Pos

Menapak Jejak Para Sultan

Selama berabad-abad, berbagai kerajaan dan dinasti silih berganti berkuasa atas Nusantara. Nama dari banyak kerajaan tumbuh besar, sebelum akhirnya memudar. Semua dengan pahlawan dan cerita kejayaannya tersendiri.

Dengan bahasa dan adat yang mungkin serupa, namun tak sama. Di antara semua, nama Kesultanan Yogyakarta menjadi salah satu yang sering menonjol dalam topik mengenai kerajaan-kerajaan di Nusantara. Bukan karena wilayah pemerintahannya yang besar, maupun armada lautnya yang menaklukkan pulau seberang.

Meskipun tergolong berwilayah kecil, Kesultanan Yogyakarta menjadi spesial karena pemerintahannya yang masih bertahan sebagai kerajaan. Di tengah pemerintahan Republik Indonesia, 73 tahun setelah seluruh daerah yang merupakan eks dari berbagai wilayah kerajaan yang berbeda-beda, berjalan berdampingan sebagai satu negara.

Pulau Jawa nan subur telah menyaksikan tumbuh kembangnya puluhan kerajaan. Di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah sendiri, pernah berdiri kerajaan besar seperti Kerajaan Mataram Kuno yang menganut kepercayaan Hindu-Buddha, hingga Kesultanan Mataram yang bernafaskan Islam pada abad ke-17.

Kesultanan Mataram menelurkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah Nusantara, seperti Sultan Agung Hanyokrokusumo yang membawa Kesultanan Mataram menuju puncak kejayaan yang merangkul hampir seluruh Pulau Jawa dalam kerajaannya.

Kesultanan Mataram juga melewati beberapa perubahan dalam sistem pemerintahnnya. Ibukotanya berpindah-pindah dari Kotagede dan Pleret, yang keduanya kini berada di dalam administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga ke Solo yang ada di Provinsi Jawa Tengah.

Perpindahan tersebut dipicu oleh banyak hal. Mulai dari pemberontakan rakyat hingga perseteruan dengan VOC yang cengkramannya atas Nusantara semakin kuat pada saat itu. Keributan yang tak kunjung habis dengan VOC, menghasilkan suatu kesepakatan politik yang dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti.

Kesepakatan bertanggal 13 Februari 1755 ini membagi kerajaan di Mataram menjadi dua yaitu, Keraton Surakarta yang berpusat di Solo untuk Sunan Pakubuwana III, dan Keraton Yogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi yang kemudian dikenal dengan nama Sultan Hamengkubuwana I. Semenjak itulah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri di pesisir selatan Pulau Jawa.

Sultan Hamengkubuwana I mendirikan pusat kerajaannya di tengah hutan yang berada di antara Sungai Code dan Sungai Winanga. Pada tahun 1756 istana Keraton Yogyakarta dibangun, dan masih bertahan sebagai rumah para sultan dan keturunannya hingga saat ini.

Kawasan Keraton Yogyakarta terhampar seluas 14,000 m2 dan terdiri dari berbagai bangunan, halaman, dan lapangan. Kompleks inti dari keraton sendiri terdiri atas tujuh bagian yang tiap pelataran dan ruangannya memiliki nama serta fungsinya masing-masing. Pembangunannya dipimpin langsung oleh Hamengkubuwana I yang menanamkan berbagai falsafah Jawa dalam rancangan struktur dasar keraton yang sarat akan nilai keagamaan maupun kebudayaan.

Ketujuh bagian inti keraton dari yang paling utara dimulai dengan Pelataran Pagelaran yang berdekatan dengan Alun-alun Lor Kota Jogja. Halaman bersejarah Sitihinggil Lor, tempat acara-acara resmi kerajaan berlangsung seperti penobatan para raja, berada di pelataran ini.

Kompleks inti keraton berlanjut ke bagian Kamandhungan Lor di mana terdapat ruang sidang dan pos jaga para abdi dalem atau pegawai keraton, dan Pelataran Bangsal Sri Manganti yang digunakan untuk menyambut kedatangan tamu-tamu besar.

Bagian keempat dari inti keraton adalah pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta yang bernama Kedhaton atau Halaman Bangsal Kencana yang di dalamnya tersimpan singgasana dan berbagai pusaka utama kerajaan. Selain menjadi tempat para sultan dan keluarga menghabiskan kesehariannya, Bangsal Kencana juga menjadi tempat diselenggarakannya pernikahan agung dan sejumlah acara kerajaan lainnya.

Bagian kelima adalah Kemagangan, tempat diselenggarakan acara kebudayaan seperti pagelaran wayang kulit Bedhol Songsong, maupun persiapan upacara Sekaten oleh para abdi dalem. Kamandhungan Kidul menjadi bagian berikutnya, yang dilanjutkan dengan Sitihinggil Kidul, bagian inti keraton terakhir yang berada di ujung selatan dan berbatasan dengan Alun-alun Kidul atau selatan Kota Jogja.

Pemilihan bentuk, jumlah, dan warna dalam tiap elemen arsitektur maupun ornamen yang tersebar di Keraton juga mengandung falsafah hidup masyarakat Jawa. Lambang-lambang yang terpahat di atasnya menyimbolkan rencana, doa dan harapan bagi seluruh penghuni keraton, selain menjadi petunjuk kebajikan bagi Sang Sultan. Bahkan tiap pohon yang ditanam di dalamnya juga memiliki makna simbolis yang beragam, dengan amanahnya tersendiri.

Jika Anda berkunjung ke Keraton Jogja, Anda dapat membayangkan kehidupan para sultan, pangeran dan putri terdahulu lewat peninggalan mereka yang tersimpan di museum-museum dalam keraton. Pada saat-saat tertentu Anda juga dapat menyaksikan tarian khas Jawa yang diiringi megahnya alunan gamelan keraton.

Selain ketujuh bagian intinya, kawasan keraton juga meliputi objek wisata Tamansari yang juga dibangun oleh Hamengkubuwana I. Kompleks Tamansari dulunya berhiaskan taman dengan berbagai pohon bunga, dan berdiri di atas segaran atau danau buatan yang sekarang sudah menjadi pemukiman warga. Dengan kolam pemandian dan ruang-ruang peristirahatan, fungsi utama dari istana air Tamansari adalah sebagai pesanggrahan atau tempat rekreasi keluarga kerajaan.

Sebagai kesultanan, kawasan Keraton Jogja tidak lepas dari bangunan dengan nilai spiritual. Di area Tamansari terdapat Sumur Gumuling yang dulunya merupakan masjid dengan desain yang melingkar, serta Pulo Panembung yang berfungsi sebagai tempat semedi untuk sultan terdahulu.

Berbeda dengan keraton yang masih dipakai hingga saat ini, area Tamansari hanya dipergunakan sampai masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana II akibat serangan Inggris terhadap Kesultanan Jogja pada tahun 1812. Meski sebagian besar dari area yang tersisa hanya berupa reruntuhan, kemegahan dan kecantikan arsitektur Tamansari masih dapat dinikmati lewat gapura-gapura besar dan halaman kolamnya.

Seperti Kerajaan Mataram Kuno dengan Borobudur-nya, Kesultanan Yogyakarta telah meninggalkan berbagai monumen yang menjadi cagar budaya dan amat dijaga kelestariannya. Selain keraton dan Tamansari, situs-situs Kesultanan Jogja lainnya yang tersebar di sekitar Yogyakarta tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Seperti Panggung Krapyak, Pesanggrahan Warungboto, Masjid Gedhe Kauman, dan Benteng Baluwerti dengan plengkung-nya yang mengelilingi kompleks keraton.

Anda dapat berziarah ke Pasarean Imogiri, kompleks pemakaman raja-raja Mataram yang masih dipergunakan sejak masa Sultan Agung hingga saat ini. Anda juga dapat menambah variasi wisata sejarah Anda dengan mengunjungi Keraton Paku Alaman, keraton termuda di daerah ini yang dibangun untuk para raja Kadipaten Paku Alaman dengan sejarah dan pusakanya tersendiri.

Semenjak kemerdekaan Indonesia, Sultan masih bertakhta di atas Bumi Mataram. Kesultanan Yogyakarta bertahan menjadi daerah istimewa dengan sistem pemerintahan khusus setingkat provinsi. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana IX, kompleks Keraton Yogyakarta mulai dibuka untuk umum agar bisa dipelajari sebagai pusaka milik seluruh masyarakat Indonesia. Sejak itu, Keraton Jogja ramai didatangi pengunjung dari berbagai penjuru tanah air maupun mancanegara, dan menjadi kawasan penting yang menopang pariwisata dan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kompleksitas adat dan tradisi Jawa sangat tercermin dalam Keraton Jogja yang masih mempertahankan nilai budayanya. Bahkan di tengah arus globalisasi dan modernisme seperti sekarang, Kesultanan Yogyakarta terus melestarikan, mengembangkan, dan mengajarkan budaya Jawa lewat tiap bangunan maupun berbagai aktivitas di dalamnya.

Mengingat Majapahit, Sriwijaya, hingga Samudra Pasai, sebagian besar kerajaan masyhur yang pernah berjaya di Nusantara mungkin hanya menyisakan nama dan beberapa monumen peninggalan. Yang membuat Kesultanan Yogyakarta istimewa, adalah kemahsyurannya yang masih berlanjut hingga saat ini, sebagai kebanggaan dan bagian dari Indonesia.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly & Ibna Alfattah