Pos

“Apa Lu Mau, Gue Ada!”

Sebagai jantung kehidupan negara, Jakarta berperan penting dalam perputaran roda perekonomian Indonesia melalui aktivitas perniagaan di pasar-pasarnya. Aktivitas berdagang sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat Indonesia sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda di Batavia. Bahkan, berdagang telah menjadi salah satu mata pencaharian bagi penduduk lokal maupun pendatang di negeri ini.

Selain etnis Tionghoa yang sudah terkenal akan kepiawaiannya dalam berdagang, ada juga etnis Minangkabau, Arab dan India yang juga mengadu nasib di pasar-pasar Jakarta. Meskipun pasar-pasar modern terus mengalami perkembangan, masih banyak pasar tradisional di Jakarta yang tetap bertahan hingga saat ini.


• Pasar Rawa Belong

Rangkaian bunga berwarna-warni kerap dijadikan sarana untuk menyampaikan ungkapan kasih sayang. Menjejaki pasar Rawa Belong di daerah Palmerah, Jakarta Barat, Travelers akan merasa seperti berada di taman bunga. Begitu memasuki kawasan Rawa Belong, Travelers akan langsung disambut oleh aroma bunga yang semerbak. Tata letak pasarnya yang cukup rapi akan memudahkan pembeli untuk mendapatkan bunga segar yang diinginkan.

Beragam jenis bunga bisa Travelers dapatkan di sini, seperti bunga anggrek, mawar, sedap malam, baby breath, aster, peacock dan lainnya. Selain bunga lokal dari Sukabumi, Bandung maupun Sumatra, Pasar Rawa Belong pun menyediakan bunga impor dari luar negeri seperti tulip dan mawar hitam yang dapat dipesan terlebih dahulu sebelumnya.

Buka 24 jam setiap harinya, Pasar Rawa Belong sendiri terkenal di antara masyarakat Jakarta karena harga bunga-bunganya yang relatif murah dan menguntungkan bagi para pengecer. Selain bunga ikat dan bunga potong, Pasar Rawa Belong juga menawarkan papan bunga dan rangkaian bunga.

Beberapa penjual bunga juga menawarkan jasa dekorasi bunga untuk acara pernikahan, pesta ulang tahun dan pesta lainnya. Turut menjual aksesoris pelengkap dekorasi bunga seperti pot, ranting dan pagar penghias, Rawa Belong wajib didatangi Travelers yang ingin mendapatkan segala kebutuhan bunganya di satu lokasi.


• Pasar Tanah Abang

Pelanggan sedang memilih berbagai macam kain yang penuh corak dan warna pada salah satu kios di Pasar Tanah Abang, Jakarta

Pasar Tanah Abang

Dahulu, pasar ini didirikan khusus untuk berjualan perlengkapan tekstil maupun kelontong dan buka di setiap hari Sabtu saja. Semenjak didirikannya Stasiun Tanah Abang yang berjarak tidak jauh dari pasar tersebut, Pasar Tanah Abang berkembang semakin pesat. Dukungan jalur transportasi tersebut memudahkan para pedagang maupun pembeli dari luar kota, khususnya Jabodetabek, yang memanfaatkan kereta api sebagai transportasi utama.

Saat ini Pasar Tanah Abang merupakan salah satu pusat grosir terbesar di Indonesia yang selalu ramai akan pedagang maupun pembeli. Walaupun masih didominasi penjualan tekstil, pasar ini pun turut menjual barang-barang lainnya seperti pakaian, aksesoris, perlengkapan bayi dan perlengkapan rumah. Harga yang ditawarkan pun beragam, namun biasanya tetap lebih murah dibandingkan pasar lainnya.

Selain itu, pembeli di pasar ini bisa mendapatkan barang-barangnya dengan harga grosir, sehingga Pasar Tanah Abang telah menjadi bagian dari komoditas ekspor ke luar negeri. Fasilitas yang disediakan pun sudah cukup lengkap seperti lift, food court, escalator, masjid dan area parkir yang menjamin kenyamanan para pelanggan.


• Pasar Kue Subuh Senen

Pasar Kue Subuh Senen, Jakarta

Pasar Kue Subuh Senen

Apakah Travelers pernah mendengar tentang Pasar Kue Subuh di Jakarta? Pasar Kue Subuh di Jakarta berada di Senen, Blok M dan Bintaro. Sudah berdiri di Jl. Senen, Jakarta Pusat, dari tahun 1988, pasar kue subuh Senen menjajakan ratusan lapak kue basah, brownies, kue kering hingga kue tart.

Aneka kue ditawarkan dengan berbagai macam rasa, bentuk dan warna yang menggugah selera para pembeli. Jajanan pasar seperti lemper, lapis legit, klepon, wajik, pastel, lontong, risoles juga bisa Travelers dapatkan mulai dari harga Rp2.000. Selain jajanan pasar dan kue basah, Travelers juga bisa mendapatkan snack ringan seperti kerupuk dan keripik.

Buka dari pukul 21:30 WIB, pasar ini pun menjual kue dengan harga eceran maupun grosiran. Uniknya, pembeli juga bisa mencicipi terlebih dahulu kue-kue yang ada sebelum dibeli. Jika Travelers membeli dalam kapasitas banyak, sang penjual pun tidak segan untuk memberikan tambahan kue sebagai bonus. Karena aktivitas penjualan yang ramai dari malam hingga pagi hari, maka dari itu tempat ini dinamakan pasar kue subuh.

Teriakan khas para penjual ikut meramaikan suasana keriuhan pasar kue subuh Senen. Pasar Kue Subuh Senen yang dapat terlihat dengan jelas dari flyover Senen ini dapat dicapai dengan mudah menggunakan TransJakarta. Travelers hanya perlu berjalan kaki menuju Pasar Kue Subuh Senen dari halte TransJakarta Senen.


• Pasar Poncol Senen

Salah satu pasar yang menjual barang-barang bekas adalah Pasar Poncol. Jika Travelers tahu Stasiun Senen, Pasar Poncol ini sangat mudah ditemukan karena letaknya yang berdekatan dengan stasiun. Dari luar, Pasar Poncol terlihat seperti pasar loak biasa yang menjual barang bekas. Berbagai barang bekas dapat dijumpai di sini seperti pakaian, sepatu, alat musik, alat pancing, alat elektronik, perlengkapan rumah tangga, perlengkapan mobil dan sebagainya. Tetapi jika jeli dalam memilihnya, Travelers akan menemukan barang branded dan limited edition yang masih dalam keadaan baik.

Kebanyakan barang yang dijual di sini merupakan barang second hand atau barang bekas yang masih layak untuk digunakan. Barang-barang antik juga bisa Travelers temukan di sini seperti arloji, koper tua, jam dinding, dompet kulit, kamera analog dan lainnya. Diperlukan kesabaran ekstra untuk memasuki kios-kios di Pasar Poncol ini satu per satu. Waktu terbaik untuk mengunjungi Pasar Poncol ini ialah pagi hingga sore hari karena Travelers bisa dengan leluasa menelusuri lorong-lorong yang barang dagangannya sudah tertata dengan rapi.

Masih banyak pasar-pasar lainnya di Jakarta dengan komoditas khas seperti Pasar Gembrong dengan beragam mainan yang dijualnya dan tentunya dengan harga terjangkau. Kios-kios yang tertata rapi di dalamnya pun dapat memudahkan pembeli untuk memilih barang yang akan dibeli. Pasar ini dikenal sebagai pusat mainan berkualitas. Banyak orang tua yang mengajak anak-anaknya ke sini karena harganya yang lebih murah 10-20 % daripada harga di pasaran. Selain itu juga ada Pasar Asemka yang lengkap dengan barang grosirnya namun juga bisa dibeli dengan satuan. Dimulai dari perlengkapan sekolah, peralatan kantor, suvenir, aksesoris kantor dan lainnya. Harganya pun beragam tergantung dari jenis barang yang Travelers beli.

Pasar lainnya seperti Pasar Seni Ancol memiliki ciri khas dibandingkan dengan pasar lainnya yaitu memasarkan hasil karya seni seperti lukisan dan hasil pahatan. Dengan fasilitas yang dimiliki, Pasar Seni Ancol menaungi para seniman dan pengusaha kreatif lainnya untuk terus mengembangkan seni budaya di Jakarta dan Indonesia.

Jl. Surabaya sebagai tempat penjualan barang-barang antik di Jakarta

Jalan Surabaya

Pasar khusus barang antik juga bisa Travelers kunjungi yaitu di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Pasar Jalan Surabaya ini dikenal karena kios-kiosnya yang menjual barang antik dan jarang ditemukan di tempat lain. Harganya pun beragam tergantung dari jenis barang dan kondisi barang tersebut. Semakin antik dan langka maka harganya pun bisa mencapai puluhan juta. Selain barang antik, pasar ini juga menawarkan koper-koper bekas yang masih bisa digunakan.

Bagi Travelers yang memiliki hobi belanja, tidak ada salahnya untuk mengunjungi pasar-pasar tradisional yang ada di Jakarta ini. Selain harganya yang terjangkau, jika beruntung, Travelers bisa mendapatkan barang yang langka dan berkualitas.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy, Nelce Muaya, George Timothy, Dyah Puri Surastianii

Tenunan Untaian Harapan

Salah satu wujud kekayaan budaya Indonesia tercerminkan dari lahirnya wastra atau kain tradisional Nusantara. Sebagai peninggalan turun menurun, wastra melekat menjadi sebuah identitas khusus dari tiap daerah dan memiliki sebutannya masing-masing.

Diolah dengan indahnya, tiap helai, motif, serta corak pun memiliki nilai dan arti. Begitu pula dengan adanya sarung tenun sutra Bugis Lipa’ Sabbe yang kerap menjadi buah tangan pilihan Travelers yang berkunjung ke Kota Anging Mamiri.

Nama Lipa’ Sabbe sendiri berasal dari bahasa Bugis yang artinya sarung sutra. Dalam pemakaiannya, Lipa’ Sabbe digunakan sebagai bawahan sarung yang dipadukan dengan jas tutup bagi laki-laki. Untuk perempuan, sarung ini dikenakan sebagai bawahan dari baju bodo, di mana biasanya salah satu ujung Lipa Sabbe’ dibiarkan menjuntai dan cukup dipegang menggunakan tangan kiri. Khusus untuk pertunjukan tari tradisional, umumnya Lipa’ Sabbe akan digulung di bagian punggung dengan simpul menyerupai kipas.

Apabila Travelers ingin mengunjungi langsung sentra kerajinan Lipa’ Sabbe, maka wajib untuk mampir ke Kota Sengkang, Kabupaten Wajo. Berjarak sekitar 4 – 5 jam dari Kota Makassar, menggunakan kendaraan pribadi maupun umum.

Ketika Travelers memasuki Kota Sengkang maka akan terlihat sebuah gapura besar yang bertuliskan “Selamat Datang di Sengkang Kota Sutera”. Diajarkan secara turun-temurun, keterampilan masyarakat Sengkang dalam mengolah sutra sudah tersohor di Sulawesi Selatan.

Mulanya, benang sutra yang digunakan merupakan benang impor, namun kini warga sudah melakukan proses pemeliharaan ulat sutra sendiri di rumah-rumah. Kondisi tanah yang subur di wilayah ini pun memudahkan para warga untuk menanam pohon murbei yang menjadi pakan utama ulat sutra.

Terkenal dengan teksturnya yang halus dan mengkilat, Lipa’ Sabbe asli Kota Sengkang ditenun menggunakan dua teknik. Yang pertama adalah dengan menggunakan alat tenun gedongan, di mana menenun dilakukan sembari duduk dan meluruskan kedua kaki ke depan, atau dengan melipat salah satu kaki. Kedua adalah dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang dilakukan dengan posisi duduk sambil menginjak sepasang pedal kayu yang terdapat di bagian bawah ATBM secara silih berganti dengan kaki kiri dan kanan.

Untuk satu potong Lipa’ Sabbe biasanya memakan waktu 3 hari hingga 1 minggu untuk diselesaikan, tergantung dari motif maupun coraknya, dan tiap potong Lipa’ Sabbe asli Sengkang ini dijual dengan kisaran harga antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000.

Seiring dengan perkembangan zaman, elemen-elemen kain Lipa’ Sabbe pun menjadi lebih variatif. Bermula dari motif tradisional kotak-kotak kecil berwarna cerah yang disebut balo renni atau motif kotak-kotak besar dengan warna merah terang hingga merah keemasan yang disebut balo lobang, kini motif-motif modern pun sudah semakin banyak diproduksi. Akan tetapi, perkembangan ke arah lebih modern dilakukan dengan tetap menjaga nilai-nilai keunikan dan warna khasnya.

Sarung tenun sutra Bugis ini tentunya menjadi salah satu gambaran nyata akan keelokan dan kekayaan budaya Sulawesi Selatan, di mana tiap helai benang, motif, corak serta warna, mencerminkan harapan kebaikan dari sosok penenun di balik keindahan Lipa’ Sabbe.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Iqbal Fadly

  • Catatan

    Hingga saat ini, masyarakat Sulawesi Selatan kerap mengenakan Lipa’ Sabbe dalam acara adat, acara pernikahan seperti mappacci, dan juga sebagai hadiah pernikahan untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki. Pada tahun 2016, Lipa’ Sabbe resmi menjadi bagian dari 33 kain tradisional yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Potensi dan Kontroversi

Bukan hanya keindahan alamnya saja, Bumi Blambangan juga dianugerahi ke­kayaan akan sumber daya alam. Komoditas yang melimpah di pertanian dan perikanan senantiasa membawa kemakmuran bagi masyarakat Banyuwangi. Dan salah satu komoditas khas Banyuwangi yang paling menarik untuk diamati adalah tambang belerang yang terdapat di Kawah Ijen.

Dengan danau asam berwarna biru ke­hijauan yang mencolok dan fenomena
blue fire-nya, Kawah Ijen telah di­kenal sebagai primadona pariwisata di Banyuwangi. Di balik pesona eksotisnya, danau asam terbesar di dunia ini menyimpan cadangan sulfur atau belerang terbesar di Indonesia. Namun pengerjaan tambang yang masih amat tradisional di tempat ini juga mengundang sorotan mancanegara karena keunikan dan keekstreman kondisi yang pekerjanya harus lewati sehari-hari.

Sumber belerang di Ijen yang melimpah mulai ditambang sejak zaman Hinda-Belanda, tepatnya pada tahun 1911. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengaktifkan kembali penambangan di Ijen secara resmi di tahun 1968. Namun penambangan belerang tersebut masih dikerjakan dengan tradisional, bahkan hingga saat ini.

Para pekerja tambang di Ijen harus naik ke ketinggian sekitar 2,386 mdpl untuk mencapai bibir kawah. Selanjutnya mereka harus turun ke tepi danau yang berada di ketinggian 2,145 mdpl untuk mencapai solfatara, dapur belerang tempat penambangan. Para pekerja harus melewati jalur bebatuan yang terjal dan berliku sambil memanggul bakul-bakul berisi belerang seberat 70-90 kg. Ditambah lagi, mereka harus menghadapi gas vulkanik dari reaksi belerang yang menyengat dan membubung tak tentu arah tertiup angin. Dan umumnya, mereka melakukan dua kali perjalanan tersebut per harinya.

Gas vulkanik di Ijen adalah gas berbahaya yang pedih di mata serta mengeluarkan aroma yang busuk. Para wisatawan dianjurkan menggunakan masker dalam kunjungannya ke Kawah Ijen karena hal ini. Namun banyak dari para penambang belerang di Ijen yang justru tidak mengenakan masker dalam melakukan pekerjaannya. Hanya beberapa saja yang menggunakan kain sederhana untuk melindungi pernapasan mereka.

Tidak jarang dari para pekerja yang terjangkit penyakit pernapasan. Atau sakit di bagian bahu dan pinggang karena berat yang harus dipikul setiap harinya. Beberapa media internasional menyebut pekerjaan menambang di Ijen ini sebagai pekerjaan yang paling membahayakan di dunia. Namun di balik kondisi yang memprihatinkan, para pemanggul belerang Ijen ini justru mendunia sebagai salah satu atraksi yang menarik para wisatawan untuk mengunjungi Kawah Ijen.

Sebenarnya telah ada wacana untuk mengindustrialisasikan tambang belerang di Ijen dengan bantuan mesin, yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tambang. Namun para pekerja tambang yang mayoritas adalah warga setempat memilih untuk menjaga metode penambangan tradisional yang telah berlangsung turun-temurun di Ijen. Pembangunan dan penempatan alat berat juga dikhawatirkan akan merusak kealamian di Kawah Ijen yang juga merupakan salah satu tujuan wisata alam utama di Banyuwangi.

Belerang sendiri memiliki banyak kegunaan dalam keseharian kita. Mulai dari pembuatan pupuk, bahan untuk pemutih gula dan benang, sebagai bahan obat, sabun hingga kosmetik. Walau hanya dengan proses tradisional, saat ini tambang belerang Ijen menghasilkan 14 ton belerang per harinya dan diekspor hingga ke Cina dan seluruh Asia Tenggara.

Cadangan belerang terbesar di Indonesia ini memang menyimpan banyak potensi yang masih bisa digali, namun mungkin juga dengan potensi kerusakan alam yang dapat ditimbulkannya. Dengan mempertahankan metode penambangan tradisional, para penambang di Ijen memang berkorban untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarga, tanpa menghiraukan kondisi pekerjaan mereka yang begitu ekstrem. Namun yang terpenting, para penambang di Ijen juga turut membantu terjaganya keasrian di Kawah Ijen sebagai salah satu bentang alam terunik dan terelok di Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Sebagai salah satu tradisi Indonesia yang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia, pembicaraan seputar batik tentu tidak akan ada habisnya. Kerajinan membatik diperkirakan mulai tumbuh di Pulau Jawa sejak zaman Majapahit, yang kemudian berkembang lewat kerajaan-kerajaan yang lahir setelahnya seperti Kesultanan Mataram, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Batik yang awalnya hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan kini telah merajalela dan melekat dalam keseharian seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan, satu atau beberapa buah pakaian batik mungkin ada di lemari atau koper Anda saat ini.

Hampir setiap daerah, terutama di Pulau Jawa, memiliki variasi batik yang berbeda-beda. Saat ini, terdapat sekitar ribuan jenis batik yang tersebar di Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu penghasil kerajinan batik yang memiliki karakteristik batiknya tersendiri.

Ada banyak tempat di Jogja dimana Anda bisa memburu batik-batik terbaik untuk cinderamata maupun koleksi wardrobe pribadi untuk dipakai ke kantor atau pesta tertentu. Namun sebelum memilih batik yang akan dibeli, ada baiknya kita mempelajari terlebih dahulu jenis dari tiap motif yang ada di dalamnya. Karena pada dasarnya, tiap motif pada batik mengandung makna yang mencerminkan falsafah hidup masyarakat Jawa.

Semua motif dalam batik yang ada di Jogja memiliki nilai estetika dan nilai filosofinya tersendiri, dengan doa dan wejangan yang disesuaikan dengan kebutuhan sang pemakainya. Misalnya, motif Kawung, salah satu motif batik tertua yang membentuk geometri empat lingkaran dan satu lingkaran di tengahnya.

Lingkaran itu diibaratkan sebagai biji kaung, dan empat lingkaran melambangkan berbagai pandangan hidup masyarakat Jawa yang banyak bertumpu pada angka empat seperti Sedulur Papat Lima Pancer maupun Catur Ubhaya. Batik motif ini diharapkan membawa kebijaksanaan dan kebersihan hati dengan nilai-nilai luhur adat Jawa bagi para pemakainya.

Motif Parang yang lekat dengan Keraton Jogja, adalah salah satu motif batik yang mudah dikenali karena bentuk parang berwarna putih yang terbaris diagonal. Motif Parang terbagi lagi ke dalam banyak jenis, seperti Parang Klithik, Parang Kusumo, Parang Rusak hingga Parang Barong dengan bentuk parang-nya yang terbesar.

Umumnya, motif Parang yang bermakna tebing batu, mencerminkan hidup yang penuh dengan perjuangan dan usaha, bagaikan tebing batu di tepi laut yang selalu diterjang ombak. Kain bermotif Parang Barong dulunya hanya boleh dikenakan keluarga kerajaan yang menjadi pengingat bahwa seorang pemimpin harus selalu bertanggung jawab dan waspada akan marabahaya yang mengancam dari luar, maupun dari dalam diri sendiri seperti emosi dan hawa nafsu.

Motif terkenal berikutnya adalah Semen, yang berbentuk pola non-geometris dengan bentuk gunung, laut, hewan dan tumbuhan. Motif Semen yang mengambil inspirasi dari alam bermakna harapan akan keindahan hidup yang ideal, dimana kebaikan selalu tumbuh dan bersemi.

Motif Semen juga memiliki banyak jenis, seperti Semen Sido Mukti, Semen Gurdo, dan Semen Rama. Tiap jenis memiliki khas elemen alam yang berbeda dan memiliki makna filosofisnya tersendiri. Motif Ceplok, Truntum, Nitik, dan masih banyak lagi motif batik Jawa lainnya, juga dapat Anda temui dengan mudah di Kota Jogja.

Hingga saat ini batik menjadi salah satu komoditas utama bagi banyak masyarakat di Yogyakarta. Toko-toko batik dengan berbagai ukuran, jenis, dan motif batik yang khas berdiri di berbagai sudut Kota Jogja. Di Pasar Beringharjo dan Batik Mirota yang berada di Jalan Malioboro, Anda tidak hanya bisa memburu batik dengan harga murah. Kedua tempat ini penuh dengan pernik sekolah dan rumah tangga dengan motif batik.

Bagi Anda yang tertarik untuk membeli batik langsung dari para pembuatnya atau hendak mencoba membatik sendiri, Anda bisa berkunjung ke Kampung Batik Giriloyo yang ada di Imogiri. Terdapat juga Museum Batik Yogyakarta bagi Anda yang ingin melihat koleksi batik yang beragam dan mempelajari tiap desainnya lebih dalam.

Di Indonesia, batik memang sudah sehari-harinya kita jumpai. Namun tidak banyak dari orang Indonesia, atau bahkan orang Jawa, yang memahami makna dari tiap motifnya. Dalam trip Anda ke Jogja berikutnya, ada baiknya untuk tidak sekedar memburu batik-batik tercantik. Sempatkan juga untuk mempelajari proses pembuatannya dan kandungan makna yang tertuang di atasnya.

Bahwa tiap tinta dan lilin yang terlukis canting di atas kain batik yang Anda pakai, adalah wejangan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Yang akan selalu menjadi petuah dan harapan akan hidup yang lebih baik, bagi para pemakainya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ibna Alfattah & Iqbal Fadly

Dari Perhiasan Raja Hingga Cindera Mata

Jika Anda mengunjungi Kotagede, sebuah kecamatan di tenggara Kota Jogja, Anda akan menjumpai berbagai pengrajin perak di banyak sudutnya. Kotagede merupakan sentra kerajinan perak yang sudah terkenal bahkan sejak abad ke-16 di masa Kesultanan Mataram.

Kotagede muncul sebagai pusat perdagangan yang cukup maju, hal ini ditandai dengan sebutan lain untuk Kotagede yaitu Sar Gede atau Pasar Gede yang dapat diartikan sebagai ‘pasar besar’. Memang, wilayah sekitar Kotagede dulunya sempat menjadi ibukota dari Kesultanan Mataram.

Kerajinan perak di Kotagede bermula dari kebiasaan para abdi dalem kriya Kotagede membuat barang-barang keperluan Keraton untuk memenuhi kebutuhan akan perhiasan atau perlengkapan lainnya bagi raja serta kerabat-kerabatnya.

Perkembangan kerajinan perak Kotagede mengalami masa keemasan sekitar tahun 1930 – 1940 dengan munculnya perusahan-perusahaan baru, peningkatan kualitas, dan diciptakannya berbagai bentuk dan motif yang diproduksi.

Hasil dari kerajinan perak di Kotagede saat ini tidak hanya dijual di dalam negeri tetapi turut diekspor ke banyak negara. Kerajinan perak di Kotagede ini benar-benar masih diproses dengan cara manual yang dilakukan bertahap mulai dari memproses perak yang masih berbentuk biji hingga ke finishing-nya sebagai perhiasan atau perabotan lainnya. Setiap harinya, para pekerja membuat kerajinan perak dengan harga jual yang beragam, tergantung pada ukuran dan tingkat kesulitan pembuatannya.

Proses produksinya diawali dengan peleburan perak murni berbentuk kristal, dicampur dengan tembaga. Kadar perak standar adalah 92,5%. Perak yang dilebur dan berbentuk cair dicetak untuk mendapatkan bentuk seperti yang diinginkan, misalnya bentuk cincin.

Proses kedua ini disebut singen (dicetak). Proses berikutnya ialah mengondel, yaitu memukul-mukul hasil cetakan untuk mendapatkan bentuk yang sesuai. Proses mengondel memerlukan tingkat keterampilan tersendiri yang membutuhkan kesabaran, ketelitian, kecermatan serta emosi. Setelah terbentuk, perak kemudian diukir untuk mendapatkan motif yang diinginkan. Proses terakhir ialah finishing, yaitu membuat perak menjadi mengkilat.

Saat ini di Kotagede terdapat puluhan art shop perak yang tersebar di seluruh wilayahnya. Wisatawan tidak sekedar dapat memilih dan membeli souvenir dari perak, tetapi bisa juga menyaksikan proses pembuatannya atau bahkan belajar membuat kerajinan perak sendiri langsung di Kotagede, sebagai salah satu pusat kerajinan perak terbaik di Pulau Jawa.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : Ibna Alfattah & Iqbal Fadly