaitu kue keranjang serta jeruk mandarin.

Tidak hanya saat perayaan Imlek saja, Travelers bisa menikmati suasana ‘tempo doeloe’ yang tercermin dari bangunan-bangunan tua khas Tiongkok yang masih ada sampai sekarang di kawasan ini. Eksistensi berbagai macam kuliner dan kegiatan masyarakat etnis Tionghoa di kawasan ini pun tidak lepas dari budaya serta kepercayaan yang dianut dan diwariskan turun-temurun kepada setiap generasinya.

Berlokasi di pusat kota, tentu saja memudahkan Travelers untuk mengakses kawasan yang dilintasi berbagai macam moda transportasi umum ini. Apabila menggunakan bus TransJakarta, Travelers bisa turun di Halte Glodok. Disarankan datang saat pagi hari, sehingga Travelers memiliki banyak waktu untuk menelusuri kawasan ini dengan lebih leluasa karena masih tergolong sepi pengunjung.

Jika Travelers memiliki hobi fotografi, jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan momen-momen yang dijumpai karena di sini terdapat banyak bangunan tua bersejarah dan juga kehidupan masyarakatnya yang menarik jika dilihat dari sudut pandang street photography.

Masyarakat Pecinan

Kegiatan pagi masyarakat yang tinggal di pecinan.

Semilir aroma hio mulai terhirup saat menyusuri Gang Petak Sembilan yang tersohor dengan deretan bangunan bernuansa Tionghoa di sepanjang jalan. Sebut saja Vihara Dharma Bhakti, Vihara Kai Zhang Sheng Wang Miao, Klenteng Toa Se Bio, Klenteng Fat Cu Kung Bio, Gedung Candra Naya, dan Gereja Santa Maria. Sejumlah tempat ibadah sekaligus bersejarah itu masih berdiri dan terawat di kawasan yang selalu padat akan pengunjung ini, khususnya saat perayaan Tahun Baru Imlek. Dan jangan khawatir, tidak ada biaya yang dipungut untuk masuk dan mengabadikan momen di vihara atau klenteng. Tetapi, Travelers perlu memperhatikan tata krama mendasar, seperti melepas sepatu di beberapa area yang diwajibkan, tidak berisik atau mengganggu, terutama ketika ada yang sedang beribadah.

Di seberang Gang Petak Sembilan, Travelers bisa menyeruput kopi di Kedai Kopi Es Tak Kie yang berlokasi di Gang Gloria, Jalan Pancoran. Kedai kopi yang berdiri sejak tahun 1927 ini cukup dkenal seantero Jakarta dan digemari oleh masyarakat. Tidak jauh dari situ, Travelers juga bisa menemui restoran bernuansa Tionghoa bernama Pantjoran Tea House. Selain menyajikan menu Chinese, salah satu nilai jual restoran ini adalah tehnya yang legendaris. Uniknya, Pantjoran Tea House ini menyediakan delapan teko teh gratis di depan restorannya untuk melegakan dahaga para pejalan kaki yang lewat di situ.

Selain Glodok, terdapat juga kawasan pecinan lainnya yaitu Jembatan Lima. Kawasan ini dikenal dengan nama pecinan Singkawang karena didominasi oleh keturunan etnis Tionghoa dari Kalimantan terutama daerah Singkawang yang tinggal dan menetap di sini. Dahulu kawasan ini merupakan kawasan yang dipenuhi oleh rawa-rawa dan berbagai macam tanaman seperti pohon kelapa, bambu, jati, sawo serta semak belukar. Selain itu di kawasan ini dulu juga terdapat lima jembatan yang dilalui oleh Sungai Jembatan Lima. Jembatan ini berfungsi sebagai penghubung dari kampung satu dengan kampung lainnya, maka dari itu disebutlah kawasan Jembatan Lima.

Wihara Dharma Bhakti

Wihara Dharma Bhakti atau Kim Tek Ie di Glodok dibangun pada tahun 1650, menjadikannya salah satu klenteng tertua di Jakarta.

Saat ini, kawasan Jembatan Lima merupakan kawasan yang cocok bagi Travelers yang memiliki hobi kuliner karena terdapat aneka jajanan, kedai dan restoran khas Kalimantan Barat. Pilihan kuliner seperti nasi campur khas Pontianak, bakmie, bubur khas Singkawang dengan aneka macam topping, bakso khas Pontianak dan roti srikaya dapat Travelers nikmati di kawasan ini.

Salah satu nama jalan yang terkenal dengan berbagai jajanan Chinese food di sini ialah Jalan Krendang. Berbagai macam jajanan yang ditawarkan di sini pun memiliki gerai yang sederhana dengan tempat duduk seadanya, tetapi ada juga yang sudah memiliki kios dengan meja serta tempat duduk. Lambat laun, perkembangan komunitas Tionghoa di Jembatan Lima ini pun menjadi unik untuk diamati seperti dialek khas Singkawang yang sudah tercampur dengan kebudayaan Betawi.

Salah satu hal yang patut disyukuri oleh warga ibu kota ialah tingginya tingkat keberagaman etnis. Sebagai kawasan pecinan, tempat ini juga terbuka untuk Travelers yang ingin mempelajari sejarah Jakarta yang dipengaruhi unsur kebudayaan Tionghoa. Perpaduan unsur kebudayaan Betawi dan Tionghoa semakin jelas membuktikan bahwa telah terjalin hubungan baik di antara kedua etnis tersebut sejak zaman dahulu. Kawasan pecinan ini akan menarik dikunjungi pada saat menjelang perayaan Imlek. Berbagai atribut pastinya akan menghiasi jalan setiap kawasan pecinan. Pastikan Travelers tidak melewatkan momen yang hanya ada setiap satu kali dalam setahun ini, ya!

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy

  • Fakta 1

    Pecinan atau Chinatown dapat ditemukan di hampir seluruh kota besar di dunia. Pecinan Glodok di Jakarta sering dianggap sebagai kawasan pecinan terbesar di Indonesia.


  • Kampung Jembatan Lima adalah salah satu kampung tua di wilayah Jakarta. Sesuai namanya, pada masa lalu di daerah ini terdapat lima jembatan yang melintasi sungai Cibubur, yakni: Jembatan Jl. Hasyim Ashari, Jembatan Kedung, Jembatan Jl. Petuakan, Jembatan Jl. Sawah Lio 2, dan Jembatan Jl. Sawah Lio 1 (jembatan terbesar).

    Di kampung ini mengalir Sungai Cibubur yang dianggap “seperti bubur”, kotor, dan berlumpur. Di Jembatan Lima terdapat kampung-kampung, jalan dan gang bersejarah yang namanya sudah hilang, seperti Kampung Sawah Lio, Patuakan, Kerendang, Petak Serani, Gudang Bandung, Teratai, Tambora, Gang Laksa, Gang Daging dan sebagainya.

    Sumber : Wikipedia
  • Kata Glodok berasal dari Bahasa Sunda “Golodog”. Golodog berarti pintu masuk rumah, karena Sunda Kalapa (Jakarta) merupakan pintu masuk ke kerajaan Sunda. Karena sebelum dikuasai Belanda yang membawa para pekerja dari berbagai daerah dan menjadi Betawi tau Batavia, Sunda Kelapa dihuni oleh orang Sunda. Perubahan ‘G’ jadi ‘K’ di belakang sering ditemukan pada kata-kata Sunda yg dieja oleh orang non-Sunda, terutama suku Jawa dan Melayu yang kemudian banyak menghuni Jakarta. Sampai saat ini di Jakarta masih banyak ditemui nama daerah yang berasal dari Bahasa Sunda meski dengan ejaan yang telah sedikit berubah.

    Nama Glodok juga berasal dari suara air pancuran dari sebuah gedung kecil persegi delapan di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota (Stadhuis) – pusat pemerintahan Kumpeni Belanda di kota Batavia. Gedung persegi delapan ini, dibangun sekitar tahun 1743 dan sempat dirubuhkan sebelum dibangun kembali tahun 1972, banyak membantu serdadu Kumpeni Belanda karena di situlah mengalir air bersih yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tak cuma bagi serdadu Kumpeni Belanda tetapi juga dimanfaatkan minum bagi kuda-kuda serdadu usai mengadakan perjalanan jauh. Bunyi air pancurannya grojok..grojok..grojok. Sehingga kemudian bunyi yang bersumber dari gedung kecil persegi delapan itu dieja penduduk pribumi sebagai Glodok.[3]

    Dari nama ”pancuran” akhirnya menjadi nama sebuah daerah yang kini dikenal sebagai Pancoran atau orang di kawasan Jakarta Kota menyebutnya dengan istilah ”Glodok Pancoran”. Hingga kini kedua nama yakni Glodok dan Glodok Pancoran masih akrab di telinga orang Jakarta, bahkan hingga ke luar Jakarta.

    Sumber : Wikipedia

    Peristiwa Penting :


    Tempat Menarik dan Bersejarah :

    • Gereja Santa Maria de Fatima Jakarta (Circa Awal Abad Ke-19)
    • Klenteng Kim Tek Ie (Circa 1650)
    • Toko Obat Thaij Seng Hoo
    • Klenteng Toa Se Bio (Circa 1751)
    • Toko Tian Liong
    • Waroeng “Kopi Es” Tak Kie (Circa 1927)
    • Gedung Toko Obat “Thaij Hoo Tong” (Circa 1921)
    • Gedung Rumah Keluarga Souw
    • Gedung Toko Tiga
    • Restoran Siauw A Tjiap
    • Gedung Toko Obat Lay An Tong
    • Toko Kue “Tiong Tjiu Phia” Sin Hap Hoat
    • Toko Pangkas Rambut Ko Tang Kapperszaak (Circa 1936)

    Transportasi :

    • KA Commuter Jabodetabek di Stasiun Jakarta Kota
    • Transjakarta Koridor 1
    • APTB 04 ke Ciputat (via Koridor 1 – Blok M – Radio Dalam – Pondok Indah – Lebak Bulus)
    • PPD P02 ke Cililitan (via Harmoni – Pasar Baru – Senen – Salemba – Matraman – Kampung Melayu – UKI)
    • Mayasari Bakti AC27 patas ke Bekasi (via Mangga Dua – Gunung Sahari – PRJ – Cempaka Putih – Tol Jatibening – Tol Barat)
    • Mayasari Bakti AC27 patas ke Bekasi (via Mangga Dua – Gunung Sahari – PRJ – Cempaka Putih – Tol Jatibening – Tol Timur)
    • Mayasari Bakti AC33 patas ke Poris Plawad (via Glodok – Hayam Wuruk – Roxi – Grogol – Tol Kebon Jeruk – Tol Karawaci – Cikokol)
    • Kopami P02 Senen-Muara Karang
    • KWK B02 ke Warung Gantung
    • KWK B06 ke Kamal
    • KWK U10 Pademangan-Muara Angke
    • Mikrolet M08 ke Tanah Abang (via Glodok – Hayam Wuruk – Cideng)
    • Mikrolet M12 ke Senen (via Glodok – Hayam Wuruk – Sawah Besar – Pasar Baru – Gunung Sahari)
    • Mikrolet M15 ke Tanjung Priok (via Kampung Bandan)
    • Mikrolet M15A ke Tanjung Priok (via Mangga Dua)
    • Mikrolet M25 ke Grogol (via Jembatan Besi – Jembatan Dua – Jembatan Tiga)
    • Mikrolet M39 ke Pademangan (via Mangga Dua)
    • Mikrolet M41 ke Grogol (via Jembatan Besi – Duri – Jembatan Dua – Jembatan Tiga)
    • Mikrolet M43 ke Grogol (via Roxi – Duri – Angke)
    • Mikrolet M53 ke Pulo Gadung (via Mangga Dua – PRJ – Cempaka Putih – Perintis Kemerdekaan)

Wahyu dalam Mahakarya

Di abad ke-17, atas perintah dari Sultan Iskandar Muda dari Aceh, tiga ulama Minangkabau dari Sumatera Barat datang ke Sulawesi Selatan dengan tujuan utama yaitu menyelesaikan berbagai masalah ketidakselarasan antara syariat Islam dan hukum adat yang telah dianut oleh masyarakat lokal secara turun-temurun. Diyakini sebagai peletak batu pertama ajaran Islam di Sulawesi Selatan, mereka adalah Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk ri Tiro.

Berkat ajaran ketiga ulama tersebut, Kesultanan Gowa-Tallo kemudian memeluk Islam dan menjadikannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1607. Oleh karena itu, pada periode ini pula, kesultanan kerap berfungsi sebagai pemecah masalah ketika terjadi ketidakcocokan antara adat dan syariat.

Bermulai dari sini, Islam akhirnya menjadi agama dominan di Sulawesi Selatan dan memiliki elemen penting dalam peradaban masyarakat. Berikut ini adalah tiga masjid dengan kekayaan nilai sejarah, keindahan arsitektur, dan tentunya nilai religi, yang dapat Travelers kunjungi di Kota Anging Mamiri.

Masjid Raya Makassar

Pertama kali dirancang oleh arsitek Muhammad Soebardjo, Masjid Raya Makassar dibangun pada tahun 1948 dengan dana awal pembangunan Rp60.000 yang diprakarsai oleh K. H. Ahmad Bone, seorang ulama asal Kabupaten Bone.

Setelah diresmikan dua tahun kemudian, konon Masjid Raya Makassar sempat menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara saat itu. Bagaimana tidak? Bangunan induknya saja dapat menampung hingga 10.000 jemaah dan jika digabung dengan halaman masjid dapat mencapai 50.000 jemaah.

Selain sebagai salah satu masjid termegah di kawasan Indonesia Timur, Masjid Raya Makassar yang berada di Kecamatan Bontoala merupakan saksi bisu sejarah bagi masyarakat Makassar yang pada masa penjajahan selalu dipecah belah menjadi berbagai golongan, aliran, dan organisasi agar tidak bersatu menghimpun kekuatan.

Usaha untuk membangun masjid besar yang bisa menampung ribuan jemaah pun selalu dihalang-halangi. Kekhawatiran penjajah kala itu memang terbukti. Setelah masjid ini mulai digunakan pada Agustus 1949, masyarakat Makassar yang sebelumnya tercerai-berai di sejumlah masjid-masjid kecil, mulai berkumpul di Masjid Raya Makassar hingga sentralisasi kekuatan pun terbentuk.

Kehadiran Masjid ini juga dianggap sebagai bagian dari sejarah yang membanggakan masyarakat Makassar karena telah menjadi tuan rumah perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) pertama di Indonesia pada tahun pada 1955 silam.

Setelah puluhan tahun berlalu, bangunan awal masjid pun tak kuat menahan usia dan akhirnya harus mengalami sejumlah renovasi, dan Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia pada saat itu, menjadi penyumbang dana terbesar dalam proses pemugaran yang berlangsung dari tahun 1999 hingga tahun 2009.

Sekarang masjid dua lantai ini memiliki dua menara yang masing-masing memiliki tinggi 47 m (menara lama) dan 66,66 m (menara baru) yang melambangkan jumlah ayat dalam kitab suci Alquran, serta memiliki fasilitas berupa perpustakaan dan kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan. Daya tarik lainnya adalah masjid ini memiliki Alquran raksasa yang diletakan pada lantai dua masjid dan memiliki ukuran 1 m x 1,5 m dengan berat 584 kg.


Masjid 99 Kubah

masjid 99 kubah

Sesuai namanya, masjid yang berdiri tak jauh dari Pantai Losari ini memiliki puluhan kubah dengan ukuran beragam yang berbaris mengelilingi kubah utama berdiameter terbesar yang berada di tengah. Corak warna merah, jingga dan kuning membentuk pola yang cantik, terlebih jika dilihat dari atas.

Bagian eksterior kubah masjid pun amat menarik perhatian, terlebih lagi ketika ratusan lampu ditembakkan ke arah kubah saat malam hari tiba atau ketika hari mulai senja, rona jingga berpadu dengan warna dari masjid ini menambah kemolekan dan kemegahan masjid ini.

Masjid yang dibangun pada tahun 2017 ini adalah karya dari Ridwan Kamil yang juga Gubernur Jawa Barat. Pesona Masjid 99 Kubah ini pun didasari ide 99 nama-nama Allah (Asmaul Husna). Asmaul Husna sendiri berarti nama baik, agung dan mulia, yang dalam agama Islam terasosiasikan sebagai atribut ketuhanan.

Walaupun belum selesai dibangun, Masjid Kubah 99 diproyeksi dapat menampung hingga 10.000 jemaah dan akan dilengkapi dengan pelataran layaknya Masjidil Haram di Mekah. Selain itu, akan ada juga atraksi air mancur di depan masjid yang dapat dinikmati selama 30 menit selepas Magrib.

Perpaduan dari desain masjid yang unik serta pemandangan Pantai Losari yang memesona telah mencuri perhatian wisatawan dan menjadikan Masjid 99 Kubah sebagai ikon wisata baru di Kota Makassar.


Masjid Apung

masjid terapung

Masjid yang dibangun pada tahun 2009 ini bernama resmi Masjid Amirul Mukminin, namun masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan sebutan Masjid Terapung atau Masjid Apung. Masjid ini terletak 1 km dari anjungan Pantai Losari dan memiliki bentuk menyerupai rumah panggung, rumah tradisional Makassar-Bugis.

Masjid ini sendiri memiliki 3 lantai, lantai pertama digunakan untuk jemaah pria, lantai kedua disediakan untuk jemaah wanita, sedangkan lantai yang berada di bawah kubahnya dapat Travelers gunakan untuk menikmati pemandangan, terutama pada saat matahari terbenam di Pantai Losari.

Berdiri di atas laut dengan ukuran luas 1.683 m persegi, Masjid Amirul Mukminin ditopang oleh 164 tiang pancang, dan mampu menampung sebanyak 500 jemaah. Pilihan desain arsitektur kontemporer dengan warna putih dan abu-abu yang mendominasi hampir keseluruhan bangunan masjid, serta dua buah kubah dengan mozaik bergradasi biru, menjadikan masjid ini terlihat kian memesona, sehingga tak heran apabila kini Masjid Amirul Mukminin telah menjadi salah satu ikon Kota Makassar.

masjid agung syekh yusuf gowa

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy, Rezki Sugiharto

  • Catatan
    • Masih banyak masjid-masjid lain di Makassar dan sekitarnya dengan nilai sejarah dan pancaran keindahan arsitektur, seperti Masjid Agung Syekh Yusuf di Kabupaten Gowa.
    • Dengan 1.5 juta jiwa menyebut Makassar sebagai rumah dan mayoritasnya memeluk agama Islam, maka tak heran jika wisata religi bernuansa Islami menjadi salah satu aktivitas yang digemari oleh mereka yang berkunjung ke ibu kota Sulawesi Selatan ini. Selain sebagai tempat ibadah umat Muslim, masjid-masjid di Makassar juga menjadi ikon destinasi wisata religi.

    • Lokasi : Jl. Somba Opu, Maloku, Kec. Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) 24 jam
    • Lokasi : Jl. Mesjid Raya, Sungguminasa, Kec. Somba Opu, kab. Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 09.00 – 20.00 WITA

Kuasa Maritim Kerajaan Kembar

Pulau Sulawesi dan lautan yang mengelilinginya telah lama menjadi wilayah penting dalam jaringan ekonomi dan politik di Nusantara. Dengan empat semenanjungnya yang menghadap laut yang berbeda, pulau yang dulunya lebih dikenal dengan nama Celebes ini menjadi rumah dari banyak suku dengan ragam budaya.

Di semenanjung yang kini menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, terbentuk kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Luwu, Bantaeng, Bone, Wajo, Soppeng, dan yang mungkin paling sering terdengar: Kerajaan Gowa – Tallo atau Kesultanan Makassar.

Kesultanan Makassar lahir dari dua kerajaan yang konon berasal dari garis keturunan yang sama: Gowa yang berpusat di kedalaman dan berbasis agraris, dan Tallo yang berada di pesisir dengan akses ke perdagangan maritim.

Mahkota raja-raja Gowa

Pada masa pemerintahan Tumapa’risi Kallona, Raja Gowa IX (1510 – 1547), kedua kerajaan memutuskan untuk bersatu dalam sumpah “Ia iannamo tau ampasiewai Gowa na Tallo iamo nacalla rewata”, yang bermakna “Siapa yang memecah belah Gowa dan Tallo akan mendapat celaka dari dewata”. Sumpah itulah yang menjadi cikal bakal dari salah satu kekuatan politik terbesar di Nusantara bagian timur pada masanya.

Sejak terbentuk di pertengahan abad ke-16, Gowa – Tallo kemudian dikenal sebagai kerajaan kembar dengan sistem pemerintahan Rua Karaeng na Se’re Ata (Dua raja dan satu rakyat), di mana raja-raja Gowa memerintah sebagai raja dengan gelar Sombayya ri Gowa, dan raja-raja Tallo memerintah sebagai Tu’mabicara butta atau perdana menteri.

Gowa merupakan daerah yang unggul dengan pertanian dan komoditas beras, sehingga mampu menopang pertumbuhan penduduk dan membangun militer yang kuat. Tallo juga memungkinkan kerajaan untuk membangun armada laut yang signifikan serta mendukung potensi utama Gowa – Tallo sebagai pelabuhan internasional yang mengedepankan pelayaran dan perdagangan maritim.

Di awal pembentukannya, Gowa – Tallo juga mengalami banyak pembaharuan yang semakin menunjang kemajuan kerajaan. Mulai dari perombakan sistem pemerintahan, pengadaan jabatan menteri dan syahbandar, menyusun undang-undang baru, hingga pembangunan sejumlah landmark seperti Benteng Somba Opu.

Benteng Somba Opu yang dulunya berbatasan dengan laut ini awalnya dibangun hanya dengan tanah liat dan putih telur. Namun struktur bangunannya terus diperkuat dengan batu bata dan penambahan persenjataan seperti sejumlah meriam oleh raja-raja setelah Tumapa’risi Kallona.

Di dalam benteng inilah pusat Kerajaan Gowa – Tallo sempat bertakhta. Dan kehidupan masyarakat pun tumbuh di sekitar benteng dengan kampung-kampung para pedagang, pelaut, petani, hingga para pendatang.

Museum Karaeng Pattingalloang

Travelers dapat mengunjungi peninggalan benteng yang terletak di kelurahan Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa ini. Di areal benteng Travelers juga dapat mengunjungi Baruga Somba Opu, balai dengan arsitektur tradisional yang menawan, serta Museum Karaeng Pattingalloang yang menyimpan berbagai artefak peninggalan kerajaan dan cerita-cerita menarik seputar sosok Karaeng Pattingalloang sendiri, salah satu cendekiawan Makassar dari abad 17 yang dihormati bahkan oleh para koloni-koloni Eropa. Rumah-rumah tradisional suku lainnya yang mendiami Sulawesi Selatan seperti Mandar atau Toraja juga terdapat di area yang sekarang difokuskan menjadi salah satu lokasi wisata sejarah utama di Gowa ini.

Sekitar tahun 1605, raja Gowa – Tallo memeluk Islam yang dibawa oleh para mubalig dari Minangkabau. Agama Islam pun resmi menjadi agama kerajaan yang segera diikuti oleh seluruh masyarakatnya. Sejak itu, kerajaan Gowa – Tallo mulai lebih dikenal sebagai Kesultanan Makassar. Ekspansi wilayah dan penyebaran agama Islam ke daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan juga kian digencarkan, termasuk ke kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone, Wajo, dan Soppeng.

Dengan pusat pemerintahan yang berada di pesisir, laut menjadi kekuatan utama bagi Kesultanan Makassar. Posisinya yang strategis dan kebijakan yang menjunjung tinggi toleransi menjadikan pelabuhan Makassar ramai dengan para saudagar dari seluruh Nusantara.

Apalagi setelah Malaka yang sempat menjadi pusat perdagangan rempah di Nusantara jatuh ke tangan Portugis di awal abad ke-16, Makassar menonjol sebagai poros baru bagi lintas perdagangan internasional yang menghubungkan saudagar-saudagar Cina, Arab, India, Melayu, Jawa, Maluku, dan Eropa.

Kapal siapa pun diperbolehkan untuk bersandar di pelabuhan Makassar, membawa berbagai kargo dan komoditas yang begitu berharga. Salah satu pelabuhan dari zaman kerajaan adalah Pelabuhan Paotere yang sempat menjadi titik pemberangkatan armada Makassar yang terdiri dari ratusan kapal menuju perang.

Pelabuhan Paotere

Salah satu pelabuhan tertua di Nusantara yang sering dianggap sebagai ‘Sunda Kalapa’-nya Makassar ini terletak di Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Pelabuhan ini masih aktif hingga sekarang sebagai pelabuhan bagi para nelayan, di mana Travelers dapat menikmati berbagai santapan seafood yang fresh di tempat ini.

Kesultanan Makassar memasuki puncak kejayaannya di abad ke-17, dengan pengaruh politik yang dapat dirasakan di hampir seluruh Pulau Sulawesi bahkan hingga ke daerah Nusa Tenggara.

Makassar juga memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan berbagai kekuatan politik lain di Nusantara seperti dengan Ternate, Demak, Banjar, Johor dan bahkan Inggris dan Portugis. Akan tetapi, Belanda dengan VOC-nya menentang Makassar yang membuka pintu pelabuhannya bagi siapa pun, terutama pada kekuatan Eropa lainnya seperti Portugis dan Inggris.

Belanda yang pada saat itu telah menduduki pelabuhan Maluku dan Batavia, ingin melancarkan agenda monopoli rempah mereka di atas Nusantara. Di waktu yang sama, Kesultanan Makassar juga mengalami berbagai perlawanan dari kerajaan-kerajaan Bugis yang menentang ekspansi besarnya, seperti Kerajaan Bone.

Perang pun tidak terelakkan. Pertengahan abad 17, Kesultanan Makassar menerima gempuran dari berbagai sisi. Tahun demi tahun, di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki ‘Ayam Jantan dari Timur’, Makassar melewati serangkaian perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya.

Perang Makassar pun terus berlanjut sebagai salah satu perang di Hindia yang paling merugikan pihak Belanda. Namun, meskipun dengan seluruh kegigihan dan kepiawaiannya dalam berperang, pada akhirnya Sultan Hasanuddin harus menerima kemenangan Belanda lewat penandatanganan Perjanjian Bungaya di November 1667, yang mempersempit pengaruh Makassar dan membiarkan Belanda menancapkan kekuasaan politik dan ekonomi terhadapnya.

Benteng Somba Opu yang menjadi pusat pemerintahan Makassar pun jatuh pada tahun 1669, dan poros kehidupan masyarakat setempat berpindah ke Benteng Jumpandang, salah satu benteng Makassar yang jatuh ke tangan Belanda dan setelahnya berganti nama menjadi Benteng Rotterdam.

Meskipun Belanda mendominasi untuk beberapa abad ke depan, Kerajaan Makassar tetap hidup lewat keturunannya. Pada tahun 1936, Raja Gowa XXXV atau I Mangngi Mangngi Daeng Mattutu mendirikan istana untuk kediaman kerajaan yang baru di Sungguminasa, Kabupaten Gowa, atau sekitar 30 menit dari pusat Kota Makassar. Istana Gowa dengan arsitektur Makassar ini kini lebih dikenal dengan nama Museum Balla Lompoa, yang bermakna ‘Rumah Kebesaran’ dalam bahasa Makassar. Museum ini bersebelahan dengan Istana Tamalate yang dibangun pada tahun 1980-an oleh bupati Gowa pada saat itu.

Museum Balla Lompoa

Museum Balla Lompoa dan Istana Tamalate merupakan dua bangunan dengan arsitektur tradisional yang cantik dan menarik untuk Travelers kunjungi. Apalagi bagi Travelers yang tertarik untuk mempelajari seputar Kesultanan Makassar lewat berbagai pusaka seperti mahkota, batu mulia, naskah-naskah lontara, hingga senjata-senjata yang dipakai saat perang perjuangan terdahulu.

Interior Museum Balla Lompoa

Selain beberapa situs yang disebut di atas, Travelers dapat mengunjungi Makam Raja-raja Tallo dan Masjid Katangka yang juga memiliki kaitan historis dengan Kesultanan Makassar. Benteng Rotterdam dan Museum I La Galigo-nya juga menyimpan berbagai peninggalan dan cerita kebesaran Kesultanan Makassar.

Kerajaan Gowa pun berakhir di tahun 1946, saat Andi Idjo, Raja Gowa XXXVI, menyatakan bergabungnya Kesultanan Makassar dengan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Namun kebesaran kerajaan ini tetap lestari lewat berbagai peninggalan dan pengaruh budaya yang ditinggalkannya.

Warna-warni kejayaan Kesultanan Makassar di darat dan di laut tidak dihasilkan oleh satu kekuatan, melainkan sebuah hasil dari persatuan dan kerjasama dua kerajaan yang membentuknya: Gowa dengan kesuburan tanah dan kekuatan agrarisnya; Tallo dengan akses laut dan kekuatan maritimnya.

Kualitas dari kedua kerajaanlah yang menjadi faktor utama kebangkitan Kesultanan Makassar sebagai adidaya di Nusantara yang membuatnya menonjol dalam buku-buku sejarah Indonesia saat ini. Karena itu, cerita mengenai Kesultanan Makassar akan selalu menarik untuk dipelajari dengan kekayaan akan nilai-nilai persatuan dan toleransi yang membawa kesejahteraan kepada setiap jiwa yang bernaung di dalamnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy

  • Catatan
    • ‘Somba’ berarti ‘raja’, dan kawasan Somba Opu sempat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Gowa – Tallo
    • Naskah-naskah lontara menjadikan Kesultaan Makassar sebagai salah satu kerajaan di Nusantara dengan pencatatan sejarah yang baik.

    • Lokasi : Benteng Somba Opu, Kec. Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 90224
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 18.00 WITA
    • Lokasi : Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 17.00 WITA
    • Lokasi : Jl. K. H. Wahid Hasyim No.39, Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 16.00 WITA
    • Lokasi : Jalan Abdul Kadir, Benteng Somba Opu, Kec. Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 90225
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 07.00 – 17.00 WITA
    • Hubungi : 0852-4233-1227

Penyu Pertahanan dan Pelestarian

Bila dilihat dari atas, bentuk bangunan yang berusia ratusan tahun ini memang tampak seperti seekor penyu raksasa. Penyu yang terbuat dari batu ini akan terlihat bagai penyu yang seolah merangkak dengan pasti menuju samudra yang siap diarungi, atau penyu yang selalu waspada akan ancaman yang datang dari Selat Makassar di hadapannya.

Penyu raksasa yang berdiri di pesisir Kota Makassar ini memang dibangun berdasarkan filosofi seekor penyu yang melambangkan kekuatan darat dan laut, sebagai keunggulan Kerajaan Gowa – Tallo yang mendirikannya.

Bangunan ini dulunya bernama Benteng Jumpandang atau Ujungpandang. Dibangun sekitar tahun 1545 dengan bahan dasar sederhana seperti batu dan tanah liat. Namun, seiring berjalannya zaman bangunan benteng diperkuat lagi dengan batu padas hitam dari pegunungan karst yang ada di sekitar Makassar.

Benteng yang juga dikenal masyarakat dengan nama Benteng Panyua atau ‘penyu’ ini merupakan salah satu dari 17 benteng yang Kerajaan Gowa – Tallo (atau nantinya lebih dikenal sebagai Kesultanan Makassar) dirikan, sebagai garnisun utama salah satu kekuatan politik dan militer Nusantara terbesar pada zamannya. Akan tetapi, Kesultanan Makassar mendapat tentangan dari Belanda lewat VOC yang memaksakan agenda monopoli rempah mereka.

Di pertengahan abad ke-17, VOC melakukan sejumlah penyerangan terhadap Makassar yang terus bertahan dengan benteng-bentengnya. Namun Perang Makassar berakhir lewat Perjanjian Bungaya di tahun 1667, yang salah satu pasalnya mengharuskan Makassar untuk menyerahkan Benteng Jumpandang ke tangan VOC.

Di bawah Cornelis Speelman, gubernur jenderal VOC pada masa itu, Benteng Jumpandang yang mengalami kerusakan akibat Perang Makassar diperbaiki dan dimodifikasi dengan style arsitektur Belanda. Namanya pun dirubah menjadi Fort Rotterdam, berdasarkan kota kelahiran sang gubernur jenderal. Untuk ratusan tahun setelahnya, Fort Rotterdam menjadi salah satu titik penting dalam kekuasaan Belanda di Nusantara, terutama di Sulawesi atau Hindia-Belanda bagian timur.

Dengan areal kompleks seluas 2,5 ha dan 16 bangunan yang ada di dalamnya, otomatis Fort Rotterdam difungsikan sebagai pusat pemerintahan VOC yang baru. Fort Rotterdam menjadi gudang penyimpanan berbagai kargo dan komoditas berharga milik Hindia-Belanda yang singgah di Makassar.

Pertahanan Fort Rotterdam saat itu juga semakin diperkokoh dengan 5 bastion utamanya yang masih berdiri hingga saat ini: Bastion Bone, Bacan, Buton, Mandarsyah, dan Amboina. Sebagai basis militer, Fort Rotterdam juga berfungsi sebagai penjara. Bahkan Pangeran Diponegoro sempat menjadi salah satu tawanan di tempat ini di waktu pengasingannya.

Di tahun 1938, pemerintah Hindia-Belanda membentuk Celebes Museum di salah satu bangunan di area Fort Rotterdam. Museum ini menampung berbagai relik dan artefak yang ditemui di seluruh Sulawesi Selatan, seperti mata uang kuno, naskah-naskah Lontara, keramik dan gerabah, dan lain sebagainya.

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1970 museum ini diresmikan dan berganti nama menjadi Museum La Galigo. Banyak pihak juga turut berkontribusi untuk memperkaya koleksi dari museum, sehingga saat ini museum ini menampung begitu banyak informasi seputar kehidupan masyarakat di seluruh Provinsi Sulawesi Selatan, mulai dari temuan arkeologi prasejarah, koleksi kerajinan dan kebudayaan tradisional, kearifan lokal, hingga sejarah kerajaan-kerajaan setempat.

Areal Fort Rotterdam dan Museum I La Galigo menjadi salah satu tujuan wisata terfavorit di Makassar saat ini. Selain karena nilai historisnya yang tinggi, tempat ini amat mudah untuk dijangkau karena letaknya yang dekat dengan pusat kota. Walau kian berganti nama dan bentuk, atau berpindah tangan kepemilikan, sang penyu bercangkang batu padas ini tetap kokoh berdiri selama ratusan tahun sebagai saksi sejarah Kota Makassar, dengan cerita-cerita seputar salah satu daerah yang paling signifikan dalam lintas sejarah Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

  • No.Road, Jl. Ujung Pandang, Bulo Gading, Kec. Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90171

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 09.00 – 18.00 WITA

  • Hubungi

    (0411) 362 1701, 362 1702

  • Email

    kebudayaan@kemdikbud.go.id

  • www.kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/