Pos

Di Mana Pusaka Bermuara

Indonesia tentu memiliki daftar panjang akan benda pusaka yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Mulai dari mahkota yang pernah bersandar di atas kepala raja-raja, keris dan pedang berhiaskan emas permata, hingga pahatan dengan detail mengagumkan pada lukisan batu dari era megalitikum.

Semua benda pusaka menceritakan kehidupan manusia dan kebudayaan yang membentuknya, dengan ragam rupa dan warna yang mencerminkan kebinekaan Indonesia. Dan saat ini, tidak ada tempat yang lebih menyeluruh untuk mengenal dan mempelajari ribuan pusaka Nusantara selain di Museum Nasional Indonesia.

Museum Nasional Indonesia terletak di jantung kota Jakarta, tepatnya di wilayah Medan Merdeka yang telah tumbuh menjadi area strategis bahkan sejak zaman Hindia-Belanda. Dengan jumlah koleksi yang saat ini mencapai lebih dari 140.000 objek, museum yang berdiri di area seluas 26.500 m2 ini merupakan salah satu museum terbesar di Asia Tenggara dan salah satu museum tertua di Asia.

Sejarah Museum Nasional Indonesia dimulai pada abad ke-18, saat Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment) menyelimuti Belanda dan seluruh Eropa dengan revolusi intelektual dan semangat akan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1778, orang-orang Belanda di Batavia membentuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga yang fokus terhadap penelitian akan seni dan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda. Dengan moto “Ten Nutte van het Algemeen”, lembaga ini bertekad untuk bergerak demi kepentingan masyarakat umum.

Patung karya Nyoman Nuarta

Patung karya Nyoman Nuarta yang menyimbolkan arus perjuangan ini menjadi salah satu ikon dari Museum

Bataviaasch Genootschap pun aktif mengumpulkan berbagai artefak budaya maupun peninggalan bersejarah di sekitar Hindia-Belanda. Meski hanya diawali dengan sumbangan dari koleksi pribadi JCM Radermacher sebagai salah satu pendiri lembaga, koleksi Bataviaasch Genootschap terus bertambah seiring berjalannya waktu.

Hingga pada tahun 1862, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan gedung baru untuk menampung koleksi yang telah mencapai ribuan. Gedung yang resmi dibuka untuk umum pada tahun 1868 itu masih dipakai hingga saat ini sebagai bagian dari Museum Nasional Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, koleksi Bataviaasch Genotschap yang terkumpul selama ratusan tahun dipercayakan kepada Museum Nasional Indonesia dan Perpustakaan Nasional. Sejak itu, Museum Nasional Indonesia memegang peranan penting sebagai salah satu penjahit identitas bangsa lewat koleksinya.

Tidak hanya benda pusaka atau benda bersejarah saja, berbagai instrumen budaya seperti kerajinan, alat musik dan rumah tradisional dengan jenis yang begitu beragam dari seluruh penjuru Indonesia juga dapat dipelajari di museum ini.

Selain dari gedung asli yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda, area museum juga terus mengalami perluasan dan revitalisasi. Koleksi museum di Gedung Gajah terbagi dalam 7 jenis: Arkeologi, Etnografi, Geografi, Keramik, Numesmatik & Heladrik, Prasejarah dan Sejarah. Sedangkan jenis koleksi di Gedung Arca mencakup Manusia & Lingkungan, Ilmu Pengetahuan, Ekonomi dan Teknologi, Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman, serta Koleksi Emas dan Keramik Asing.

Koleksi museum juga kian bertambah lewat sejumlah temuan arkeologi terkini. Pengembalian 1,500 benda bersejarah Indonesia oleh Kerajaan Belanda baru-baru ini juga menambah daftar koleksi di Museum Nasional, dan akan mulai dipamerkan ke publik di pertengahan 2020 mendatang.

Taman Arca

Taman Arca, Museum Nasional Indonesia

Bagian dari museum lainnya yang ikonik adalah Taman Arca yang menampung jajaran arca dalam berbagai bentuk dan ukuran, serta dari tempat dan waktu pembuatan yang juga bervariasi. Salah satu arca yang menonjol adalah Arca Bhairawa yang ditemukan di Sumatra Barat dan menjulang setinggi 4,4 m.

Selain Taman Arca, di area museum terdapat juga Taman Sanken yang kerap menjadi tempat diselenggarakannya berbagai kegiatan museum. Museum Nasional Indonesia banyak mengadakan aktivitas edukasi seperti seminar, diskusi, pameran, pementasan maupun kelas-kelas kesenian tradisional yang terbuka bagi umum.

Arca Bhairawa

Arca Bhairawa yang ditemukan di Sumatra Barat

Hampir setiap negara di dunia memiliki museum nasionalnya sendiri sebagai rumah bagi sejumlah national treasure dan jendela bagi identitas bangsa dan negaranya. Museum Nasional Indonesia memaparkan berbagai cerita kehidupan dalam seluruh lintas sejarah manusia di Indonesia, menjembatani generasi mendatang dengan nenek moyangnya lewat berbagai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan yang terwariskan dalam tiap pusaka. Dan lewat koleksinya yang begitu beragam, Museum Nasional Indonesia adalah presentasi istimewa dari kemajemukan Indonesia yang patut untuk dibanggakan.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramdhani, Nelce Muaya

  • Jl. Medan Merdeka Barat No.12, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110

  • Hubungi

    (021) 3868172

  • Jam Operasional

    Buka hari Selasa – Jumat (pukul 08.00 – 16.00 WIB) dan hari Sabtu – Minggu (pukul 08.00 – 17.00 WIB)


Merindu Batavia

Sebagai ibu kota, kota terbesar dan terpadat di Indonesia saat ini, tiap sudut di Jakarta penuh dengan sejarah dan cerita yang membentuk Indonesia. Riwayat Jakarta sendiri dimulai ratusan tahun sebelum Indonesia lahir. Prasasti Tugu yang ditemukan di Koja, Jakarta Utara membuktikan bahwa daerah ini telah ramai sejak abad ke-5 M sebagai pelabuhan Kerajaan Tarumanegara.

Berabad-abad setelahnya, berbagai kekuatan politik silih berganti meninggalkan jejaknya di daerah ini. Namun wujud yang berperan besar dalam pembentukan kerangka Jakarta sebagai kota modern adalah bangsa Belanda lewat VOC dan masa pendudukannya atas Nusantara, yang di masa kolonial dikenal sebagai Hindia-Belanda.

VOC atau Verenigde Oostindiche Compagnie adalah kongsi dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602. VOC lahir dalam semangat Abad Penjelajahan (Age of Discovery) yang tengah melanda bangsa Eropa untuk berlomba-lomba menjelajah dunia. Demi menemukan sumber kekayaan baru, atau kejayaan atas bangsa lain.

Di awal abad ke-17, Jayakarta adalah kota pelabuhan yang ramai berkat perdagangan rempah. VOC meliriknya sebagai lokasi yang tepat untuk membangun sebuah koloni. Lewat sejumlah kesepakatan dan kekerasan, VOC berhasil menyingkirkan berbagai pesaingnya di atas Jayakarta. Dan nama baru untuk kota ini pun diresmikan pada 1621: Batavia.

Batavia dirancang sebagai markas besar VOC yang berambisi untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara. Gedung-gedung pun didirikan, kanal-kanal digali, dan jalan-jalan dibentangkan. Saat ini, lebih dari 350 tahun kemudian, masih banyak bangunan peninggalan VOC yang tersisa di Jakarta. Setiap bangunan kolonial ini memiliki pesonanya tersendiri lewat arsitektur khas Eropa yang mencolok. Meski banyak yang tidak dibuka untuk umum, ada juga beberapa bangunan peninggalan yang dialihfungsikan sebagai tempat rekreasi dan akan menjadi tujuan yang tepat bagi Travelers pecinta wisata sejarah.

Salah satu peninggalan kolonial yang paling terkenal adalah kawasan Kota Tua Jakarta yang mulai dikembangkan sejak berdirinya Batavia. Deret bangunan buatan Belanda yang masih berdiri membuat suasana kolonial masih sangat kental di sini.

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Kawasan Kota Tua berpusat pada Taman Fatahillah dan Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah yang dulunya berfungsi sebagai balai kota Batavia. Bangunan yang dulu dikenal sebagai Stadhuis ini dibangun pada tahun 1627, namun direnovasi pada tahun 1710 ke bentuk seperti sekarang dengan desain yang terinspirasi dari istana Kerajaan Belanda di Amsterdam. Sesuai namanya, saat ini Museum Sejarah Jakarta menjadi sarana edukasi tentang sejarah Jakarta yang komprehensif.

Masih di Kawasan Kota Tua, Museum Seni Rupa dan Keramik juga tak kalah menarik untuk dikunjungi. Gedung yang kini menjadi rumah bagi banyak lukisan dari berbagai maestro tanah air ini dulunya berfungsi sebagai Dewan Pengadilan Tinggi Batavia dan dibangun pada tahun 1870.

Museum Seni Rupa dan Keramik

Museum Seni Rupa dan Keramik

Ada juga Museum Wayang yang memamerkan koleksi berbagai jenis wayang dari seluruh Indonesia. Gedung Museum Wayang sendiri dibangun pada 1640 sebagai gereja, sehingga di areal museum masih terdapat batu nisan dari Jan Pieterszoon Coen, Gubernur-Jenderal VOC dan salah satu pencetus Batavia. Setelah puas mengelilingi Kota Tua, sempatkan untuk singgah di Café Batavia yang telah berdiri sejak 1830 dan terkenal karena desain interiornya yang iconic.

Batavia berkembang pesat sebagai pusat perdagangan yang sejahtera. Dengan deretan vila di tepi kanal yang dikelilingi rimbun hijau pepohonan tropis khas Nusantara, kota kecil ini sempat dijuluki ‘The Jewel of Asia’ karena keelokannya. VOC pun semakin dikenal dunia sebagai kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang patut diperhitungkan. Namun seiring VOC terus memperluas kekuasaan ke berbagai daerah di Nusantara, Batavia pun, sebagai salah satu kota pelabuhan tersukses di dunia pada saat itu, menjadi semakin padat dan bertambah besar.

Di pertengahan abad ke-18, dengan populasi yang terus bertambah dan sanitasi yang kurang baik di pusat kota, pembangunan di Batavia merambah hingga ke luar benteng Kota Tua. Daerah Weltevreden (kini menjadi Sawah Besar) pun lahir. Salah satu jejak kolonial yang tersisa di daerah ini adalah Gedung Arsip Nasional yang didirikan pada tahun 1760 sebagai kediaman Reiner de Klerk, salah satu gubernur jenderal VOC. Pada tahun 1797, areal permakaman juga dibangun di sekitar Weltevreden, seiring dengan mewabahnya malaria yang memakan begitu banyak korban, terutama di kalangan orang Eropa. Konon, korban yang begitu banyak juga sempat membuat Batavia dijuluki ‘The Cemetery of European’. Areal permakaman itulah yang kini dikenal sebagai Museum Taman Prasasti, salah satu areal permakaman modern tertua di dunia.

Cafe Batavia

Cafe Batavia

Di akhir abad ke-18, VOC mengalami kemunduruan. Secara eksternal, berbagai perang yang berkecamuk di Eropa dan perlawanan sejumlah kerajaan di Nusantara sendiri menggoyahkan perekonomian Belanda. Korupsi besar-besaran dalam internal kompeni juga memperburuk keadaan, sehingga VOC tak mampu lagi bersaing dengan kompetitornya dan menjadi bangkrut. Pada tahun 1800, VOC resmi dibubarkan. Seluruh aset kolonialnya dipindahkan ke tangan Kerajaan Belanda, termasuk seluruh bagian dari Hindia-Belanda. Dan Batavia, tentunya.

Batavia pun memasuki era baru dengan datangnya abad ke-19. Tiap bangunan dari era ini dapat ditandai lewat gaya arsitektur Indies Empire, yaitu gaya Neoklasikisme Eropa yang beratap tinggi untuk menyesuaikan iklim tropis Hindia-Belanda. Seperti dalam desain Paleis te Rijswijk, istana megah yang selesai dibangun pada 1804 sebagai kediaman gubernur – jenderal dan pusat segala aktivitas pemerintahan Hindia-Belanda.

Kegiatan administrasi yang semakin kompleks dan membutuhkan lebih banyak ruang membuat tercetusnya pembangunan istana baru. Paleis te Koningsplein pun berdiri pada tahun 1873. Kedua istana ini kini dikenal sebagai Istana Negara & Istana Merdeka, bagian dari istana kepresidenan serta pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Istana Negara Jakarta

Istana Negara Jakarta

Pusat kota pun berpindah ke sekitar istana gubernur – jenderal yang baru, yang sekarang menjadi kawasan Gambir dan sekitarnya. Selain aktivitas pemerintahan, Kawasan ini juga difokuskan untuk menjadi pusat pelatihan militer dan pemukiman kaum elite Batavia. Sarana hiburan dalam bentuk gedung teater mulai dibangun pada tahun 1814 oleh Stamford Raffles saat pendudukan singkat Inggris di Batavia.

Setelah Batavia kembali ke tangan Belanda, gedung yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta itu direnovasi ke bentuk yang seperti sekarang. Ada juga Witte Huis yang dibangun pada 1828 sebagai kediaman pribadi Herman Willem Daendels dan kini menjadi bagian dari kompleks Kementrian Keuangan. Salah satu gereja tertua di Indonesia, Gereja Immanuel, juga didirikan di kawasan ini di tahun 1839.

Di penghujung abad ke-19, dunia berkembang pesat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai penemuan teknologi. Kehidupan di Batavia pun kian modern dengan pergerakan zaman. Trem mulai menghubungkan berbagai wilayah dalam kota Batavia pada 1869 dan tenaga listrik mulai menerangi Batavia sejak 1897. Saat itu wilayah Hindia-Belanda hampir mencakup keseluruhan wilayah Indonesia saat ini. Dan sebagai ibu kota, populasi Batavia kian membludak dengan para pendatang dari seluruh Nusantara.

Gedung Kesenian Jakarta

Gedung Kesenian Jakarta

Banyak yang merantau ke Batavia demi membina ilmu di STOVIA, perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berkumpulnya para kaum terpelajar Nusantara inilah yang menjadi awal pergerakan dan kesadaran para pribumi untuk bersatu sebagai bangsa yang merdeka dari Belanda. Hal itu dianggap sebagai salah satu tahap penting dalam sejarah Indonesia mencapai kemerdekaan, dan gedung STOVIA kini dapat dikunjungi sebagai Museum Kebangkitan Nasional.

Bangunan peninggalan dari awal abad ke-20 dapat ditandai lewat arsitektur gaya New Indies yang menggabungkan elemen arsitektur modern seperti Art Deco dengan elemen rumah-rumah tradisional di Hindia-Belanda. Contohnya terdapat pada Gedung Museum Bank Indonesia, yang dibangun pada tahun 1909 sebagai kantor dari De Javasche Bank, bank sentral Hindia-Belanda saat itu. Ada juga Gedung Filateli, kantor pos dan telegraf yang dibangun pada 1913 serta Gedung Museum Bank Mandiri yang mulai dibangun pada 1929 sebagai kantor perusahaan dagang dan perbankan milik Belanda.

Gedung Filateli Jakarta

Gedung Filateli Jakarta

Masa kejayaan Batavia berakhir saat Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tahun 1942, memulai masa penjajahan baru di atas Nusantara. Banyak orang Belanda dan Eropa yang meninggalkan Batavia demi menghindari buruan dari tentara Jepang. Nama kota ini pun dikembalikan ke nama sebelum kedatangan Belanda: Jayakarta atau Jakarta. Pada tahun 1945, seiring dengan kekalahan Jepang di Perang Dunia II, masyarakat pribumi di Hindia-Belanda menolak untuk kembali berada di bawah kekuasaan Belanda, dan lewat Proklamasi yang dibacakan pada 17 Agustus 1945, menyatakan merdeka sebagai negara Indonesia dengan Jakarta sebagai ibu kota.

Selama lebih dari 300 tahun, Jakarta dikenal dunia sebagai Batavia, kota pusat perdagangan rempah Asia dan pusat koloni Belanda di Asia Tenggara. Dari julukan ‘permata Asia’ hingga ‘kuburan orang Eropa’, riwayat Batavia mengalami naik dan turun seiring perkembangan zaman yang tercerminkan dalam bentuk peninggalan yang beragam. Dengan mempelajari sejarah Jakarta lewat bangunan-bangunan kolonialnya, kita dapat melihat Jakarta dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana kejayaan Batavia di masa lalu turut membuka jalan bagi Jakarta untuk menjadi seperti saat ini, sebagai salah satu kota terdepan di Asia Tenggara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramdhani, Creativa Images, Nelce Muaya, Donni Yudha

  • Fakta :

    Nama Batavia diambil dari Batavi, salah satu suku di masa Kekaisaran Romawi yang diyakini sebagai leluhur orang Belanda.


Terletak di Jakarta Timur, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) adalah kawasan taman wisata bertema budaya Indonesia yang memiliki berbagai fasilitas menarik seperti 20 wahana rekreasi, 7 rumah ibadah, 18 museum, 13 taman, serta sejumlah fasilitas lainnya. Namun bisa dibilang bahwa fasilitas yang paling terkenal dari TMII adalah Anjungan Daerah yang menampilkan rumah-rumah adat bercirikan arsitektur tradisional Indonesia.

Terdapat 33 Anjungan Daerah yang dibangun mengelilingi danau Miniatur Arsipel Indonesia, melambangkan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tiap provinsi menampilkan sekurangnya tiga bentuk rumah yang kerap digunakan sebagai tempat pameran dan ekshibisi berbagai benda sejarah, pakaian adat, serta hasil kerajinan dan kesenian daerah tersebut. TMII menjadi pilihan tepat bagi Travelers yang ingin berwisata sambil belajar tentang kekayaan budaya Indonesia.

Foto : So Stupidly Genius

  • Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia

  • Hubungi

    +62 21 87792078

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari, Senin – Minggu pukul 07.00 – 22.00 WIB


Rumah Budaya Sumba adalah salah satu pilihan akomodasi terbaik di Sumba Barat Daya. Selain lokasinya yang dekat dari pusat kota Tambolaka dan Bandar Udara Tambolaka, Rumah Budaya Sumba merupakan contoh langka di mana sebuah penginapan juga dapat menambah wawasan Anda akan seni dan budaya setempat.

Semua berawal dari cita-cita Pater Robert Ramone, seorang putra Sumba yang ingin membuat daerah asalnya semakin dikenal dunia. Sejak muda, Pater Robert sudah mengelilingi Sumba dengan kameranya. Saat ini hasil-hasil fotonya telah dibukukan dan didistribusi hingga ke Eropa. Ditambah lagi, Pater Ramone kini telah mendirikan Rumah Budaya Sumba sebagai bentuk kecintaannya terhadap tanah asalnya ini.

Selain fasilitas penginapan, di area Rumah Budaya Sumba juga terdapat museum yang tergabung menjadi Lembaga Studi & Pelestarian Budaya Sumba. Atmosfer etnik yang istimewa terpancar dari bangunan berarsitektur rumah adat Sumba dan halaman yang berhiaskan menhir atau penji dengan relief khas Sumba.

Museumnya memiliki koleksi yang amat beragam, mulai dari senjata, perhiasan, hingga alat musik tradisional Sumba yang semuanya dilengkapi keterangan tentang sejarah dan kedudukannya dalam budaya Sumba. Terdapat juga foto-foto hasil jepretan Pater Robert Ramone sendiri tentang berbagai acara adat di seluruh Sumba seperti pasola hingga upacara pemakaman tradisional. Menariknya lagi, Rumah Budaya Sumba juga dilengkapi Rumah Tenun & Museum Atma Hondu, yang memiliki koleksi kain tenun dari seluruh Pulau Sumba.

Jika Anda beruntung, Anda juga dapat menyaksikan tarian-tarian tradisional yang dibawakan oleh sanggar-sanggar kesenian setempat. Berbagai sanggar memang sering mengadakan acara di malam-malam tertentu, dengan pertunjukkan tarian dari daerah lain di Pulau Sumba. Pengunjung bahkan bisa ikut menari untuk meramaikan suasana.

Rumah Budaya Sumba memang menawarkan akomodosi yang sederhana. Namun, keistimewaannya terdapat di bagaimana tempat ini mengajak kita untuk mengagumi dan mencintai budaya Sumba itu sendiri. Sesuai dengan cita-cita sederhana pencetusnya, Pater Robert Ramone.

Foto : George Timothy

 

  • Alamat

    Jln. Rumah Budaya No 212, Radamata, Tambolaka, Sumba Barat Daya,
    Nusa Tenggara Timur, Indonesia, 87254

  • Email

    sumbarumahbudaya@gmail.com

  • Telepon

    +6282135023327 / +6281339362164

 

 

Affandi adalah pelukis kelahiran Cirebon yang terkenal akan gaya lukisan ekspresionisnya. Sebagai seniman Indonesia, Affandi dikenal hingga ke seluruh dunia lewat karya-karyanya yang mencapai sekitar 2,000 lukisan. Salah satu peninggalan Affandi untuk negerinya terwujud dalam kompleks museum yang berdiri di lahan tempat tinggal sang pelukis itu sendiri.

Museum ini menampilkan sejumlah karya Affandi yang mengagumkan, serta beberapa lukisan karya anak dan cucunya. Kompleks museum ini terdiri dari beberapa bangunan galeri, dengan galeri utama yang berbentuk seperti pelepah daun pisang raksasa. Keunikan dalam tiap aspek bangunan di sini didesain oleh Affandi sendiri dan mencerminkan aliran ekspresionis yang khas dalam karya-karya sang maestro.

Di antara kunjungan ke candi-candi atau Keraton dengan segala tradisinya, mempelajari cerita hidup Affandi dan karya seni kontemporernya akan menjadi pengalaman yang fresh dalam wisata Anda berikutnya di Yogyakarta.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy