Pos

Akan Safari di Timur Jawa

Begitu tiba di Banyuwangi dan sekitarnya, Travelers akan disuguhkan dengan pemandangan alam yang kaya akan flora dan fauna. Tak disangka jika ujung timur Pulau Jawa ini menjadi habitat bagi satwa-satwa liar yang dilindungi dan aneka macam tanaman langka.

Eksotisme ketiga taman nasional yang ada di Banyuwangi dan sekitarnya ini menghadirkan pesona tersendiri di tiap kawasannya. Berikut ialah beberapa taman nasional (TN) yang mengelilingi Banyuwangi dengan keunikannya masing-masing.

Taman Nasional Alas Purwo

Diyakini sebagai hutan tertua di Pulau Jawa, TN Alas Purwo terkenal angker dan keramat. Warga setempat yang mayoritas memeluk agama Islam dan Hindu ini masih datang ke TN Alas Purwo setiap tanggal 1 Suro untuk bersemedi dan bertapa. Konon, Alas Purwo merupakan tempat pelarian rakyat Majapahit dari penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.

Beberapa objek wisata yang dapat dikunjungi di dalam kawasan TN Alas Purwo yaitu Situs Kawitan, Gua Istana, Gua Mayangkoro, Gua Padepokan, Gua Persembunyian dan Meriam Jepang. Pura Giri Salaka merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit dari abad ke-14 yang ditemukan oleh warga secara tidak sengaja pada tahun 1967.

Beberapa mitos pun kerap kali bermunculan. Masyarakat sekitar meyakini bahwa di dalam taman nasional ini terdapat gapura-gapura gaib yang hanya bisa dilihat setelah melakukan ritual brata, yakni meditasi secara tiga hari berturut-turut tanpa makan dan minum serta dilarang untuk memiliki amarah kepada siapapun. Sesudah melakukan ritual brata, gapura gaib lengkap dengan para prajuritnya baru akan menampakkan wujudnya.

Tak hanya itu, TN Alas Purwo yang memiliki jenis tanah liat berpasir hampir di keseluruhan area, juga memiliki objek wisata lainnya yang sayang untuk dilewatkan. Objek wisata bahari seperti Plengkung atau G-Land, Cungur, Marengan, Triangulasi, Pancur, Pasir Putih, Sembulungan, Perpat dan Teluk Banyubiru dapat Travelers kunjungi saat tiba di kawasan taman nasional yang didominasi oleh rimbunan pohon mahoni ini.

Lokasi TN Alas Purwo berada di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur, dengan luas 43.420 ha serta ketinggian 322 mdpl. Taman Nasional yang diresmikan pada tahun 1993 ini memiliki beberapa padang Sadengan, yaitu area yang berfungsi sebagai penggembalaan dan monitoring banteng jawa. Inisiatif ini dilakukan untuk mengetahui jumlah populasi banteng jawa yang mulai berkurang di setiap tahunnya.

Di area penggembalaan ini pun sengaja ditempatkan sumber air buatan bagi banteng jawa dan satwa lainnya. Adanya area Sadengan ini pun memudahkan pengawas dalam menghitung jumlah populasi satwa yang ada. Terdapat 50 jenis mamalia, 700 jenis flora, 320 jenis burung, 48 jenis hewan reptil dan 15 jenis amfibi.

Satwa yang dapat ditemui di TN Alas Purwo di antaranya yaitu lutung, kera abu-abu, rusa, biawak, kijang, ajag, macan tutul dan babi hutan. Jika tiba di pagi hari sekitar pukul 06.00-10.00, Travelers bisa menyaksikan kawanan merak yang beriringan keluar.

Tipe hutan hujan dataran rendah yang secara geografis berada di ujung tenggara Pulau Jawa ini memiliki beberapa tipe ekosistem di dalamnya. Di antaranya yaitu hutan bambu, hutan pantai, hutan mangrove, hutan alam serta hutan tanaman.

Pesona keindahan yang ditawarkan menjadikan TN Alas Purwo ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia oleh UNESCO-PBB dan Geopark Nasional. Perbaikan infrastruktur menuju TN Alas Purwo menjadi salah satu alasan adanya kenaikan pengunjung mencapai 53,5 % atau sejumlah 211.049 orang di tahun 2018. Sejumlah fasilitas pun telah dibangun untuk mendukung kenyamanan para pengunjung seperti kantin, musala dan toilet.

Meskipun akses ke TN Alas Purwo sudah cukup baik, tapi sampai saat ini belum ada kendaraan umum yang melintasi kawasan tersebut. Pilihan terbaik ialah menggunakan kendaraan pribadi ataupun menyewa mobil. Rute dari Banyuwangi bisa memilih untuk mengarah ke Rogojampi kemudian melanjutkan ke arah Srono lalu mengambil arah ke Muncar. Setelah bertemu dengan perempatan Tembok, belok kanan menuju Pasar Sumberberas hingga tiba di Tegaldlimo. Dari situ bisa melanjutkan ke arah Pos Retribusi Karcis Rowobendo.

Dengan membeli tiket masuk TN Alas Purwo sebesar Rp 15.000 per orang, Travelers sudah berada di dalam kawasan TN Alas Purwo yang termasuk di dalam minat khusus yakni wisata religi, wisata spiritual, bahari maupun sejarah. Himbauan untuk para pengunjung agar menaati setiap peraturan yang ada di dalam kawasan TN Alas Purwo serta menghormati pengunjung lainnya yang kerap kali datang untuk melakukan kunjungan religi.


Taman Nasional Baluran

Taman nasional berikutnya berada di Situbondo, kabupaten di sebelah utara Banyuwangi. Taman Nasional Baluran merupakan kawasan konservasi serta habitat dari berbagai macam flora dan fauna. Eksotiknya alam Baluran yang sempat ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa pada tahun 1962, mengundang wisatawan baik itu domestik maupun mancanegara untuk berkunjung ke taman nasional dengan luas 25.000 ha ini.

Rumput sabana yang terbentang luas merupakan tempat di mana pengunjung bisa menyaksikan kerumunan satwa secara langsung berkeliaran layaknya di Afrika. Menyusuri taman nasional yang diresmikan pada tahun 1980 ini, Travelers akan bertemu dengan banteng jawa yang menjadi maskot Taman Nasional Baluran.

TN Baluran memiliki luas zona sekitar 12.000 ha. Rimba seluas 5.537 ha, perairan 1.063 ha dan daratan 4.574 ha. TN Baluran juga merupakan rumah bagi 444 jenis tumbuhan dan 26 jenis mamalia. Sempat mengalami kebakaran pada bulan Juli 2018, tidak mengurungkan niat pengunjung yang ingin melihat secara langsung banteng jawa, kerbau liar, rusa, kancil, kijang, kucing bakau, macan tutul, burung merak, burung ayam hutan merah dan satwa lainnya yang ada di TN Baluran.

Dugaan sementara, kebakaran hutan dipicu oleh kondisi kemarau dan adanya orang yang membuang puntung rokok sembarangan. Pengunjung dihimbau untuk lebih waspada jika sudah memasuki kawasan TN Baluran, terlebih lagi saat musim kemarau. Dedaunan kering yang menumpuk akan dengan mudah terbakar jika disulut oleh percikan api.

Terletak di tiga wilayah yaitu Banyuputih, Situbondo dan Wongsorejo, nama Baluran diambil dari nama gunung yang berada di daerah ini yaitu Gunung Baluran. TN Baluran terdiri dari sabana, hutan mangrove, hutan hijau, hutan tropis, hutan musim, hutan pantai, hutan pegunungan bawah dan hutan rawa. Di TN Baluran juga disediakan area camping yang sudah memiliki fasilitas kamar mandi dan air bersih.

Karena keindahan alamnya yang eksotik serta keragaman flora dan fauna, TN Baluran memiliki beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi. Di antaranya yaitu Bekol, Pantai Bama, Gua Jepang, Curah Tangis, Manting, Dermaga, Evergreen Forest, Lempuyang, Teluk Air Tawar dan Candi Bang.


Untuk melihat banteng jawa, kerbau liar, burung ayam hutan, rusa, burung merak, kijang, Travelers dapat singgah di Pos Bekol. Area Bekol ditandai dengan adanya kerangka kepala banteng dan kerbau liar yang digantung di sebuah papan.

Bekol sangat cocok bagi Travelers yang ingin hunting foto bertema kehidupan satwa liar. Namun, jika Travelers ingin menikmati suasana pantai, menyelam, snorkeling di area TN Baluran, bisa menyempatkan diri untuk singgah di Pos Bama. Lain halnya bagi pecinta olahraga panjat tebing, Travelers bisa singgah di Pos Curah Tangis yang memiliki tebing dengan ketinggian 10-30 meter serta tingkat kemiringan hingga 85 derajat.

Tidak ada waktu khusus yang ditetapkan untuk mengunjungi TN Baluran yang berjarak 45 km atau sekitar 1-1,5 jam dari Banyuwangi ini. Musim kemarau merupakan waktu yang pas untuk melihat hamparan sabana yang membentang luas, sedangkan keindahan bunga-bunga bisa dlihat pada waktu musim hujan.

Dari kota Banyuwangi Travelers bisa menggunakan bus menuju Terminal Probolinggo kemudian dilanjutkan dengan menggunakan bus tujuan Pelabuhan Ketapang lalu turun di pintu masuk TN Baluran. Jika memiliki kendaraan pribadi, Travelers bisa memilih jalur Banyuwangi-Batangan yang menempuh jarak 35 km dilanjutkan menuju arah Bekol sekitar 12 km. Jalur Bekol-Bama ini menuntun Travelers hingga ke pintu masuk TN Baluran.

Memang untuk menuju ke sana cukup menyita waktu, tetapi Travelers tidak akan menyesal begitu tiba di kawasan TN Baluran. Jangan lewatkan ke menara pandang untuk melihat lanskap TN Baluran yang dihuni oleh satwa liar yang berkeliaran dengan bebas. Menjelang matahari terbenam, terlihat gerombolan satwa yang hendak kembali ke habitatnya berbaris rapi dengan latar belakang senja yang indah layaknya film dokumenter yang ada di National Geographic.


Taman Nasional Meru Betiri

Terletak di pesisir selatan Pulau Jawa tepatnya di Kabupaten Pesanggaran di wilayah Banyuwangi dan Jember, Jawa Timur. Kawasan ini merupakan konservasi alam dengan luas 58 ha. Sama seperti Taman Nasional Baluran dan Alas Purwo, Travelers juga bisa mendapati kehidupan satwa-satwa liar secara langsung. Satwa liar yang dilindungi di TN Meru Betiri di antaranya yaitu banteng, macan tutul, ajag, rusa, monyet ekor panjang, merak, penyu belimbing, penyu sisik, penyu hijau, rusa, kucing hutan dan elang.

Yang membedakan TN Meru Betiri dengan kedua taman nasional lainnya yang ada di Banyuwangi ialah terdapat tempat penangkaran penyu. Bahkan dalam jangka waktu tertentu, pihak pengelola melepaskan tukik atau anak penyu di Pantai Sukamade yang masih berada di dalam kawasan TN Meru Betiri ini.

Pesona TN Meru Betiri semakin memukau sebagai habitat bagi bunga Rafflesia zollingeriana yang memiliki diameter 15-33 cm dengan kepala sari berjumlah 32-40 butir. Nama Meru Betiri diambil dari nama dua gunung yang ada di dalam kawasan ini, Gunung Meru dan Gunung Betiri.

Dahulu sebelum ditetapkan menjadi taman nasional, Meru Betiri telah dibuka oleh Belanda sebagai salah satu wilayah perkebunan. Maka tak heran jika di balik rimbunnya hutan TN Meru Betiri, masih terdapat perkebunan karet yang masih beroperasi hingga sekarang.

Mendukung potensi wisata yang ada, beberapa fasilitas penginapan juga disediakan untuk para pengunjung yang ingin menghabiskan malam. Tak hanya itu, fasilitas seperti kantin, musala, kamar mandi umum dan area parkir pun sudah tersedia. Jika menelusuri TN Meru Betiri, Travelers akan menjumpai beberapa pantai elok yang masih jarang dikunjungi oleh wisatawan.

Selain Kawah Ijen, ternyata Banyuwangi dan sekitarnya memiliki tiga taman nasional dengan ciri khas masing-masing. Sungguh keistimewaan yang patut dibanggakan oleh Provinsi Jawa Timur karena pesona alamnya yang luar biasa. Potensi wisata yang dimiliki oleh Banyuwangi, mendorong pemerintah setempat untuk bekerja lebih keras lagi untuk semakin memperkenalkan pariwisata Banyuwangi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy

Raungan Sang Dewa Angin

Gunung Raung adalah stratovolcano atau gunung api kerucut yang terbaring di antara tiga kabupaten di Jawa Timur: Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi. Gunung api dengan empat puncak ini menjulang sebagai titik tertinggi di rantai Pegunungan Ijen. Ketinggiannya bahkan membuatnya terlihat dari beberapa bagian di Pulau Bali.

Dengan letusan terakhirnya di tahun 2015 silam, Gunung Raung memang termasuk ke dalam daftar gunung api yang paling aktif di Nusantara. Bahkan dalam sejarahnya, tidak jarang gunung ini ‘meraungkan’ kedahsyatannya hingga memakan korban jiwa.

Gunung Raung yang juga menjadi salah satu gunung tertinggi di Jawa Timur ini berdiri sebagai kekayaan alam dengan potensi wisata yang menawarkan pesona keindahan berikut tantangannya tersendiri. Pendakian Gunung Raung mengundang minat para petualang dan pecinta alam dari seluruh Indonesia, walau pendakiannya juga disebut sebagai salah satu pendakian gunung yang paling ekstrem di Pulau Jawa.

Petualangan mendaki Gunung Raung dapat ditempuh lewat dua jalur pendakian yaitu jalur Sumber Waringin via Bondowoso atau Kalibiru via Banyuwangi. Pendakiannya rata-rata membutuhkan waktu 3-5 hari. Seperti aktivitas pendakian gunung lainnya, seluruh pendaki diharuskan untuk menyiapkan surat keterangan sehat, mendaftar dan membayar tarif terlebih dahulu. Para pendaki juga disarankan untuk menyewa jasa porter untuk memandu, mempermudah dan membantu menjaga keselamatan selama pendakian, mengingat beratnya medan yang akan ditempuh selama pendakian.

Travelers akan melewati sejumlah pos pendakian yang memiliki nama yang unik serta cerita yang seru dibalik penamaannya. Dan seperti banyak bentang alam lain di seluruh Indonesia, Gunung Raung tentu tidak lepas dari sejumlah mitos dan cerita yang berbau mistik. Sebut saja Pos Pondok Demit, yang menurut mitos setempat merupakan pasar bagi para makhluk gaib.

Ada juga Pos Mayit, yang konon pada zaman penjajahan sempat ditemukan jenazah seorang Belanda yang tergantung di salah satu pohonnya. Pos Angin, salah satu pos terakhir sebelum menuju puncak, dipercaya sebagai bekas lokasi Kerajaan Macan Putih yang misterius dan menyimpan gerbang rahasia menuju dimensi lain.

Puncak Sejati sebagai titik tertinggi dari Gunung Raung memang menawarkan panorama istimewa akan kaldera keringnya. Bagai mulut raksasa yang menganga dan terus mengeluarkan asap putih serta gemuruh suara yang mengagumkan. Untuk mencapainya dibutuhkan pemahaman serta perlengkapan climbing.

Puncak Gunung Raung memang dipenuhi bongkahan batu-batu besar yang berserakan dan menjadi panorama yang mencolok. Pengalaman memuncak di Gunung Raung akan dipenuhi dengan tantangan memanjat batu hingga menelusuri jalan kecil dengan jurang nan curam di kanan dan kirinya.

Di puncak, kuatnya hembusan angin memang terdengar bagai raungan sang dewa di telinga. Angin yang bertiup amat kencang kadang mengharuskan pendaki untuk duduk agar tidak kehilangan keseimbangan hingga terjatuh ke dasar jurang.

Gunung Raung senantiasa menarik minat banyak para petualang pemberani untuk bisa menginjakkan kaki di puncaknya. Selain kesiapan yang matang dan fisik yang memungkinkan, menaklukkan Gunung Raung hingga puncak tertingginya jelas membutuhkan tekad, kalau bukan kenekatan. Para pendaki juga harus memiliki konsentrasi dan kewaspadaan penuh selama proses memuncak.

Hanya jerih payah, niat dan keberanian para pendakilah yang dapat menikmati pesona dari Puncak Sejati. Dengan megahnya view kaldera kering terbesar kedua di Indonesia, sambil menghirup nafas segar di antara angin puncak yang bertiup kencang.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Rizal Agustin

Menguak Kerajaan Hindu Terakhir di Pulau Jawa

Mungkin Travelers ingat akan pelajaran sejarah di bangku sekolah dulu, bagaimana sejumlah kerajaan bercorak Hindu sempat berjaya di berbagai belahan Nusantara. Banyak dari kita yang mengagumi Mataram Kuno dengan peninggalan Borobudur dan Prambanan-nya, atau Majapahit dengan kisah Gajah Mada dan Sumpah Palapa-nya yang melegenda. Namun banyak dari kita yang tidak menyadari kalau sebenarnya masih banyak kerajaan Hindu lain yang mewarnai lintas sejarah negeri kita.

Salah satu kerajaan bercorak Hindu yang sempat berjaya di tanah Jawa adalah Kerajaan Blambangan. Walau penyebutan Bumi Blambangan kini lebih sering diasosiasikan dengan Banyuwangi saja, wilayah Kerajaan Blambangan dulu mencakup Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Saat ini situs-situs yang berkaitan dengan Kerajaan Blambangan masih tersisa di Banyuwangi. Selain menjadi tujuan wisata religi bagi umat Hindu, beberapa peninggalan sederhana ini menceritakan sejarah yang masih penuh misteri dan menarik untuk dipelajari.

Kerajaan Blambangan diperkirakan lahir di akhir abad ke-13 saat Raden Wijaya menyerahkan ‘Istana timur’ yang berpusat di Lumajang kepada Arya Wiraraja atas bantuannya mendirikan Majapahit. Istana timur inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Blambangan.

Dengan letak yang strategis di ujung timur Pulau Jawa, Blambangan berkembang sebagai persimpangan budaya, bahasa, dan agama. Walau di sisi lain, posisinya juga mendatangkan sejumlah ancaman politik dari sekitarnya.

Ketika Kesultanan Demak menaklukkan Majapahit di abad ke-16, Kerajaan Blambangan sempat berkuasa di timur Jawa. Seiring menguatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa, Kesultanan Demak (dan nantinya Kesultanan Mataram) berkali-kali menyerang Blambangan dari sebelah barat. Dari sebelah timur, kerajaan-kerajaan Bali seperti Gelgel, Buleleng, dan Mengwi, juga selalu berusaha menancapkan pengaruhnya atas Bumi Blambangan nan subur itu.

Salah satu peninggalan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi adalah Situs Kawitan yang berada di Taman Nasional Alas Purwo. Situs ini sempat terlupakan oleh peradaban. Menjadi reruntuhan yang tersembunyi jauh di belantara hutan yang juga terkenal akan keangkerannya.

Pada tahun 1967, Situs Kawitan tidak sengaja ditemukan oleh warga setempat yang sedang membuka lahan di hutan Alas Purwo. Di tempat ini ditemukan juga prasasti yang mencatat perjalanan Brawijaya, raja terakhir Majapahit, ke Alas Purwo menjelang runtuhnya Majapahit.

Di sekitar Situs Kawitan pun dibangun Pura Giri Salaka. Pura yang berdiri megah di tengah hutan Alas Purwo ini ramai dikunjungi umat Hindu terutama saat Pagerwesi, upacara yang dilaksanankan setiap 210 hari sekali untuk melindungi ilmu pengetahuan manusia dari kekuatan jahat.

Ada juga Desa Macan Putih di Kecamatan Kabat, Banyuwangi. Di desa ini ditemukan reruntuhan seperti dinding berbahan batu bata yang menyembul dari tanah. Sedari dulu, pecahan batu bata tua, keramik dan gerabah, patung hingga batu mulia juga kerap ditemukan warga setempat. Sayangnya, banyak dari temuan tersebut dijual warga ke para kolektor tanpa penelitian lebih lanjut.

Beberapa catatan Belanda menyebut bahwa dulunya terdapat lebih banyak arsitektur menarik di desa ini. Litograf De kuil van Matjan Poetih dari abad ke-19 bahkan melukiskan bangunan serupa candi berwarna putih dengan pahatan macan pernah berdiri di sekitar desa ini.

Lokasi Desa Macan Putih diyakini sempat menjadi ibukota Kerajaan Blambangan pada masa pemerintahan Prabu Tawang Alun II, yaitu mulai dari tahun 1655 hingga 1692. Prabu Tawang Alun II atau Raden Mas Kembar adalah raja yang membawa Kerajaan Blambangan ke puncak kejayaannya. Di desa ini juga dibangun pendopo kecil yang kini dikenal sebagai Situs Persemedian Tawangalun yang dipercaya sebagai petilasan terakhir dari sang prabu.

Di Kecamatan Muncar, Banyuwangi, terdapat bekas peninggalan Kerajaan Blambangan yang juga ditemukan secara tidak sengaja berkat pembukaan lahan oleh warga. Dikenal dengan nama Situs Umpak Songo, gundukan berundak dengan batu-batu berlubang ini berdiri di tengah pemukiman warga. Diduga, situs ini dulunya berfungsi sebagai balai pertemuan, sebelum terbengkalai dan dilahap oleh pepohonan serta semak belukar.

Di dekat situs ini dibangunlah Pura Agung Blambangan, tepatnya di titik dengan sumber mata air atau sumur yang dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan Blambangan. Pura yang diresmikan pada Hari Raya Kuningan tahun 1980 ini merupakan pura terbesar yang ada di Banyuwangi dan masih aktif hingga saat ini.

Terlepas dari gempuran pengaruh Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan di Bali, Kerajaan Blambangan pada akhirnya juga menjadi target serangan VOC. Sebagian wilayahnya berhasil ditaklukkan Belanda pada tahun 1767-1768. Kerajaan Blambangan yang pada saat itu berpusat di lereng Gunung Raung terus melakukan berbagai pemberontakan terhadap Belanda. Sejumlah perlawanan dipimpin oleh Wong Agung Wilis dan Pangeran Jagapati atau Mas Rempeg yang menolak kerja paksa dan berbagai kebijakan pemerintah VOC lainnya atas Bumi Blambangan.

Pertumpahan darah demi mem­pertahankan Kerajaan Blambangan terkulminasi di Perang Puputan Bayu (1771-1772). Puput memiliki arti ‘habis’, dan perang ini menjadi perang habis-habisan antara warga Blambangan melawan Belanda. Meski beberapa kali sempat memukul mundur pasukan VOC, pada akhirnya Kerajaan Blambangan jatuh sepenuhnya di tangan Belanda.

Menurut catatan Belanda, Puputan Bayu merupakan salah satu perang VOC di Nusantara yang paling menegangkan dan mengenaskan. Bahkan, populasi Blambangan pada saat itu diperkirakan merosot hingga puluhan ribu sebagai korban dari perang ini. Di Rowo Bayu, Kecamatan Songgon, saat ini terdapat Candi Puncak Agung Macan Putih yang didirikan untuk menghormati para pejuang yang gugur di Puputan Bayu.

Kemenangan Belanda dalam Perang Puputan Bayu menandakan berakhirnya kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Wilayah Blambangan pun resmi masuk ke dalam administrasi Karesidenan Basuki di bawah pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1774, pusat pemerintahan Blambangan dipindahkan ke lokasi Kota Banyuwangi saat ini. Didirikanlah Pendopo Sabha Swagata Blambangan sebagai kediaman bupati Banyuwangi pertama, yaitu Tumenggung Wiroguno I atau Mas Alit yang masih keturunan Prabu Tawang Alun. Bangunan pendopo ini masih bertahan sebagai rumah dinas bupati Banyuwangi hingga saat ini.

Meski kini mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, saat ini Banyuwangi menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan jumlah populasi umat Hindu yang signifikan selain Bali. Banyuwangi masih menyimpan sejumlah destinasi wisata religi Hindu lainnya. Mulai dari Situs Pura Beji Ananthaboga dengan kompleks pertirtaan nan asri yang berada di tengah hutan pinus di lereng Gunung Raung; hingga Pura Segara Tawangalun di Pulau Merah yang didirikan untuk mengenang Prabu Tawang Alun. Pura Segara Tawangalun juga dikenal lewat Upacara Melasti yang diadakan setiap menjelang Hari Raya Nyepi, di mana umat Hindu setempat melakukan arak-arakan di tepi Pantai Pulau Merah dengan panorama senjanya yang menawan.

Sejarah memperkenalkan kita dengan banyak cerita. Walau sederhana, peninggalan sejarah di Banyuwangi menceritakan kebesaran Kerajaan Blambangan yang berjaya bahkan beberapa ratus tahun lebih lama dari kerajaan sepupunya, Majapahit yang diagung-agungkan.

Wisata sejarah dan religi di Banyuwangi juga menambah wawasan kita akan kepahlawanan Prabu Tawang Alun, Wong Agung Wilis, Pangeran Jagapati, serta puluhan ribu rakyat Blambangan yang berjuang hingga titik darah penghabisan melawan penjajahan. Sebagai potret lain dalam keagungan nenek moyang kita yang belum sepenuhnya tergali dari permukaan tanah, maupun tercatat dalam buku-buku sejarah.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, Ayub Ardiyono

  • Catatan 1

    Kata Blambangan berasal dari kata balumbungan yang artinya ‘banyak lumbung’. Ada juga yang mengatakan asalnya dari kata bali dan ombo, yang bila digabung bermakna ‘rakyat yang banyak’. Benar saja, wilayah bekas Kerajaan Blambangan memang dikarunai kesuburan tanah dan jumlah populasi yang tinggi bahkan hingga saat ini.

  • Catatan 2

    Karena menganut kepercayaan yang sama, Kerajaan Blambangan cenderung memiliki kedekatan hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Bali. Berbagai ciri khas budaya Bali bahkan dapat ditemukan di sejumlah kesenian Blambangan yang bertahan hingga saat ini di Banyuwangi.

  • Catatan 3

    Cerita seputar Kerajaan Blambangan sendiri cukup jarang untuk dibahas. Salah satu teks tertua yang menyebut keberadaannya adalah Negarakretagama karya Mpu Prapanca yang dibuat pada 1365.


    • Lokasi : Blambangan, Muncar, Dusun Krajan, Tembokrejo, Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68472
    • Lokasi : Taman Nasional Alas Purwo, Kecamatan Tegal Delimo, Kaliagung, Kendalrejo, Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68484
    • Hubungi : (0333) 555 973

Mahkota Kesenian Banyuwangi

Saat sinar fajar menyentuh Pulau Jawa, sebuah patung di Watu Dodol akan menjadi salah satu yang pertama menyambutnya. Berdiri anggun dan tinggi di tepi selat Bali, patung ini menggambarkan sesosok penari gandrung, sang maskot pariwisata Banyuwangi.

Dalam patung yang berdiri sejak 2004 itu tergambar berbagai pesona tari gandrung itu sendiri, dari lekuk lenggok si penari hingga kemegahan atribut yang menghias tubuhnya. Patung gandrung memang menghias berbagai sudut di Bumi Blambangan karena gandrung mengakar dalam keseharian masyarakat Banyuwangi sebagai kesenian tradisional yang lestari hingga saat ini.

Dalam Bahasa Indonesia maupun Jawa, gandrung sendiri memiliki arti ‘tergila-gila karena asmara’ atau ‘terpikat’. Dengan ayunan selendang dan mahkota emasnya, barisan penari nan ayu yang meliuk dengan mata yang menggoda memang selalu mencuri perhatian tiap penontonnya, jika bukan membuatnya tergila-gila.

Sebagai salah satu tradisi budaya Using, gandrung tidak pernah luput dipertunjukkan dalam berbagai acara di Banyuwangi, resmi maupun tidak. Gandrung menyiratkan nilai historis dan perjuangan yang dipegang oleh masyarakat Banyuwangi lewat kesenian berestetika tinggi.

Tari gandrung sebagai tarian hiburan untuk para tamu diperkirakan berkembang dari sebuah tarian spiritual khas suku Using yaitu seblang, ritual kuno untuk Dewi Sri menjelang musim panen. Ritual seblang memiliki kemiripan dengan gandrung, di mana penari seblang akan melempar selendangnya ke arah penonton. Siapapun yang dapat selendang, harus menerima ajakan untuk menari bersama penari seblang yang ‘kejimen’ atau kerasukan.

Meskipun bernuansa mistik, ritual seblang juga menjadi hiburan bagi para penontonnya, dengan penari yang kejimen kadang melakukan hal yang mengundang tawa. Elemen itu juga terdapat di tari gandrung yang sangat mengandalkan interaksi penonton. Mulai dari menari bersama penonton, penentuan gending yang akan dinyanyikan, bahkan sawer-menyawer dapat dijumpai di pertunjukan gandrung yang asli.

Cerita asal mula kesenian gandrung sendiri selalu lekat dengan cerita penjajahan Belanda atas Bumi Blambangan. Konon, gandrung merupakan tarian untuk mengecoh para penjajah. Dengan tarian yang menggoda dan suguhan minuman, para musuh yang lengah kemudian dihabisi dengan pisau yang tersembunyi di kipas para penari.

Ada juga yang berpendapat kalau gandrung awalnya ditarikan oleh sekelompok orang Using yang lari ke hutan karena tidak mau tunduk pada penjajahan Belanda. Para pelarian ini kemudian menciptakan kesenian untuk ditarikan keliling kampung, demi imbalan seperti beras dan bahan pangan lainnya untuk menyambung hidup.

Dulunya gandrung hanya ditarikan oleh remaja laki-laki. Pada akhir abad 19, ketika ajaran dan pemikiran Islam semakin kuat tertanam di masyarakat Banyuwangi, penari perempuan mulai bermunculan sehingga kini gandrung menjadi tari yang identik dengan kaum hawa saja.

Dulu bahkan penarinya hanya boleh dari keturunan penari gandrung, sebuah syarat yang juga ada dalam ritual seblang. Pengaruh upacara seblang juga terdapat di kostum penari gandrung. Omprog atau mahkota pelambang kesucian yang menjadi ciri khas gandrung merupakan pengembangan dari mahkota penari seblang.

Pertunjukan gandrung terbagi ke dalam 3 babak yang dimulai dari jejer, di mana penari memulai gandrung dengan gerakan dan nyanyian. Berlanjut ke paju atau ngibing, di mana penari memberikan selendangnya ke arah tamu untuk dapat menari bersama. Biasanya tamu pentinglah yang diajak menari terlebih dulu sebelum penonton lain. Bagian tengah ini selalu menjadi yang paling ramai dari gandrung dan umumnya berlangsung lama.

Setelah semua tamu sudah diajak menari, gandrung diakhiri dengan seblang subuh, yaitu babak perpisahan dengan pelantunan gending yang dibawakan dengan penuh penghayatan. Prosesi sakral dalam seblang subuh merupakan salah satu contoh bagaimana gandrung berkembang dari ritual seblang yang berbau spiritual. Walau saat ini, banyak gandrung yang tidak membawakan seblang subuh dalam pertunjukannya.

Musik khas suku Using yang meriah juga menjadi elemen penting dalam tiap pertunjukan gandrung. Sejumlah alat musik yang menjadi bagian dalam orkestrasi gamelan Using dapat ditemukan di pertunjukan gandrung seperti kenong, kempul, gong, biola, hingga angklung.

Lantunan gending yang merdu melengking bersahutan dengan rancaknya kendang dan riuh denting kluncing, alat musik berbentuk segitiga yang juga berfungsi sebagai penjaga tempo yang kian berganti dalam musik pengiring gandrung. Pemain kluncing biasanya juga menyahuti pertunjukan dengan banyolan dan lawakan yang menambah keceriaan dalam tiap pertunjukan gandrung.

Jenis tari hiburan seperti gandrung juga ditemukan di daerah lainnya, seperti tarian lengger dari Banyumas maupun ronggeng di Jawa Barat. Tarian dengan nama gandrung sendiri juga ditemukan di Pulau Bali dan Lombok. Di Banyuwangi sendiri, gandrung kini telah tumbuh dan berkembang menjadi beberapa versi. Meskipun dengan sejarah tari hiburan yang menyiratkan erotisme, gandrung tetap bertahan sebagai ikon budaya dan pariwisata bagi Banyuwangi.

Bila Travelers bertandang ke Banyuwangi, pastikan untuk menyaksikan kesenian yang sudah menjadi identitas masyarakatnya ini. Salah satu dari banyak agenda festival di Banyuwangi adalah Gandrung Sewu Parade yang digelar sejak 2011, di mana 1000 penari menari gandrung bersama. Pada tahun 2018, Taman Gandrung Terakota juga resmi dibuka di Banyuwangi, yang menampilkan ratusan patung penari gandrung tersebar di area persawahan yang asri.

Saat ini gandrung dicintai bukan hanya sebagai kesenian tradisional, namun juga sebagai representasi masyarakat Banyuwangi yang penuh kegembiraan dan perayaan. Selain menyimpan berbagai cerita sejarah akan perjuangan dan penolakan untuk tunduk pada penjajahan, yang dibalut dalam cantik gemulai gerakan tari gandrung.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly

Harmoni dalam Keabadian

Gamelan adalah salah satu harta budaya Indonesia yang paling mendunia. Bahkan sebuah album musik orkestrasi gamelan tradisional sempat mendapat nominasi Grammy Awards di tahun 1972. Sampai saat ini kesenian tradisional ini masih terjaga dan terus berkembang. Keindahan dan kesyahduan iramanya menarik banyak perhatian mancanegara sehingga berbagai kelas dan kelompok gamelan dapat bermunculan di berbagai negara di luar Indonesia.

Gamelan Jawa kaya akan nilai estetika dan budaya, dan kerap dianggap sebagai perwujudan dari karakteristik masyarakat Jawa. Dalam pernikahan, upacara kerajaan, acara syukuran, hingga sebagai pengiring wayang kulit atau wayang orang, gamelan mudah ditemukan di berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa.

Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa, gamel yang bermakna memukul, dan memang sebagian besar instrumen gamelan adalah alat musik dari logam yang dipukul untuk menghasilkan suara. Alunan nada pada musik gamelan mudah dikenali karena dua jenis laras atau tangga nadanya yang khas: pelog dan slendro.

Slendro merupakan laras pentatonik yang terdiri dari 5 nada, sedangkan pelog memiliki 7 nada. Namun umumnya hanya 5 dari 7 nada laras pelog yang dimainkan dalam satu komposisi gamelan, untuk menghasilkan alunan pentatonik yang serupa dengan laras slendro.

Dalam orkestrasinya, para pengrawit atau pemain gamelan tersebar dalam kurang lebih 20 jenis instrumen. Gamelan didominasi oleh kelompok alat musik pukul dan tabuh seperti gong, kendhang, demung, bonang, gender, dan lain sebagainya.

Orkes gamelan biasanya ditemani dengan kelompok alat musik lain seperti rebab dan siter, dua instrumen yang menunjukkan adanya pengaruh budaya India dan Timur Tengah dalam sejarah perkembangan gamelan.

Suara yang dihasilkan gamelan memiliki efek magis dan meditatif yang kerap memberikan ketenangan bagi para pendengarnya. Gamelan berawal dari berbagai alat musik sederhana di zaman pra-sejarah yang kemudian berkembang menjadi aspek penting dalam ritual keagamaan selama masa kerajaan Hindu-Buddha. Gamelan juga menjadi media dakwah dalam masa penyebaran agama Islam di Jawa, menunjukkan bahwa gamelan memang selalu sarat akan mistik dan nilai spiritual.

Untuk mendengar langsung orkestrasi gamelan di Yogyakarta tidaklah sulit. Gamelan biasa dijumpai di berbagai titik wisata yang tersebar di Jogja, seperti Keraton atau Museum Sonobudoyo. Bagi Anda yang ingin belajar tentang gamelan lebih dalam lagi, Anda bisa mengunjungi Jogja saat Yogyakarta Gamelan Festival, acara tahunan di mana para penikmat dan pengrawit gamelan dari ratusan kelompok yang tersebar di berbagai belahan dunia berkumpul, berbagi, dan menunjukkan kemampuan mereka dalam seni gamelan.

Kini, eksistensi gamelan Jawa telah menembus luar angkasa lewat misi antariksa Voyager. Pesawat nirawak Voyager menyimpan sejumlah data akan berbagai kebudayaan di dunia, sebagai representasi planet kita dan segala ragam kehidupan di dalamnya. Puspawarna, salah satu komposisi gamelan Jawa yang cukup dikenal, terpilih untuk menjadi bagian dari misi tersebut.

Saat ini Voyager 1 dan Voyager 2 adalah benda buatan manusia yang ada di posisi terjauh dari Bumi dan masih terus melesat menembus antariksa 40 tahun setelah peluncurannya. Sebagai masyarakat Indonesia, hal ini menjadi suatu kehormatan untuk dapat merepresentasikan planet kita dan seluruh umat manusia lewat keindahan, keagungan, dan cita rasa budaya Nusantara yang terabadikan dalam gema alunan gamelan Jawa.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ibna Alfattah