Garang Gemulai dalam Pekik Kemeriahan
Seni tari merupakan salah satu bentuk identitas tiap suku di Indonesia. Semua jenis tari mencerminkan keagungan budaya dan nilai-nilai penting yang dijunjung sebagai karakter bangsa. Di Sumba sendiri, terdapat ragam tarian dengan makna dan sejarah yang bervariasi. Dan setiap tarian adalah ekspresi atas pandangan masyarakat Sumba akan kehidupan, selain menjadi bentuk komunikasi dengan sesama, alam, maupun Sang Pencipta.
Salah satu tarian yang cukup dikenal adalah tari kataga yang dapat ditemui di Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat. Berasal dari istilah katagahu, yang berarti ‘memenggal kepala korban dalam peperangan’, tari kataga adalah salah satu dari banyak jenis tarian perang yang mudah dijumpai di Indonesia bagian timur.
Menurut sejarah, tari kataga lahir dari budaya perang di masa lalu. Pada masa itu, pemenang dalam peperangan akan memenggal dan membawa pulang kepala lawannya. Kepala tersebut kemudian digantung di adung / andung, pohon di pekarangan rumah yang berisikan tengkorak-tengkorak musuh sebagai simbol kekuatan dan kemenangan.
Tengkorak-tengkorak yang bergantungan tersebut baru bisa diambil kembali oleh keluarga mendiang lewat sebuah proses damai yang melibatkan para prajurit yang memperagakan cara mereka berperang. Pemeragaan perang oleh para prajurit itulah yang menjadi asal usul tarian ini.
Pola gerak dalam tari kataga memang terlihat seperti barisan prajurit yang mengayunkan parang (katopu), melompat, dan memukul-mukul perisai (toda) sambil bersahutan kencang. Para penari kataga memakai kain adat dan alas kepala yang disebut rowa / kapauta. Gemerincing lonceng yang terpasang di tiap kaki penari, ditambah derap langkah serta lengking sahutan para penari, menambah nuansa seru dan bersemangat dari tarian ini.
Lain halnya dengan tari woleka dari Kabupaten Sumba Barat Daya. Diperagakan dengan sejumlah penari wanita dan pria, tari woleka sering dipertunjukkan dalam banyak acara besar juga kegiatan seni. Para penari pria akan menari dengan lincah sambil mengayunkan parang seperti dalam tari kataga. Sedangkan para penari wanita akan menari dengan anggun dan lemah gemulai. Para wanita pada tari woleka menari dengan merentangkan tangan sambil memainkan selendang yang menjadi elemen penting dalam tarian ini.
Konon, tari woleka dulunya merupakan bagian dari upacara bentuk syukur kepada para leluhur dalam kepercayaan masyarakat Sumba. Upacara itu juga dipercaya sebagai bentuk pemulihan akan pelanggaran dan kesalahan manusia, yang dirayakan dengan pemotongan hewan korban, perjamuan, serta tari-tarian yang kini berkembang menjadi tari woleka.
Tarian dari Kabupaten Sumba Timur terwakilkan lewat tari-tarian rasa syukur, seperti tari kabokang yang merupakan tarian untuk mensyukuri kelahiran seorang bayi. Tarian ini kini berkembang menjadi salah satu tarian penyambutan tamu. Dalam tarian ini, para wanita berlenggang dengan ayu, sambil berputar membentuk formasi yang berubah-ubah. Biasanya para penari juga dilengkapi dengan warna-warni kain tenun khas Sumba Timur yang menambah pesona tarian ini.
Ada juga tarian yang merayakan panen, seperti tari kandingang dan patanjangung. Penari kandingang menggunakan rumbai-rumbai yang terbuat dari ekor kuda di tiap tangannya. Sambil menggerakkan kaki, para penari memutar-mutar pergelangan tangan dengan rumbai tersebut.
Masih banyak tarian lain dari Pulau Sumba, seperti tari ningguharama yang merupakan tarian penyambutan pahlawan yang kembali dari perang, tari warung kelumbut yang pola geraknya mengikuti gerak binatang, atau tari panapang banu yang menjadi bagian dari upacara melamar gadis.
Tarian-tarian tersebut terus dilestarikan hingga saat ini lewat berbagai upacara adat maupun sanggar kesenian yang tersebar di seluruh Pulau Sumba. Sebagai identitas masyarakat Sumba, maupun sebagai cerminan akan warna-warni pesona budaya bangsa kita yang terus diturunkan untuk generasi mendatang.