Pos

Media Pemersatu Masyarakat Gayo

Terasa ada yang kurang rasanya jika berkunjung ke Tanoh Gayo jika tidak menyaksikan pacuan kuda, atau dengan bahasa setempat disebut pacu kude. Sebuah event perlombaan pacuan kuda tradisional yang selalu ditunggu-tunggu dan membawa berkah di tiga kabupaten Gayo, yaitu Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues.

Dengan segala keunikannya, pacu kude merupakan hiburan rakyat turun-temurun di Tanoh Gayo yang telah berlangsung bahkan sebelum datangnya Belanda. Pada eranya pacu kuda digelar dengan arena pacuan yang lurus di tepi pantai Danau Lut Tawar yang jaraknya sekitar 1,5 km.

Dengan sisi barat berbatas Danau Lut Tawar sementara sisi timur dipagari dengan geluni (sejenis rotan). Pacu kude ini biasa diselengggarakan pada saat luwes belang – masa setelah masa panen padi yang sering kali berada di bulan Agustus. Cuaca pada saat bulan itu juga sangat mendukung karena berada dalam musim kemarau. Hingga kemudian ditetapkanlah pacu kude pada bulan Agustus tersebut.

Uniknya pada saat itu para joki tidak diperkenankan menggunakan baju alias telanjang dada. Para pemenang juga tidak diberi hadiah, lantaran ‘gah’, marwah gengsi atau status sosial yang dipertahankan dan menjadi taruhan utama dalam tiap pacu kude. Kemenangan yang diperoleh tersebut dilanjutkan dengan perayaan dan syukuran oleh penduduk setempat dengan sistem ‘bersigenapen’ yaitu saling sumbang – menyumbang untuk biaya perayaan kemenangan tersebut.

Sekitar tahun 1912, pemerintah Belanda melihat pacu kude sebagai media yang dapat mempersatukan masyarakat Gayo. Melihat peluang itu pemerintah Belanda memindahkan arena pacuan kuda ke Takengon, tepatnya di Blangkolak yang sekarang bernama Lapangan Musara Alun. Pacuan kuda di waktu pendudukan Belanda diselenggarakan setiap ulang tahun Ratu Wilhelmina yang juga bertepatan pada bulan Agustus, dan para pemerintah belanda membuat event ini jauh lebih meriah.

Para pemenangpun diberi hadiah dan piagam juga disediakan biaya makan untuk kuda. Lambat laun tradisi memberi hadiah berlanjut hingga kini. Selain itu semenjak dipindahkannya arena pacu kude, sistem dan aturannya juga berubah. Mulai dari arena yang sebelumnya lurus menjadi oval dengan pagar rotan di kanan-kirinya, hingga para joki yang sebelumnya bertelanjang dada saat mengendarai kuda pada saat itu juga mulai diberi baju warna-warni.

Tradisi ini terus berlangsung hingga sekarang, dengan semakin banyaknya pembaruan. Mulai dari arena yang di pindahkan ke tempat yang lebih besar dan layak, pagar yang menggunakan tiang besi dan start yang menggunakan box start. Bahkan kuda-kuda yang dipacu tidak lagi hanya kuda lokal. Kuda-kuda tinggi, besar, dan gagah hasil persilangan kuda Australiapun berpacu disini.

Yang masih melekat hingga sekarang ialah joki cilik-nya. Ya, para joki di pacuan kuda gayo ini umumnya adalah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kuda-kuda yang mereka tunggangi juga tidak menggunakan pelana melainkan hanya menggunakan tali kekang. Namun mulai dengan masuknya kuda-kuda yang berpostur tinggi, kuda-kuda tersebut mulai menggunakan pelana. Tapi tidak dengan kuda kelas F, yang mana merupakan kuda lokal Gayo.

Umumnya ada 6 klasifikasi yang dipertandingkan disini yaitu A, B, C, D, E, F dan klasifikasi ini dibagi menjadi 2 kategori lagi berdasarkan tua dan muda. Biasanya untuk membedakan klasifikasi ini kuda yang akan dipacu diukur dan didata terlebih dahulu. Dan kuda-kuda lokal Gayo biasanya masuk dalam klasifikasi D, E, dan F, sedangkan untuk kuda-kuda hasil persilangan masuk dalam klasifikasi A, B, dan C.

Selain menjadi hiburan rakyat, pacu kude juga menjadi tempat masyarakat Gayo ataupun wisatawan untuk berbelanja dan menikmati hiburan anak. Karena saat diselenggarakannya pacu kude ini, terdapat banyak pedagang yang menjual aneka jenis barang dan pakaian terpusatkan di hari pacuan kuda.

Bahkan para pedagang yang berjualan di pacuan kuda tidak hanya pedagang lokal, pedagang dari luar kota pun ikut berjualan di lokasi pacuan kuda di Tanoh Gayo ini. Seperti pasar malam dan wahana mainan anakpun ikut meramaikan suasana pacuan kuda di Gayo.

Sekarang pacu kude menjadi event tahunan yang diadakan setahun sekali untuk memperingati hari lahirnya kabupaten-kabupaten itu sendiri. Untuk di Aceh Tengah sendiri pacu kuda bahkan diadakan 2 kali dalam setahun, yaitu di hari ulang tahunnya kota Takengon pada bulan Februari, juga di hari lahirnya bangsa Indonesia pada 17 Agustus.

Jadi, dalam setahun ada 4 kali event pacu kuda yang diselenggarakan di Dataran Tinggi Gayo. Dan buat kalian yang berlibur ke Dataran Tinggi Gayo, jangan sampai melewatkan salah satu hiburan rakyat Gayo yang sangat unik dan menarik ini. Rugi rasanya jika telah sampai Dataran Tinggi Gayo namun tidak menyaksikan pacu kude.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : Iqbal Fadly & Ibna Alfattah