Pos

Harmoni dalam Keabadian

Gamelan adalah salah satu harta budaya Indonesia yang paling mendunia. Bahkan sebuah album musik orkestrasi gamelan tradisional sempat mendapat nominasi Grammy Awards di tahun 1972. Sampai saat ini kesenian tradisional ini masih terjaga dan terus berkembang. Keindahan dan kesyahduan iramanya menarik banyak perhatian mancanegara sehingga berbagai kelas dan kelompok gamelan dapat bermunculan di berbagai negara di luar Indonesia.

Gamelan Jawa kaya akan nilai estetika dan budaya, dan kerap dianggap sebagai perwujudan dari karakteristik masyarakat Jawa. Dalam pernikahan, upacara kerajaan, acara syukuran, hingga sebagai pengiring wayang kulit atau wayang orang, gamelan mudah ditemukan di berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa.

Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa, gamel yang bermakna memukul, dan memang sebagian besar instrumen gamelan adalah alat musik dari logam yang dipukul untuk menghasilkan suara. Alunan nada pada musik gamelan mudah dikenali karena dua jenis laras atau tangga nadanya yang khas: pelog dan slendro.

Slendro merupakan laras pentatonik yang terdiri dari 5 nada, sedangkan pelog memiliki 7 nada. Namun umumnya hanya 5 dari 7 nada laras pelog yang dimainkan dalam satu komposisi gamelan, untuk menghasilkan alunan pentatonik yang serupa dengan laras slendro.

Dalam orkestrasinya, para pengrawit atau pemain gamelan tersebar dalam kurang lebih 20 jenis instrumen. Gamelan didominasi oleh kelompok alat musik pukul dan tabuh seperti gong, kendhang, demung, bonang, gender, dan lain sebagainya.

Orkes gamelan biasanya ditemani dengan kelompok alat musik lain seperti rebab dan siter, dua instrumen yang menunjukkan adanya pengaruh budaya India dan Timur Tengah dalam sejarah perkembangan gamelan.

Suara yang dihasilkan gamelan memiliki efek magis dan meditatif yang kerap memberikan ketenangan bagi para pendengarnya. Gamelan berawal dari berbagai alat musik sederhana di zaman pra-sejarah yang kemudian berkembang menjadi aspek penting dalam ritual keagamaan selama masa kerajaan Hindu-Buddha. Gamelan juga menjadi media dakwah dalam masa penyebaran agama Islam di Jawa, menunjukkan bahwa gamelan memang selalu sarat akan mistik dan nilai spiritual.

Untuk mendengar langsung orkestrasi gamelan di Yogyakarta tidaklah sulit. Gamelan biasa dijumpai di berbagai titik wisata yang tersebar di Jogja, seperti Keraton atau Museum Sonobudoyo. Bagi Anda yang ingin belajar tentang gamelan lebih dalam lagi, Anda bisa mengunjungi Jogja saat Yogyakarta Gamelan Festival, acara tahunan di mana para penikmat dan pengrawit gamelan dari ratusan kelompok yang tersebar di berbagai belahan dunia berkumpul, berbagi, dan menunjukkan kemampuan mereka dalam seni gamelan.

Kini, eksistensi gamelan Jawa telah menembus luar angkasa lewat misi antariksa Voyager. Pesawat nirawak Voyager menyimpan sejumlah data akan berbagai kebudayaan di dunia, sebagai representasi planet kita dan segala ragam kehidupan di dalamnya. Puspawarna, salah satu komposisi gamelan Jawa yang cukup dikenal, terpilih untuk menjadi bagian dari misi tersebut.

Saat ini Voyager 1 dan Voyager 2 adalah benda buatan manusia yang ada di posisi terjauh dari Bumi dan masih terus melesat menembus antariksa 40 tahun setelah peluncurannya. Sebagai masyarakat Indonesia, hal ini menjadi suatu kehormatan untuk dapat merepresentasikan planet kita dan seluruh umat manusia lewat keindahan, keagungan, dan cita rasa budaya Nusantara yang terabadikan dalam gema alunan gamelan Jawa.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ibna Alfattah

Sensasi, Atraksi, Tradisi

Matanya melotot, menatap liar ke arah penonton selagi denting gamelan bermain dengan tempo yang semakin cepat. Kemudian ia berteriak, berlari kesana kemari bak seekor kuda yang tengah mengamuk. Berguling-guling di atas tanah seperti orang kerasukan.

Scene ini mungkin terlihat menyeramkan bagi anak-anak. Namun potongan adegan tersebut merupakan hal yang umum terlihat dalam kesenian jathilan, di mana saat-saat penarinya ndadi atau kerasukan menjadi atraksi utama yang ditunggu-tunggu para penonton.

Jathilan adalah kesenian rakyat khas Yogyakarta yang berkembang di desa-desa di Jogja, dimainkan oleh sejumlah penari dan pengiring yang memainkan gamelan. Penari umumnya terdiri dari laki-laki yang menunggangi kuda kepang yang terbuat dari bambu. Tarian ini bertumpu pada kuda-kudaan tersebut, di mana para penari berjingkrakan dan dari situlah istilah jathil berasal.

Di antara para penari terdapat seorang pawang yang membawa cambuk. Selain memimpin tarian, pawang bertugas untuk mengendalikan para penari, menyadarkan mereka dari kerasukan dan menjaga keselamatan tiap penarinya.

Menurut sejarahnya, kesenian tradisional ini awalnya dikaitkan dengan ritual upacara untuk memanggil roh nenek moyang atau totem binatang, serupa halnya dengan tari Sang Hyang Jaran dari Bali. Itulah mengapa jathilan sangat lekat dengan unsur mistik, yang hingga saat ini pementasannya masih dimulai dengan menyiapkan sesaji dan pembacaan sejumlah mantra atau doa-doa.

Umumnya para penari jathilan kerasukan roh yang dipercaya sebagai roh totem kuda, yang membuat mereka bertingkah layaknya seekor kuda. Mereka mengendus, memakan rumput, dan membuka buah kelapa hanya dengan gigi. Ketika para penari tersebut dalam kondisi trance atau ndadi, mereka melakukan atraksi kekebalan seperti memakan pecahan kaca, menyayat tubuh dengan benda tajam, atau dilindas dengan sepeda motor. Semua mereka lakukan dengan mudah dan tanpa terluka. Beragam atraksi itulah yang kerap ramai mengundang penonton.

Kuda merupakan elemen penting dalam jathilan. Dengan penari bagai para prajurit yang menunggang kuda dalam perang, tarian ini menyimbolkan keperkasaan dan kekuatan. Jathilan juga umum dibawakan dengan cerita kepahlawanan seperti Aryo Penangsang atau cerita Panji lainnya, namun ada juga yang mengambil cerita dari sejarah atau legenda kepercayaan setempat.

Saat ini terdapat ratusan grup jathilan yang tersebar di Yogyakarta. Di tengah budaya Jogja dengan sistem keratonnya yang halus dan terstruktur, jathilan yang ekstrem, bebas, dan ekspresif merupakan salah satu bentuk keberagaman dari budaya Jawa yang laris sebagai hiburan di kota wisata seperti Jogja.

Jathilan juga terus berkembang hingga hari ini dengan banyak variasi mulai dari musik, gerak, kostum, properti, hingga desain kuda kepang yang dipakai. Di Kulon Progo misalnya, variasi jathilan incling yang diiringi alat musik dari bambu bernama krumpyung lebih umum untuk dijumpai. Ada juga versi jathilan putri yang dibawakan oleh perempuan hingga jathilan campursari yang menggunakan iringan lagu dangdut atau campursari.

Jika Anda berkunjung ke desa-desa di pelosok Jogja, Anda bisa menemukan Jathilan dan menyaksikan keseruan yang dibawakannya secara langsung. Tontonan masyarakat yang menghibur dan mencengangkan yang berasal dari tradisi turun temurun masyarakat Yogyakarta.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Linda Sari

Kisah Cinta yang Mendunia dalam Balutan Budaya Jawa

Lewat cerita seperti Romeo & Juliet maupun Layla & Majnun, hampir tiap budaya di berbagai belahan dunia memiliki cerita yang mengedepankan kekuatan cinta. Di Indonesia, cerita serupa yang cukup dikenal masyarakat umum dan sudah melekat pada budaya Indonesia itu sendiri adalah cerita Rama dan Shinta.

Kisah yang juga dikenal dengan judul Ramayana ini bukan sekedar cerita cinta biasa, melainkan salah satu cerita cinta yang tertua dan terpanjang di dunia, melibatkan puluhan karakter yang terdiri dari manusia, raksasa, bahkan para dewa. Keindahan cerita ini dapat Anda saksikan dalam Sendratari Ramayana di Jogja, sebuah pertunjukkan tari kolosal Ramayana dengan balutan budaya Jawa.

Versi asli Ramayana ditulis seorang resi dari India bernama Walmiki yang hidup pada sekitar 400 – 200 tahun sebelum masehi. Ramayana adalah salah satu kitab Hindu yang sarat akan nilai keagamaan. Sejak maraknya penyebaran agama Hindu di Nusantara pada awal milenium pertama, wiracarita Ramayana sudah tertanam di berbagai budaya di tanah air. Namun kemudian cerita ini berkembang sehingga di daerah-daerah di Indonesia seperti Sumatra, Jawa, atau Bali dapat memilki versi ceritanya tersendiri.

Sendratari Ramayana menyuguhkan versi Jawa dari kisah ini. Awalnya, Ramayana versi ini ditulis di Pulau Jawa sekitar abad ke-9 M, kemudian ceritanya kerap mengalami modifikasi hingga muda ini lebih dikenal sebagai Kakawin Ramayana atau Serat Rama.

Walau memiliki beberapa perbedaan dari cerita yang asli, terutama di bagian ending, plot utamanya masih menceritakan petualangan Sri Rama dalam menyelamatkan Dewi Shinta dari cengkraman jahat Rahwana, sang penguasa kerajaan raksasa yang bernama Alengka. Sri Rama tidaklah sendirian dalam misi menyelamatkan cintanya itu. Ia dibantu oleh berbagai karakter ikonik seperti Laksamana, Jatayu, Sugriwa, dan tentu saja Hanoman sang kera putih.

Semenjak pementasan perdananya di tahun 1961, Sendratari Ramayana telah menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Pertunjukkan ini memang digagas untuk menjadi salah satu tonggak Indonesia sebagai negara yang relatif baru dalam industri pariwisata. Pementasan pertamanya melibatkan 55 penari utama dan 400 penari massal yang diiringi dengan puluhan penabuh gamelan dan sejumlah penyanyi tradisional Jawa.

Kini, Sendratari Ramayana telah menjadi salah satu kesenian yang identik dengan kota Jogja. Nama kota Yogyakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta-nya sendiri diambil dari nama Ayodya, kota yang disebut dalam kitab Ramayana sebagai tempat asal Rama. Hal ini menunjukkan keterkaitan yang menarik antara Kota Jogja dengan epos Ramayana itu sendiri.

Di Kota Jogja, Anda dapat menonton Sendratari Ramayana di Panggung Trimurti maupun di Purawisata yang menyediakan panggung indoor dan diadakan secara rutin di malam hari. Namun pengalaman menyaksikan Sendratari Ramayana akan lebih istimewa di Panggung Terbuka Sendratari Ramayana yang diadakan di depan Candi Prambanan dan hanya digelar selama musim kemarau, yaitu pada bulan Mei hingga Oktober.

Riuh rendah alunan gamelan, lirih suara nyanyian dalam Bahasa Jawa, serta latar kemegahan Candi Prambanan akan menambah nuansa magis dari pengalaman Anda menikmati Sendratari Ramayana, salah satu karya agung dunia dengan sentuhan Indonesia.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ibna Alfattah

Saat memasuki masa panen, masyarakat lokal wajib mengucap syukur kepada para leluhur dan dengan diiringi sebuah tarian yang dilakukan dengan tujuan menunjukan keceriaan setelah panen yang mereka tunggu akhirnya tiba dan membuahkan hasil. Tarian ini umumnya ditemukan di lingkungan masyarakat di Pulau Letti.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Istimewa