Pos

Sebagai salah satu tradisi Indonesia yang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia, pembicaraan seputar batik tentu tidak akan ada habisnya. Kerajinan membatik diperkirakan mulai tumbuh di Pulau Jawa sejak zaman Majapahit, yang kemudian berkembang lewat kerajaan-kerajaan yang lahir setelahnya seperti Kesultanan Mataram, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Batik yang awalnya hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan kini telah merajalela dan melekat dalam keseharian seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan, satu atau beberapa buah pakaian batik mungkin ada di lemari atau koper Anda saat ini.

Hampir setiap daerah, terutama di Pulau Jawa, memiliki variasi batik yang berbeda-beda. Saat ini, terdapat sekitar ribuan jenis batik yang tersebar di Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu penghasil kerajinan batik yang memiliki karakteristik batiknya tersendiri.

Ada banyak tempat di Jogja dimana Anda bisa memburu batik-batik terbaik untuk cinderamata maupun koleksi wardrobe pribadi untuk dipakai ke kantor atau pesta tertentu. Namun sebelum memilih batik yang akan dibeli, ada baiknya kita mempelajari terlebih dahulu jenis dari tiap motif yang ada di dalamnya. Karena pada dasarnya, tiap motif pada batik mengandung makna yang mencerminkan falsafah hidup masyarakat Jawa.

Semua motif dalam batik yang ada di Jogja memiliki nilai estetika dan nilai filosofinya tersendiri, dengan doa dan wejangan yang disesuaikan dengan kebutuhan sang pemakainya. Misalnya, motif Kawung, salah satu motif batik tertua yang membentuk geometri empat lingkaran dan satu lingkaran di tengahnya.

Lingkaran itu diibaratkan sebagai biji kaung, dan empat lingkaran melambangkan berbagai pandangan hidup masyarakat Jawa yang banyak bertumpu pada angka empat seperti Sedulur Papat Lima Pancer maupun Catur Ubhaya. Batik motif ini diharapkan membawa kebijaksanaan dan kebersihan hati dengan nilai-nilai luhur adat Jawa bagi para pemakainya.

Motif Parang yang lekat dengan Keraton Jogja, adalah salah satu motif batik yang mudah dikenali karena bentuk parang berwarna putih yang terbaris diagonal. Motif Parang terbagi lagi ke dalam banyak jenis, seperti Parang Klithik, Parang Kusumo, Parang Rusak hingga Parang Barong dengan bentuk parang-nya yang terbesar.

Umumnya, motif Parang yang bermakna tebing batu, mencerminkan hidup yang penuh dengan perjuangan dan usaha, bagaikan tebing batu di tepi laut yang selalu diterjang ombak. Kain bermotif Parang Barong dulunya hanya boleh dikenakan keluarga kerajaan yang menjadi pengingat bahwa seorang pemimpin harus selalu bertanggung jawab dan waspada akan marabahaya yang mengancam dari luar, maupun dari dalam diri sendiri seperti emosi dan hawa nafsu.

Motif terkenal berikutnya adalah Semen, yang berbentuk pola non-geometris dengan bentuk gunung, laut, hewan dan tumbuhan. Motif Semen yang mengambil inspirasi dari alam bermakna harapan akan keindahan hidup yang ideal, dimana kebaikan selalu tumbuh dan bersemi.

Motif Semen juga memiliki banyak jenis, seperti Semen Sido Mukti, Semen Gurdo, dan Semen Rama. Tiap jenis memiliki khas elemen alam yang berbeda dan memiliki makna filosofisnya tersendiri. Motif Ceplok, Truntum, Nitik, dan masih banyak lagi motif batik Jawa lainnya, juga dapat Anda temui dengan mudah di Kota Jogja.

Hingga saat ini batik menjadi salah satu komoditas utama bagi banyak masyarakat di Yogyakarta. Toko-toko batik dengan berbagai ukuran, jenis, dan motif batik yang khas berdiri di berbagai sudut Kota Jogja. Di Pasar Beringharjo dan Batik Mirota yang berada di Jalan Malioboro, Anda tidak hanya bisa memburu batik dengan harga murah. Kedua tempat ini penuh dengan pernik sekolah dan rumah tangga dengan motif batik.

Bagi Anda yang tertarik untuk membeli batik langsung dari para pembuatnya atau hendak mencoba membatik sendiri, Anda bisa berkunjung ke Kampung Batik Giriloyo yang ada di Imogiri. Terdapat juga Museum Batik Yogyakarta bagi Anda yang ingin melihat koleksi batik yang beragam dan mempelajari tiap desainnya lebih dalam.

Di Indonesia, batik memang sudah sehari-harinya kita jumpai. Namun tidak banyak dari orang Indonesia, atau bahkan orang Jawa, yang memahami makna dari tiap motifnya. Dalam trip Anda ke Jogja berikutnya, ada baiknya untuk tidak sekedar memburu batik-batik tercantik. Sempatkan juga untuk mempelajari proses pembuatannya dan kandungan makna yang tertuang di atasnya.

Bahwa tiap tinta dan lilin yang terlukis canting di atas kain batik yang Anda pakai, adalah wejangan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Yang akan selalu menjadi petuah dan harapan akan hidup yang lebih baik, bagi para pemakainya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ibna Alfattah & Iqbal Fadly

Kreasi 3,000 Tahun

Kain bermotif Kerawang Gayo adalah salah satu budaya Indonesia yang telah diakui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak tahun 2014. Tapi tahukah Anda bahwa kebudayaan Kerawang sendiri telah berkembang dalam masyarakat Gayo sejak 3,000 tahun yang lalu?

Berdasarkan penemuan arkeologi di Loyang Mendale, Aceh Tengah, fragmen-fragmen gerabah kuno setempat telah berhiaskan pola-pola sederhana yang memiliki kemiripan dan diprediksi sebagai cikal bakal motif Kerawang Gayo. Hingga saat ini, Kerawang Gayo menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Gayo itu sendiri. Motif ini dapat ditemukan pada arsitektur rumah tradisional, kerajinan keramik, hingga yang paling menonjol yaitu pada kain dan pakaian tradisional Gayo.

Dengan didasari dari kata iker yang dalam bahasa Gayo berarti pendapat atau buah pikiran, serta rawang yang berarti ramalan atau terawang, Kerawang Gayo menyimpan banyak pesan moral, petuah, dan amanah yang diharapkan dapat dipelihara oleh masyarakat Gayo untuk generasi seterusnya. Sekarang Kerawang Gayo memiliki banyak variasi dan ragam desain, namun mayoritas desain motif Kerawang Gayo adalah representasi dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat Gayo.

Warna-warni dalam Kerawang Gayo menyimbolkan sarak opat, yaitu 4 elemen dalam sistem pemerintahan desa yang mencerminkan kedudukan ideal dalam tatanan sosial masyarakat Gayo. Warna kuning menyimbolkan emas, representasi golongan reje atau raja dan aspek pertama dalam sarak opat yang melambangkan sifat penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Warna berikutnya, merah, menyimbolkan keberanian dan golongan petue atau tetua adat.

Golongan berikutnya, imem, atau petinggi agama, direpresentasikan oleh warna putih yang melambangkan kesucian dan kebijaksanaan dalam memilah antara baik dan buruk. Warna hijau melambangkan reyet atau rakyat dan dapat diartikan sebagai pesan untuk hidup dalam permusyawarahan dan harapan akan kesuburan, karena warna hijau juga dapat diartikan sebagai representasi flora dan fauna yang ada di Tanoh Gayo. Keempat warna Kerawang ini umumnya didasari warna hitam, warna yang melambangkan tanah atau bumi dimana manusia diciptakan, berpijak, dan akan berpulang di akhir hayatnya.

Motif pada Kerawang Gayo menyimpan banyak pola seperti emun beriring, pucuk rebung, puter tali, peger dan lain sebagainya. Pola-pola ini menyiratkan makna dan filsafat tersendiri yang diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat Gayo sehari-hari.

Emun beriring misalnya, yang berwarna putih dan memiliki arti ‘awan berarak’, melambangkan pesan kebersamaan dan persatuan dalam masyarakat Gayo. Bak awan yang meskipun diterpa angin sekuat apapun, akan tetap menggumpal, bersatu dan melayang bersama di udara.

Penyimbolan ini juga menunjukkan keakraban masyarakat Gayo dengan awan sebagai masyarakat pegunungan dan dataran tinggi. Pola emun beriring juga lekat dengan falsafah Gayo yaitu ‘mowen sara tamunen, beloh sara loloten’ yang juga dapat diartikan sebagai pesan kekompakkan yang dianjurkan dalam masyarakat Gayo.

Selain pada baju, kain sarung, topi dan kerudung, pola Kerawang Gayo juga dapat ditemukan pada Upuh Ulen-Ulen, kain besar yang kerap menjadi kebanggaan dan simbol penghormatan kepada pemakainya dari masyarakat Gayo.

Upuh Ulen-Ulen sendiri dapat dibedakan dari desain Kerawang lainnya. Umumnya, pembedanya adalah bentuk ulen (bulan), mandala besar di tengah latar hitam pada Upuh Ulen-Ulen yang merepresentasikan kekuatan spiritual yang menerangi keseharian masyarakat Gayo, layaknya bulan purnama di gelapnya malam.

Melihat dari besarnya ukuran serta signifikansi adat yang terkandung di dalamnya, Upuh Ulen-Ulen kerap menjadi kebanggaan bagi pemiliknya kendatipun dengan harga yang relatif mahal jika dibandingkan dengan kain Kerawang lainnya.

Walaupun Kerawang Gayo bermula dari sebatas keperluan adat, para pengrajin Kerawang Gayo saat ini menawarkan kreasi Kerawang dalam banyak kebutuhan sehari-hari. Kini motif Kerawang Gayo dapat Anda temukan pada gantungan kunci, gelang, kipas, dompet, peci, tas sekolah, dan sebagainya yang dengan mudah Anda dapat peroleh pada pengrajin Kerawang Gayo dengan kisaran harga mulai dari 10,000 hingga 2,000,000 rupiah.

Yang membedakan harga pada umumnya adalah bahan, motif, dan kompleksitas warna yang terdapat dalam desainnya. Industri kerajinan Kerawang Gayo mulai berkembang pada tahun 1980-an melalui program Dewan Kerajinan Nasional yang memberikan pelatihan menjahit kepada para pengrajin agar Kerawang Gayo bisa diproduksi secara massal.

Sekarang, Kerawang Gayo masih tetap menjadi kebanggaan dan ciri khas dari masyarakat Gayo, baik sebagai bagian dari keperluan adat maupun sebagai sekedar cinderamata yang memiliki keistimewaan tersendiri. Itu semua bermula dari sensitivitas berkesenian masyarakat yang mendiami wilayah Tanoh Gayo 3,000 tahun yang lalu.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy & Iqbal Fadly