Pos

Cerita dan Warta di Bawah Purnama

Dulu, di masa Kesultanan Makassar masih berjaya di selatan Sulawesi, Rakyat Makassar memiliki kebiasaan berkumpul, terutama di malam hari pada saat bulan purnama. Di bawah sorot cahaya purnama, duduk seorang passinriliq di tengah keramaian.

Dengan irama dari keso-keso, alat musik semacam rebab khas Sulawesi Selatan, passinriliq membawakan lantunan syair nan merdu yang menceritakan hikayat kehidupan, atau memberitakan titah dari sang raja. Pembawaan syair inilah yang dikenal sebagai sinrili (atau sinriliq), suatu bentuk sastra lisan dari budaya Makassar yang masih bertahan hingga saat ini.

Sinrili adalah budaya prosa dan bersyair dari Makassar yang sempat menjadi media komunikasi utama di era sebelum adanya alat telekomunikasi atau media massa. Budaya serupa juga dapat ditemukan di berbagai belahan Nusantara, seperti budaya kacaping dalam suku Bugis. Syair-syair yang dibawakan dalam sinrili pun beragam. Mulai dari cerita cinta, ungkapan keindahan alam, ajaran agama, cerita kepahlawanan, sejarah, dan cerita atau berita lainnya dalam tiap aspek kehidupan orang Makassar.

Sinrili dibawakan oleh seorang passinriliq, yang melantunkan syair serta memainkan keso-kesonya. Walau tidak ada waktu yang khusus, sinrili lebih umum dilakukan semalam suntuk. Passinriliq biasanya menghafal bait-bait syair atau membaca naskah saat membawakan sinirili.

Syair-syair dalam bahasa Makassar ini dilantunkan dengan nada merdu, dan kadang terdengar seperti lantunan tilawah Alquran. Nada yang dibawakan pun disesuaikan dengan mood dari syair. Ada kalanya sinrili mengundang ramai tawa penonton. Namun, banyak juga kesyahduan sinrili yang membuat penontonnya meneteskan air mata.

Dengan syair-syair yang mengandung nilai-nilai kehidupan dan adat istiadat, sinrili telah mengakar dalam masyarakat Makassar sebagai media berita yang umum membahas isu-isu terkini atau kritik sosial.

Sebagai sastra lisan, syair-syair sinrili juga menuturkan cerita-cerita rakyat yang menjadi khazanah sastra tradisional Nusantara. Banyak dongeng dan legenda Makassar seperti I Datu Museng dan I Manakkuk, maupun cerita sejarah yang menginspirasi seperti Kappalak Tallumbatua atau Karaeng Pattingalloang terjaga dalam bentuk syair-syair sinrili.

Umumnya kesenian sastra lisan Makassar ini dikategorikan menjadi dua, yaitu sinrili bosi timurung (sinrili hujan turun) yang bernuansa melankolis dan dibawakan tanpa iringan musik; serta sinrili pakeso-keso yang dibawakan dengan iringan musik dari keso-keso.

Salah satu sumber berpendapat bahwa budaya sinrili berawal di abad ke-16, yaitu di masa pemerintahan raja Gowa. Sinrili awalnya berfungsi sebagai nasihat-nasihat kebijakan bagi para raja, namun berkembang menjadi media komunikasi antara raja dengan rakyatnya, dan sebaliknya.

Di zaman penjajahan dulu, para passinriliq menyampaikan keresahan masyarakat lewat syair-syair yang mereka bawakan ke hadapan raja. Dan dengan syair-syair passinriliq jugalah pesan-pesan perjuangan dari raja tersebarkan ke rakyatnya di luar istana.

Sinrili juga berperan penting sebagai media dakwah di masa pengislaman Sulawesi Selatan, sehingga tidak jarang syair-syair sinrili dipenuhi dengan nilai-nilai agama dan ketuhanan. Di zaman setelah kemerdekaan, sinrili bahkan sempat disiarkan di radio setempat membawakan pesan-pesan pemerintah.

Meski kini sinrili semakin kurang diminati para pendengarnya, pemerintah setempat terus mengusahakan pelestarian budaya Makassar ini. Sejak 2013, sinrili resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional Indonesia dan kerap dipentaskan saat acara-acara besar di Makassar dan sekitarnya hingga saat ini.

Sebagai salah satu bentuk kekayaan sastra Nusantara, sinrili mengandung berbagai nilai yang tertanam dalam karakter orang Makassar dan signifikan dalam lintas sejarah daerahnya. Dengan para passinriliq yang kadang menghibur penonton bagai stand-up comedy, atau bagai suara raja yang penuh wibawa, menginspirasi semangat juang dalam tiap masyarakat yang menyimaknya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Syaief Husain

  • Catatan

    Salah satu seni sastra lisan warisan dari Kerajaan Gowa – Tallo ini mencerminkan kesusastraan tradisional yang tinggi dari Provinsi Sulawesi Selatan yang juga dikenal dengan naskah-naskah Lontara dan Sureq Galigo-nya.

Istana di Atas Samudra

Hamparan laut yang mengelilingi Indonesia telah menyaksikan timbul tenggelamnya berbagai jenis perahu dan kapal. Dengan gaya tradisional, atau modern. Dengan fungsi kapal nelayan, dagang, atau perang.

Di antara kapal-kapal yang menghias laut Nusantara, pinisi mungkin menjadi yang paling dikenal saat ini. Dengan bentuknya yang gagah dan anggun, kapal-kapal pinisi konon selalu meramaikan tiap pelabuhan utama Hindia-Belanda pada masa kolonial.

Namun keistimewaan pinisi bukan hanya terdapat pada perannya dalam sejarah kelautan Indonesia. Tapi juga pada seni pembuatannya yang penuh dengan nilai dan cerita yang menarik untuk kita pelajari bersama.

Sejatinya, penyebutan pinisi sebenarnya lebih merujuk ke seni pembuatan kapal dengan jenis layarnya yang khas, yaitu memiliki dua tiang, dan tujuh layar. Ketujuh layar melambangkan tujuh samudra di dunia yang siap diarungi tiap kapal pinisi. Umumnya, panjang tiap kapal pinisi adalah 20 – 35 m, dengan bobot yang dapat mencapai ratusan ton. Seni pembuatan kapal pinisi berasal dari suku Konjo, sub-etnis suku Bugis yang mendiami bagian pesisir dari ujung selatan Pulau Sulawesi.

Sebagai suku dengan skill maritim yang melegenda, orang Bugis dikenal sebagai ahli navigasi, pelayaran, dan tentunya pembuatan perahu. Dengan kapal-kapalnya, orang-orang Bugis berlayar hingga ke daerah lain di Asia Tenggara, Australia hingga Afrika untuk merantau dan mencari peruntungan. Pinisi merupakan salah satu cerminan falsafah hidup masyarakat Bugis pesisir untuk mengembara di lautan lepas. Dengan perahu sebagai kaki untuk hidup, dan mencari penghidupan.

Legenda seputar pinisi banyak terdengar. Beberapa masyarakat setempat percaya kalau asal-usul pinisi berangkat dari cerita Sawerigading, seorang tokoh sentral dalam sastra epik Bugis Sureq Galigo yang diperkirakan ditulis antara abad 13 dan 15.

Legenda menceritakan bagaimana Sawerigading yang merantau ke negeri Tiongkok, mencoba untuk melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak kembali ke tempat asalnya di tanah Bugis. Kapalnya pun hancur diterjang badai, dan pecahan kapalnya berserakan hingga ke perairan Bulukumba. Pecahan-pecahan kapal itulah yang ditemukan warga setempat dan dijadikan sebuah kapal baru yang dikenal sebagai pinisi.

Akan tetapi, para ahli dan sejarawan memperkirakan kalau pinisi mulai ada di perairan Nusantara pada pertengahan abad 19 sebagai kapal kargo untuk perdagangan. Bentuk kapal pinisi yang seperti sekarang ini merupakan hasil dari gabungan berbagai elemen pembuatan kapal tradisional di Sulawesi, seperti sistem layar tanjaq serta lambung dasar tipe pa’dewakang atau palari. Elemen-elemen tradisional ini kemudian digabungkan dengan teknik pembuatan schooner atau sekunar yang diperkenalkan oleh orang-orang Eropa pada masa kolonial.

Travelers dapat mempelajari dan melihat langsung pembuatan kapal-kapal pinisi di Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, atau sekitar 5 – 6 jam perjalanan dari Makassar dengan kendaraan pribadi. Di wilayah pesisir ini, terdapat tiga desa yang identik dengan kesenian pinisi, yaitu Ara, Bira, dan Lemo-Lemo. Mata pencaharian utama masyarakat di ketiga desa itu adalah pembuatan kapal yang masih ditekuni hingga saat ini, salah satunya kapal pinisi.

Jelas, pembuatan tiap kapal pinisi membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit. Pemesanan satu buah kapal pinisi dapat menghabiskan ratusan juta hingga milyaran rupiah, dengan waktu pengerjaan setidaknya 4 bulan, hingga bertahun-tahun.

Ahli pembuat kapal pinisi disebut sebagai panrita lopi atau punggawa. Tidak sembarang orang dapat menjadi punggawa. Kalau bukan karena bakat dan keterampilan yang istimewa, hanya garis keturunanlah yang dapat menentukan seseorang untuk bisa menjadi seorang punggawa yang dihormati penduduk setempat. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas lahirnya sebuah kapal, punggawa dituntut untuk menguasai setiap aspek dalam pembuatan kapal pinisi, dari segi teknik maupun nilai-nilai kesakralan yang harus diperhatikan.

Tanpa desain tertulis, para punggawa merangkai kapal untuk tiap sambalu, pemesan yang mendanai pembangunan kapal. Dalam prosesnya, punggawa dibantu oleh sejumlah sawi dengan tugasnya masing-masing. Sebagai sebuah bentuk kesenian turun-temurun, tiap pembuatan pinisi disertai dengan serangkaian upacara adat dalam tiap tahap pembuatannya. Kapal merupakan ‘anak’ dari para punggawa. Dan tiap upacara mengibaratkan pinisi bagai seorang anak yang baru lahir, sehingga punggawa perlu memimpin berbagai ritual demi mendoakan keselamatannya.

Dimulai dari memilih kayu, yang biasanya dilakukan di hari ke-5 atau ke-7 dari setiap bulan karena dipercaya sebagai hari baik dan dapat mendatangkan rezeki. Kayu yang umum digunakan sebagai bahan pembuatan kapal pinisi adalah kayu besi, ulin dan pude untuk bagian fondasi kapal, dan kayu jati untuk kamar dan bagian lain yang tidak langsung terkena air laut. Upacara adat saat proses mencari kayu dikenal sebagai Anna’bang Kalabiseang, yang dilaksanakan seiring kayu yang telah dipilih sebagai lunas, jatuh ke tanah.

Sebagai fondasi utama dan tulang dari kapal, bagian lunas atau kalabiseang memegang peranan penting dan menjadi hal pertama yang diproses dalam pembangunan pinisi. Bagian yang berada di bawah kapal ini dulunya hanya terbuat dari kayu pohon bitti yang terkenal akan kekokohannya dan sering dijadikan tiang rumah penduduk setempat. Namun saat ini banyak juga pinisi yang memakai kayu besi sebagai lunasnya. Proses pemotongan dan penyatuan bagian dari lunas juga disertai dengan upacara Annattara, ritual yang melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dalam pernikahan.

Tahap selanjutnya adalah proses memasang dinding atau kulit kapal, kemudian rangka perahu yang mengikuti kulit kapal. Proses ini menjadi salah satu keunikan pembuatan pinisi dibanding kapal-kapal lain yang umumnya mendahulukan pemasangan kerangka.

Badan yang membentuk lambung kapal pun menjadi tahap berikutnya. Papan-papan kayu disatukan dengan metode sambungan layaknya susunan batu bata, yang kemudian dipasak, direkatkan, dan didempul. Badan kapal lalu ditutup dengan geladak atau deck, serta penambahan ruang-ruang kamar di atasnya.

Peluncuran kapal pinisi ke laut juga disertai upacara tolak bala, yaitu Appasili. Tahap berikutnya, para punggawa membuat pusar di tengah-tengah bagian lunas dalam upacara Ammosi Biseang. Upacara ini mengibaratkan ritual ‘pemotongan tali pusar’ pada bayi yang baru lahir.

Setelah kapal pinisi terapung di lautan, kedua tiang serta ketujuh layar yang menjadi ikon pinisi pun dipasang. Sebagai sentuhan terakhir, kapal dihias dan diisi dengan berbagai furnitur istimewa sesuai keinginan para sambalu.

Saat ini fungsi pinisi memang bukan lagi sebagai pengangkut kargo antarpulau, dan lebih banyak difungsikan sebagai kapal pesiar untuk tujuan wisata. Travelers bisa menemukan berbagai paket trip sailing atau live-on-board dengan pinisi di Teluk Jakarta, Bali, Labuan Bajo, Raja Ampat, dan lain sebagainya. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti bar atau Jacuzzi, kapal-kapal pinisi yang dibangun di bantilang atau galangan tradisional yang sederhana, mengapung di perairan biru bagai hotel bintang lima di tengah samudra. Dengan kisaran harga sewa yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per malamnya.

Meski saat ini semua kapal pinisi telah dibantu tenaga mesin, pinisi dianggap sebagai salah satu kapal layar di dunia yang masih berlayar di era modern seperti saat ini. Pada tahun 2017, UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal pinisi sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan.

Selain menjadi kebanggaan Indonesia, seni pembuatan pinisi secara tradisional yang masih bertahan di Sulawesi Selatan ini mencerminkan bagaimana ilmu pelayaran dan kelautan telah lama mengakar di darah masyarakat Nusantara. Dengan berbagai legenda dan kehebatannya menerjang ombak di atas samudra, pinisi mungkin menjadi bukti kalau benar, ‘nenek moyangku seorang pelaut.”

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Cece Chan

  • Catatan

    Pinisi semakin dikenal dunia sejak Expo Vancouver tahun 1986, saat Indonesia mengirimkan pinisi dari Jakarta menyeberangi Samudra Pasifik hingga ke Vancouver, Kanada.