Pos

Sensasi, Atraksi, Tradisi

Matanya melotot, menatap liar ke arah penonton selagi denting gamelan bermain dengan tempo yang semakin cepat. Kemudian ia berteriak, berlari kesana kemari bak seekor kuda yang tengah mengamuk. Berguling-guling di atas tanah seperti orang kerasukan.

Scene ini mungkin terlihat menyeramkan bagi anak-anak. Namun potongan adegan tersebut merupakan hal yang umum terlihat dalam kesenian jathilan, di mana saat-saat penarinya ndadi atau kerasukan menjadi atraksi utama yang ditunggu-tunggu para penonton.

Jathilan adalah kesenian rakyat khas Yogyakarta yang berkembang di desa-desa di Jogja, dimainkan oleh sejumlah penari dan pengiring yang memainkan gamelan. Penari umumnya terdiri dari laki-laki yang menunggangi kuda kepang yang terbuat dari bambu. Tarian ini bertumpu pada kuda-kudaan tersebut, di mana para penari berjingkrakan dan dari situlah istilah jathil berasal.

Di antara para penari terdapat seorang pawang yang membawa cambuk. Selain memimpin tarian, pawang bertugas untuk mengendalikan para penari, menyadarkan mereka dari kerasukan dan menjaga keselamatan tiap penarinya.

Menurut sejarahnya, kesenian tradisional ini awalnya dikaitkan dengan ritual upacara untuk memanggil roh nenek moyang atau totem binatang, serupa halnya dengan tari Sang Hyang Jaran dari Bali. Itulah mengapa jathilan sangat lekat dengan unsur mistik, yang hingga saat ini pementasannya masih dimulai dengan menyiapkan sesaji dan pembacaan sejumlah mantra atau doa-doa.

Umumnya para penari jathilan kerasukan roh yang dipercaya sebagai roh totem kuda, yang membuat mereka bertingkah layaknya seekor kuda. Mereka mengendus, memakan rumput, dan membuka buah kelapa hanya dengan gigi. Ketika para penari tersebut dalam kondisi trance atau ndadi, mereka melakukan atraksi kekebalan seperti memakan pecahan kaca, menyayat tubuh dengan benda tajam, atau dilindas dengan sepeda motor. Semua mereka lakukan dengan mudah dan tanpa terluka. Beragam atraksi itulah yang kerap ramai mengundang penonton.

Kuda merupakan elemen penting dalam jathilan. Dengan penari bagai para prajurit yang menunggang kuda dalam perang, tarian ini menyimbolkan keperkasaan dan kekuatan. Jathilan juga umum dibawakan dengan cerita kepahlawanan seperti Aryo Penangsang atau cerita Panji lainnya, namun ada juga yang mengambil cerita dari sejarah atau legenda kepercayaan setempat.

Saat ini terdapat ratusan grup jathilan yang tersebar di Yogyakarta. Di tengah budaya Jogja dengan sistem keratonnya yang halus dan terstruktur, jathilan yang ekstrem, bebas, dan ekspresif merupakan salah satu bentuk keberagaman dari budaya Jawa yang laris sebagai hiburan di kota wisata seperti Jogja.

Jathilan juga terus berkembang hingga hari ini dengan banyak variasi mulai dari musik, gerak, kostum, properti, hingga desain kuda kepang yang dipakai. Di Kulon Progo misalnya, variasi jathilan incling yang diiringi alat musik dari bambu bernama krumpyung lebih umum untuk dijumpai. Ada juga versi jathilan putri yang dibawakan oleh perempuan hingga jathilan campursari yang menggunakan iringan lagu dangdut atau campursari.

Jika Anda berkunjung ke desa-desa di pelosok Jogja, Anda bisa menemukan Jathilan dan menyaksikan keseruan yang dibawakannya secara langsung. Tontonan masyarakat yang menghibur dan mencengangkan yang berasal dari tradisi turun temurun masyarakat Yogyakarta.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Linda Sari

Kisah Cinta yang Mendunia dalam Balutan Budaya Jawa

Lewat cerita seperti Romeo & Juliet maupun Layla & Majnun, hampir tiap budaya di berbagai belahan dunia memiliki cerita yang mengedepankan kekuatan cinta. Di Indonesia, cerita serupa yang cukup dikenal masyarakat umum dan sudah melekat pada budaya Indonesia itu sendiri adalah cerita Rama dan Shinta.

Kisah yang juga dikenal dengan judul Ramayana ini bukan sekedar cerita cinta biasa, melainkan salah satu cerita cinta yang tertua dan terpanjang di dunia, melibatkan puluhan karakter yang terdiri dari manusia, raksasa, bahkan para dewa. Keindahan cerita ini dapat Anda saksikan dalam Sendratari Ramayana di Jogja, sebuah pertunjukkan tari kolosal Ramayana dengan balutan budaya Jawa.

Versi asli Ramayana ditulis seorang resi dari India bernama Walmiki yang hidup pada sekitar 400 – 200 tahun sebelum masehi. Ramayana adalah salah satu kitab Hindu yang sarat akan nilai keagamaan. Sejak maraknya penyebaran agama Hindu di Nusantara pada awal milenium pertama, wiracarita Ramayana sudah tertanam di berbagai budaya di tanah air. Namun kemudian cerita ini berkembang sehingga di daerah-daerah di Indonesia seperti Sumatra, Jawa, atau Bali dapat memilki versi ceritanya tersendiri.

Sendratari Ramayana menyuguhkan versi Jawa dari kisah ini. Awalnya, Ramayana versi ini ditulis di Pulau Jawa sekitar abad ke-9 M, kemudian ceritanya kerap mengalami modifikasi hingga muda ini lebih dikenal sebagai Kakawin Ramayana atau Serat Rama.

Walau memiliki beberapa perbedaan dari cerita yang asli, terutama di bagian ending, plot utamanya masih menceritakan petualangan Sri Rama dalam menyelamatkan Dewi Shinta dari cengkraman jahat Rahwana, sang penguasa kerajaan raksasa yang bernama Alengka. Sri Rama tidaklah sendirian dalam misi menyelamatkan cintanya itu. Ia dibantu oleh berbagai karakter ikonik seperti Laksamana, Jatayu, Sugriwa, dan tentu saja Hanoman sang kera putih.

Semenjak pementasan perdananya di tahun 1961, Sendratari Ramayana telah menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Pertunjukkan ini memang digagas untuk menjadi salah satu tonggak Indonesia sebagai negara yang relatif baru dalam industri pariwisata. Pementasan pertamanya melibatkan 55 penari utama dan 400 penari massal yang diiringi dengan puluhan penabuh gamelan dan sejumlah penyanyi tradisional Jawa.

Kini, Sendratari Ramayana telah menjadi salah satu kesenian yang identik dengan kota Jogja. Nama kota Yogyakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta-nya sendiri diambil dari nama Ayodya, kota yang disebut dalam kitab Ramayana sebagai tempat asal Rama. Hal ini menunjukkan keterkaitan yang menarik antara Kota Jogja dengan epos Ramayana itu sendiri.

Di Kota Jogja, Anda dapat menonton Sendratari Ramayana di Panggung Trimurti maupun di Purawisata yang menyediakan panggung indoor dan diadakan secara rutin di malam hari. Namun pengalaman menyaksikan Sendratari Ramayana akan lebih istimewa di Panggung Terbuka Sendratari Ramayana yang diadakan di depan Candi Prambanan dan hanya digelar selama musim kemarau, yaitu pada bulan Mei hingga Oktober.

Riuh rendah alunan gamelan, lirih suara nyanyian dalam Bahasa Jawa, serta latar kemegahan Candi Prambanan akan menambah nuansa magis dari pengalaman Anda menikmati Sendratari Ramayana, salah satu karya agung dunia dengan sentuhan Indonesia.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ibna Alfattah

Affandi adalah pelukis kelahiran Cirebon yang terkenal akan gaya lukisan ekspresionisnya. Sebagai seniman Indonesia, Affandi dikenal hingga ke seluruh dunia lewat karya-karyanya yang mencapai sekitar 2,000 lukisan. Salah satu peninggalan Affandi untuk negerinya terwujud dalam kompleks museum yang berdiri di lahan tempat tinggal sang pelukis itu sendiri.

Museum ini menampilkan sejumlah karya Affandi yang mengagumkan, serta beberapa lukisan karya anak dan cucunya. Kompleks museum ini terdiri dari beberapa bangunan galeri, dengan galeri utama yang berbentuk seperti pelepah daun pisang raksasa. Keunikan dalam tiap aspek bangunan di sini didesain oleh Affandi sendiri dan mencerminkan aliran ekspresionis yang khas dalam karya-karya sang maestro.

Di antara kunjungan ke candi-candi atau Keraton dengan segala tradisinya, mempelajari cerita hidup Affandi dan karya seni kontemporernya akan menjadi pengalaman yang fresh dalam wisata Anda berikutnya di Yogyakarta.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Jika Museum Benteng Vredeburg bercerita tentang perjuangan dan kemerdekaan Indonesia, Museum Sonobudoyo cenderung menampilkan kebudayaan Jawa. Museum ini menyimpan sejumlah koleksi benda adat Jawa dan Keraton Jogja seperti wayang kulit, keris, hingga batik.

Selain itu, Museum Sonobudoyo juga memiliki koleksi arkeologi dan pembahasan mengenai sejarah Jawa sejak zaman purbakala. Berbagai kegiatan seperti membatik, pertunjukkan gamelan hingga wayang kulit diadakan secara rutin di museum ini.

Museum yang berada di Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta ini didirikan oleh Java Instituut, sebuah yayasan pada masa kolonial Belanda yang bergerak di bidang kebudayaan Jawa, Bali, Lombok dan Madura. Hingga saat ini, museum yang diresmikan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII pada tahun 1935 ini merupakan museum dengan koleksi akan budaya dan sejarah Jawa terlengkap setelah Museum Gajah di Jakarta.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly

Awalnya, benteng ini dibangun tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan kondisi yang amat sederhana. Bangunan ini kemudian berubah fungsi, bentuk, dan kepemilikan untuk tahun-tahun seterusnya, namun tetap menjadi saksi bisu akan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia.

Meski fungsi utamanya sebagai benteng pertahanan dan tempat pasukan Belanda mengawasi Keraton, Vredeburg sendiri bermakna ‘perdamaian‘, sebagai representasi satu masa ketika Belanda dan Kesultanan Yogyakarta tidak saling menyerang.

Kini benteng yang difungsikan sebagai museum ini menyimpan cerita sejarah perjuangan Republik Indonesia, terutama yang terjadi di sekitar Yogyakarta. Mulai dari Perang Diponegoro, kongres pertama Budi Utomo, hingga peran Sultan Hamengkubuwono IX dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, semua terhantarkan baik lewat diorama-diorama di museum ini.

Sebagai tempat yang menumbuhkan semangat juang dan kemerdekaan Indonesia, Museum Benteng Vredeburg juga dilengkapi dengan wahana interaktif, perpustakaan, dan ruang audio visual yang memutar film perjuangan.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly & George Timothy