Pos

Goa Loyang Datu yang berada di desa Isaq ini memiliki luas ruang 1,980 meter persegi. Di dasarnya mengalir sungai dengan air terjun kecil yang menambah keelokan tempat ini. Legenda seputar goa yang menjorok ke bawah ini menceritakan tentang seorang anak kesayangan dari Muyang Mersa, penguasa daerah Linge pada zaman dahulu kala, yang bernama Merah Mege.

Merasa cemburu pada Merah Mege yang menjadi kesayangan ayahnya, abang-abangnya mengajak Merah Mege pergi ke hutan kemudian mendorongnya jatuh ke dalam goa. Segenap abangnya lalu berbohong kepada Muyang Mersa, yang sangat terpukul akan berita hilangnya Merah Mege.

Beberapa hari setelah anak kesayangannya itu hilang, Muyang Mersa menyadari keanehan pada tingkah laku anjing peliharaan Merah Mege. Ketika disuguhi makan, anjing itu segera mengambil dan membawa lari makanannya. Saat Muyang Mersa mengikutinya, anjing itu membawa Muyang Mersa ke Goa Loyang Datu, dimana Merah Mege yang ternyata masih hidup terjebak di dalamnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramadhan

Menggali Asal Muasal Orang Gayo

Alam Indonesia yang subur selalu menyangga tumbuhnya peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Sekitar 60% dari seluruh penemuan manusia purba di dunia ditemukan di Indonesia, dan tiap penemuan membuka mata masyarakat Indonesia untuk mengenal leluhur dan mempelajari identitasnya lebih dalam.

Tanoh Gayo juga menambah daftar penemuan ini, melalui Loyang Mendale atau Ceruk Mendale, salah satu objek wisata di Aceh Tengah yang mulai ramai dikunjungi wisatawan. Satu dekade terakhir, beberapa situs di sekitar Danau Lut Tawar menarik perhatian para arkeolog, yaitu Loyang Mendale, Ujung Karang, dan Putri Pukes. Ketiga situs ini menyimpan banyak temuan akan jejak manusia purbakala di Indonesia dalam berbagai bentuk dan kondisi dengan kisaran usia mulai dari 3,000 hingga 8,400 BP (Before Present / tahun yang lalu).

Penemuan di Aceh Tengah ini merupakan salah satu situs penemuan arkeologi terlengkap mengenai arus penyebaran ras Austronesia dan Mongoloid di Indonesia. Situs Arkeologi Loyang Mendale tidaklah sulit untuk dicapai. Berada di tebing bebatuan kapur di tepian Danau Lut Tawar yang hanya berjarak beberapa menit dari pusat Kota Takengon.

Salah satu temuan arkeologi di area ini mencakup fragmen gerabah berpola hias teknik lukis yang diperkirakan berusia 3,000 BP. Pola-pola hias dengan motif huruf X dan huruf S berwarna merah ini diprediksi sebagai awal dari perkembangan motif Kerawang Gayo yang masih ditekuni hingga sekarang dalam pakaian dan arsitektur tradisional masyarakat Gayo.

Anyaman rotan berusia 4,400 BP juga ditemukan di situs Loyang Ujung Karang. Temuan anyaman rotan dan pola hias dalam gerabah ini menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar Danau Lut Tawar telah menyadari aspek estetika sejak lama, yang kemudian berkembang menjadi kesenian tradisional setempat.

Sorotan utama dari situs ini adalah temuan kerangka manusianya. Seluruh kerangka yang ditemukan berada dalam posisi kaki terlipat, layaknya bayi yang berada dalam kandungan. Beberapa dari kerangka itu juga menghadap ke posisi timur, ke arah matahari terbit yang merepresentasikan kelahiran kembali.

Di situs Ujung Karang bahkan ditemukan kerangka dengan tempayan yang diprediksi berfungsi sebagai bekal kubur, terletak disamping dan di atas dada kerangka. Semua sistem penguburan purbakala itu mengindikasikan bagaimana masyarakat purba yang mendiami daerah ini telah mengenal religi atau kepercayaan akan kehidupan setelah kematian, bahkan sejak masa itu.

Terdapat banyak dongeng dan kisah mengenai asal muasal orang Gayo yang masih harus dibuktikan kebenarannya. Namun, berdasarkan tes DNA beberapa tahun yang lalu, kerangka manusia purbakala di Loyang Mendale memang memiliki kedekatan hubungan genetik dengan orang Gayo saat ini. Fakta itu menunjukkan bahwa manusia kuno yang mendiami sekitaran Danau Lut Tawar sejak 8,500 tahun yang lalu, berkembang dan berketurunan menjadi masyarakat Gayo yang kita kenal hari ini. Menempatkan masyarakat Gayo sebagai salah satu suku tertua di Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy