Pos

Api Kemerdekaan yang Tak Akan Padam

“Belum ke Jakarta, jika belum ke Monas.” Penggalan komentar yang tak jarang terdengar di telinga ini, terutama dari warga luar Jakarta, seakan menggambarkan posisi Monas sebagai ikon kota Jakarta. Bahkan lebih dari itu, Monas juga sering dijadikan ikon dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah keluarnya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Soekarno mulai menggagaskan pembangunan sebuah monumen megah yang berlokasi di lapangan depan Istana Merdeka.

Monumen ini bertujuan untuk mengenang dan mengabadikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus menginspirasi semangat patriotisme pada generasi penerus bangsa.

Monumen yang akrab disebut Monas ini akhirnya mulai dibangun pada 17 Agustus 1961, diarsiteki oleh Frederich Silaban dan R. M. Soedarsono, lalu diresmikan serta dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto.

Monas

Monas yang kian menjadi simbol semangat perjuangan dan kemerdekaan Republik Indonesia.

Layaknya sebuah monumen negara, Monas pun dibangun sarat dengan simbol dan makna. Adalah ide dari Presiden Soekarno untuk membentuk Tugu Monas dengan konsep lingga dan yoni. Tugu obelisk yang menjulang setinggi 117,7 m adalah lingga yang melambangkan aspek maskulin, sedangkan pelataran landasan obelisk adalah yoni yang melambangkan aspek feminin. Keduanya melambangkan kesatuan Indonesia yang harmonis dan saling melengkapi sejak dahulu kala.

Di puncak Monas pun terdapat bentuk cawan yang menopang api dengan berat 14,5 ton dan dilapisi emas 35 kg. Bagian yang disebut lidah api ini adalah simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Awal dibangun, lidah api dihiasi oleh lapisan emas seberat 35 kilogram, di mana 28 kilogramnya adalah hadiah dari seorang saudagar bernama Teuku Markam dari Aceh. Akan tetapi, pada ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-50, lapisan emas pada lidah api ditambah lagi beratnya hingga 50 kilogram. Lidah api yang tidak pernah padam ini menjadi sebuah simbol agar kita senantiasa memiliki semangat perjuangan yang terus membara.

Banyak aktivitas yang Travelers dapat lakukan ketika berada di Monas. Elevator pada pintu sisi selatan akan membawa Travelers ke puncak Monas untuk melihat pemandangan Jakarta dari ketinggian. Ada pula Museum Sejarah Nasional Indonesia yang memamerkan 51 diorama mengenai sejarah Indonesia sejak masa prasejarah hingga masa Orde Baru.

Peta Indonesia

Peta Indonesia berlapis emas yang terletak di dalam Monas.

Travelers juga dapat melihat beberapa simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia di dalam Ruang Kemerdekaan, peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, serta naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas. Gerbang ini dihiasi ukiran bunga wijayakusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga teratai yang melambangkan kesucian.

Beranjak ke halaman Monas, Travelers dapat melihat relief yang menggambarkan sejarah Indonesia di tiap sudutnya. Relief ini secara kronologis menggambarkan sejarah bangsa Indonesia dalam meraih kejayaan. Mulai dari masa Majapahit, penjajahan Belanda, perlawanan rakyat dan pahlawan-pahlawan nasional, kependudukan Jepang dan Perang Dunia II, proklamasi kemerdekaan Indonesia, hingga masa pembangunan Indonesia modern.

Selain itu Travelers yang berkunjung di akhir pekan juga dapat menikmati pertunjukan air mancur diiringi lagu-lagu Indonesia pada pukul 19:30 dan 20:30 WIB. Untuk Travelers yang tidak ingin kelelahan saat mengelilingi Monas, dapat menggunakan fasilitas kereta gratis di setiap halte yang disediakan.

Dengan berbagai cerita di balik pembangunannya, bagi Travelers yang ingin mengenal lebih dalam mengenai sejarah Indonesia sembari ditemani berbagai aktivitas menarik, maka Monas adalah pilihan situs yang tepat untuk dikunjungi selama di Jakarta. Begitu kental dan signifikannya sosok Monumen Nasional ini dalam sejarah Indonesia, sehingga menjelajahi ibu kota pertama Indonesia pun rasanya belum lengkap kalau tak mampir ke Monas.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly

  • Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta

  • Hubungi

    (021) 3822255

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari, Senin – Minggu (pukul 08.00 – 22.00 WIB)

  • Informasi
    • Mulai dibangun : 17 Agustus 1961
    • Selesai : 12 Juli 1975
    • Diresmikan : 12 Juli 1975
    • Tinggi : 137 meter
    • Arsitek : Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono
    • Kontraktor Utama : P.N. Adhi Karya (tiang fondasi)
    • Bentuk Tugu Monas kerap ditafsirkan sebagai sepasang alu dan lesung. Kedua alat penumbuk padi ini seyogyanya selalu ada dalam rumah tangga petani tradisional di
      Indonesia. Interpretasi ini semakin mengokohkan makna Monumen Nasional sebagai bangunan memorial akan sejarah bangsa dengan balutan budaya Indonesia yang kental.

Adat Betawi, Ikon Jakarta

“Nyok, kite nonton ondel-ondel
Nyok, kite ngarak ondel-ondel
Ondel-ondel ade anaknye
Anaknye ngigel ter-iteran”

“Yuk kita nonton ondel-ondel
Yuk kita ngiringin ondel-ondel
Ondel-ondel ada anaknya
Anaknya joget sambil muterin tangan”

Bagi warga Jakarta, kutipan lirik di atas sudah tidak asing lagi di telinga. Dinyanyikan oleh almarhum Benyamin Sueb, lagu tersebut menceritakan tentang salah satu kesenian khas Betawi yang kerap dipamerkan pada hari ulang tahun Jakarta dan di berbagai perayaan besar, seperti karnaval, pernikahan, hajatan, sunatan, hingga acara peresmian gedung-gedung. Namun, bukan hanya sekadar hiasan berupa boneka besar yang dirangkai dari bambu dan kain, ondel-ondel ternyata memiliki sejarah yang menarik hingga akhirnya dikenal luas seperti sekarang.

Dengan tinggi sekitar 2.5 meter, ondel-ondel sesungguhnya sudah ada di Jakarta sejak zaman Belanda. Pada awal kemunculannya, ondel-ondel dikenal dengan nama baronga yang konon berasal dari kata berbarengan. Hal ini didasari oleh bagaimana kegiatan pengarakan boneka raksasa ini biasanya dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama. Pada masa itu, masyarakat Betawi percaya bahwa arwah nenek moyang akan senantiasa menjaga keturunannya dan kepercayaan ini diwujudkan dalam bentuk ondel-ondel. Karena dipercaya berfungsi sebagai penolak bala, ondel-ondel tradisional memiliki wajah yang cenderung menyeramkan. Fungsi ini pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat Betawi pada zaman dahulu selalu menyiapkan sajen dan melakukan ritual ketika merakit ondel-ondel.

Saat dipentaskan, ondel-ondel pun harus berpasangan, karena masyarakat Betawi mempercayainya sebagai bentuk keseimbangan antara kekuatan baik dan buruk. Biasanya pada ondel-ondel tradisional, wajah boneka laki-laki akan dicat merah, matanya dibuat melotot, dan dilengkapi dengan kumis dan senyuman yang menyeringai. Sedangkan wajah ondel-ondel perempuan biasanya dicat putih dan mulutnya yang bergincu merah nampak tersenyum manis.

Tidak ada ketentuan warna untuk pakaian, namun komposisi warna kontras ciri khas budaya Betawi kerap digunakan. Warna yang sering muncul dalam pakaian ondel-ondel adalah kombinasi dari merah, merah muda, oranye, kuning, hijau, biru, hitam dan putih. Warna-warna tersebut sengaja dikombinasikan bertabrakan untuk memberi kesan meriah agar menarik perhatian orang banyak.

Dengan melajunya zaman, maka tak diingkari telah terjadi pula pergeseran makna, bahkan desain pada boneka yang telah menjadi salah satu ikon Jakarta ini. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin disebut memiliki kontribusi besar dalam perkembangan penampilan ondel-ondel dengan mengubah wajah boneka yang sebelumnya cukup mengintimidasi menjadi lebih bersahabat.

Sekarang ondel-ondel bukan lagi penolak bala, namun telah berubah menjadi media hiburan masyarakat yang tak jarang pula kita temui berkeliling di jalanan ibu kota. Keberadaan ondel-ondel yang berumur panjang dan hampir selalu muncul di setiap kegiatan masyarakat Jakarta membuktikan bahwa ondel-ondel memiliki signifikansi yang penting di berbagai dimensi kehidupan masyarakat Betawi.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Nurhudayanti