Pos

Berkah dan Tumpah Darah

Ada banyak aspek menarik dari tradisi Sumba yang satu ini, yang membuatnya signifikan jika dibandingkan dengan tradisi Nusantara lainnya. Dalam tiap prosesinya, pasola melibatkan ratusan laki-laki berbusana adat Sumba, yang menunggangi kuda-kuda jantan yang dihias sedemikian rupa. Mereka terbagi ke dalam dua pasukan yang mewakili kampung adat masing-masing. Tiap kesatria berkuda ini bersenjatakan lembing kayu, yang kemudian dilempar ke arah pasukan lawan.

Beruntung jika lembing yang melesat bagai peluru bisa dihindari, atau ditangkis dengan putaran lembing yang juga bisa berfungsi sebagai perisai. Namun para penonton justru akan bersorak ramai ketika lembing tepat mengenai sasarannya. Membuat kesatria dari kubu lawan terjatuh dari kudanya, atau terluka hingga darah bercucuran dari tubuhnya. Tidak jarang peserta hampir kehilangan mata, atau menjadi cacat setelah mengikuti pasola. Bahkan, ada juga kejadian di mana peserta kehilangan nyawa di medan pasola.

Meskipun terlihat berbahaya dan penuh resiko, pasola telah menjadi identitas masyarakat Sumba bagian barat secara turun temurun. Pasola hanya dapat ditemukan di daerah Kodi yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya, serta di daerah Lamboya, Wanokaka, dan Gaura di Kabupaten Sumba Barat.

Nama ‘pasola’ sendiri diambil dari kata sola atau hola yang bermakna ‘lembing’. Ada juga yang berpendapat bahwa nama itu berasal dari kata ghola, bahasa Kodi yang bermakna ‘kejar’. Dan pasola, memang tampak seperti perang persahabatan antar dua pasukan berkuda yang saling mengejar dan saling melempar lembing.

Pada dasarnya, pasola adalah puncak dari salah satu ritual adat Marapu, kepercayaan setempat yang praktiknya masih dapat ditemukan dengan mudah di seluruh Pulau Sumba. Pasola dapat disaksikan hanya sekali dalam setahun, yaitu menjelang musim tanam padi di bulan Nale Bokolo dalam kalender Sumba, yang biasanya jatuh pada bulan Februari atau Maret.

Hanya para rato, atau tetua adat dan petinggi Marapu, yang dapat menentukan kapan tepatnya pasola dapat diselenggarakan. Para rato harus melakukan berbagai ritual adat dan membaca tanda-tanda alam sebelum pasola dapat terlaksana. Salah satu penandanya adalah munculnya nyale, semacam cacing laut, yang dapat ditemukan di pantai-pantai barat dan selatan Pulau Sumba.

Berbagai ritual yang dilakukan sebelum dan setelah pasola merupakan ritual adat yang sakral dalam kepercayaan Marapu. Pasola sendiri sebenarnya adalah bentuk penghormatan pada arwah leluhur maupun Sang Pencipta, di mana para penganut kepercayaan Marapu memohon pengampunan, menyampaikan rasa syukur dan berdoa untuk kemakmuran. Tiap tetes darah kesatria maupun kuda yang jatuh di medan pasola, dianggap sebagai persembahan yang akan membantu kesuburan tanah. Semakin banyak darah, semakin banyak juga hasil panen maupun ternak yang dapat diperoleh nantinya.

Pasola yang berujung fatal memang sudah cukup langka saat ini. Konon, pasola hanya akan memakan korban jika terdapat pelanggaran tabu atas kepercayaan Marapu. Masyarakat setempat percaya bahwa tiap luka yang didapat saat pasola merupakan ganjaran atas perilaku buruk yang pernah mereka lakukan. Luka-luka saat pasola juga melambangkan kepahitan dan penderitaan hidup yang harus dilewati sebelum mencapai keberhasilan di waktu panen nanti.

Ada beberapa versi cerita mengenai asal-usul terjadinya pasola. Menurut cerita rakyat di Kabupaten Sumba Barat Daya, pasola berkaitan dengan Inya Nale, dewi kesuburan yang konon muncul di Pantai Kodi dan menjelma menjadi nyale. Inya Nale menyelamatkan masyarakat dari kelaparan dan peperangan yang berkepanjangan, sehingga pasola dirayakan sebagai bentuk rasa syukur terhadapnya.

Masyarakat di Kabupaten Sumba Barat memiliki cerita yang berbeda. Mereka percaya bahwa asal muasal pasola adalah cerita tentang sosok Umbu Dulla dari kampung Waiwuang dan Teda Gaiparona dari kampung Kodi, yang sama-sama memperebutkan seorang wanita cantik bernama Rabu Kaba. Agar tidak muncul dendam yang berkepanjangan, diadakanlah sparring atau duel antar kampung yang seterusnya berlanjut dan berkembang menjadi tradisi pasola.

Pasola sendiri dapat dilihat sebagai salah satu extreme sport asli Indonesia. Para kesatria yang berpartisipasi dalam pasola harus memiliki keahlian dalam berkuda. Mereka harus memacu kuda dan menjaga keseimbangan tubuh mereka saat melempar lembing, atau menghindarinya.

Ditambah lagi, mereka harus memilih kuda yang cepat dan berani untuk dapat menghadang lembing-lembing yang berhamburan. Tidak sedikit kuda menjadi takut sehingga lari menjauhi medan pasola. Para kesatria juga harus memiliki ketangkasan dengan lembing, untuk dapat melemparnya dengan kuat dan cepat agar bisa mengenai sasaran yang terus bergerak.

Tiap peserta pasola juga harus mentaati beberapa aturan adat. Mereka tidak boleh menggunakan lembing yang tajam, menyerang lawan yang sudah terjatuh dari kuda atau menyerang lawan yang memunggungi mereka. Lembing yang sudah terlempar atau terjatuh ke tanah tidak boleh diambil atau digunakan kembali. Dan para kesatria pasola, dilarang untuk membawa dendam maupun masalah pribadi ke medan pasola.

Tidak ada medan pasola yang sepi penonton. Pasola selalu disaksikan oleh seluruh kabisu, klan atau kampung, yang sedang bertanding saat itu. Keseruannya selalu dapat mengundang spektator dari manapun, di mana masyarakat datang dari kampung dan daerah lain hanya untuk menonton dan meramaikan acara pasola. Sejak dulu, tradisi ini memang selalu menjadi media pemersatu masyarakat Sumba. Memupuk persahabatan dengan kampung seberang, serta ajang bagi rekan kerabat berkumpul dan bersilaturahmi.

Keunikan utama pasola sebagai tradisi asli Indonesia terdapat pada begitu banyaknya nilai yang terkandung di dalamnya. Ritual adat pasola mencerminkan nilai persaudaraan, seni, budaya, olahraga, hiburan, hingga keagamaan. Bagi penganut Marapu, pertumpahan darah yang terjadi di medan pasola justru dapat membuahkan berkah.

Bagai pepatah ‘mati satu tumbuh seribu’, kematian dipercaya mampu melahirkan kehidupan dalam bentuk yang lain. Pertumpahan darah yang dapat membantu kesuburan tanah, panen yang melimpah ruah, dan kemakmuran hidup yang terus dapat disyukuri bersama sebagai masyarakat Sumba. Semua hal itulah yang membuat pasola spesial, sebagai salah satu kekayaan budaya yang menunjukkan ragam Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Pater Robert Ramone

Ribuan Derap Kaki di Perbukitan Sumba

Pemandangan alam Sumba yang surgawi memang sudah tidak asing lagi. Hamparan perbukitan dan matahari senja yang tampak sempurna kerap memenuhi feed Instagram siapapun yang berlibur di Sumba. Apalagi, pesona alamnya juga selalu identik dengan kuda-kuda lokal yang selalu menambah keeksotisan pemandangan sabana khas tanah Sumba.

Kuda sandalwood atau kuda sandel, merupakan kuda khas Sumba yang menjadi identitas serta simbol yang melekat pada masyarakat Sumba. Kuda yang termasuk dalam jenis kuda poni ini memiliki postur tubuh yang kecil dengan rata-rata tinggi punggung di bawah 150 cm. Kuda sandel memiliki bentuk kaki dan kuku yang kuat. Lingkar lehernya besar, dan memiliki daya tahan yang tangguh. Kuda sandel juga memiliki warna yang cukup bervariasi seperti hitam, putih, belang, dan banyak warna lainnya.

Jenisnya dinamakan kuda sandel sejak zaman kolonial, di mana Sumba merupakan penghasil kayu cendana (sandalwood) terbesar dan terbaik di dunia. Pada masa itu kuda poni Sumba dilirik sebagai komoditi perdagangan alternatif selain cendana. Dan demi kepentingan usaha dagang, diberikanlah trademark pada kuda Sumba dengan nama ‘sandalwood horse’ yang kemudian nama itu melekat dan berkembang menjadi kuda sandel.

Dalam kehidupan masyarakat Sumba, kuda begitu dihormati dengan fungsi yang sangat penting dan beragam. Pada zaman nenek moyang dahulu kuda sering dijadikan sebagai tunggangan harian, dan sebagai kendaraan berburu atau perang. Juga dalam adat-istiadat tradisi perkawinan masyarakat Sumba, kuda dan mamuli (perhiasan dengan makna kesuburan) menjadi salah satu bagian penting dari perangkat belis (mahar), yang diberikan oleh pihak orang tua laki-laki kepada pihak orang tua perempuan. Kuda juga berperan penting dalam banyak upacara adat di Sumba lainnya, seperti dalam upacara adat pasola.

Bagi masyarakat Sumba, sifat kuda mencerminkan karakter pemiliknya. Kuda dipercaya memiliki hubungan psikologis dengan manusia yang digambarkan dalam ungkapan adat ‘Ndara ole ura, bangga ole ndewa’,  yang bermakna ‘kuda sebagai kawan segaris urat tangan, anjing sebagai kawan sejiwa’.

Sebagai kendaraan hidup, kuda memang tak terpisahkan dari kehidupan pribadi orang Sumba. Memakan daging kuda dipercaya dapat mendatangkan bahaya dan malapetaka karena kuda dianggap hampir setara dengan roh leluhur, khususnya bagi mereka yang menganut kepercayaan Marapu.

Semenjak masuknya Belanda, pacuan kuda berkembang di banyak daerah di Indonesia sebagai bagian dari tradisi yang berlanjut hingga sekarang. Awalnya pacuan kuda diselenggarakan di hari-hari besar dan di hari ulang tahun ratu Belanda saja. Tapi saat ini berbagai golongan masyarakat di Sumba menggemari olahraga ini sebagai ajang pertunjukan daerah, rekreasi dan media untuk mempererat hubungan persahabatan.

Maraknya pacu kuda juga memicu masyarakat Sumba untuk kian meningkatkan mutu dari kuda-kuda lokal dalam postur tubuh, kecepatan, hingga daya tahan. Peningkatan mutu ini sebenarnya bermula di abad 18, di mana kuda-kuda Sumba dikawin silang dengan kuda-kuda yang dibawa para saudagar dari Arab.

Kini kuda sandel dari Sumba menjadi salah satu komoditas yang digalakkan pemerintah setempat lewat berbagai upaya peningkatan kualitas dan kuantitas. Dengan berbagai acara seperti pacuan kuda atau festival Parade 1001 Kuda Sandalwood di Sumba Barat, kuda sandel semakin menjadi ikon budaya dan pariwisata Pulau Sumba. Dengan pesona dan karakternya yang tangguh, kuda sandel diharapkan terus bisa menjadi kawan setia bagi tiap manusia yang menungganginya, serta kebanggaan dari setiap masyarakat yang hidup di Pulau Sumba.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy