Pos

Tarian Para Bidadari Gowa

Sebelum masuknya agama Islam di tanah Gowa, di saat masyarakat Makassar masih memeluk kepercayaan setempat, terdapat cerita akan penghuni botting langi atau manusia dari kayangan.

Konon mereka turun ke bumi, dengan tujuan untuk mengajarkan penghuni lino atau manusia di bumi tentang tata cara kehidupan. Mulai dari cara berburu, beternak, hingga bertani, disampaikan para penghuni langit lewat berbagai gerakan.

Sebagai wujud rasa terima kasih, penghuni bumi mempersembahkan tari-tarian berdasarkan gerakan yang serupa. Itulah salah satu legenda yang mendasari salah satu tari tradisional yang paling terkenal dari Kota Daeng: tari pakarena.

Tari pakarena memang diyakini sebagai salah satu budaya Makassar tertua. Bahkan ada sumber yang meyakini kalau tarian ini tercipta di masa To Manurung Li Tamalate, seorang perempuan yang turun dari langit dan menjadi somba atau raja pertama Kerajaan Gowa.

Dengan gerakan yang anggun dan lemah gemulai, tidak sulit membayangkan tarian ini sebagai tarian para bidadari. Apalagi dengan berbagai nilai estetikanya, tari pakarena menonjol sebagai salah satu ikon pariwisata Makassar yang dapat Travelers saksikan.

Pa bermakna ‘tarian’ sedangkan karena bermakna ‘main’, dan pakarena dianggap sebagai ‘tari yang memainkan kipas’. Memang, tari pakarena akrab dikenal sebagai tari kipas, berkat kipas lipat besar yang menjadi atribut utama dari tarian ini.

Fungsi kipas sendiri dipercaya merepresentasi padi, karena ada pendapat bahwa tarian ini berasal dari sebuah tarian ritual kuno pada masa panen. Menurut sejumlah naskah Lontara, tari pakarena merupakan media komunikasi antara masyarakat di bumi dengan para dewa dari berbagai penjuru mata angin di masa sebelum masuknya agama Islam.

Tari pakarena berkembang menjadi tarian kerajaan di masa Kerajaan Gowa – Tallo atau Kesultanan Makassar. Sekitar pertengahan abad ke-17, di bawah komando I Li’motakontu, ibu dari Sultan Hasanuddin, pakarena semakin difungsikan dalam berbagai acara dan keperluan istana. Pada saat itu, konon tarian ini dibawakan tanpa henti selama berjam-jam.

Saat ini pakarena umumnya ditarikan oleh 7 – 10 orang perempuan. Gerakan dalam tari pakarena terkenal bertempo lambat dan penuh kelemahlembutan. Amat kontras dengan musik pengiring tarian yang cenderung menghentak dan menggebu-gebu.

Tari pakarena diiringi oleh alat musik tradisional Makassar, seperti gandrang, gong, pui-pui dan lain sebagainya. Selain untuk mengusir kekuatan jahat, musik yang mengiringi tari pakarena dipercaya mencerminkan karakter laki-laki Makassar yang tegas dan penuh semangat. Sedangkan, gerak gemulai para penari dianggap melambangkan kelembutan dan keanggunan yang harus dimiliki para perempuan Makassar.

Tari pakarena umumnya memiliki 12 tahap dengan berbagai pola gerak. Tiap pola gerak merupakan cerminan yang berbeda atas kehidupan, mulai dari gerakan berputar searah jarum jam yang melambangkan perputaran kehidupan, hingga gerakan naik-turun yang melambangkan jatuh bangunnya kehidupan.

Setelah kemerdekaan, pakarena mengalami berbagai modifikasi oleh seniman-seniman setempat agar lebih mudah diterima masyarakat dari luar Makassar sebagai tarian hiburan. Saat ini terdapat banyak versi pakarena yang dapat Travelers temukan di Sulawesi Selatan, seperti di Pulau Selayar dengan pakarena gantarang-nya. Beberapa versi pakarena juga diiringi dengan nyanyian seperti nyanyian Lelle, Kelong dan Dondo Samboritta.

Tiap kunjungan ke Kota Daeng akan terasa semakin cerah dengan menyaksikan ikon pariwisata yang satu ini. Dengan warna-warni kain sutra dan hiasan kepala yang dikenakan para penari serta liuk tangan mereka yang membentangkan kipas lipat, tari pakarena kerap menjadi favorit dengan berbagai nilai yang tersirat di dalamnya, sebagai salah satu pusaka budaya Makassar dengan estetika tinggi yang ditampilkannya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Syaief Husain

Cerita dan Warta di Bawah Purnama

Dulu, di masa Kesultanan Makassar masih berjaya di selatan Sulawesi, Rakyat Makassar memiliki kebiasaan berkumpul, terutama di malam hari pada saat bulan purnama. Di bawah sorot cahaya purnama, duduk seorang passinriliq di tengah keramaian.

Dengan irama dari keso-keso, alat musik semacam rebab khas Sulawesi Selatan, passinriliq membawakan lantunan syair nan merdu yang menceritakan hikayat kehidupan, atau memberitakan titah dari sang raja. Pembawaan syair inilah yang dikenal sebagai sinrili (atau sinriliq), suatu bentuk sastra lisan dari budaya Makassar yang masih bertahan hingga saat ini.

Sinrili adalah budaya prosa dan bersyair dari Makassar yang sempat menjadi media komunikasi utama di era sebelum adanya alat telekomunikasi atau media massa. Budaya serupa juga dapat ditemukan di berbagai belahan Nusantara, seperti budaya kacaping dalam suku Bugis. Syair-syair yang dibawakan dalam sinrili pun beragam. Mulai dari cerita cinta, ungkapan keindahan alam, ajaran agama, cerita kepahlawanan, sejarah, dan cerita atau berita lainnya dalam tiap aspek kehidupan orang Makassar.

Sinrili dibawakan oleh seorang passinriliq, yang melantunkan syair serta memainkan keso-kesonya. Walau tidak ada waktu yang khusus, sinrili lebih umum dilakukan semalam suntuk. Passinriliq biasanya menghafal bait-bait syair atau membaca naskah saat membawakan sinirili.

Syair-syair dalam bahasa Makassar ini dilantunkan dengan nada merdu, dan kadang terdengar seperti lantunan tilawah Alquran. Nada yang dibawakan pun disesuaikan dengan mood dari syair. Ada kalanya sinrili mengundang ramai tawa penonton. Namun, banyak juga kesyahduan sinrili yang membuat penontonnya meneteskan air mata.

Dengan syair-syair yang mengandung nilai-nilai kehidupan dan adat istiadat, sinrili telah mengakar dalam masyarakat Makassar sebagai media berita yang umum membahas isu-isu terkini atau kritik sosial.

Sebagai sastra lisan, syair-syair sinrili juga menuturkan cerita-cerita rakyat yang menjadi khazanah sastra tradisional Nusantara. Banyak dongeng dan legenda Makassar seperti I Datu Museng dan I Manakkuk, maupun cerita sejarah yang menginspirasi seperti Kappalak Tallumbatua atau Karaeng Pattingalloang terjaga dalam bentuk syair-syair sinrili.

Umumnya kesenian sastra lisan Makassar ini dikategorikan menjadi dua, yaitu sinrili bosi timurung (sinrili hujan turun) yang bernuansa melankolis dan dibawakan tanpa iringan musik; serta sinrili pakeso-keso yang dibawakan dengan iringan musik dari keso-keso.

Salah satu sumber berpendapat bahwa budaya sinrili berawal di abad ke-16, yaitu di masa pemerintahan raja Gowa. Sinrili awalnya berfungsi sebagai nasihat-nasihat kebijakan bagi para raja, namun berkembang menjadi media komunikasi antara raja dengan rakyatnya, dan sebaliknya.

Di zaman penjajahan dulu, para passinriliq menyampaikan keresahan masyarakat lewat syair-syair yang mereka bawakan ke hadapan raja. Dan dengan syair-syair passinriliq jugalah pesan-pesan perjuangan dari raja tersebarkan ke rakyatnya di luar istana.

Sinrili juga berperan penting sebagai media dakwah di masa pengislaman Sulawesi Selatan, sehingga tidak jarang syair-syair sinrili dipenuhi dengan nilai-nilai agama dan ketuhanan. Di zaman setelah kemerdekaan, sinrili bahkan sempat disiarkan di radio setempat membawakan pesan-pesan pemerintah.

Meski kini sinrili semakin kurang diminati para pendengarnya, pemerintah setempat terus mengusahakan pelestarian budaya Makassar ini. Sejak 2013, sinrili resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional Indonesia dan kerap dipentaskan saat acara-acara besar di Makassar dan sekitarnya hingga saat ini.

Sebagai salah satu bentuk kekayaan sastra Nusantara, sinrili mengandung berbagai nilai yang tertanam dalam karakter orang Makassar dan signifikan dalam lintas sejarah daerahnya. Dengan para passinriliq yang kadang menghibur penonton bagai stand-up comedy, atau bagai suara raja yang penuh wibawa, menginspirasi semangat juang dalam tiap masyarakat yang menyimaknya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Syaief Husain

  • Catatan

    Salah satu seni sastra lisan warisan dari Kerajaan Gowa – Tallo ini mencerminkan kesusastraan tradisional yang tinggi dari Provinsi Sulawesi Selatan yang juga dikenal dengan naskah-naskah Lontara dan Sureq Galigo-nya.

Kekayaan Rasa yang Melegenda

Makassar dan kuliner adalah kombinasi yang sangat tepat untuk mengenal lebih dekat tentang kekayaan Indonesia. Makassar termasuk salah satu kota di Indonesia yang terkenal akan ragam pilihan menunya dengan rasa yang istimewa. Berikut ini adalah menu khas terbaik yang layak Travelers coba ketika mengunjungi Makassar.

COTO MAKASSAR

Makanan ini merupakan makanan berkuah yang menggunakan jeroan atau isi perut sapi sebagai bahan dasar utama. Sebelum disantap bersama kuah segar, jeroan sapi harus direbus dan dibumbui terlebih dahulu dengan bumbu yang diracik secara khusus. Coto makassar biasanya disajikan dengan ketupat dan burasa yang umumnya disajikan pada hari-hari spesial masyarakat Makassar.


ES PISANG IJO

Kudapan asli Kota Daeng ini menjadi favorit bukan hanya karena kesegarannya, tetapi juga karena penampilannya yang menarik. Bahan utama yang digunakan untuk membuat es pisang ijo ini terdiri dari pisang segar yang dibalut dengan adonan khusus berwarna hijau. Adonan pisang kemudian dikukus dan disajikan bersama es batu, bubur sumsum, susu kental, dan sirup merah. Menurut filosofinya, warna hijau pada menu ini melambangkan kesucian, sejuk dan tenteram.


ES PALLU BUTUNG

Sekilas menu ini mirip dengan es pisang ijo yang juga berbahan utama pisang. Perbedaan antara kedua menu ini terletak pada pengolahan pisangnya. Pada es pallu butung, pisang yang sudah direbus akan dipotong kecil-kecil sebelum disiram dengan bubur berwarna putih yang terbuat dari tepung beras dan santan. Setelah itu ditambahkan es serut, sirup berwarna merah secukupnya serta susu kental manis untuk memberikan rasa manis pada es.


BARONGKO

Kue khas Bugis di Makassar ini terbuat dari bahan dasar pisang yang dihaluskan bersama gula pasir, garam, telur, dan santan yang diolah menjadi adonan. Adonan kue barongko yang sudah jadi akan dibungkus dengan daun pisang dan dikukus hingga matang, sebelum disimpan ke dalam lemari es. Pada zaman kerajaan dulu, kue khas Makassar ini menjadi hidangan penutup untuk kalangan raja-raja Bugis.


SUP KONRO

Menu ini dibuat dari iga sapi yang harus melewati proses perebusan terlebih dahulu sebelum disantap, agar iga sapi empuk dan bisa terlepas dari tulang. Rasa kuah yang sedap ini berasal dari paduan rempah-rempah khas Indonesia dan campuran bahan seperti ketumbar, keluwak (buah yang menyebabkan masakan berwarna hitam), sedikit pala, kunyit, kencur, kayu manis, asam, daun lemon, cengkih, dan juga daun salam.


KONRO BAKAR

Perbedaan konro bakar dengan sup konro berada pada olahan daging iganya. Daging iga pada konro bakar disajikan dengan dibakar terlebih dahulu dan disajikan terpisah dari sup. Konro bakar tak kalah enak dengan sup konro, tulang iga yang masih terbalut dengan daging sapi tersebut dapat disantap bersama guyuran bumbu kacang serta kuah sup konro yang kaya rempah dan berwarna hitam pekat.


PALLUBASA

Makanan khas dengan olahan sapi selanjutnya adalah pallubasa. Masakan khas Makassar yang satu ini terbuat dari jeroan sapi atau kerbau dan memiliki perbedaan dengan makanan khas Makassar berkuah lainnya, seperti coto makassar. Perbedaannya dengan coto makassar terdapat pada rasa yang dihasilkan. Meski tampilan menu berkuah ini serupa, pallubasa memiliki cara memasak serta bagian daging yang digunakan berbeda dengan coto makassar. Selain itu cara penyajian pallubasa menggunakan taburan kelapa sangrai di atasnya.


PALLUMARA

Nama kuliner khas Makassar yang satu ini terdengar mirip dengan pallubasa. Namun terdapat perbedaan dari segi bahan utama dan rempah yang digunakan sebagai bumbunya. Pallumara merupakan makanan berkuah asal Makassar yang menggunakan daging ikan atau kepala ikan kakap merah besar sebagai bahan utamanya. Setelah daging ikan diolah dan dibumbui, daging ikan tersebut dicelupkan ke dalam kuah kental berbahan dasar kemiri yang menghasilkan cita rasa gurih, asam dan pedas. Filosofinya, suku Makassar dan Bugis sering memasak bagian kepala ikan untuk sang anak. Kepala ikan ini melambangkan posisi yang tinggi dan sebagai bentuk doa dari orang tua agar kelak sang anak menjadi pemimpin.


SONGKOLO BAGADANG

Songkolo atau yang juga kerap disebut Sokko, adalah sajian nasi ketan hitam atau putih yang ditaburkan serundeng atau parutan kelapa sangrai. Songkolo ini biasanya dimakan bersama sambal goreng pedas dan ikan kering teri, atau ikan bete-bete (ikan petek) kering yang digoreng. Untuk penyajian lebih nikmat, menu ini biasanya disajikan dengan telur bebek asin.


CUCURU BAYAO

Kue ini dibuat dari puluhan kuning telur, kenari, dan gula pasir murni. Rasa yang sangat manis dan aroma yang kuat adalah ciri khas dari kue berwarna kuning ini. Kue ini terbuat dari campuran kuning telur dan tepung terigu yang dikukus di atas api kecil. Kue yang biasanya dihias dengan kenari ini merupakan sajian wajib di Makassar dalam acara-acara keluarga seperti pesta pernikahan.

Artikel : Linda | Foto : George Timothy, Ariyani Tedjo, Ayub Ardiyono

Tenunan Untaian Harapan

Salah satu wujud kekayaan budaya Indonesia tercerminkan dari lahirnya wastra atau kain tradisional Nusantara. Sebagai peninggalan turun menurun, wastra melekat menjadi sebuah identitas khusus dari tiap daerah dan memiliki sebutannya masing-masing.

Diolah dengan indahnya, tiap helai, motif, serta corak pun memiliki nilai dan arti. Begitu pula dengan adanya sarung tenun sutra Bugis Lipa’ Sabbe yang kerap menjadi buah tangan pilihan Travelers yang berkunjung ke Kota Anging Mamiri.

Nama Lipa’ Sabbe sendiri berasal dari bahasa Bugis yang artinya sarung sutra. Dalam pemakaiannya, Lipa’ Sabbe digunakan sebagai bawahan sarung yang dipadukan dengan jas tutup bagi laki-laki. Untuk perempuan, sarung ini dikenakan sebagai bawahan dari baju bodo, di mana biasanya salah satu ujung Lipa Sabbe’ dibiarkan menjuntai dan cukup dipegang menggunakan tangan kiri. Khusus untuk pertunjukan tari tradisional, umumnya Lipa’ Sabbe akan digulung di bagian punggung dengan simpul menyerupai kipas.

Apabila Travelers ingin mengunjungi langsung sentra kerajinan Lipa’ Sabbe, maka wajib untuk mampir ke Kota Sengkang, Kabupaten Wajo. Berjarak sekitar 4 – 5 jam dari Kota Makassar, menggunakan kendaraan pribadi maupun umum.

Ketika Travelers memasuki Kota Sengkang maka akan terlihat sebuah gapura besar yang bertuliskan “Selamat Datang di Sengkang Kota Sutera”. Diajarkan secara turun-temurun, keterampilan masyarakat Sengkang dalam mengolah sutra sudah tersohor di Sulawesi Selatan.

Mulanya, benang sutra yang digunakan merupakan benang impor, namun kini warga sudah melakukan proses pemeliharaan ulat sutra sendiri di rumah-rumah. Kondisi tanah yang subur di wilayah ini pun memudahkan para warga untuk menanam pohon murbei yang menjadi pakan utama ulat sutra.

Terkenal dengan teksturnya yang halus dan mengkilat, Lipa’ Sabbe asli Kota Sengkang ditenun menggunakan dua teknik. Yang pertama adalah dengan menggunakan alat tenun gedongan, di mana menenun dilakukan sembari duduk dan meluruskan kedua kaki ke depan, atau dengan melipat salah satu kaki. Kedua adalah dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang dilakukan dengan posisi duduk sambil menginjak sepasang pedal kayu yang terdapat di bagian bawah ATBM secara silih berganti dengan kaki kiri dan kanan.

Untuk satu potong Lipa’ Sabbe biasanya memakan waktu 3 hari hingga 1 minggu untuk diselesaikan, tergantung dari motif maupun coraknya, dan tiap potong Lipa’ Sabbe asli Sengkang ini dijual dengan kisaran harga antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000.

Seiring dengan perkembangan zaman, elemen-elemen kain Lipa’ Sabbe pun menjadi lebih variatif. Bermula dari motif tradisional kotak-kotak kecil berwarna cerah yang disebut balo renni atau motif kotak-kotak besar dengan warna merah terang hingga merah keemasan yang disebut balo lobang, kini motif-motif modern pun sudah semakin banyak diproduksi. Akan tetapi, perkembangan ke arah lebih modern dilakukan dengan tetap menjaga nilai-nilai keunikan dan warna khasnya.

Sarung tenun sutra Bugis ini tentunya menjadi salah satu gambaran nyata akan keelokan dan kekayaan budaya Sulawesi Selatan, di mana tiap helai benang, motif, corak serta warna, mencerminkan harapan kebaikan dari sosok penenun di balik keindahan Lipa’ Sabbe.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Iqbal Fadly

  • Catatan

    Hingga saat ini, masyarakat Sulawesi Selatan kerap mengenakan Lipa’ Sabbe dalam acara adat, acara pernikahan seperti mappacci, dan juga sebagai hadiah pernikahan untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki. Pada tahun 2016, Lipa’ Sabbe resmi menjadi bagian dari 33 kain tradisional yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Istana di Atas Samudra

Hamparan laut yang mengelilingi Indonesia telah menyaksikan timbul tenggelamnya berbagai jenis perahu dan kapal. Dengan gaya tradisional, atau modern. Dengan fungsi kapal nelayan, dagang, atau perang.

Di antara kapal-kapal yang menghias laut Nusantara, pinisi mungkin menjadi yang paling dikenal saat ini. Dengan bentuknya yang gagah dan anggun, kapal-kapal pinisi konon selalu meramaikan tiap pelabuhan utama Hindia-Belanda pada masa kolonial.

Namun keistimewaan pinisi bukan hanya terdapat pada perannya dalam sejarah kelautan Indonesia. Tapi juga pada seni pembuatannya yang penuh dengan nilai dan cerita yang menarik untuk kita pelajari bersama.

Sejatinya, penyebutan pinisi sebenarnya lebih merujuk ke seni pembuatan kapal dengan jenis layarnya yang khas, yaitu memiliki dua tiang, dan tujuh layar. Ketujuh layar melambangkan tujuh samudra di dunia yang siap diarungi tiap kapal pinisi. Umumnya, panjang tiap kapal pinisi adalah 20 – 35 m, dengan bobot yang dapat mencapai ratusan ton. Seni pembuatan kapal pinisi berasal dari suku Konjo, sub-etnis suku Bugis yang mendiami bagian pesisir dari ujung selatan Pulau Sulawesi.

Sebagai suku dengan skill maritim yang melegenda, orang Bugis dikenal sebagai ahli navigasi, pelayaran, dan tentunya pembuatan perahu. Dengan kapal-kapalnya, orang-orang Bugis berlayar hingga ke daerah lain di Asia Tenggara, Australia hingga Afrika untuk merantau dan mencari peruntungan. Pinisi merupakan salah satu cerminan falsafah hidup masyarakat Bugis pesisir untuk mengembara di lautan lepas. Dengan perahu sebagai kaki untuk hidup, dan mencari penghidupan.

Legenda seputar pinisi banyak terdengar. Beberapa masyarakat setempat percaya kalau asal-usul pinisi berangkat dari cerita Sawerigading, seorang tokoh sentral dalam sastra epik Bugis Sureq Galigo yang diperkirakan ditulis antara abad 13 dan 15.

Legenda menceritakan bagaimana Sawerigading yang merantau ke negeri Tiongkok, mencoba untuk melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak kembali ke tempat asalnya di tanah Bugis. Kapalnya pun hancur diterjang badai, dan pecahan kapalnya berserakan hingga ke perairan Bulukumba. Pecahan-pecahan kapal itulah yang ditemukan warga setempat dan dijadikan sebuah kapal baru yang dikenal sebagai pinisi.

Akan tetapi, para ahli dan sejarawan memperkirakan kalau pinisi mulai ada di perairan Nusantara pada pertengahan abad 19 sebagai kapal kargo untuk perdagangan. Bentuk kapal pinisi yang seperti sekarang ini merupakan hasil dari gabungan berbagai elemen pembuatan kapal tradisional di Sulawesi, seperti sistem layar tanjaq serta lambung dasar tipe pa’dewakang atau palari. Elemen-elemen tradisional ini kemudian digabungkan dengan teknik pembuatan schooner atau sekunar yang diperkenalkan oleh orang-orang Eropa pada masa kolonial.

Travelers dapat mempelajari dan melihat langsung pembuatan kapal-kapal pinisi di Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, atau sekitar 5 – 6 jam perjalanan dari Makassar dengan kendaraan pribadi. Di wilayah pesisir ini, terdapat tiga desa yang identik dengan kesenian pinisi, yaitu Ara, Bira, dan Lemo-Lemo. Mata pencaharian utama masyarakat di ketiga desa itu adalah pembuatan kapal yang masih ditekuni hingga saat ini, salah satunya kapal pinisi.

Jelas, pembuatan tiap kapal pinisi membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit. Pemesanan satu buah kapal pinisi dapat menghabiskan ratusan juta hingga milyaran rupiah, dengan waktu pengerjaan setidaknya 4 bulan, hingga bertahun-tahun.

Ahli pembuat kapal pinisi disebut sebagai panrita lopi atau punggawa. Tidak sembarang orang dapat menjadi punggawa. Kalau bukan karena bakat dan keterampilan yang istimewa, hanya garis keturunanlah yang dapat menentukan seseorang untuk bisa menjadi seorang punggawa yang dihormati penduduk setempat. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas lahirnya sebuah kapal, punggawa dituntut untuk menguasai setiap aspek dalam pembuatan kapal pinisi, dari segi teknik maupun nilai-nilai kesakralan yang harus diperhatikan.

Tanpa desain tertulis, para punggawa merangkai kapal untuk tiap sambalu, pemesan yang mendanai pembangunan kapal. Dalam prosesnya, punggawa dibantu oleh sejumlah sawi dengan tugasnya masing-masing. Sebagai sebuah bentuk kesenian turun-temurun, tiap pembuatan pinisi disertai dengan serangkaian upacara adat dalam tiap tahap pembuatannya. Kapal merupakan ‘anak’ dari para punggawa. Dan tiap upacara mengibaratkan pinisi bagai seorang anak yang baru lahir, sehingga punggawa perlu memimpin berbagai ritual demi mendoakan keselamatannya.

Dimulai dari memilih kayu, yang biasanya dilakukan di hari ke-5 atau ke-7 dari setiap bulan karena dipercaya sebagai hari baik dan dapat mendatangkan rezeki. Kayu yang umum digunakan sebagai bahan pembuatan kapal pinisi adalah kayu besi, ulin dan pude untuk bagian fondasi kapal, dan kayu jati untuk kamar dan bagian lain yang tidak langsung terkena air laut. Upacara adat saat proses mencari kayu dikenal sebagai Anna’bang Kalabiseang, yang dilaksanakan seiring kayu yang telah dipilih sebagai lunas, jatuh ke tanah.

Sebagai fondasi utama dan tulang dari kapal, bagian lunas atau kalabiseang memegang peranan penting dan menjadi hal pertama yang diproses dalam pembangunan pinisi. Bagian yang berada di bawah kapal ini dulunya hanya terbuat dari kayu pohon bitti yang terkenal akan kekokohannya dan sering dijadikan tiang rumah penduduk setempat. Namun saat ini banyak juga pinisi yang memakai kayu besi sebagai lunasnya. Proses pemotongan dan penyatuan bagian dari lunas juga disertai dengan upacara Annattara, ritual yang melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dalam pernikahan.

Tahap selanjutnya adalah proses memasang dinding atau kulit kapal, kemudian rangka perahu yang mengikuti kulit kapal. Proses ini menjadi salah satu keunikan pembuatan pinisi dibanding kapal-kapal lain yang umumnya mendahulukan pemasangan kerangka.

Badan yang membentuk lambung kapal pun menjadi tahap berikutnya. Papan-papan kayu disatukan dengan metode sambungan layaknya susunan batu bata, yang kemudian dipasak, direkatkan, dan didempul. Badan kapal lalu ditutup dengan geladak atau deck, serta penambahan ruang-ruang kamar di atasnya.

Peluncuran kapal pinisi ke laut juga disertai upacara tolak bala, yaitu Appasili. Tahap berikutnya, para punggawa membuat pusar di tengah-tengah bagian lunas dalam upacara Ammosi Biseang. Upacara ini mengibaratkan ritual ‘pemotongan tali pusar’ pada bayi yang baru lahir.

Setelah kapal pinisi terapung di lautan, kedua tiang serta ketujuh layar yang menjadi ikon pinisi pun dipasang. Sebagai sentuhan terakhir, kapal dihias dan diisi dengan berbagai furnitur istimewa sesuai keinginan para sambalu.

Saat ini fungsi pinisi memang bukan lagi sebagai pengangkut kargo antarpulau, dan lebih banyak difungsikan sebagai kapal pesiar untuk tujuan wisata. Travelers bisa menemukan berbagai paket trip sailing atau live-on-board dengan pinisi di Teluk Jakarta, Bali, Labuan Bajo, Raja Ampat, dan lain sebagainya. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti bar atau Jacuzzi, kapal-kapal pinisi yang dibangun di bantilang atau galangan tradisional yang sederhana, mengapung di perairan biru bagai hotel bintang lima di tengah samudra. Dengan kisaran harga sewa yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per malamnya.

Meski saat ini semua kapal pinisi telah dibantu tenaga mesin, pinisi dianggap sebagai salah satu kapal layar di dunia yang masih berlayar di era modern seperti saat ini. Pada tahun 2017, UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal pinisi sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan.

Selain menjadi kebanggaan Indonesia, seni pembuatan pinisi secara tradisional yang masih bertahan di Sulawesi Selatan ini mencerminkan bagaimana ilmu pelayaran dan kelautan telah lama mengakar di darah masyarakat Nusantara. Dengan berbagai legenda dan kehebatannya menerjang ombak di atas samudra, pinisi mungkin menjadi bukti kalau benar, ‘nenek moyangku seorang pelaut.”

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Cece Chan

  • Catatan

    Pinisi semakin dikenal dunia sejak Expo Vancouver tahun 1986, saat Indonesia mengirimkan pinisi dari Jakarta menyeberangi Samudra Pasifik hingga ke Vancouver, Kanada.