Pos

Tarian Para Bidadari Gowa

Sebelum masuknya agama Islam di tanah Gowa, di saat masyarakat Makassar masih memeluk kepercayaan setempat, terdapat cerita akan penghuni botting langi atau manusia dari kayangan.

Konon mereka turun ke bumi, dengan tujuan untuk mengajarkan penghuni lino atau manusia di bumi tentang tata cara kehidupan. Mulai dari cara berburu, beternak, hingga bertani, disampaikan para penghuni langit lewat berbagai gerakan.

Sebagai wujud rasa terima kasih, penghuni bumi mempersembahkan tari-tarian berdasarkan gerakan yang serupa. Itulah salah satu legenda yang mendasari salah satu tari tradisional yang paling terkenal dari Kota Daeng: tari pakarena.

Tari pakarena memang diyakini sebagai salah satu budaya Makassar tertua. Bahkan ada sumber yang meyakini kalau tarian ini tercipta di masa To Manurung Li Tamalate, seorang perempuan yang turun dari langit dan menjadi somba atau raja pertama Kerajaan Gowa.

Dengan gerakan yang anggun dan lemah gemulai, tidak sulit membayangkan tarian ini sebagai tarian para bidadari. Apalagi dengan berbagai nilai estetikanya, tari pakarena menonjol sebagai salah satu ikon pariwisata Makassar yang dapat Travelers saksikan.

Pa bermakna ‘tarian’ sedangkan karena bermakna ‘main’, dan pakarena dianggap sebagai ‘tari yang memainkan kipas’. Memang, tari pakarena akrab dikenal sebagai tari kipas, berkat kipas lipat besar yang menjadi atribut utama dari tarian ini.

Fungsi kipas sendiri dipercaya merepresentasi padi, karena ada pendapat bahwa tarian ini berasal dari sebuah tarian ritual kuno pada masa panen. Menurut sejumlah naskah Lontara, tari pakarena merupakan media komunikasi antara masyarakat di bumi dengan para dewa dari berbagai penjuru mata angin di masa sebelum masuknya agama Islam.

Tari pakarena berkembang menjadi tarian kerajaan di masa Kerajaan Gowa – Tallo atau Kesultanan Makassar. Sekitar pertengahan abad ke-17, di bawah komando I Li’motakontu, ibu dari Sultan Hasanuddin, pakarena semakin difungsikan dalam berbagai acara dan keperluan istana. Pada saat itu, konon tarian ini dibawakan tanpa henti selama berjam-jam.

Saat ini pakarena umumnya ditarikan oleh 7 – 10 orang perempuan. Gerakan dalam tari pakarena terkenal bertempo lambat dan penuh kelemahlembutan. Amat kontras dengan musik pengiring tarian yang cenderung menghentak dan menggebu-gebu.

Tari pakarena diiringi oleh alat musik tradisional Makassar, seperti gandrang, gong, pui-pui dan lain sebagainya. Selain untuk mengusir kekuatan jahat, musik yang mengiringi tari pakarena dipercaya mencerminkan karakter laki-laki Makassar yang tegas dan penuh semangat. Sedangkan, gerak gemulai para penari dianggap melambangkan kelembutan dan keanggunan yang harus dimiliki para perempuan Makassar.

Tari pakarena umumnya memiliki 12 tahap dengan berbagai pola gerak. Tiap pola gerak merupakan cerminan yang berbeda atas kehidupan, mulai dari gerakan berputar searah jarum jam yang melambangkan perputaran kehidupan, hingga gerakan naik-turun yang melambangkan jatuh bangunnya kehidupan.

Setelah kemerdekaan, pakarena mengalami berbagai modifikasi oleh seniman-seniman setempat agar lebih mudah diterima masyarakat dari luar Makassar sebagai tarian hiburan. Saat ini terdapat banyak versi pakarena yang dapat Travelers temukan di Sulawesi Selatan, seperti di Pulau Selayar dengan pakarena gantarang-nya. Beberapa versi pakarena juga diiringi dengan nyanyian seperti nyanyian Lelle, Kelong dan Dondo Samboritta.

Tiap kunjungan ke Kota Daeng akan terasa semakin cerah dengan menyaksikan ikon pariwisata yang satu ini. Dengan warna-warni kain sutra dan hiasan kepala yang dikenakan para penari serta liuk tangan mereka yang membentangkan kipas lipat, tari pakarena kerap menjadi favorit dengan berbagai nilai yang tersirat di dalamnya, sebagai salah satu pusaka budaya Makassar dengan estetika tinggi yang ditampilkannya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Syaief Husain

Sepak Bola Tak Bergawang

Sekilas, mungkin permainan paraga mengingatkan Travelers akan sepak takraw di sejumlah daerah Melayu. Di mana sejumlah laki-laki bermain mengendalikan bola yang terbuat dari rotan dengan kaki mereka. Hanya saja, permainan khas Bugis dan Makassar ini memiliki sejumlah ciri khas yang menonjol. Sehingga permainan ini sering dikategorikan lebih dari sebatas olahraga atau permainan tradisional saja, tapi juga sebuah bentuk kesenian yang sarat akan nilai-nilai tradisi.

Menurut naskah-naskah lontara, paraga (sering juga disebut a’raga atau ma’raga) telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar setidaknya sejak zaman Kerajaan Gowa – Tallo. Bahkan ada yang menyebut bahwa paraga pertama kali dimainkan pada masa To Manurung, sosok yang diyakini sebagai raja Gowa pertama.

Awalnya paraga hanya dimainkan oleh kaum bangsawan dan dipertunjukkan pada saat acara tertentu saja, seperti penobatan raja atau penerimaan tamu-tamu istimewa. Seiring waktu, paraga berkembang menjadi permainan rakyat yang juga digemari masyarakat umum, bahkan menjadi ajang ketangkasan dan kejantanan tiap bujang yang ingin menarik hati para gadis pujaannya. Di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, paraga juga menjadi salah satu media komunikasi selama penyebaran agama Islam.

Paraga dimainkan oleh 5-15 orang dan umumnya oleh kaum adam saja. Pemain paraga harus mengenakan pakaian tradisional Bugis – Makassar, lengkap dengan passapu atau destar khas daerah setempat yang menjadi salah satu elemen penting dari permainan ini. Paraga biasanya juga diiringi dengan pemain musik. Alat musik tradisional seperti gong, gendang, pui-pui dan calung-calung kerap meramaikan atraksi ini.

Bola raga yang terbuat dari anyaman rotan menjadi atribut utama dari paraga. Dengan kaki, tangan, dan kepala, para pemain memainkan bola raga dan mengendalikannya agar tidak jatuh ke tanah. Bola raga juga dimainkan dalam berbagai posisi. Mulai dari berdiri, duduk di tanah, posisi jongkok maupun rebah. Para pemain juga bisa men-juggle bola raga di tangan, lengan atau bahu mereka. Bahkan para pemain juga bisa menangkap dan menahan bola raga di kepala dengan bantuan passapu.

Biasanya para pemain akan membentuk formasi lingkaran dan memegang kendali bola raga secara bergantian. Tiap pemain akan mendapat kesempatannya masing-masing, mereka tidak boleh merebut bola dan harus menunggu giliran untuk dioper. Peraturan ini merupakan sebuah cerminan nilai tradisional akan pembagian peran dalam kehidupan sehari-hari. Saat mengendalikan dan mengoper bola raga, para pemain paraga juga menyelingi gerakan-gerakan seperti tarian yang mengikuti irama musik yang ada.

Salah satu hal menarik dari paraga sebagai atraksi yang mengundang penonton terdapat di sejumlah formasi yang para pemain bentuk. Ada beberapa jenis formasi ‘menara’, di mana para pemain saling mengangkat atau appanca dalam bahasa setempat. Susunan formasi menara dapat terdiri dari 6 orang, dan orang yang berada di puncak formasilah yang mengendalikan bola raga dengan tangkasnya. Formasi menara ini dipercaya mencerminkan nilai gotong-royong dalam budaya Bugis – Makassar.

Meski sudah berusia ratusan tahun, semangat masyarakat setempat untuk melestarikan paraga masih dapat terlihat, dengan generasi tua dan muda yang bermain bersama. Paraga memang mengandung nilai-nilai tradisional Bugis dan Makassar yang telah ada sejak zaman kerajaan terdahulu. Meski dalam sejarahnya, paraga terus beralih fungsi, diawali dari kegiatan kerajaan yang berkembang menjadi permainan tradisional, kini paraga dirayakan sebagai salah satu atraksi yang turut mewarnai ragam budaya di Indonesia.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Rezki Sugiarto Nurdin

Tarian Kehormatan Sang Gajah Putih

Tari guel merupakan salah satu kesenian Gayo yang sering dijumpai di masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, dalam pernikahan maupun penyambutan tamu kehormatan. Tarian yang memiliki kesan magis ini memiliki kisah dan arti tersendiri dalam gerakan-gerakan di tiap babaknya yang terdiri dari munatap, redep, ketibung, hingga cincang nangka. Tiap babak tersebut adalah cerminan dari legenda yang melahirkan tari guel. Sebuah legenda tentang sosok Gajah Putih yang konon hidup di Dataran Tinggi Gayo.

Cerita awal mula tari guel atau legenda Gajah Putih, dimulai dari kakak beradik Bener Meriah dan Sengeda, anak-anak dari Raja Linge dengan Putri Malaka. Setelah kematian Bener Meriah, Sengeda bermimpi akan mendiang abangnya yang telah menjelma menjadi seekor gajah putih.

Suatu hari, Sengeda pergi bersama rombongan dalam kunjungan kerajaan ke kraton Aceh Darussalam. Disana, ia melukis sosok Gajah Putih yang muncul di mimpinya, dimana seorang Putri Aceh melihatnya dan begitu tertarik dengan sosok Gajah Putih dalam lukisan itu. Setelah mendengar cerita putrinya, Sultan Aceh segera mengadakan sayembara untuk menemukan dan membawa sang gajah ke hadapannya di kraton Aceh Darussalam.

Gajah Putih adalah binatang liar dan istimewa yang sulit untuk ditaklukkan. Tidak ada yang bisa menjinakkannya selain Sengeda, berkat mimpinya akan Bener Meriah. Sengeda memerintahkan orang-orang untuk membunyikan berbagai alat musik, dimana kata guel, yang berarti ‘membunyikan’ konon berasal. Setelah itu Sengeda mulai menari mengikuti irama lewat gerakan-gerakan yang menyimbolkan alam sekitarnya.

Sengeda melompat-lompat dan mengibaskan kainnya bagaikan burung mengepakkan sayapnya. Sengeda lalu melingkarkan tangannya dengan lembut dan elegan, seolah belalai gajah yang ingin mengambil kepercayaan sang Gajah Putih, membujuknya untuk dapat ikut bersamanya demi memenuhi perintah sang Sultan.

Walau legenda seputar tari guel memiliki banyak versi, ceritanya selalu melibatkan Gajah Putih dan Sengeda yang disimbolkan sebagai dua penari laki-laki utama dalam tari guel. Penari yang bertindak sebagai Gajah Putih akan duduk terdiam di tengah panggung dengan kostum Kerawang Gayo yang didominasi warna putih. Kemudian penari yang bertindak sebagai Sengeda, akan menari dengan santun dan khidmat sebagai upaya menjinakkan sang gajah, menggiringnya untuk bergerak dan ikut menari bersamanya dalam satu kesatuan, menyimbolkan keberhasilan Sengeda dalam menaklukkan Gajah Putih.

Dalam banyak mitologi di Asia, gajah kerap menyimbolkan kebijaksanaan, kecerdasan, kelembutan serta kegagahan, dan tari guel memang menyiratkan semua nilai itu. Itulah alasan mengapa tarian ini biasa ditemukan dalam pesta pernikahan adat Gayo, sebagai doa dan harapan agar tiap pasangan dapat memegang nilai-nilai tersebut sebagai bekal dalam berumah tangga.

Ayunan bahu dan jari yang lembut, kaki yang tegas menghentak keras, serta kibasan kain Upuh Ulen-Ulen yang megah menjadi khas dari gerakan tari guel. Dengan diiringi alat musik tradisional Gayo seperti canang, gegedem, dan gong, tarian ini selalu memeriahkan acara adat di Tanoh Gayo dan menjadi pengingat akan kedekatan masyarakat Gayo dengan alamnya, lewat cerita Sengeda dan Gajah Putih.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Tanoh Gayo