Pos

Menguak Kerajaan Hindu Terakhir di Pulau Jawa

Mungkin Travelers ingat akan pelajaran sejarah di bangku sekolah dulu, bagaimana sejumlah kerajaan bercorak Hindu sempat berjaya di berbagai belahan Nusantara. Banyak dari kita yang mengagumi Mataram Kuno dengan peninggalan Borobudur dan Prambanan-nya, atau Majapahit dengan kisah Gajah Mada dan Sumpah Palapa-nya yang melegenda. Namun banyak dari kita yang tidak menyadari kalau sebenarnya masih banyak kerajaan Hindu lain yang mewarnai lintas sejarah negeri kita.

Salah satu kerajaan bercorak Hindu yang sempat berjaya di tanah Jawa adalah Kerajaan Blambangan. Walau penyebutan Bumi Blambangan kini lebih sering diasosiasikan dengan Banyuwangi saja, wilayah Kerajaan Blambangan dulu mencakup Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Saat ini situs-situs yang berkaitan dengan Kerajaan Blambangan masih tersisa di Banyuwangi. Selain menjadi tujuan wisata religi bagi umat Hindu, beberapa peninggalan sederhana ini menceritakan sejarah yang masih penuh misteri dan menarik untuk dipelajari.

Kerajaan Blambangan diperkirakan lahir di akhir abad ke-13 saat Raden Wijaya menyerahkan ‘Istana timur’ yang berpusat di Lumajang kepada Arya Wiraraja atas bantuannya mendirikan Majapahit. Istana timur inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Blambangan.

Dengan letak yang strategis di ujung timur Pulau Jawa, Blambangan berkembang sebagai persimpangan budaya, bahasa, dan agama. Walau di sisi lain, posisinya juga mendatangkan sejumlah ancaman politik dari sekitarnya.

Ketika Kesultanan Demak menaklukkan Majapahit di abad ke-16, Kerajaan Blambangan sempat berkuasa di timur Jawa. Seiring menguatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa, Kesultanan Demak (dan nantinya Kesultanan Mataram) berkali-kali menyerang Blambangan dari sebelah barat. Dari sebelah timur, kerajaan-kerajaan Bali seperti Gelgel, Buleleng, dan Mengwi, juga selalu berusaha menancapkan pengaruhnya atas Bumi Blambangan nan subur itu.

Salah satu peninggalan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi adalah Situs Kawitan yang berada di Taman Nasional Alas Purwo. Situs ini sempat terlupakan oleh peradaban. Menjadi reruntuhan yang tersembunyi jauh di belantara hutan yang juga terkenal akan keangkerannya.

Pada tahun 1967, Situs Kawitan tidak sengaja ditemukan oleh warga setempat yang sedang membuka lahan di hutan Alas Purwo. Di tempat ini ditemukan juga prasasti yang mencatat perjalanan Brawijaya, raja terakhir Majapahit, ke Alas Purwo menjelang runtuhnya Majapahit.

Di sekitar Situs Kawitan pun dibangun Pura Giri Salaka. Pura yang berdiri megah di tengah hutan Alas Purwo ini ramai dikunjungi umat Hindu terutama saat Pagerwesi, upacara yang dilaksanankan setiap 210 hari sekali untuk melindungi ilmu pengetahuan manusia dari kekuatan jahat.

Ada juga Desa Macan Putih di Kecamatan Kabat, Banyuwangi. Di desa ini ditemukan reruntuhan seperti dinding berbahan batu bata yang menyembul dari tanah. Sedari dulu, pecahan batu bata tua, keramik dan gerabah, patung hingga batu mulia juga kerap ditemukan warga setempat. Sayangnya, banyak dari temuan tersebut dijual warga ke para kolektor tanpa penelitian lebih lanjut.

Beberapa catatan Belanda menyebut bahwa dulunya terdapat lebih banyak arsitektur menarik di desa ini. Litograf De kuil van Matjan Poetih dari abad ke-19 bahkan melukiskan bangunan serupa candi berwarna putih dengan pahatan macan pernah berdiri di sekitar desa ini.

Lokasi Desa Macan Putih diyakini sempat menjadi ibukota Kerajaan Blambangan pada masa pemerintahan Prabu Tawang Alun II, yaitu mulai dari tahun 1655 hingga 1692. Prabu Tawang Alun II atau Raden Mas Kembar adalah raja yang membawa Kerajaan Blambangan ke puncak kejayaannya. Di desa ini juga dibangun pendopo kecil yang kini dikenal sebagai Situs Persemedian Tawangalun yang dipercaya sebagai petilasan terakhir dari sang prabu.

Di Kecamatan Muncar, Banyuwangi, terdapat bekas peninggalan Kerajaan Blambangan yang juga ditemukan secara tidak sengaja berkat pembukaan lahan oleh warga. Dikenal dengan nama Situs Umpak Songo, gundukan berundak dengan batu-batu berlubang ini berdiri di tengah pemukiman warga. Diduga, situs ini dulunya berfungsi sebagai balai pertemuan, sebelum terbengkalai dan dilahap oleh pepohonan serta semak belukar.

Di dekat situs ini dibangunlah Pura Agung Blambangan, tepatnya di titik dengan sumber mata air atau sumur yang dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan Blambangan. Pura yang diresmikan pada Hari Raya Kuningan tahun 1980 ini merupakan pura terbesar yang ada di Banyuwangi dan masih aktif hingga saat ini.

Terlepas dari gempuran pengaruh Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan di Bali, Kerajaan Blambangan pada akhirnya juga menjadi target serangan VOC. Sebagian wilayahnya berhasil ditaklukkan Belanda pada tahun 1767-1768. Kerajaan Blambangan yang pada saat itu berpusat di lereng Gunung Raung terus melakukan berbagai pemberontakan terhadap Belanda. Sejumlah perlawanan dipimpin oleh Wong Agung Wilis dan Pangeran Jagapati atau Mas Rempeg yang menolak kerja paksa dan berbagai kebijakan pemerintah VOC lainnya atas Bumi Blambangan.

Pertumpahan darah demi mem­pertahankan Kerajaan Blambangan terkulminasi di Perang Puputan Bayu (1771-1772). Puput memiliki arti ‘habis’, dan perang ini menjadi perang habis-habisan antara warga Blambangan melawan Belanda. Meski beberapa kali sempat memukul mundur pasukan VOC, pada akhirnya Kerajaan Blambangan jatuh sepenuhnya di tangan Belanda.

Menurut catatan Belanda, Puputan Bayu merupakan salah satu perang VOC di Nusantara yang paling menegangkan dan mengenaskan. Bahkan, populasi Blambangan pada saat itu diperkirakan merosot hingga puluhan ribu sebagai korban dari perang ini. Di Rowo Bayu, Kecamatan Songgon, saat ini terdapat Candi Puncak Agung Macan Putih yang didirikan untuk menghormati para pejuang yang gugur di Puputan Bayu.

Kemenangan Belanda dalam Perang Puputan Bayu menandakan berakhirnya kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Wilayah Blambangan pun resmi masuk ke dalam administrasi Karesidenan Basuki di bawah pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1774, pusat pemerintahan Blambangan dipindahkan ke lokasi Kota Banyuwangi saat ini. Didirikanlah Pendopo Sabha Swagata Blambangan sebagai kediaman bupati Banyuwangi pertama, yaitu Tumenggung Wiroguno I atau Mas Alit yang masih keturunan Prabu Tawang Alun. Bangunan pendopo ini masih bertahan sebagai rumah dinas bupati Banyuwangi hingga saat ini.

Meski kini mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, saat ini Banyuwangi menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan jumlah populasi umat Hindu yang signifikan selain Bali. Banyuwangi masih menyimpan sejumlah destinasi wisata religi Hindu lainnya. Mulai dari Situs Pura Beji Ananthaboga dengan kompleks pertirtaan nan asri yang berada di tengah hutan pinus di lereng Gunung Raung; hingga Pura Segara Tawangalun di Pulau Merah yang didirikan untuk mengenang Prabu Tawang Alun. Pura Segara Tawangalun juga dikenal lewat Upacara Melasti yang diadakan setiap menjelang Hari Raya Nyepi, di mana umat Hindu setempat melakukan arak-arakan di tepi Pantai Pulau Merah dengan panorama senjanya yang menawan.

Sejarah memperkenalkan kita dengan banyak cerita. Walau sederhana, peninggalan sejarah di Banyuwangi menceritakan kebesaran Kerajaan Blambangan yang berjaya bahkan beberapa ratus tahun lebih lama dari kerajaan sepupunya, Majapahit yang diagung-agungkan.

Wisata sejarah dan religi di Banyuwangi juga menambah wawasan kita akan kepahlawanan Prabu Tawang Alun, Wong Agung Wilis, Pangeran Jagapati, serta puluhan ribu rakyat Blambangan yang berjuang hingga titik darah penghabisan melawan penjajahan. Sebagai potret lain dalam keagungan nenek moyang kita yang belum sepenuhnya tergali dari permukaan tanah, maupun tercatat dalam buku-buku sejarah.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, Ayub Ardiyono

  • Catatan 1

    Kata Blambangan berasal dari kata balumbungan yang artinya ‘banyak lumbung’. Ada juga yang mengatakan asalnya dari kata bali dan ombo, yang bila digabung bermakna ‘rakyat yang banyak’. Benar saja, wilayah bekas Kerajaan Blambangan memang dikarunai kesuburan tanah dan jumlah populasi yang tinggi bahkan hingga saat ini.

  • Catatan 2

    Karena menganut kepercayaan yang sama, Kerajaan Blambangan cenderung memiliki kedekatan hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Bali. Berbagai ciri khas budaya Bali bahkan dapat ditemukan di sejumlah kesenian Blambangan yang bertahan hingga saat ini di Banyuwangi.

  • Catatan 3

    Cerita seputar Kerajaan Blambangan sendiri cukup jarang untuk dibahas. Salah satu teks tertua yang menyebut keberadaannya adalah Negarakretagama karya Mpu Prapanca yang dibuat pada 1365.


    • Lokasi : Blambangan, Muncar, Dusun Krajan, Tembokrejo, Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68472
    • Lokasi : Taman Nasional Alas Purwo, Kecamatan Tegal Delimo, Kaliagung, Kendalrejo, Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68484
    • Hubungi : (0333) 555 973

Akan Using yang Takkan Usang

Saat mendengar kata ‘desa’, hal yang mungkin terlintas di benak adalah jajaran rumah tradisional di antara asri nuansa persawahan serta senyum ramah para penduduk di tengah kesederhanaan. Sekarang, bayangkan sebuah desa dengan kemeriahan bak festival. Dengan riuh gamelan, angklung dan ragam tari-tarian serta lezatnya aneka jajanan pasar yang berbaris sepanjang jalan.

Sebagai desa wisata, Desa Kemiren di Kecamatan Glagah, Banyuwangi memang istimewa dengan berbagai aktivitas menyenangkan yang mengundang minat para wisatawan. Namun sebagai desa adat, Desa Kemiren juga menjadi penting sebagai salah satu pelestari budaya tradisional suku Using di tengah era modernisasi seperti saat ini.

Suku Using sering disebut sebagai Wong Blambangan atau Wong Banyuwangen, karena diyakini sebagai keturunan Kerajaan Blambangan yang pernah berjaya di ujung timur Pulau Jawa dengan daerah Banyuwangi sebagai pusat pemerintahannya. Sebagai etnis asli dari Banyuwangi, bahasa dan budaya Using memiliki sejumlah perbedaan dari suku Jawa pada umumnya. Kata ‘using’ sendiri berarti ‘tidak’. Penamaan tersebut diasosiasikan dengan bagaimana tertutupnya suku Using di masa kolonial yang memilih untuk hidup menjauh dari birokrasi politik Hindia-Belanda.

Konon Desa Kemiren lahir dari sekelompok masyarakat suku Using yang membentuk pemukiman di tengah hutan demi menghindari pengaruh Belanda. Hutan itu dulunya dipenuhi dengan pohon kemiri dan duren, sehingga nama ‘kemiren’ melekat sebagai nama dari tempat yang kini berkembang menjadi desa wisata yang diresmikan pada tahun 1995 oleh pemerintah setempat.

Tentunya ada banyak hal yang dapat dipelajari dari budaya dan tradisi suku Using di Desa Kemiren. Jenis rumah adat Using misalnya, dengan fungsi dan bentuk atap yang beragam seperti Tikel Balung (atap empat sisi), Baresan (tiga sisi), hingga Cerocogan (dua sisi). Rumah tradisional suku Using juga unik karena pembangunannya yang tidak menggunakan paku, sehingga memungkinkan untuk dibongkar pasang dan dipindah-pindah posisinya.

Hingga saat ini arsitektur tradisional Using masih bertahan sebagai hunian, kedai kopi, hingga galeri seni yang banyak dijumpai di Desa Kemiren. Potret kehidupan suku Using dengan nuansa etnik yang kental dapat Travelers rasakan di tiap sudut, seperti di Sanggar Genjah Arum yang menawan dengan keantikannya.

Ragam kesenian suku Using juga masih dilestarikan di Desa Kemiren secara turun temurun. Mulai dari tari-tarian seperti tari gandrung, aji jaran goyang, atau barong Kemiren, Travelers dapat menyaksikan kemegahannya atau ikut belajar menari bersama para penarinya langsung.

Ada juga kesenian musik tradisional untuk diamati, seperti angklung paglak yang dimainkan di atas gubuk setinggi 7-10 m dan berdiri di tepi sawah, atau gedhogan yang dimainkan ibu-ibu dengan cara memukulkan penumbuk padi ke lesung sehingga menghasilkan irama yang menarik.

Travelers juga dapat mempelajari batik khas Banyuwangi yang memiliki motif dan filosofinya tersendiri. Mulai dari ikut mencanting atau sekedar melihat-lihat koleksi batik masyarakat Using yang biasa menyimpannya di dalam toples-toples besar di rumah mereka.

Tidak hanya itu, Desa Kemiren yang mengetengahkan ecotourism ini juga dapat memberikan Travelers pengalaman turun ke sawah. Selain menjadi pengalaman seru dan menyenangkan, aktivitas ini cocok untuk mengajarkan anak-anak untuk lebih menghargai proses menyawah hingga dapat menghasilkan nasi di atas piring-piring mereka.

Sebagai bagian dari Banyuwangi yang juga dijuluki Kota Festival, di Desa Kemiren terdapat berbagai festival yang dapat Travelers ikuti sepanjang tahun. Seperti Festival Ngopi Sepuluh Ewu, Festival Adat Tumpeng Sewu, Ider Bumi, dan lain sebagainya.

Desa Kemiren memberikan pengalaman autentik dari sebuah desa adat yang dikembangkan secara modern lewat berbagai aktivitas pariwisatanya. Menggabungkan rekreasi dan edukasi, pariwisata di Desa Kemiren terus menunjang perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya hingga saat ini. Itu semua tanpa melepas ajaran dan tradisi leluhur yang telah ada sejak ratusan tahun lamanya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, GeorgeTimothy

  • Catatan

    Di Banyuwangi, angklung yang terbuat dari bambu dibunyikan dengan cara ditabuh. Angklung telah menjadi salah satu budaya seni tertua di Bumi Blambangan yang saat ini memiliki berbagai jenis kesenian angklung seperti angklung caruk, angklung tetak, dan angklung paglak.


  • Jl. Widuri, Dusun Kedaleman, Kemiren, Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68432

  • https://wisata.online/booking/aktivitas?client=kemiren

  • Hubungi

    0857-4911-1502

  • Jam Operasional

    Buka 24 jam setiap hari (senin – minggu)