Bentang Jelita dengan Sejuta Cerita
Keindahan kain Sumba sudah dikenal sejak era kolonial Belanda, sebagai salah satu komoditas berharga yang melambungkan nama Sumba selain kuda sandel dan kayu cendananya. Dengan nilai estetika yang tinggi, sejumlah kain Sumba bahkan dipilih untuk merepresentasikan budaya Indonesia di beberapa museum ternama dunia seperti di Inggris, Belanda, hingga Amerika Serikat. Di balik pesonanya, kain tenun Sumba juga menyimpan begitu banyak cerita menarik yang dapat dipelajari sebagai atribut adat yang memiliki posisi sentral dalam kehidupan di Pulau Sumba.
Seperti banyak seni budaya dari Sumba lainnya, kain tenun Sumba memiliki keterkaitan yang erat dengan Marapu, kepercayaan asli masyarakat yang mendiami pulau ini. Kepercayaan Marapu berpusat pada keseimbangan semesta dan sarat akan konsep dualisme yang terlambangkan dalam ungkapan adat ‘Ina mawolo, Ama marawi’, yang artinya ‘Ibu yang menenun, Bapak yang mencipta’.
Kegiatan menenun memang telah mengakar sebagai lambang kewanitaan yang esensial dalam adat Sumba, di mana perempuan yang mahir menenun kain-kain terbaik cenderung lebih diminati sebagai pasangan hidup yang ideal. Kain-kain tenun yang dilahirkan para perempuan Sumba itulah yang kemudian menyelimuti keseharian seluruh masyarakat di Tanah Marapu ini.
Dalam masyarakat Sumba, kain tenun bukan hanya sekadar pakaian atau pemanis dekorasi ruangan. Kain merupakan simbol prestise yang menunjukkan golongan, klan, atau kampung asal si pemakai atau pemiliknya. Kain juga berperan penting dalam upacara keagamaan atau ritual adat seperti kelahiran, pernikahan dan pemakaman.
Kain tenun menjadi hantaran kala seseorang lahir dan penyelimut jenazah kala seseorang wafat. Kain bahkan dapat mewakilkan kehadiran pemiliknya dalam situasi tertentu. Menurut kepercayaan Marapu, jika seorang ayah tidak bisa hadir di hari kelahiran anaknya, sosoknya dapat diwakilkan dengan kain hinggi miliknya agar sang anak dapat terlahir dengan selamat.
Selain sebagai perangkat adat yang sakral, kain tenun juga berfungsi sebagai pengganti uang yang dapat ditukar dengan hasil panen, perhiasan, logam, dan lain sebagainya. Kain merupakan salah satu indikator kekayaan. Semakin banyak kain yang dimiliki, semakin terpandang pemiliknya di mata masyarakat.
Saat ini industri pariwisata Sumba yang kian berkembang juga meletakkan kain tradisional Sumba sebagai salah satu tonggak ekonomi masyarakatnya, terutama bagi kampung-kampung pengrajin kain yang banyak dijumpai di Kabupaten Sumba Timur.
Terdapat beberapa jenis kain yang dapat Anda temui di Sumba, yang masih difungsikan dalam berbagai upacara adat. Jenis kain yang paling umum dikenal adalah hinggi dan lau. Hinggi adalah kain besar sepanjang kurang lebih 200 – 300 cm yang diperuntukkan bagi pria dan bisa dipakai sebagai selimut, selendang atau ikat pinggang. Lau adalah sarung sepanjang kurang lebih 100 – 200 cm yang dipakai oleh para perempuan.
Keindahan kain-kain hinggi maupun lau terdapat pada motif dan warnanya yang ekspresif, di mana tiap kampung di Sumba biasanya memiliki desain yang khas dengan motif dan corak warnanya tersendiri. Dua jenis warna dasar yang umum menjadi latar kain-kain ini adalah kombu rara (merah kecoklatan) yang didapat dari akar mengkudu, dan kaworu (biru gelap atau indigo) yang didapat dari daun tarum. Untuk menghasilkan warna yang lebih khas dan tahan lama, para penenun tradisional di Sumba masih mengedepankan penggunaan pewarna alami yang terbuat dari buah, biji, bunga, akar dan kulit kayu.
Motif menjadi elemen desain utama dari tiap kain tenun Sumba. Dan pada dasarnya, wastra Sumba memiliki begitu banyak ragam motif dengan arti filosofisnya tersendiri. Motif-motif ini adalah presentasi visual atas nilai-nilai yang dijunjung masyarakat Sumba yang juga terinspirasi dari alam sekitarnya. Tenun dari Sumba bagian barat umumnya memiliki motif geometris, sedangkan Sumba bagian timur memiliki kain dengan motif fauna, flora, benda-benda adat, hingga elemen dari cerita sejarah, agama, dan mitologi setempat.
Tiap motif memiliki cerita dan latar belakang sejarahnya tersendiri, seperti motif buaya yang selalu disandingkan dengan penyu. Buaya melambangkan kekuatan dan keberanian, sedangkan penyu melambangkan kesabaran dan kebijaksanaan. Dua motif fauna ini kerap bermunculan pada kain sebagai salah satu elemen dualisme terpenting dalam kepercayaan Marapu. Buaya dan penyu melambangkan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin, dan kain dengan motif keduanya merupakan simbol keluarga kerajaan atau golongan maramba di Sumba Timur.
Motif lainnya yang banyak menghias kain-kain di Sumba bagian timur termasuk lobster yang menyimbolkan keabadian, regenerasi dan reinkarnasi. Rusa melambangkan status bangsawan, sedangkan kuda melambangkan kegagahan pria. Ayam melambangkan kewanitaan dan rumah tangga, sedangkan ayam jantan melambangkan keperkasaan. Burung kakatua melambangkan kebersamaan bagai burung yang selalu berkelompok, sedangkan burung merak melambangkan keindahan dunia yang harus dilestarikan bersama.
Motif yang menceritakan kepercayaan maupun sejarah juga dapat ditemukan, seperti halnya motif ana tau. Motif ini berbentuk manusia dengan posisi tangan serupa bayi yang sedang terlentang. Sebagai elemen penting dalam kepercayaan Marapu, motif ana tau melambangkan kepolosan manusia dan pengingat akan Sang Pencipta yang maha mengetahui.
Lain halnya dengan motif andung yang berbentuk seperti pohon tengkorak. Motif ini menceritakan tradisi lama Sumba untuk menggantung tengkorak-tengkorak musuh di pohon yang ada di pekarangan rumah mereka sebagai tanda kekuatan dan kekuasaan.
Selain motif-motif ini ada juga motif epik yang menceritakan pendaratan pertama para nenek moyang orang Sumba di Tanjung Mareha, atau sosok mili mongga, makhluk raksasa yang dipercaya hidup di pedalaman hutan Sumba Timur.
Desain kain-kain di Sumba Timur umumnya terdiri dari baris-baris yang mewakili kelompok motif yang berbeda, dengan desain utama di baris yang paling tengah. Alhasil, sehelai kain dapat menjadi kolase motif dengan harapan agar pemakainya dapat memancarkan seluruh kualitas yang disimbolkan dari motif-motif yang beragam.
Pentingnya konsep dualisme dalam Marapu juga tertuang dalam motif-motif yang kebanyakan muncul dalam jumlah 2, 4, 8, atau 16. Angka dua dan kelipatannya merupakan elemen penting dalam ilmu kosmologi dan spiritual kepercayaan Marapu, yang menambah kesakralan tersendiri dari setiap kain yang dikenakan.
Satu hal yang menarik dari kain tradisional Sumba juga terdapat pada keterbukaannya pada pengaruh luar, yang makin memperkaya variasi desain kain Sumba yang sudah begitu beragam. Hubungan dengan kebudayaan lain melahirkan motif-motif baru seperti motif naga yang terinspirasi dari keramik-keramik Cina, motif singa yang dipengaruhi koin-koin pada masa kolonial Belanda, hingga motif patola ratu, motif geometris abstrak yang dipengaruhi India dan hanya diperuntukkan bagi golongan bangsawan hingga saat ini.
Cerita-cerita seputar wastra memang selalu lekat dengan para wanita. Segala keistimewaan tenun Sumba sebagai salah satu mahakarya budaya Indonesia, dimulai dari kesabaran, ketekunan, dan kreativitas para wanitanya. Bagaikan motif habak, sebuah bunga dari mitos Sumba yang melambangkan kegigihan dan keuletan wanita dalam bekerja, kain tenun dan seluruh prosesnya mencerminkan pengaruh wanita yang signifikan dalam budaya Sumba itu sendiri. Bahwa setiap mama, ibu, nenek, dan gadis di Sumba turut beperan dalam menghantarkan kain yang mereka tenun di sudut kampungnya, berkibar jauh hingga ke perhatian dunia.
Di balik fungsi dan maknanya yang beragam, tiap kain tenun Sumba selalu menjadi bentuk ungkapan akan harapan dan nilai-nilai adat lewat motif-motif nan indah jelita. Dalam budaya yang tak memiliki aksara asli, kain menjadi salah satu medium bagi nenek moyang masyarakat Sumba untuk bercerita pada generasi selanjutnya.
Tiap bentangan kain Sumba adalah paparan tentang sejarah masa lalu dan tradisi yang harus dijunjung bersama sebagai perwujudan identitas masyarakat Sumba. Dan selayaknya, keindahan akan warna dan ragam kain Sumba yang terpajang di banyak museum mancanegara, juga akan selalu menjadi paparan dan cerita akan keindahan, ragam dan warna-warni budaya di Nusantara.
Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly & George Timothy