Pos

Sebagai perpustakaan negara, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia atau Perpusnas memiliki koleksi buku terlengkap di Indonesia, sehingga menjadikannya tempat pilihan untuk membaca, mencari referensi, hingga mengerjakan tugas.

Diklaim sebagai gedung perpustakaan tertinggi di dunia dengan 27 lantai dan satu lantai basement, Perpusnas menawarkan beragam fasilitas, seperti koleksi buku, ruang teater, layanan audiovisual, area budaya baca, pusat data, layanan koleksi buku langka, dan sebagainya.

Setiap lantai di Perpusnas memiliki koleksi dan layanan tersendiri, misal pada lantai 14 adalah khusus koleksi buku langka, lantai 7 untuk koleksi buku anak di Ruang Layanan Anak, buku huruf Braille dan komputer khusus bagi penyandang disabilitas, lalu pada lantai 21-24 khusus koleksi buku umum. Di lantai teratas juga terdapat executive lounge yang dapat Travelers kunjungi untuk menikmati panorama areal Monas.


  • Jl. Medan Merdeka Sel. No.11, RT.11/RW.2, Gambir, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110, Indonesia

  • Hubungi

    +62 21 1500914

  • Jam Operasional

    Buka Senin – Kamis (pukul 08.30 – 18.00 WIB), Jumat pukul (09.00 – 18.00 WIB) dan Sabtu – Minggu (09.00 – 16.00 WIB), Hari besar libur.

  • Kuota Per hari

    Hari Senin-Jumat dibatasi kuota untuk yang masuk hanya 500 orang dan 400 orang untuk Sabtu-Minggu.

  • Syarat Masuk

    Ada syarat masuk Perpustakaan Nasional yang mesti diikuti, yakni membuat keanggotaan. Untuk mendaftar keanggotaan seseorang harus ketentuan sebagai berikut:

    • Siswa (SD, SMP, SLTA), mahasiswa, dan umum. Warga Negara Indonesia (WNI/WNA), berdomisili di dalam maupun luar negeri.
    • Mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan di ruang keanggotaan Perpustakaan Nasional RI.
    • Menunjukkan tanda pengenal asli dan masih berlaku.
    • Mengisi formulir pendaftaran dengan lengkap dan benar.
    • Mencantumkan nomor telepon dan alamat email yang dapat dihubungi.
  • Tata Tertib

    Setiap berkunjung ke Perpustakaan Nasional, pengunjung harus membawa kartu anggota karena berlaku untuk seumur hidup. Kartu juga tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain.

    Jika kartu hilang, penggantian kartu wajib menyertakan surat keterangan hilang dari kepolisian.


Wahyu dalam Mahakarya

Di abad ke-17, atas perintah dari Sultan Iskandar Muda dari Aceh, tiga ulama Minangkabau dari Sumatera Barat datang ke Sulawesi Selatan dengan tujuan utama yaitu menyelesaikan berbagai masalah ketidakselarasan antara syariat Islam dan hukum adat yang telah dianut oleh masyarakat lokal secara turun-temurun. Diyakini sebagai peletak batu pertama ajaran Islam di Sulawesi Selatan, mereka adalah Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk ri Tiro.

Berkat ajaran ketiga ulama tersebut, Kesultanan Gowa-Tallo kemudian memeluk Islam dan menjadikannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1607. Oleh karena itu, pada periode ini pula, kesultanan kerap berfungsi sebagai pemecah masalah ketika terjadi ketidakcocokan antara adat dan syariat.

Bermulai dari sini, Islam akhirnya menjadi agama dominan di Sulawesi Selatan dan memiliki elemen penting dalam peradaban masyarakat. Berikut ini adalah tiga masjid dengan kekayaan nilai sejarah, keindahan arsitektur, dan tentunya nilai religi, yang dapat Travelers kunjungi di Kota Anging Mamiri.

Masjid Raya Makassar

Pertama kali dirancang oleh arsitek Muhammad Soebardjo, Masjid Raya Makassar dibangun pada tahun 1948 dengan dana awal pembangunan Rp60.000 yang diprakarsai oleh K. H. Ahmad Bone, seorang ulama asal Kabupaten Bone.

Setelah diresmikan dua tahun kemudian, konon Masjid Raya Makassar sempat menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara saat itu. Bagaimana tidak? Bangunan induknya saja dapat menampung hingga 10.000 jemaah dan jika digabung dengan halaman masjid dapat mencapai 50.000 jemaah.

Selain sebagai salah satu masjid termegah di kawasan Indonesia Timur, Masjid Raya Makassar yang berada di Kecamatan Bontoala merupakan saksi bisu sejarah bagi masyarakat Makassar yang pada masa penjajahan selalu dipecah belah menjadi berbagai golongan, aliran, dan organisasi agar tidak bersatu menghimpun kekuatan.

Usaha untuk membangun masjid besar yang bisa menampung ribuan jemaah pun selalu dihalang-halangi. Kekhawatiran penjajah kala itu memang terbukti. Setelah masjid ini mulai digunakan pada Agustus 1949, masyarakat Makassar yang sebelumnya tercerai-berai di sejumlah masjid-masjid kecil, mulai berkumpul di Masjid Raya Makassar hingga sentralisasi kekuatan pun terbentuk.

Kehadiran Masjid ini juga dianggap sebagai bagian dari sejarah yang membanggakan masyarakat Makassar karena telah menjadi tuan rumah perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) pertama di Indonesia pada tahun pada 1955 silam.

Setelah puluhan tahun berlalu, bangunan awal masjid pun tak kuat menahan usia dan akhirnya harus mengalami sejumlah renovasi, dan Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia pada saat itu, menjadi penyumbang dana terbesar dalam proses pemugaran yang berlangsung dari tahun 1999 hingga tahun 2009.

Sekarang masjid dua lantai ini memiliki dua menara yang masing-masing memiliki tinggi 47 m (menara lama) dan 66,66 m (menara baru) yang melambangkan jumlah ayat dalam kitab suci Alquran, serta memiliki fasilitas berupa perpustakaan dan kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan. Daya tarik lainnya adalah masjid ini memiliki Alquran raksasa yang diletakan pada lantai dua masjid dan memiliki ukuran 1 m x 1,5 m dengan berat 584 kg.


Masjid 99 Kubah

masjid 99 kubah

Sesuai namanya, masjid yang berdiri tak jauh dari Pantai Losari ini memiliki puluhan kubah dengan ukuran beragam yang berbaris mengelilingi kubah utama berdiameter terbesar yang berada di tengah. Corak warna merah, jingga dan kuning membentuk pola yang cantik, terlebih jika dilihat dari atas.

Bagian eksterior kubah masjid pun amat menarik perhatian, terlebih lagi ketika ratusan lampu ditembakkan ke arah kubah saat malam hari tiba atau ketika hari mulai senja, rona jingga berpadu dengan warna dari masjid ini menambah kemolekan dan kemegahan masjid ini.

Masjid yang dibangun pada tahun 2017 ini adalah karya dari Ridwan Kamil yang juga Gubernur Jawa Barat. Pesona Masjid 99 Kubah ini pun didasari ide 99 nama-nama Allah (Asmaul Husna). Asmaul Husna sendiri berarti nama baik, agung dan mulia, yang dalam agama Islam terasosiasikan sebagai atribut ketuhanan.

Walaupun belum selesai dibangun, Masjid Kubah 99 diproyeksi dapat menampung hingga 10.000 jemaah dan akan dilengkapi dengan pelataran layaknya Masjidil Haram di Mekah. Selain itu, akan ada juga atraksi air mancur di depan masjid yang dapat dinikmati selama 30 menit selepas Magrib.

Perpaduan dari desain masjid yang unik serta pemandangan Pantai Losari yang memesona telah mencuri perhatian wisatawan dan menjadikan Masjid 99 Kubah sebagai ikon wisata baru di Kota Makassar.


Masjid Apung

masjid terapung

Masjid yang dibangun pada tahun 2009 ini bernama resmi Masjid Amirul Mukminin, namun masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan sebutan Masjid Terapung atau Masjid Apung. Masjid ini terletak 1 km dari anjungan Pantai Losari dan memiliki bentuk menyerupai rumah panggung, rumah tradisional Makassar-Bugis.

Masjid ini sendiri memiliki 3 lantai, lantai pertama digunakan untuk jemaah pria, lantai kedua disediakan untuk jemaah wanita, sedangkan lantai yang berada di bawah kubahnya dapat Travelers gunakan untuk menikmati pemandangan, terutama pada saat matahari terbenam di Pantai Losari.

Berdiri di atas laut dengan ukuran luas 1.683 m persegi, Masjid Amirul Mukminin ditopang oleh 164 tiang pancang, dan mampu menampung sebanyak 500 jemaah. Pilihan desain arsitektur kontemporer dengan warna putih dan abu-abu yang mendominasi hampir keseluruhan bangunan masjid, serta dua buah kubah dengan mozaik bergradasi biru, menjadikan masjid ini terlihat kian memesona, sehingga tak heran apabila kini Masjid Amirul Mukminin telah menjadi salah satu ikon Kota Makassar.

masjid agung syekh yusuf gowa

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy, Rezki Sugiharto

  • Catatan
    • Masih banyak masjid-masjid lain di Makassar dan sekitarnya dengan nilai sejarah dan pancaran keindahan arsitektur, seperti Masjid Agung Syekh Yusuf di Kabupaten Gowa.
    • Dengan 1.5 juta jiwa menyebut Makassar sebagai rumah dan mayoritasnya memeluk agama Islam, maka tak heran jika wisata religi bernuansa Islami menjadi salah satu aktivitas yang digemari oleh mereka yang berkunjung ke ibu kota Sulawesi Selatan ini. Selain sebagai tempat ibadah umat Muslim, masjid-masjid di Makassar juga menjadi ikon destinasi wisata religi.

    • Lokasi : Jl. Somba Opu, Maloku, Kec. Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) 24 jam
    • Lokasi : Jl. Mesjid Raya, Sungguminasa, Kec. Somba Opu, kab. Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 09.00 – 20.00 WITA

Kuasa Maritim Kerajaan Kembar

Pulau Sulawesi dan lautan yang mengelilinginya telah lama menjadi wilayah penting dalam jaringan ekonomi dan politik di Nusantara. Dengan empat semenanjungnya yang menghadap laut yang berbeda, pulau yang dulunya lebih dikenal dengan nama Celebes ini menjadi rumah dari banyak suku dengan ragam budaya.

Di semenanjung yang kini menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, terbentuk kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Luwu, Bantaeng, Bone, Wajo, Soppeng, dan yang mungkin paling sering terdengar: Kerajaan Gowa – Tallo atau Kesultanan Makassar.

Kesultanan Makassar lahir dari dua kerajaan yang konon berasal dari garis keturunan yang sama: Gowa yang berpusat di kedalaman dan berbasis agraris, dan Tallo yang berada di pesisir dengan akses ke perdagangan maritim.

Mahkota raja-raja Gowa

Pada masa pemerintahan Tumapa’risi Kallona, Raja Gowa IX (1510 – 1547), kedua kerajaan memutuskan untuk bersatu dalam sumpah “Ia iannamo tau ampasiewai Gowa na Tallo iamo nacalla rewata”, yang bermakna “Siapa yang memecah belah Gowa dan Tallo akan mendapat celaka dari dewata”. Sumpah itulah yang menjadi cikal bakal dari salah satu kekuatan politik terbesar di Nusantara bagian timur pada masanya.

Sejak terbentuk di pertengahan abad ke-16, Gowa – Tallo kemudian dikenal sebagai kerajaan kembar dengan sistem pemerintahan Rua Karaeng na Se’re Ata (Dua raja dan satu rakyat), di mana raja-raja Gowa memerintah sebagai raja dengan gelar Sombayya ri Gowa, dan raja-raja Tallo memerintah sebagai Tu’mabicara butta atau perdana menteri.

Gowa merupakan daerah yang unggul dengan pertanian dan komoditas beras, sehingga mampu menopang pertumbuhan penduduk dan membangun militer yang kuat. Tallo juga memungkinkan kerajaan untuk membangun armada laut yang signifikan serta mendukung potensi utama Gowa – Tallo sebagai pelabuhan internasional yang mengedepankan pelayaran dan perdagangan maritim.

Di awal pembentukannya, Gowa – Tallo juga mengalami banyak pembaharuan yang semakin menunjang kemajuan kerajaan. Mulai dari perombakan sistem pemerintahan, pengadaan jabatan menteri dan syahbandar, menyusun undang-undang baru, hingga pembangunan sejumlah landmark seperti Benteng Somba Opu.

Benteng Somba Opu yang dulunya berbatasan dengan laut ini awalnya dibangun hanya dengan tanah liat dan putih telur. Namun struktur bangunannya terus diperkuat dengan batu bata dan penambahan persenjataan seperti sejumlah meriam oleh raja-raja setelah Tumapa’risi Kallona.

Di dalam benteng inilah pusat Kerajaan Gowa – Tallo sempat bertakhta. Dan kehidupan masyarakat pun tumbuh di sekitar benteng dengan kampung-kampung para pedagang, pelaut, petani, hingga para pendatang.

Museum Karaeng Pattingalloang

Travelers dapat mengunjungi peninggalan benteng yang terletak di kelurahan Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa ini. Di areal benteng Travelers juga dapat mengunjungi Baruga Somba Opu, balai dengan arsitektur tradisional yang menawan, serta Museum Karaeng Pattingalloang yang menyimpan berbagai artefak peninggalan kerajaan dan cerita-cerita menarik seputar sosok Karaeng Pattingalloang sendiri, salah satu cendekiawan Makassar dari abad 17 yang dihormati bahkan oleh para koloni-koloni Eropa. Rumah-rumah tradisional suku lainnya yang mendiami Sulawesi Selatan seperti Mandar atau Toraja juga terdapat di area yang sekarang difokuskan menjadi salah satu lokasi wisata sejarah utama di Gowa ini.

Sekitar tahun 1605, raja Gowa – Tallo memeluk Islam yang dibawa oleh para mubalig dari Minangkabau. Agama Islam pun resmi menjadi agama kerajaan yang segera diikuti oleh seluruh masyarakatnya. Sejak itu, kerajaan Gowa – Tallo mulai lebih dikenal sebagai Kesultanan Makassar. Ekspansi wilayah dan penyebaran agama Islam ke daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan juga kian digencarkan, termasuk ke kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone, Wajo, dan Soppeng.

Dengan pusat pemerintahan yang berada di pesisir, laut menjadi kekuatan utama bagi Kesultanan Makassar. Posisinya yang strategis dan kebijakan yang menjunjung tinggi toleransi menjadikan pelabuhan Makassar ramai dengan para saudagar dari seluruh Nusantara.

Apalagi setelah Malaka yang sempat menjadi pusat perdagangan rempah di Nusantara jatuh ke tangan Portugis di awal abad ke-16, Makassar menonjol sebagai poros baru bagi lintas perdagangan internasional yang menghubungkan saudagar-saudagar Cina, Arab, India, Melayu, Jawa, Maluku, dan Eropa.

Kapal siapa pun diperbolehkan untuk bersandar di pelabuhan Makassar, membawa berbagai kargo dan komoditas yang begitu berharga. Salah satu pelabuhan dari zaman kerajaan adalah Pelabuhan Paotere yang sempat menjadi titik pemberangkatan armada Makassar yang terdiri dari ratusan kapal menuju perang.

Pelabuhan Paotere

Salah satu pelabuhan tertua di Nusantara yang sering dianggap sebagai ‘Sunda Kalapa’-nya Makassar ini terletak di Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Pelabuhan ini masih aktif hingga sekarang sebagai pelabuhan bagi para nelayan, di mana Travelers dapat menikmati berbagai santapan seafood yang fresh di tempat ini.

Kesultanan Makassar memasuki puncak kejayaannya di abad ke-17, dengan pengaruh politik yang dapat dirasakan di hampir seluruh Pulau Sulawesi bahkan hingga ke daerah Nusa Tenggara.

Makassar juga memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan berbagai kekuatan politik lain di Nusantara seperti dengan Ternate, Demak, Banjar, Johor dan bahkan Inggris dan Portugis. Akan tetapi, Belanda dengan VOC-nya menentang Makassar yang membuka pintu pelabuhannya bagi siapa pun, terutama pada kekuatan Eropa lainnya seperti Portugis dan Inggris.

Belanda yang pada saat itu telah menduduki pelabuhan Maluku dan Batavia, ingin melancarkan agenda monopoli rempah mereka di atas Nusantara. Di waktu yang sama, Kesultanan Makassar juga mengalami berbagai perlawanan dari kerajaan-kerajaan Bugis yang menentang ekspansi besarnya, seperti Kerajaan Bone.

Perang pun tidak terelakkan. Pertengahan abad 17, Kesultanan Makassar menerima gempuran dari berbagai sisi. Tahun demi tahun, di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki ‘Ayam Jantan dari Timur’, Makassar melewati serangkaian perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya.

Perang Makassar pun terus berlanjut sebagai salah satu perang di Hindia yang paling merugikan pihak Belanda. Namun, meskipun dengan seluruh kegigihan dan kepiawaiannya dalam berperang, pada akhirnya Sultan Hasanuddin harus menerima kemenangan Belanda lewat penandatanganan Perjanjian Bungaya di November 1667, yang mempersempit pengaruh Makassar dan membiarkan Belanda menancapkan kekuasaan politik dan ekonomi terhadapnya.

Benteng Somba Opu yang menjadi pusat pemerintahan Makassar pun jatuh pada tahun 1669, dan poros kehidupan masyarakat setempat berpindah ke Benteng Jumpandang, salah satu benteng Makassar yang jatuh ke tangan Belanda dan setelahnya berganti nama menjadi Benteng Rotterdam.

Meskipun Belanda mendominasi untuk beberapa abad ke depan, Kerajaan Makassar tetap hidup lewat keturunannya. Pada tahun 1936, Raja Gowa XXXV atau I Mangngi Mangngi Daeng Mattutu mendirikan istana untuk kediaman kerajaan yang baru di Sungguminasa, Kabupaten Gowa, atau sekitar 30 menit dari pusat Kota Makassar. Istana Gowa dengan arsitektur Makassar ini kini lebih dikenal dengan nama Museum Balla Lompoa, yang bermakna ‘Rumah Kebesaran’ dalam bahasa Makassar. Museum ini bersebelahan dengan Istana Tamalate yang dibangun pada tahun 1980-an oleh bupati Gowa pada saat itu.

Museum Balla Lompoa

Museum Balla Lompoa dan Istana Tamalate merupakan dua bangunan dengan arsitektur tradisional yang cantik dan menarik untuk Travelers kunjungi. Apalagi bagi Travelers yang tertarik untuk mempelajari seputar Kesultanan Makassar lewat berbagai pusaka seperti mahkota, batu mulia, naskah-naskah lontara, hingga senjata-senjata yang dipakai saat perang perjuangan terdahulu.

Interior Museum Balla Lompoa

Selain beberapa situs yang disebut di atas, Travelers dapat mengunjungi Makam Raja-raja Tallo dan Masjid Katangka yang juga memiliki kaitan historis dengan Kesultanan Makassar. Benteng Rotterdam dan Museum I La Galigo-nya juga menyimpan berbagai peninggalan dan cerita kebesaran Kesultanan Makassar.

Kerajaan Gowa pun berakhir di tahun 1946, saat Andi Idjo, Raja Gowa XXXVI, menyatakan bergabungnya Kesultanan Makassar dengan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Namun kebesaran kerajaan ini tetap lestari lewat berbagai peninggalan dan pengaruh budaya yang ditinggalkannya.

Warna-warni kejayaan Kesultanan Makassar di darat dan di laut tidak dihasilkan oleh satu kekuatan, melainkan sebuah hasil dari persatuan dan kerjasama dua kerajaan yang membentuknya: Gowa dengan kesuburan tanah dan kekuatan agrarisnya; Tallo dengan akses laut dan kekuatan maritimnya.

Kualitas dari kedua kerajaanlah yang menjadi faktor utama kebangkitan Kesultanan Makassar sebagai adidaya di Nusantara yang membuatnya menonjol dalam buku-buku sejarah Indonesia saat ini. Karena itu, cerita mengenai Kesultanan Makassar akan selalu menarik untuk dipelajari dengan kekayaan akan nilai-nilai persatuan dan toleransi yang membawa kesejahteraan kepada setiap jiwa yang bernaung di dalamnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy

  • Catatan
    • ‘Somba’ berarti ‘raja’, dan kawasan Somba Opu sempat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Gowa – Tallo
    • Naskah-naskah lontara menjadikan Kesultaan Makassar sebagai salah satu kerajaan di Nusantara dengan pencatatan sejarah yang baik.

    • Lokasi : Benteng Somba Opu, Kec. Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 90224
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 18.00 WITA
    • Lokasi : Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 17.00 WITA
    • Lokasi : Jl. K. H. Wahid Hasyim No.39, Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 16.00 WITA
    • Lokasi : Jalan Abdul Kadir, Benteng Somba Opu, Kec. Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 90225
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 07.00 – 17.00 WITA
    • Hubungi : 0852-4233-1227

Menguak Kerajaan Hindu Terakhir di Pulau Jawa

Mungkin Travelers ingat akan pelajaran sejarah di bangku sekolah dulu, bagaimana sejumlah kerajaan bercorak Hindu sempat berjaya di berbagai belahan Nusantara. Banyak dari kita yang mengagumi Mataram Kuno dengan peninggalan Borobudur dan Prambanan-nya, atau Majapahit dengan kisah Gajah Mada dan Sumpah Palapa-nya yang melegenda. Namun banyak dari kita yang tidak menyadari kalau sebenarnya masih banyak kerajaan Hindu lain yang mewarnai lintas sejarah negeri kita.

Salah satu kerajaan bercorak Hindu yang sempat berjaya di tanah Jawa adalah Kerajaan Blambangan. Walau penyebutan Bumi Blambangan kini lebih sering diasosiasikan dengan Banyuwangi saja, wilayah Kerajaan Blambangan dulu mencakup Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Saat ini situs-situs yang berkaitan dengan Kerajaan Blambangan masih tersisa di Banyuwangi. Selain menjadi tujuan wisata religi bagi umat Hindu, beberapa peninggalan sederhana ini menceritakan sejarah yang masih penuh misteri dan menarik untuk dipelajari.

Kerajaan Blambangan diperkirakan lahir di akhir abad ke-13 saat Raden Wijaya menyerahkan ‘Istana timur’ yang berpusat di Lumajang kepada Arya Wiraraja atas bantuannya mendirikan Majapahit. Istana timur inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Blambangan.

Dengan letak yang strategis di ujung timur Pulau Jawa, Blambangan berkembang sebagai persimpangan budaya, bahasa, dan agama. Walau di sisi lain, posisinya juga mendatangkan sejumlah ancaman politik dari sekitarnya.

Ketika Kesultanan Demak menaklukkan Majapahit di abad ke-16, Kerajaan Blambangan sempat berkuasa di timur Jawa. Seiring menguatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa, Kesultanan Demak (dan nantinya Kesultanan Mataram) berkali-kali menyerang Blambangan dari sebelah barat. Dari sebelah timur, kerajaan-kerajaan Bali seperti Gelgel, Buleleng, dan Mengwi, juga selalu berusaha menancapkan pengaruhnya atas Bumi Blambangan nan subur itu.

Salah satu peninggalan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi adalah Situs Kawitan yang berada di Taman Nasional Alas Purwo. Situs ini sempat terlupakan oleh peradaban. Menjadi reruntuhan yang tersembunyi jauh di belantara hutan yang juga terkenal akan keangkerannya.

Pada tahun 1967, Situs Kawitan tidak sengaja ditemukan oleh warga setempat yang sedang membuka lahan di hutan Alas Purwo. Di tempat ini ditemukan juga prasasti yang mencatat perjalanan Brawijaya, raja terakhir Majapahit, ke Alas Purwo menjelang runtuhnya Majapahit.

Di sekitar Situs Kawitan pun dibangun Pura Giri Salaka. Pura yang berdiri megah di tengah hutan Alas Purwo ini ramai dikunjungi umat Hindu terutama saat Pagerwesi, upacara yang dilaksanankan setiap 210 hari sekali untuk melindungi ilmu pengetahuan manusia dari kekuatan jahat.

Ada juga Desa Macan Putih di Kecamatan Kabat, Banyuwangi. Di desa ini ditemukan reruntuhan seperti dinding berbahan batu bata yang menyembul dari tanah. Sedari dulu, pecahan batu bata tua, keramik dan gerabah, patung hingga batu mulia juga kerap ditemukan warga setempat. Sayangnya, banyak dari temuan tersebut dijual warga ke para kolektor tanpa penelitian lebih lanjut.

Beberapa catatan Belanda menyebut bahwa dulunya terdapat lebih banyak arsitektur menarik di desa ini. Litograf De kuil van Matjan Poetih dari abad ke-19 bahkan melukiskan bangunan serupa candi berwarna putih dengan pahatan macan pernah berdiri di sekitar desa ini.

Lokasi Desa Macan Putih diyakini sempat menjadi ibukota Kerajaan Blambangan pada masa pemerintahan Prabu Tawang Alun II, yaitu mulai dari tahun 1655 hingga 1692. Prabu Tawang Alun II atau Raden Mas Kembar adalah raja yang membawa Kerajaan Blambangan ke puncak kejayaannya. Di desa ini juga dibangun pendopo kecil yang kini dikenal sebagai Situs Persemedian Tawangalun yang dipercaya sebagai petilasan terakhir dari sang prabu.

Di Kecamatan Muncar, Banyuwangi, terdapat bekas peninggalan Kerajaan Blambangan yang juga ditemukan secara tidak sengaja berkat pembukaan lahan oleh warga. Dikenal dengan nama Situs Umpak Songo, gundukan berundak dengan batu-batu berlubang ini berdiri di tengah pemukiman warga. Diduga, situs ini dulunya berfungsi sebagai balai pertemuan, sebelum terbengkalai dan dilahap oleh pepohonan serta semak belukar.

Di dekat situs ini dibangunlah Pura Agung Blambangan, tepatnya di titik dengan sumber mata air atau sumur yang dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan Blambangan. Pura yang diresmikan pada Hari Raya Kuningan tahun 1980 ini merupakan pura terbesar yang ada di Banyuwangi dan masih aktif hingga saat ini.

Terlepas dari gempuran pengaruh Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan di Bali, Kerajaan Blambangan pada akhirnya juga menjadi target serangan VOC. Sebagian wilayahnya berhasil ditaklukkan Belanda pada tahun 1767-1768. Kerajaan Blambangan yang pada saat itu berpusat di lereng Gunung Raung terus melakukan berbagai pemberontakan terhadap Belanda. Sejumlah perlawanan dipimpin oleh Wong Agung Wilis dan Pangeran Jagapati atau Mas Rempeg yang menolak kerja paksa dan berbagai kebijakan pemerintah VOC lainnya atas Bumi Blambangan.

Pertumpahan darah demi mem­pertahankan Kerajaan Blambangan terkulminasi di Perang Puputan Bayu (1771-1772). Puput memiliki arti ‘habis’, dan perang ini menjadi perang habis-habisan antara warga Blambangan melawan Belanda. Meski beberapa kali sempat memukul mundur pasukan VOC, pada akhirnya Kerajaan Blambangan jatuh sepenuhnya di tangan Belanda.

Menurut catatan Belanda, Puputan Bayu merupakan salah satu perang VOC di Nusantara yang paling menegangkan dan mengenaskan. Bahkan, populasi Blambangan pada saat itu diperkirakan merosot hingga puluhan ribu sebagai korban dari perang ini. Di Rowo Bayu, Kecamatan Songgon, saat ini terdapat Candi Puncak Agung Macan Putih yang didirikan untuk menghormati para pejuang yang gugur di Puputan Bayu.

Kemenangan Belanda dalam Perang Puputan Bayu menandakan berakhirnya kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Wilayah Blambangan pun resmi masuk ke dalam administrasi Karesidenan Basuki di bawah pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1774, pusat pemerintahan Blambangan dipindahkan ke lokasi Kota Banyuwangi saat ini. Didirikanlah Pendopo Sabha Swagata Blambangan sebagai kediaman bupati Banyuwangi pertama, yaitu Tumenggung Wiroguno I atau Mas Alit yang masih keturunan Prabu Tawang Alun. Bangunan pendopo ini masih bertahan sebagai rumah dinas bupati Banyuwangi hingga saat ini.

Meski kini mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, saat ini Banyuwangi menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan jumlah populasi umat Hindu yang signifikan selain Bali. Banyuwangi masih menyimpan sejumlah destinasi wisata religi Hindu lainnya. Mulai dari Situs Pura Beji Ananthaboga dengan kompleks pertirtaan nan asri yang berada di tengah hutan pinus di lereng Gunung Raung; hingga Pura Segara Tawangalun di Pulau Merah yang didirikan untuk mengenang Prabu Tawang Alun. Pura Segara Tawangalun juga dikenal lewat Upacara Melasti yang diadakan setiap menjelang Hari Raya Nyepi, di mana umat Hindu setempat melakukan arak-arakan di tepi Pantai Pulau Merah dengan panorama senjanya yang menawan.

Sejarah memperkenalkan kita dengan banyak cerita. Walau sederhana, peninggalan sejarah di Banyuwangi menceritakan kebesaran Kerajaan Blambangan yang berjaya bahkan beberapa ratus tahun lebih lama dari kerajaan sepupunya, Majapahit yang diagung-agungkan.

Wisata sejarah dan religi di Banyuwangi juga menambah wawasan kita akan kepahlawanan Prabu Tawang Alun, Wong Agung Wilis, Pangeran Jagapati, serta puluhan ribu rakyat Blambangan yang berjuang hingga titik darah penghabisan melawan penjajahan. Sebagai potret lain dalam keagungan nenek moyang kita yang belum sepenuhnya tergali dari permukaan tanah, maupun tercatat dalam buku-buku sejarah.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, Ayub Ardiyono

  • Catatan 1

    Kata Blambangan berasal dari kata balumbungan yang artinya ‘banyak lumbung’. Ada juga yang mengatakan asalnya dari kata bali dan ombo, yang bila digabung bermakna ‘rakyat yang banyak’. Benar saja, wilayah bekas Kerajaan Blambangan memang dikarunai kesuburan tanah dan jumlah populasi yang tinggi bahkan hingga saat ini.

  • Catatan 2

    Karena menganut kepercayaan yang sama, Kerajaan Blambangan cenderung memiliki kedekatan hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Bali. Berbagai ciri khas budaya Bali bahkan dapat ditemukan di sejumlah kesenian Blambangan yang bertahan hingga saat ini di Banyuwangi.

  • Catatan 3

    Cerita seputar Kerajaan Blambangan sendiri cukup jarang untuk dibahas. Salah satu teks tertua yang menyebut keberadaannya adalah Negarakretagama karya Mpu Prapanca yang dibuat pada 1365.


    • Lokasi : Blambangan, Muncar, Dusun Krajan, Tembokrejo, Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68472
    • Lokasi : Taman Nasional Alas Purwo, Kecamatan Tegal Delimo, Kaliagung, Kendalrejo, Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68484
    • Hubungi : (0333) 555 973