Potensi dan Kontroversi
Bukan hanya keindahan alamnya saja, Bumi Blambangan juga dianugerahi kekayaan akan sumber daya alam. Komoditas yang melimpah di pertanian dan perikanan senantiasa membawa kemakmuran bagi masyarakat Banyuwangi. Dan salah satu komoditas khas Banyuwangi yang paling menarik untuk diamati adalah tambang belerang yang terdapat di Kawah Ijen.
Dengan danau asam berwarna biru kehijauan yang mencolok dan fenomena
blue fire-nya, Kawah Ijen telah dikenal sebagai primadona pariwisata di Banyuwangi. Di balik pesona eksotisnya, danau asam terbesar di dunia ini menyimpan cadangan sulfur atau belerang terbesar di Indonesia. Namun pengerjaan tambang yang masih amat tradisional di tempat ini juga mengundang sorotan mancanegara karena keunikan dan keekstreman kondisi yang pekerjanya harus lewati sehari-hari.
Sumber belerang di Ijen yang melimpah mulai ditambang sejak zaman Hinda-Belanda, tepatnya pada tahun 1911. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengaktifkan kembali penambangan di Ijen secara resmi di tahun 1968. Namun penambangan belerang tersebut masih dikerjakan dengan tradisional, bahkan hingga saat ini.
Para pekerja tambang di Ijen harus naik ke ketinggian sekitar 2,386 mdpl untuk mencapai bibir kawah. Selanjutnya mereka harus turun ke tepi danau yang berada di ketinggian 2,145 mdpl untuk mencapai solfatara, dapur belerang tempat penambangan. Para pekerja harus melewati jalur bebatuan yang terjal dan berliku sambil memanggul bakul-bakul berisi belerang seberat 70-90 kg. Ditambah lagi, mereka harus menghadapi gas vulkanik dari reaksi belerang yang menyengat dan membubung tak tentu arah tertiup angin. Dan umumnya, mereka melakukan dua kali perjalanan tersebut per harinya.
Gas vulkanik di Ijen adalah gas berbahaya yang pedih di mata serta mengeluarkan aroma yang busuk. Para wisatawan dianjurkan menggunakan masker dalam kunjungannya ke Kawah Ijen karena hal ini. Namun banyak dari para penambang belerang di Ijen yang justru tidak mengenakan masker dalam melakukan pekerjaannya. Hanya beberapa saja yang menggunakan kain sederhana untuk melindungi pernapasan mereka.
Tidak jarang dari para pekerja yang terjangkit penyakit pernapasan. Atau sakit di bagian bahu dan pinggang karena berat yang harus dipikul setiap harinya. Beberapa media internasional menyebut pekerjaan menambang di Ijen ini sebagai pekerjaan yang paling membahayakan di dunia. Namun di balik kondisi yang memprihatinkan, para pemanggul belerang Ijen ini justru mendunia sebagai salah satu atraksi yang menarik para wisatawan untuk mengunjungi Kawah Ijen.
Sebenarnya telah ada wacana untuk mengindustrialisasikan tambang belerang di Ijen dengan bantuan mesin, yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tambang. Namun para pekerja tambang yang mayoritas adalah warga setempat memilih untuk menjaga metode penambangan tradisional yang telah berlangsung turun-temurun di Ijen. Pembangunan dan penempatan alat berat juga dikhawatirkan akan merusak kealamian di Kawah Ijen yang juga merupakan salah satu tujuan wisata alam utama di Banyuwangi.
Belerang sendiri memiliki banyak kegunaan dalam keseharian kita. Mulai dari pembuatan pupuk, bahan untuk pemutih gula dan benang, sebagai bahan obat, sabun hingga kosmetik. Walau hanya dengan proses tradisional, saat ini tambang belerang Ijen menghasilkan 14 ton belerang per harinya dan diekspor hingga ke Cina dan seluruh Asia Tenggara.
Cadangan belerang terbesar di Indonesia ini memang menyimpan banyak potensi yang masih bisa digali, namun mungkin juga dengan potensi kerusakan alam yang dapat ditimbulkannya. Dengan mempertahankan metode penambangan tradisional, para penambang di Ijen memang berkorban untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarga, tanpa menghiraukan kondisi pekerjaan mereka yang begitu ekstrem. Namun yang terpenting, para penambang di Ijen juga turut membantu terjaganya keasrian di Kawah Ijen sebagai salah satu bentang alam terunik dan terelok di Nusantara.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!