Pos

Tarian Para Bidadari Gowa

Sebelum masuknya agama Islam di tanah Gowa, di saat masyarakat Makassar masih memeluk kepercayaan setempat, terdapat cerita akan penghuni botting langi atau manusia dari kayangan.

Konon mereka turun ke bumi, dengan tujuan untuk mengajarkan penghuni lino atau manusia di bumi tentang tata cara kehidupan. Mulai dari cara berburu, beternak, hingga bertani, disampaikan para penghuni langit lewat berbagai gerakan.

Sebagai wujud rasa terima kasih, penghuni bumi mempersembahkan tari-tarian berdasarkan gerakan yang serupa. Itulah salah satu legenda yang mendasari salah satu tari tradisional yang paling terkenal dari Kota Daeng: tari pakarena.

Tari pakarena memang diyakini sebagai salah satu budaya Makassar tertua. Bahkan ada sumber yang meyakini kalau tarian ini tercipta di masa To Manurung Li Tamalate, seorang perempuan yang turun dari langit dan menjadi somba atau raja pertama Kerajaan Gowa.

Dengan gerakan yang anggun dan lemah gemulai, tidak sulit membayangkan tarian ini sebagai tarian para bidadari. Apalagi dengan berbagai nilai estetikanya, tari pakarena menonjol sebagai salah satu ikon pariwisata Makassar yang dapat Travelers saksikan.

Pa bermakna ‘tarian’ sedangkan karena bermakna ‘main’, dan pakarena dianggap sebagai ‘tari yang memainkan kipas’. Memang, tari pakarena akrab dikenal sebagai tari kipas, berkat kipas lipat besar yang menjadi atribut utama dari tarian ini.

Fungsi kipas sendiri dipercaya merepresentasi padi, karena ada pendapat bahwa tarian ini berasal dari sebuah tarian ritual kuno pada masa panen. Menurut sejumlah naskah Lontara, tari pakarena merupakan media komunikasi antara masyarakat di bumi dengan para dewa dari berbagai penjuru mata angin di masa sebelum masuknya agama Islam.

Tari pakarena berkembang menjadi tarian kerajaan di masa Kerajaan Gowa – Tallo atau Kesultanan Makassar. Sekitar pertengahan abad ke-17, di bawah komando I Li’motakontu, ibu dari Sultan Hasanuddin, pakarena semakin difungsikan dalam berbagai acara dan keperluan istana. Pada saat itu, konon tarian ini dibawakan tanpa henti selama berjam-jam.

Saat ini pakarena umumnya ditarikan oleh 7 – 10 orang perempuan. Gerakan dalam tari pakarena terkenal bertempo lambat dan penuh kelemahlembutan. Amat kontras dengan musik pengiring tarian yang cenderung menghentak dan menggebu-gebu.

Tari pakarena diiringi oleh alat musik tradisional Makassar, seperti gandrang, gong, pui-pui dan lain sebagainya. Selain untuk mengusir kekuatan jahat, musik yang mengiringi tari pakarena dipercaya mencerminkan karakter laki-laki Makassar yang tegas dan penuh semangat. Sedangkan, gerak gemulai para penari dianggap melambangkan kelembutan dan keanggunan yang harus dimiliki para perempuan Makassar.

Tari pakarena umumnya memiliki 12 tahap dengan berbagai pola gerak. Tiap pola gerak merupakan cerminan yang berbeda atas kehidupan, mulai dari gerakan berputar searah jarum jam yang melambangkan perputaran kehidupan, hingga gerakan naik-turun yang melambangkan jatuh bangunnya kehidupan.

Setelah kemerdekaan, pakarena mengalami berbagai modifikasi oleh seniman-seniman setempat agar lebih mudah diterima masyarakat dari luar Makassar sebagai tarian hiburan. Saat ini terdapat banyak versi pakarena yang dapat Travelers temukan di Sulawesi Selatan, seperti di Pulau Selayar dengan pakarena gantarang-nya. Beberapa versi pakarena juga diiringi dengan nyanyian seperti nyanyian Lelle, Kelong dan Dondo Samboritta.

Tiap kunjungan ke Kota Daeng akan terasa semakin cerah dengan menyaksikan ikon pariwisata yang satu ini. Dengan warna-warni kain sutra dan hiasan kepala yang dikenakan para penari serta liuk tangan mereka yang membentangkan kipas lipat, tari pakarena kerap menjadi favorit dengan berbagai nilai yang tersirat di dalamnya, sebagai salah satu pusaka budaya Makassar dengan estetika tinggi yang ditampilkannya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Syaief Husain

Cerita dan Warta di Bawah Purnama

Dulu, di masa Kesultanan Makassar masih berjaya di selatan Sulawesi, Rakyat Makassar memiliki kebiasaan berkumpul, terutama di malam hari pada saat bulan purnama. Di bawah sorot cahaya purnama, duduk seorang passinriliq di tengah keramaian.

Dengan irama dari keso-keso, alat musik semacam rebab khas Sulawesi Selatan, passinriliq membawakan lantunan syair nan merdu yang menceritakan hikayat kehidupan, atau memberitakan titah dari sang raja. Pembawaan syair inilah yang dikenal sebagai sinrili (atau sinriliq), suatu bentuk sastra lisan dari budaya Makassar yang masih bertahan hingga saat ini.

Sinrili adalah budaya prosa dan bersyair dari Makassar yang sempat menjadi media komunikasi utama di era sebelum adanya alat telekomunikasi atau media massa. Budaya serupa juga dapat ditemukan di berbagai belahan Nusantara, seperti budaya kacaping dalam suku Bugis. Syair-syair yang dibawakan dalam sinrili pun beragam. Mulai dari cerita cinta, ungkapan keindahan alam, ajaran agama, cerita kepahlawanan, sejarah, dan cerita atau berita lainnya dalam tiap aspek kehidupan orang Makassar.

Sinrili dibawakan oleh seorang passinriliq, yang melantunkan syair serta memainkan keso-kesonya. Walau tidak ada waktu yang khusus, sinrili lebih umum dilakukan semalam suntuk. Passinriliq biasanya menghafal bait-bait syair atau membaca naskah saat membawakan sinirili.

Syair-syair dalam bahasa Makassar ini dilantunkan dengan nada merdu, dan kadang terdengar seperti lantunan tilawah Alquran. Nada yang dibawakan pun disesuaikan dengan mood dari syair. Ada kalanya sinrili mengundang ramai tawa penonton. Namun, banyak juga kesyahduan sinrili yang membuat penontonnya meneteskan air mata.

Dengan syair-syair yang mengandung nilai-nilai kehidupan dan adat istiadat, sinrili telah mengakar dalam masyarakat Makassar sebagai media berita yang umum membahas isu-isu terkini atau kritik sosial.

Sebagai sastra lisan, syair-syair sinrili juga menuturkan cerita-cerita rakyat yang menjadi khazanah sastra tradisional Nusantara. Banyak dongeng dan legenda Makassar seperti I Datu Museng dan I Manakkuk, maupun cerita sejarah yang menginspirasi seperti Kappalak Tallumbatua atau Karaeng Pattingalloang terjaga dalam bentuk syair-syair sinrili.

Umumnya kesenian sastra lisan Makassar ini dikategorikan menjadi dua, yaitu sinrili bosi timurung (sinrili hujan turun) yang bernuansa melankolis dan dibawakan tanpa iringan musik; serta sinrili pakeso-keso yang dibawakan dengan iringan musik dari keso-keso.

Salah satu sumber berpendapat bahwa budaya sinrili berawal di abad ke-16, yaitu di masa pemerintahan raja Gowa. Sinrili awalnya berfungsi sebagai nasihat-nasihat kebijakan bagi para raja, namun berkembang menjadi media komunikasi antara raja dengan rakyatnya, dan sebaliknya.

Di zaman penjajahan dulu, para passinriliq menyampaikan keresahan masyarakat lewat syair-syair yang mereka bawakan ke hadapan raja. Dan dengan syair-syair passinriliq jugalah pesan-pesan perjuangan dari raja tersebarkan ke rakyatnya di luar istana.

Sinrili juga berperan penting sebagai media dakwah di masa pengislaman Sulawesi Selatan, sehingga tidak jarang syair-syair sinrili dipenuhi dengan nilai-nilai agama dan ketuhanan. Di zaman setelah kemerdekaan, sinrili bahkan sempat disiarkan di radio setempat membawakan pesan-pesan pemerintah.

Meski kini sinrili semakin kurang diminati para pendengarnya, pemerintah setempat terus mengusahakan pelestarian budaya Makassar ini. Sejak 2013, sinrili resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional Indonesia dan kerap dipentaskan saat acara-acara besar di Makassar dan sekitarnya hingga saat ini.

Sebagai salah satu bentuk kekayaan sastra Nusantara, sinrili mengandung berbagai nilai yang tertanam dalam karakter orang Makassar dan signifikan dalam lintas sejarah daerahnya. Dengan para passinriliq yang kadang menghibur penonton bagai stand-up comedy, atau bagai suara raja yang penuh wibawa, menginspirasi semangat juang dalam tiap masyarakat yang menyimaknya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Syaief Husain

  • Catatan

    Salah satu seni sastra lisan warisan dari Kerajaan Gowa – Tallo ini mencerminkan kesusastraan tradisional yang tinggi dari Provinsi Sulawesi Selatan yang juga dikenal dengan naskah-naskah Lontara dan Sureq Galigo-nya.

Mahkota Kesenian Banyuwangi

Saat sinar fajar menyentuh Pulau Jawa, sebuah patung di Watu Dodol akan menjadi salah satu yang pertama menyambutnya. Berdiri anggun dan tinggi di tepi selat Bali, patung ini menggambarkan sesosok penari gandrung, sang maskot pariwisata Banyuwangi.

Dalam patung yang berdiri sejak 2004 itu tergambar berbagai pesona tari gandrung itu sendiri, dari lekuk lenggok si penari hingga kemegahan atribut yang menghias tubuhnya. Patung gandrung memang menghias berbagai sudut di Bumi Blambangan karena gandrung mengakar dalam keseharian masyarakat Banyuwangi sebagai kesenian tradisional yang lestari hingga saat ini.

Dalam Bahasa Indonesia maupun Jawa, gandrung sendiri memiliki arti ‘tergila-gila karena asmara’ atau ‘terpikat’. Dengan ayunan selendang dan mahkota emasnya, barisan penari nan ayu yang meliuk dengan mata yang menggoda memang selalu mencuri perhatian tiap penontonnya, jika bukan membuatnya tergila-gila.

Sebagai salah satu tradisi budaya Using, gandrung tidak pernah luput dipertunjukkan dalam berbagai acara di Banyuwangi, resmi maupun tidak. Gandrung menyiratkan nilai historis dan perjuangan yang dipegang oleh masyarakat Banyuwangi lewat kesenian berestetika tinggi.

Tari gandrung sebagai tarian hiburan untuk para tamu diperkirakan berkembang dari sebuah tarian spiritual khas suku Using yaitu seblang, ritual kuno untuk Dewi Sri menjelang musim panen. Ritual seblang memiliki kemiripan dengan gandrung, di mana penari seblang akan melempar selendangnya ke arah penonton. Siapapun yang dapat selendang, harus menerima ajakan untuk menari bersama penari seblang yang ‘kejimen’ atau kerasukan.

Meskipun bernuansa mistik, ritual seblang juga menjadi hiburan bagi para penontonnya, dengan penari yang kejimen kadang melakukan hal yang mengundang tawa. Elemen itu juga terdapat di tari gandrung yang sangat mengandalkan interaksi penonton. Mulai dari menari bersama penonton, penentuan gending yang akan dinyanyikan, bahkan sawer-menyawer dapat dijumpai di pertunjukan gandrung yang asli.

Cerita asal mula kesenian gandrung sendiri selalu lekat dengan cerita penjajahan Belanda atas Bumi Blambangan. Konon, gandrung merupakan tarian untuk mengecoh para penjajah. Dengan tarian yang menggoda dan suguhan minuman, para musuh yang lengah kemudian dihabisi dengan pisau yang tersembunyi di kipas para penari.

Ada juga yang berpendapat kalau gandrung awalnya ditarikan oleh sekelompok orang Using yang lari ke hutan karena tidak mau tunduk pada penjajahan Belanda. Para pelarian ini kemudian menciptakan kesenian untuk ditarikan keliling kampung, demi imbalan seperti beras dan bahan pangan lainnya untuk menyambung hidup.

Dulunya gandrung hanya ditarikan oleh remaja laki-laki. Pada akhir abad 19, ketika ajaran dan pemikiran Islam semakin kuat tertanam di masyarakat Banyuwangi, penari perempuan mulai bermunculan sehingga kini gandrung menjadi tari yang identik dengan kaum hawa saja.

Dulu bahkan penarinya hanya boleh dari keturunan penari gandrung, sebuah syarat yang juga ada dalam ritual seblang. Pengaruh upacara seblang juga terdapat di kostum penari gandrung. Omprog atau mahkota pelambang kesucian yang menjadi ciri khas gandrung merupakan pengembangan dari mahkota penari seblang.

Pertunjukan gandrung terbagi ke dalam 3 babak yang dimulai dari jejer, di mana penari memulai gandrung dengan gerakan dan nyanyian. Berlanjut ke paju atau ngibing, di mana penari memberikan selendangnya ke arah tamu untuk dapat menari bersama. Biasanya tamu pentinglah yang diajak menari terlebih dulu sebelum penonton lain. Bagian tengah ini selalu menjadi yang paling ramai dari gandrung dan umumnya berlangsung lama.

Setelah semua tamu sudah diajak menari, gandrung diakhiri dengan seblang subuh, yaitu babak perpisahan dengan pelantunan gending yang dibawakan dengan penuh penghayatan. Prosesi sakral dalam seblang subuh merupakan salah satu contoh bagaimana gandrung berkembang dari ritual seblang yang berbau spiritual. Walau saat ini, banyak gandrung yang tidak membawakan seblang subuh dalam pertunjukannya.

Musik khas suku Using yang meriah juga menjadi elemen penting dalam tiap pertunjukan gandrung. Sejumlah alat musik yang menjadi bagian dalam orkestrasi gamelan Using dapat ditemukan di pertunjukan gandrung seperti kenong, kempul, gong, biola, hingga angklung.

Lantunan gending yang merdu melengking bersahutan dengan rancaknya kendang dan riuh denting kluncing, alat musik berbentuk segitiga yang juga berfungsi sebagai penjaga tempo yang kian berganti dalam musik pengiring gandrung. Pemain kluncing biasanya juga menyahuti pertunjukan dengan banyolan dan lawakan yang menambah keceriaan dalam tiap pertunjukan gandrung.

Jenis tari hiburan seperti gandrung juga ditemukan di daerah lainnya, seperti tarian lengger dari Banyumas maupun ronggeng di Jawa Barat. Tarian dengan nama gandrung sendiri juga ditemukan di Pulau Bali dan Lombok. Di Banyuwangi sendiri, gandrung kini telah tumbuh dan berkembang menjadi beberapa versi. Meskipun dengan sejarah tari hiburan yang menyiratkan erotisme, gandrung tetap bertahan sebagai ikon budaya dan pariwisata bagi Banyuwangi.

Bila Travelers bertandang ke Banyuwangi, pastikan untuk menyaksikan kesenian yang sudah menjadi identitas masyarakatnya ini. Salah satu dari banyak agenda festival di Banyuwangi adalah Gandrung Sewu Parade yang digelar sejak 2011, di mana 1000 penari menari gandrung bersama. Pada tahun 2018, Taman Gandrung Terakota juga resmi dibuka di Banyuwangi, yang menampilkan ratusan patung penari gandrung tersebar di area persawahan yang asri.

Saat ini gandrung dicintai bukan hanya sebagai kesenian tradisional, namun juga sebagai representasi masyarakat Banyuwangi yang penuh kegembiraan dan perayaan. Selain menyimpan berbagai cerita sejarah akan perjuangan dan penolakan untuk tunduk pada penjajahan, yang dibalut dalam cantik gemulai gerakan tari gandrung.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly

Estetika Dalam Balutan Sakral

Letak geografis Banyuwangi yang berada di ujung timur Pulau Jawa memang menjadikannya istimewa. Selain dikelilingi oleh bentang alam yang megah nan indah, letak Banyuwangi juga membuatnya tumbuh sebagai melting pot dari berbagai kebudayaan yang ada di sekitarnya.

Dalam sejarahnya, budaya Jawa maupun Bali, Islam atau Hindu, meresap dalam masyarakat Banyuwangi dan terekspresikan sebagai warna-warni kesenian tradisional khasnya. Selain gandrung, Bumi Blambangan menyimpan sejumlah pesona kesenian lainnya dalam bentuk tari-tarian dan pertunjukan yang telah mengakar hingga saat ini.

Tentunya, banyak dari kesenian tradisional Banyuwangi berkaitan erat dengan budaya Using sebagai suku asli dari daerah tersebut. Seni tradisional memang sering dihubungkan dengan nilai-nilai kepercayaan atau religi.

Seperti banyak seni tradisi di Indonesia lainnya, tiap kesenian tradisional Banyuwangi juga mencerminkan kedekatan masyarakatnya dengan mistik, di mana banyak dari ekspresi seninya dianggap keramat atau setidaknya terinspirasi dari unsur-unsur kepercayaan lokal.

Tiap kesenian tradisional di Indonesia pasti memiliki cerita asal-usul dan falsafahnya tersendiri, begitu pun ragam kesenian di Banyuwangi. Tari jaran goyang misalnya. Meskipun baru dikembangkan pada tahun 1960-an oleh para penari lokal, tarian ini terinspirasi dari Aji Jaran Goyang, sebuah ilmu pelet yang dapat memikat lawan jenis hingga jadi tergila-gila. Bentuk tarian yang ditarikan oleh sepasang laki-laki dan perempuan ini memang menjadi menarik karena menceritakan tentang pasangan yang akhirnya bersatu akibat dari pelet Aji Jaran Goyang.

Unsur gerak dan elemen kostum dalam tari jaran goyang memang banyak terinspirasi dari berbagai tarian Banyuwangi lainnya seperti gandrung dan seblang. Karena sajiannya memiliki unsur drama dengan mengandalkan alur cerita, ekspresi wajah para penari juga menjadi elemen menarik dalam tarian ini. Tari jaran goyang kini telah bersanding dengan gandrung sebagai sajian kesenian utama khas Banyuwangi yang sering dipentaskan dalam berbagai acara kebudayaan setempat.

Bentuk kesenian tradisional Banyuwangi lainnya yang menarik untuk dilihat adalah barong Using atau barong Kemiren. Indonesia memang memiliki berbagai jenis barong atau barongan yang umum dijumpai di seluruh Pulau Jawa dan bahkan menjadi salah satu kesenian utama di Bali. Topeng barong di Banyuwangi memiliki rupa gabungan antara naga dan singa yang bersayap, dengan mustoko atau mahkota di bagian punggungnya dan didominasi dengan warna merah menyala.

Seperti di daerah Indonesia lainnya, barong di Banyuwangi memiliki kesakralan tersendiri sehingga keberadaannya sering dikaitkan dengan banyak ritual adat. Suku Using di Desa Kemiren percaya bahwa barong merupakan simbol tolak bala dan selalu menjadi elemen sentral dalam ritual bersih desa atau ider bumi. Barong Kemiren juga sering ditarikan bersamaan dengan tari pitik-pitikan yang menyimbolkan kemenangan, di mana dua orang dengan kostum ayam menari bagai ayam yang sedang beradu.

Meski sejarahnya kental dengan ke­per­­cayaan Hindu dan animisme, di Banyuwangi juga terdapat kesenian yang berkembang dari kebudayaan Islam seperti hadrah dan kuntulan. Tari-tarian yang dibawakan oleh sejumlah remaja perempuan ini biasanya diiringi oleh musik yang didominasi oleh rebana, seperti kesenian Melayu atau kesenian Islam lainnya di Nusantara. Awalnya hadrah dan kuntulan berkembang sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam, hal yang tergambar dalam gerak tarian yang bersimpuh seperti dalam berdoa.

Hadrah dan kuntulan yang saat ini memiliki banyak jenis di Banyuwangi biasanya juga diiringi dengan nyanyian dalam bahasa Using yang juga diselingi dengan lantunan selawat. Kuntulan juga diyakini mencerminkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan ajaran agama Islam, seperti keharmonisan antar sesama manusia serta kedekatan hubungan manusia dengan Tuhannya. Selain sebagai tari-tarian, kuntulan juga dikenal sebagai seni beladiri yang merupakan variasi dari pencak silat di Banyuwangi dan beberapa daerah lainnya di pesisir utara Pulau Jawa.

Lewat berbagai kesenian di atas, Travelers dapat melengkapi kesan dan pengalaman spesial selama berkunjung ke Banyuwangi. Menikmati pesona kesenian tradisional di Nusantara kerap menjadi momen langka di tiap perjalanan wisata. Apalagi jika berkesempatan untuk mempelajari filosofi dan sejarah dari tiap kesenian tersebut, penjelajahan di atas Bumi Nusantara tidak hanya terabadikan dalam foto dan feed Instagram. Tapi juga menjadi bagian dari diri kita sebagai warga Indonesia yang turut peduli akan identitas dan budaya bangsanya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly

  • Catatan

    Warna-warni yang terpancar dari kesenian tradisional Banyuwangi mencerminkan berbagai pengaruh budaya dari daerah lain dan melebur menjadi kekayaan budaya yang unik dan khas di Banyuwangi.

Tarian Seribu Tangan di Negeri Seribu Bukit

Pada 13 Agustus 2017, Stadion Seribu Bukit di Blangkejeren, ibukota Kabupaten Gayo Lues, dipenuhi oleh lautan manusia dari berbagai pelosok dunia yang datang untuk menyaksikan pementasan tari. Hari itu adalah hari dimana Kabupaten Gayo Lues berhasil memecahkan rekor dunia atas tarian kolosal dengan jumlah penari terbanyak: 12,262 dan 15 penari pemandu.

Semua penarinya adalah laki-laki, datang dari 145 kampung di Gayo Lues dan beberapa kabupaten sekitar. Semua penarinya berasal dari berbagai golongan, generasi, profesi dan latar belakang. Namun di hari itu semua berbaris sejajar layaknya jajaran Bukit Barisan yang mengelilingi Blangkejeren, tersatukan dalam keselarasan riuh gerak tari saman.

Tari saman mengakar di masyarakat Gayo yang hidup di kaki Gunung Leuser, umum dijumpai di Kabupaten Gayo Lues sampai ke Aceh Tenggara, dimana tiap kampung biasanya memiliki pasuken atau grup tarinya sendiri. Tarian ini adalah salah satu bentuk kekayaan Indonesia yang diakui sebagai milik dunia, setelah UNESCO mengkategorikannya dalam daftar Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity di tahun 2011.

Selain melambangkan kebersamaan dan kekompakan masyarakat Gayo, tari saman juga menyiratkan unsur magis yang kental. Nyanyian dan syairnya adalah doa-doa, ajaran syariah Islam, nasihat serta pesan dalam beradat istiadat. Para penari bersimpuh dalam barisan rapat dengan bahu bersentuhan, layaknya barisan dalam ibadah salat.

Diawali dengan rengum dan salam, ribuan penari mengeluarkan suara dengung bernada rendah yang menyiratkan penyerahan diri terhadap Tuhan serta permohonan izin kepada para tamu yang hadir. Tidak heran jika tarian ini dapat menyihir dan menggetarkan siapapun yang menontonnya.

Tari saman memiliki unsur gerak yang semuanya bertumpu pada tangan, badan dan kepala. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah guncang (ayunan mengguncangkan tubuh), gerutup (tepukan ke dada yang menggebu), lingang (gerakan melenggang), tungkuk (posisi membungkuk) dan anguk (gerakan menganggukkan kepala). Salah satu unsur gerak yang terkenal dari tari saman adalah surang-saring, dimana para penari bergerak dengan pola selang-seling secara bergantian dengan tempo yang semakin cepat.

Kompleksitas gerak dalam tari saman membuatnya menantang untuk dipentaskan, dimana tiap penari harus berada dalam kondisi prima. Ini karena tari saman menuntut konsentrasi tinggi dan kontrol penuh dari para penarinya dalam mengatur kecepatan, kuatnya tepukan, dan harmonisasi gerakan dengan penari di sebelahnya. Di atas itu, penari juga diharuskan bernyanyi dengan memperhatikan kemerduan, kekompakan, dan kekhusyukan tersendiri.

Tidak ada yang tahu dengan pasti asal muasal tari saman. Salah satu cerita yang populer mengatakan bahwa awalnya tarian ini dikenal sebagai permainan anak dengan variasi tepukan sambil bernyanyi riang. Sekitar abad 14-16, seorang tokoh di Gayo Lues bernama Syekh Muhammad Saman mengembangkan permainan anak itu menjadi tarian sebagai media dakwah dalam menyebarkan agama Islam.

Tari saman masih terus dilestarikan dan diajarkan ke anak-anak Gayo Lues hingga sekarang. Jika Anda ke Blangkejeren, Anda dapat menonton anak-anak berlatih saman, atau mungkin ikut bergabung untuk mempelajari tari asli Gayo Lues ini.

Di Gayo Lues sendiri, tari saman umum dijumpai sebagai hiburan pada acara-acara tertentu seperti pesta pernikahan atau hari raya. Saman jalu, jenis saman dimana dua grup saman menari berhadapan dan biasanya berlangsung lebih dari sehari semalam, juga masih sering dilakukan untuk membina silaturahmi antar kampung.

Kini tari saman sudah sering mewakilkan Indonesia di berbagai acara kebudayaan mancanegara, bahkan kerap menjadi highlight acara yang membuat tiap penontonnya berdecak kagum. Pagelaran massal tari saman seperti 13 Agustus 2017 kemarin diharapkan bisa menjadi salah satu event nasional yang dapat dilakukan secara rutin. Agar dapat menarik wisatawan asing ke Tanoh Gayo dan semakin memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia di mata dunia.

Di luar provinsi Aceh, banyak yang mengira tari Ratoh Duek atau tari Ratoh Jaroe sebagai tari saman karena memiliki kemiripan dalam formasi penari dengan gerakan cepat dan atraktif. Namun, tari Ratoh Duek merupakan harta budaya Aceh lainnya yang umumnya ditarikan oleh perempuan dengan warna-warni kostum dan banyak dijumpai di Aceh bagian pesisir.

Tari saman asli haruslah dilakukan oleh kaum adam dengan jumlah yang ganjil, dinyanyikan dalam bahasa Gayo, dan dengan keseragaman kostum Kerawang Gayo Lues beserta teleng-nya, atribut yang dikenakan di kepala tiap penari.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Mardiansyah BP & Ova Senjaya