Pos

Mengamati Fauna Liar di Metropolis

 

Seperti yang kita ketahui, Jakarta merupakan kota metropolitan yang terkenal dengan semarak dan gemerlapnya. Namun di sisi lain, sudah menjadi lumrah menyandingkan nama Jakarta dengan kemacetan dan polusi. Maka dari itu, kebutuhan Jakarta akan ruang terbuka hijau telah menjadi konsentrasi dari berbagai pihak untuk terus digalakkan, sebagai salah satu upaya mengurangi pencemaran udara. Ruang terbuka hijau di tengah kota Jakarta dapat memberikan udara segar serta alternatif baru bagi warga ibu kota untuk ikut andil dalam konservasi alam sedini mungkin.

Salah satu ruang hijau terbuka yang ada di Jakarta adalah kawasan Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk yang terletak di utara ibu kota. Terletak di garis pantai dengan kadar garam yang tinggi, kawasan yang lebih akrab disebut TWA Mangrove ini adalah sebuah ekosistem lahan basah yang didominasi oleh beberapa jenis pepohonan mangrove.

Biasa tumbuh di atas rawa-rawa, tepatnya di daerah pantai dan sekitar muara sungai, kawasan hutan bakau atau mangrove memiliki berbagai fungsi. Mulai dari mencegah erosi dan abrasi pantai hingga mencegah intrusi laut atau perembesan air laut ke tanah daratan yang menyebabkan air tanah menjadi payau dan tidak layak untuk dikonsumsi. Melalui akar-akarnya, pepohonan mangrove ini berfungsi sebagai pelindung bagi tanah agar terhindar dari pengikisan yang disebabkan oleh air.

Selain sebagai upaya untuk menstabilkan ekosistem pantai yang berada tidak jauh dari Jakarta, keberadaan ruang hijau terbuka ini juga dipercaya dapat menyerap karbondioksida lima kali lebih banyak daripada hutan tropis. Sehingga menjadi sebuah keuntungan bahwa di tengah kota Jakarta yang memiliki tingkat polusi udara yang cukup tinggi, masih terdapat surga hijau seluas 99,82 hektar yang dapat dinikmati oleh warga ibu kota dan sekitarnya. Tidak hanya sebagai konservasi alam saja, TWA Mangrove pun dapat dimanfaatkan sebagai pariwisata, rekreasi alam bahkan sebagai sarana edukasi.

Sebagai bagian dari kawasan hutan Angke Kapuk dan selain merumahi beberapa jenis mangrove, TWA Mangrove juga menjadi habitat bagi beragam satwa liar yang hampir seluruhnya merupakan satwa yang dilindungi. Saat menelusuri perairan TWA Mangrove, Travelers akan menemui beragam jenis burung seperti cangak abu, cekakak sungai, belibis, belekok, elang laut, kokokan laut, dan itik benju yang terbang bebas ataupun hinggap di pepohonan.

TWA_Mangrove

Suaka bagi sejumlah kehidupan fauna liar, biota yang dapat ditemukan di TWA Mangrove Angke Kapuk saat ini mencerminkan ekosistem alami yang dulu dapat ditemukan di seluruh pesisir Jakarta.

Selain itu, ada pula satwa liar lainnya seperti biawak air, udang bakau dan ikan gelodok. Semua dapat Travelers jumpai dengan menyewa speedboat seharga Rp.30.000 per orang, dengan minimum empat orang setiap perjalanannya. Setiap menyewa speedboat, Travelers akan ditemani oleh sepasang pemandu yang sudah hafal akan seluk-beluk kawasan ini. Sepanjang perjalanan, mereka akan menjelaskan satwa-satwa apa saja yang dijumpai dan kebiasaan para satwa ini. Demi keamanan pengunjung, speedboat pun sudah dilengkapi dengan life vest.

Selain menggunakan speedboat, Travelers juga dapat menelusuri kawasan TWA Mangrove dengan berjalan kaki untuk menikmati suasana alami nan asri berkat deretan tumbuhan mangrove di dalamnya. Mulai dari mangrove jenis api-api, bakau, bidara, warakas, buta-buta hingga cantinggi, semuanya membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk dapat terlihat rimbun seperti di kawasan ini.

Salah satu aktivitas lainnya yang terbuka bagi umum, baik secara individu maupun kelompok, adalah penanaman bibit mangrove di beberapa titik yang telah ditentukan. Uniknya, setelah bibit diberikan dan ditanam, Travelers juga dapat memberikan nama untuk tumbuhan mangrove tersebut. Aktivitas ini merupakan salah satu cara TWA Mangrove untuk menarik perhatian dan mendidik publik akan isu konservasi alam, terutama kelestarian ruang terbuka hijau di ibu kota

Terletak di Kelurahan Kamal Muara, tak jauh dari Yayasan Buddha Tsu Chi Indonesia, TWA Mangrove dapat diakses melalui Toll JORR atau dengan transportasi umum seperti TransJakarta. Dengan lokasi yang cukup strategis ini, tak heran apabila TWA Mangrove telah menjadi salah satu destinasi liburan di Jakarta.

Namun perlu diingat, bagi Travelers yang membawa kamera masuk untuk melakukan sesi foto bersama kerabat maupun keluarga, TWA Mangrove memang mengenakan biaya tambahan. Biaya ini tentunya sepadan saat Travelers dapat menyaksikan indahnya pemandangan matahari terbenam di antara hutan mangrove.

TWA_Mangrove

Aktivitas safari dengan menyusuri sungai di TWA Mangrove Angke Kapuk.

Selain itu, TWA Mangrove juga menawarkan fasilitas penginapan bagi Travelers yang ingin merasakan bermalam di tengah suasana hutan mangrove. Sudah dilengkapi dengan AC, TV Cable, WiFi, serta kamar mandi dengan air panas, letak penginapan ini pun tidak jauh dari restoran yang menyajikan masakan khas Indonesia.

Untuk menjamin kenyamanan pengunjung, fasilitas lain yang ditawarkan di TWA Mangrove adalah masjid, aula, area bermain anak dan perkemahan, serta kamar mandi. Penawaran khusus seperti pembebasan tiket masuk ke TWA Mangrove tersedia di tiap hari Sabtu dan Minggu, khusus untuk Travelers yang datang sebelum pukul 07:00 atau untuk yang berusia di atas 60 tahun. Bagi teman-teman pelajar dan mahasiswa, ada pula harga khusus yang ditawarkan yaitu Rp15.000 per orang yang berlaku setiap Senin hingga Jumat.

Bagi Travelers yang ingin menghabiskan waktu di Jakarta namun ingin beristirahat dari riuhnya ibu kota, maka menjelajahi TWA Mangrove adalah pilihan yang tepat. Bagai firdaus tersembunyi di tengah belantara pencakar langit, pesona panorama suakanya akan memberikan ketenangan yang tak ada duanya.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : Nelce Muaya, George Timothy

  • Fakta

    Sebelum mulai dikembangkan pada tahun 1998, area Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk sempat menjadi kawasan pertambakan liar. Namun saat ini, hamparan seluas 99,82 ha ini telah dimaanfaatkan sebagai suaka alam dan tempat rekreasi yang turut mengurangi tingkat polusi di Jakarta dengan rimbun pepohonan mangrove-nya.



Galeri Seni Manusia Purba

Sebagai negara yang kaya akan sejarah, Indonesia memiliki beberapa peninggalan zaman prasejarah yang menjadi bagian dari identitas bangsa untuk diabadikan dan dilestarikan. Penemuan situs prasejarah membuktikan bahwa nenek moyang orang Indonesia sejak dahulu telah meyakini kepercayaan animisme yaitu pemujaan terhadap roh pada benda-benda tertentu selain makhluk hidup. Salah satu wisata sejarah yang terletak di pegunungan karst unik dan menarik ini dalam bahasa setempat disebut ‘Leang’ yang berarti ‘gua’.

Leang-Leang masih berada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros. Akses menuju ke sana tidak terlalu baik tetapi pemandangan di sekitarnya cukup indah menemani Travelers tiba di pintu masuk Leang-Leang. Hamparan bebatuan hitam besar yang tertumpuk rapi di dataran luas menambah eksotis kawasan purbakala yang dapat ditempuh dari Bandara Sultan Hasanuddin menggunakan angkutan umum. Kawasan ini pertama kali ditemukan oleh dua orang arkeolog dari Belanda bernama Van Heekeren dan CHM Heeren Palm saat melakukan penelitian pada tahun 1950.

Penggambaran kehidupan zaman purbakala dapat dijumpai di Gua Pettae dan Gua Petta Kere. Travelers dapat mengunjungi kedua gua tersebut karena letaknya berdekatan. Gua Pettae ditandai dengan pagar besi setinggi 1,5 m. Dari pintu masuk sudah tampak gambar telapak tangan yang menjadi ikon gua ini. Terlihat lima gambar telapak tangan tetapi hanya tiga telapak tangan yang bergambar utuh.

Taman Wisata Leang Leang

Sejumlah gua di Kompleks Taman Purbakala Leang-Leang menjadi ‘kanvas’ bagi lukisan-lukisan purba yang berusia 30 – 40 ribu tahun.

Menurut masyarakat sekitar, gambar telapak tangan utuh memiliki makna menangkal bala sedangkan gambar telapak tangan dengan empat jari saja memiliki arti berdukacita. Gambar telapak tangan tersebut dibuat dengan teknik negative hand stencil yaitu menyemprotkan warna pada tangan kemudian ditempelkan ke permukaan dinding gua. Warna merah pada seluruh gambar ini diperkirakan berasal dari batuan mineral yang mengandung pigmen merah yang kemudian meresap ke dalam pori-pori dinding gua dan membuatnya bertahan hingga ribuan tahun lamanya.

Berjarak 300 m dari Gua Pettae, terdapat Gua Petta Kere yang dapat diakses melalui dua jalur. Jalur utama yaitu melewati akses yang sudah baik, jalur kedua dengan menaiki anak tangga di antara bebatuan yang menyempit. Suhu udara di dalam gua sekitar 30°C dengan tingkat kelembaban dalam rongga gua berkisar 70% sedangkan kelembaban dinding gua berkisar dari 15%-25%.

stencil tulisan tangan purbakala

Lukisan purba Leang-Leang dianggap sebagai salah satu lukisan
purba tertua nomor tiga di dunia.

Di dalam Gua Petta Kere terdapat lebih banyak stensil telapak tangan. Terdapat 27 stensil telapak tangan, 17 stensil di antaranya merupakan stensil telapak tangan utuh. Selain stensil telapak tangan, terdapat juga gambar binatang yang sedang melompat dengan anak panah tertancap di bagian dada.

Menurut analisa yang dilakukan oleh seorang zoologi, D.A Hooijer, gambar tersebut menggambarkan babirusa. Diperkirakan stensil tangan dan gambar tersebut berusia lebih dari 5000 tahun. Pola stensil di Leang Pettae dan Petta Kere, berkelompok acak yang umumnya terdapat di titik-titik yang sulit dijangkau. Stensil tangan serta lukisan tersebut menggambarkan aktivitas keseharian dan sistem kepercayaan yang dianut pada masa itu.

Situs prasejarah ini dibuka mulai pukul 08:00-18:00 WITA dengan harga tiket masuk Rp 10.000 per orang. Pengelola menyediakan jasa pemandu bagi pengunjung yang ingin mendapatkan informasi lebih banyak mengenai Leang-Leang.

Taman Wisata Leang Leang

Dinding karst yang memesona di Leang-Leang.

Terdapat sekitar 230 gua prasejarah yang sudah terdata di kawasan Maros-Pangkep, sekitar 80 gua di antaranya memiliki peninggalan prasejarah di dalamnya. Berdasarkan jumlah tersebut, diyakini masih banyak terdapat gua-gua lainnya yang belum dieksplor. Seluruh peninggalan prasejarah ini menjadi bagian identitas bangsa untuk dilestarikan agar generasi selanjutnya dapat memahami asal muasal nenek moyang.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly, Ayub Ardiyono

  • Leang-Leang, Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan 90561

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 18.00 WITA


Pantai Rua adalah pantai panjang dengan pasir putih yang terletak di pesisir selatan Pulau Sumba. Rua Beach Resort berada di tepi pantai ini, di mana view sunrise yang indah menyambut siapapun yang berkunjung di sini setiap paginya. Rua Beach Resort memiliki berbagai fasilitas seperti taman, lounge dan restoran yang menghidangkan menu Western yang lezat. Hotel dengan desain minimalis tropical ini juga memiliki dua kolam renang yang dapat menyegarkan Anda dari teriknya matahari khas timur Indonesia.

  • Jl. Pantai Rua, Desa Rua, Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat