Pos

Mahkota Kesenian Banyuwangi

Saat sinar fajar menyentuh Pulau Jawa, sebuah patung di Watu Dodol akan menjadi salah satu yang pertama menyambutnya. Berdiri anggun dan tinggi di tepi selat Bali, patung ini menggambarkan sesosok penari gandrung, sang maskot pariwisata Banyuwangi.

Dalam patung yang berdiri sejak 2004 itu tergambar berbagai pesona tari gandrung itu sendiri, dari lekuk lenggok si penari hingga kemegahan atribut yang menghias tubuhnya. Patung gandrung memang menghias berbagai sudut di Bumi Blambangan karena gandrung mengakar dalam keseharian masyarakat Banyuwangi sebagai kesenian tradisional yang lestari hingga saat ini.

Dalam Bahasa Indonesia maupun Jawa, gandrung sendiri memiliki arti ‘tergila-gila karena asmara’ atau ‘terpikat’. Dengan ayunan selendang dan mahkota emasnya, barisan penari nan ayu yang meliuk dengan mata yang menggoda memang selalu mencuri perhatian tiap penontonnya, jika bukan membuatnya tergila-gila.

Sebagai salah satu tradisi budaya Using, gandrung tidak pernah luput dipertunjukkan dalam berbagai acara di Banyuwangi, resmi maupun tidak. Gandrung menyiratkan nilai historis dan perjuangan yang dipegang oleh masyarakat Banyuwangi lewat kesenian berestetika tinggi.

Tari gandrung sebagai tarian hiburan untuk para tamu diperkirakan berkembang dari sebuah tarian spiritual khas suku Using yaitu seblang, ritual kuno untuk Dewi Sri menjelang musim panen. Ritual seblang memiliki kemiripan dengan gandrung, di mana penari seblang akan melempar selendangnya ke arah penonton. Siapapun yang dapat selendang, harus menerima ajakan untuk menari bersama penari seblang yang ‘kejimen’ atau kerasukan.

Meskipun bernuansa mistik, ritual seblang juga menjadi hiburan bagi para penontonnya, dengan penari yang kejimen kadang melakukan hal yang mengundang tawa. Elemen itu juga terdapat di tari gandrung yang sangat mengandalkan interaksi penonton. Mulai dari menari bersama penonton, penentuan gending yang akan dinyanyikan, bahkan sawer-menyawer dapat dijumpai di pertunjukan gandrung yang asli.

Cerita asal mula kesenian gandrung sendiri selalu lekat dengan cerita penjajahan Belanda atas Bumi Blambangan. Konon, gandrung merupakan tarian untuk mengecoh para penjajah. Dengan tarian yang menggoda dan suguhan minuman, para musuh yang lengah kemudian dihabisi dengan pisau yang tersembunyi di kipas para penari.

Ada juga yang berpendapat kalau gandrung awalnya ditarikan oleh sekelompok orang Using yang lari ke hutan karena tidak mau tunduk pada penjajahan Belanda. Para pelarian ini kemudian menciptakan kesenian untuk ditarikan keliling kampung, demi imbalan seperti beras dan bahan pangan lainnya untuk menyambung hidup.

Dulunya gandrung hanya ditarikan oleh remaja laki-laki. Pada akhir abad 19, ketika ajaran dan pemikiran Islam semakin kuat tertanam di masyarakat Banyuwangi, penari perempuan mulai bermunculan sehingga kini gandrung menjadi tari yang identik dengan kaum hawa saja.

Dulu bahkan penarinya hanya boleh dari keturunan penari gandrung, sebuah syarat yang juga ada dalam ritual seblang. Pengaruh upacara seblang juga terdapat di kostum penari gandrung. Omprog atau mahkota pelambang kesucian yang menjadi ciri khas gandrung merupakan pengembangan dari mahkota penari seblang.

Pertunjukan gandrung terbagi ke dalam 3 babak yang dimulai dari jejer, di mana penari memulai gandrung dengan gerakan dan nyanyian. Berlanjut ke paju atau ngibing, di mana penari memberikan selendangnya ke arah tamu untuk dapat menari bersama. Biasanya tamu pentinglah yang diajak menari terlebih dulu sebelum penonton lain. Bagian tengah ini selalu menjadi yang paling ramai dari gandrung dan umumnya berlangsung lama.

Setelah semua tamu sudah diajak menari, gandrung diakhiri dengan seblang subuh, yaitu babak perpisahan dengan pelantunan gending yang dibawakan dengan penuh penghayatan. Prosesi sakral dalam seblang subuh merupakan salah satu contoh bagaimana gandrung berkembang dari ritual seblang yang berbau spiritual. Walau saat ini, banyak gandrung yang tidak membawakan seblang subuh dalam pertunjukannya.

Musik khas suku Using yang meriah juga menjadi elemen penting dalam tiap pertunjukan gandrung. Sejumlah alat musik yang menjadi bagian dalam orkestrasi gamelan Using dapat ditemukan di pertunjukan gandrung seperti kenong, kempul, gong, biola, hingga angklung.

Lantunan gending yang merdu melengking bersahutan dengan rancaknya kendang dan riuh denting kluncing, alat musik berbentuk segitiga yang juga berfungsi sebagai penjaga tempo yang kian berganti dalam musik pengiring gandrung. Pemain kluncing biasanya juga menyahuti pertunjukan dengan banyolan dan lawakan yang menambah keceriaan dalam tiap pertunjukan gandrung.

Jenis tari hiburan seperti gandrung juga ditemukan di daerah lainnya, seperti tarian lengger dari Banyumas maupun ronggeng di Jawa Barat. Tarian dengan nama gandrung sendiri juga ditemukan di Pulau Bali dan Lombok. Di Banyuwangi sendiri, gandrung kini telah tumbuh dan berkembang menjadi beberapa versi. Meskipun dengan sejarah tari hiburan yang menyiratkan erotisme, gandrung tetap bertahan sebagai ikon budaya dan pariwisata bagi Banyuwangi.

Bila Travelers bertandang ke Banyuwangi, pastikan untuk menyaksikan kesenian yang sudah menjadi identitas masyarakatnya ini. Salah satu dari banyak agenda festival di Banyuwangi adalah Gandrung Sewu Parade yang digelar sejak 2011, di mana 1000 penari menari gandrung bersama. Pada tahun 2018, Taman Gandrung Terakota juga resmi dibuka di Banyuwangi, yang menampilkan ratusan patung penari gandrung tersebar di area persawahan yang asri.

Saat ini gandrung dicintai bukan hanya sebagai kesenian tradisional, namun juga sebagai representasi masyarakat Banyuwangi yang penuh kegembiraan dan perayaan. Selain menyimpan berbagai cerita sejarah akan perjuangan dan penolakan untuk tunduk pada penjajahan, yang dibalut dalam cantik gemulai gerakan tari gandrung.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly

Tuah Tani di Ujung Tanduk

Sebagai negara agraris, sedari dulu pertanian kerap menjadi sandaran hidup bagi mayoritas penduduk Indonesia. Panen yang melimpah ruah merupakan salah satu target dan harapan bersama. Yang senantiasa tercapai lewat tanah yang subur serta curah hujan yang mendukung.

Namun ada banyak budaya di Indonesia yang percaya bahwa suatu upacara adat tertentu juga dapat menentukan nasib panen mereka ke depannya. Salah satu contohnya dapat diamati lewat Kebo-keboan, sebuah upacara unik khas suku Using dari Banyuwangi.

Tradisi ini hanya dapat ditemukan di dua tempat. Desa Aliyan di Kecamatan Rogojampi menyebutnya Keboan, sedangkan Desa Alasmalang di Kecamatan Singojuruh mengenalnya dengan nama Kebo-keboan. Tradisi menarik ini juga hanya diselenggarakan setahun sekali di bulan Sura (Suro), bulan sakral dalam penanggalan Jawa yang juga bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Islam.

Upacara ini memang menyiratkan simbolisme akan sejumlah elemen penting dalam budaya Jawa seputar pertanian. Mulai dari benih padi, lahan sawah, hingga figur Dewi Sri. Namun yang paling menonjol dalam upacara ini tentu ada di penggambaran kerbau sebagai hewan sentral dalam pertanian, mulai dari masa tanam hingga panen tiba. Yang menjadi ciri khas dalam tradisi ini adalah penampilan sejumlah kerbau jadi-jadian, yaitu puluhan pria yang didandani dan bertingkah menyerupai seekor kerbau.

Tradisi ini konon telah ada selama ratusan tahun di Banyuwangi. Sejumlah cerita rakyat mengisahkan asal-usul yang dimulai dari wabah penyakit dan hama panen. Untuk mendapat solusi dari pandemik yang meresahkan ini, seorang tetua desa pergi bermeditasi (Buyut Wongso Kenongo dalam cerita versi Desa Aliyan, atau Buyut Karti dalam versi Desa Alasmalang).

Di versi Desa Aliyan, meditasi ini mengakibatkan seseorang yang tiba-tiba berguling-guling di persawahan layaknya seekor kerbau. Sedangkan menurut versi Desa Alasmalang, meditasi itu membuahkan wangsit yang mengimbau diadakannya suatu ritual untuk Dewi Sri sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran.

Kebo-keboan dan Keboan melibatkan para pria yang didandani dengan tanduk dan kuping kerbau buatan. Lengkap dengan rambut yang terbuat dari tali rafia atau wig, dan kalung klonthong yang biasa digunakan sapi atau kerbau. Kemudian seluruh tubuh hingga wajah mereka dilumuri cairan hitam yang terbuat dari jelaga atau arang yang dicampur dengan minyak atau oli. Dilengkapi hanya dengan celana pendek berwarna hitam, sejumlah pria desa ini pun menjelma jadi manusia kerbau dengan sorot mata yang beringas, bagai sosok Minotaur dalam mitologi Yunani kuno.

Namun tidak semua warga bisa menjadi kebo. Di Desa Alasmalang, pemuka adat setempatlah yang menentukan siapa yang dapat berpartisipasi sebagai ‘manusia kerbau’. Sedangkan di Desa Aliyan, arwah leluhurlah yang dipercaya untuk menuntun keputusan ini. Seperti banyak tradisi serupa di Nusantara, Kebo-keboan dan Keboan memang sarat akan unsur mistik. Di mana para kebo yang in trance atau kerasukan merupakan bagian penting dari prosesi ini.

Seluruh penduduk desa bergotong royong sejak beberapa hari sebelum upacara ini dimulai. Selain mereka yang menjadi kebo, tradisi ini juga melibatkan partisipasi banyak orang untuk serangkaian proses upacara yang umumnya dilewati. Dimulai dengan pembuatan gapura yang terbuat dari bambu dan janur, yang dihias dengan sayur-mayur, buah-buahan, dan berbagai hasil bumi lainnya. Seluruh masyarakat juga bahu membahu menyiapkan tumpeng dan makanan lain yang akan dinikmati bersama dalam slametan atau kenduri.

Salah satu tahapan penting dari upacara adat ini adalah ider bumi, yaitu arak-arakan yang diikuti oleh para kebo beserta pawangnya, segenap barong, pemain angklung dan gamelan, serta seorang wanita yang menjadi representasi Dewi Sri. Ider bumi yang bermakna ‘mengelilingi bumi’ itu sendiri merupakan tradisi masyarakat suku Using untuk menjauhkan desa dari petaka, niat jahat, maupun gangguan makhluk gaib. Ider bumi umumnya dilakukan beramai-ramai dengan pembacaan berbagai doa sambil mengitari desa.

Yang menjadi panggung utama dari upacara ini adalah sebuah kubangan lumpur di atas lahan sawah yang sudah ditentukan. Di sinilah puluhan kebo beraksi menjaga lahan sawah mereka dengan bertingkah seperti kerbau yang menarik bajak. Umumnya tiap kebo ditemani seorang pawang yang menggiring mereka dengan tali. Di atas kubangan ini ditebar benih padi yang dipercaya dapat membawa keberuntungan dalam panen yang akan datang. Masyarakat sekitar akan mencoba untuk mengambil benih-benih tersebut, melewati para kebo yang menghalangi mereka dan siap menerjang mereka ke lumpur jika tertangkap.

Sebagai penutup keseluruhan upacara, pada malam harinya diadakan pertunjukan wayang Sri Mulih, lakon yang menceritakan kembalinya Dewi Sri yang membawa kesuburan di negerinya. Cerita Dewi Sri ini seolah menyempurnakan Kebo-keboan dan Keboan yang bukan sebatas tradisi penangkal bala, namun juga ungkapan syukur akan panen yang telah didapat dan pengharapan akan panen yang akan datang nantinya.

Ritual Keboan di Desa Aliyan dan Kebo-keboan di Desa Alasmalang terus hidup hingga saat ini, sebagai bentuk pelestarian budaya yang berkembang menjadi salah satu sajian dari banyaknya program pariwisata di Banyuwangi. Prosesinya selalu dipadati oleh ratusan masyarakat dan wisatawan yang ingin menyaksikan keseruan acara ini. Tanpa mengurangi kesakralan akan tradisi itu sendiri sebagai salah satu contoh kerekatan nilai budaya Indonesia dengan alamnya, dan cerminan akan nilai gotong royong yang masih sangat mengakar dalam masyarakatnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ayub Ardiyono