Pos

Identitas yang Hampir Terlupakan

Saat ini siapa yang tak mengenal Candi Borobudur dan Candi Prambanan? Dua primadona pariwisata Indonesia yang menarik jutaan pengunjung setiap tahunnya. Tapi ketika Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur asal Inggris yang sedang berkuasa di Hindia awal abad ke-19 menemukannya, kedua monumen itu berada dalam kondisi hancur. Pada saat itu tidak ada yang tahu pasti untuk apa, bagaimana, dan oleh siapa pembangunannya, selain cerita-cerita penuh bumbu mistis dan takhayul yang masyarakat setempat kaitkan dengan keduanya.

Sejumlah penelitian yang dilakukan sejak penemuannya saat itu menunjukkan bahwa Candi Borobudur dan Candi Prambanan merupakan peninggalan kerajaan yang sama yaitu Kerajaan Medang atau Mataram Kuno. Kedua candi berdiri sebagai pusat perziarahan keagamaan pada masanya, meskipun kedua candi ini dibangun oleh dua wangsa atau dinasti dengan corak keagamaan yang berbeda.

Beberapa prasasti menceritakan bahwa Kerajaan Medang pernah berkuasa di ‘Bhumi Mataram’, wilayah yang sekarang menjadi Yogyakarta dan sekitarnya, pada abad ke-8 hingga abad ke-10. Kerajaan Medang adalah masyarakat agraris yang menganut kepercayaan Hindu dan Buddha, dengan pusat pemerintahan yang berpindah-pindah antara sekitaran Jogja dan Jawa Tengah seiring pergantian raja atau dinasti.

Akibat dari letusan besar Gunung Merapi pada abad ke-10, Kerajaan Medang memindahkan seluruh kerajaannya ke daerah Jawa Timur. Sejak itulah Candi Borobudur dan Candi Prambanan mulai ditinggalkan dan dilupakan, terlelap dalam pergerakan zaman.

Candi Borobudur yang menjulang setinggi 35 m dengan luas 2,500 m², berada di puncak bukit di Magelang, Jawa Tengah. Bhumi Sambhara Budhara yang bermakna ‘sepuluh tingkatan kebajikan bodhisatwa’ dalam bahasa Sansekerta, adalah nama yang dipercaya sebagai sebutan asli untuk candi ini.

Kuil Buddha terbesar di dunia ini dibangun oleh dinasti Syailendra dengan corak Buddha aliran Mahayana, sekitar tahun 780 hingga 840 M. Sesuai nama aslinya, desain Borobudur mengandung representasi ajaran Buddha dalam tiap aspek bangunannya.

1,460 panel relief yang terpahat di dinding candi menceritakan ajaran-ajaran Buddha seperti hukum karma maupun jataka (cerita kehidupan Buddha sebelum terlahir kembali sebagai Siddharta Gautama). Walau secara artistik bangunannya berkiblat pada style India Gupta, relief di Candi Borobudur menggambarkan berbagai elemen sosial masyarakat Jawa pada zamannya dengan cukup detail. Bagaikan sebuah album foto lama yang terbuat dari batu, para sejarawan sering merujuk kepada relief di Candi Borobudur dalam perbincangan soal kehidupan masyarakat Jawa atau bahkan Asia Tenggara di abad ke-8.

Salah satu filosofi yang menonjol dari Candi Borobudur ada pada sepuluh tingkatannya yang terbagi lagi dalam tiga zona. Bagian kaki Candi Borobudur menjadi zona pertama atau Kamadhatu yang melambangkan alam dunia dan kehidupan manusia.

Rupadhatu, galeri relief di bagian tengah candi, melambangkan kehidupan manusia yang sudah terlepas dari belenggu duniawi. Zona yang bagaikan mahkota di puncak candi memiliki tiga teras berbentuk lingkaran dengan 72 stupa kecil yang mengelilingi stupa utama tepat di pusat bangunan. Zona ketiga dan terakhir ini dikenal sebagai Arupadhatu yang melambangkan alam tertinggi atau nirwana.

Lain halnya dengan Candi Borobudur, Candi Prambanan dibangun oleh dinasti Sanjaya yang menganut kepercayaan Hindu Siwa. Pembangunannya diprakarsai oleh raja Medang Mataram Rakai Pikatan sekitar tahun 850. Candi yang berada di Sleman, Yogyakarta ini dikenal warga setempat dengan sebutan Candi Rara Jonggrang, walaupun sebutan asli untuk candi ini adalah Siwagrha yang dalam bahasa Sansekerta bermakna ‘rumah Siwa’.

Keistimewaan dari Candi Prambanan adalah banyaknya jumlah candi yang berada di kompleks percandian ini. Secara keseluruhan terdapat 240 candi yang tersebar di tiga halaman yang memusat pada enam candi besarnya. Candi Prambanan merupakan persembahan untuk Trimurti atau tiga dewa utama dalam agama Hindu: Brahma sang pencipta, Wisnu sang pemelihara, dan Siwa sang pelebur.

Ketiga dewa direpresentasikan dengan candinya tersendiri yang berhadapan dengan candi wahana atau kendaraan ketiganya: Nandi, Garuda, dan Hamsa atau Angsa. Keenam candi yang berdiri di halaman utama juga ditemani oleh sepasang candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi patok. Di luar halaman utama, berbaris 224 buah candi perwara yang mengelilingi candi-candi utama. Sayangnya, sebagian besar dari candi perwara belum direstorasi dan masih berupa reruntuhan.

Siwa menjadi dewa utama di kompleks percandian ini dengan candinya yang berdiri setinggi 47 meter, menjadikannya candi tertinggi di Indonesia. Bentuknya yang menjulang menyimbolkan Mahameru, gunung suci tempat bersemayamnya para dewa dalam agama Hindu.

Relief di serambi Candi Siwa melukiskan bagian awal dari kisah Ramayana, yang berlanjut di relief yang ada di serambi Candi Brahma. Sedangkan relief pada Candi Wisnu, menggambarkan kisah titisan Dewa Wisnu di Bumi sebagai Krisna. Selain kecantikan arsitekturnya, keindahan Candi Prambanan juga terletak di detail sejumlah arca yang ditemukan di beberapa ruang candi.

Semenjak penemuannya di abad ke-19, Candi Borobudur dan Candi Prambanan telah melewati berbagai tahap restorasi hingga dapat berwujud seperti sekarang. Keduanya pun telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Namun sebenarnya masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dari kedua candi tersebut, akibat kurangnya data sejarah dan hilangnya beberapa bagian dari kedua candi.

Sejarah selalu menjadi bagian dari identitas suatu bangsa. Seperti Taj Mahal yang melekat dengan India maupun Tiongkok dengan Tembok Besar-nya, Candi Borobudur dan Candi Prambanan telah menjadi aset yang menunjukkan kebesaran Nusantara.

Terabaikannya dua mahakarya ini selama ratusan tahun sempat menghambat kita untuk mempelajari identitas nenek moyang dan diri kita sendiri sebagai suatu bangsa.Tanah air selalu kaya akan nilai spiritual dengan berbagai kepercayaan, dan dua megastruktur kuno yang dulu berada dalam satu kerajaan ini mengingatkan kita akan nilai persatuan, keharmonisan dan toleransi beragama yang dijunjung nenek moyang kita dalam bernegara. Agar nilai-nilai luhur tersebut tidak terputus, mungkin saatnya kita benar-benar mendengarkan amanah Presiden Soekarno: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly & Adipati Dolken