Pos

Menguak Kerajaan Hindu Terakhir di Pulau Jawa

Mungkin Travelers ingat akan pelajaran sejarah di bangku sekolah dulu, bagaimana sejumlah kerajaan bercorak Hindu sempat berjaya di berbagai belahan Nusantara. Banyak dari kita yang mengagumi Mataram Kuno dengan peninggalan Borobudur dan Prambanan-nya, atau Majapahit dengan kisah Gajah Mada dan Sumpah Palapa-nya yang melegenda. Namun banyak dari kita yang tidak menyadari kalau sebenarnya masih banyak kerajaan Hindu lain yang mewarnai lintas sejarah negeri kita.

Salah satu kerajaan bercorak Hindu yang sempat berjaya di tanah Jawa adalah Kerajaan Blambangan. Walau penyebutan Bumi Blambangan kini lebih sering diasosiasikan dengan Banyuwangi saja, wilayah Kerajaan Blambangan dulu mencakup Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Saat ini situs-situs yang berkaitan dengan Kerajaan Blambangan masih tersisa di Banyuwangi. Selain menjadi tujuan wisata religi bagi umat Hindu, beberapa peninggalan sederhana ini menceritakan sejarah yang masih penuh misteri dan menarik untuk dipelajari.

Kerajaan Blambangan diperkirakan lahir di akhir abad ke-13 saat Raden Wijaya menyerahkan ‘Istana timur’ yang berpusat di Lumajang kepada Arya Wiraraja atas bantuannya mendirikan Majapahit. Istana timur inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Blambangan.

Dengan letak yang strategis di ujung timur Pulau Jawa, Blambangan berkembang sebagai persimpangan budaya, bahasa, dan agama. Walau di sisi lain, posisinya juga mendatangkan sejumlah ancaman politik dari sekitarnya.

Ketika Kesultanan Demak menaklukkan Majapahit di abad ke-16, Kerajaan Blambangan sempat berkuasa di timur Jawa. Seiring menguatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa, Kesultanan Demak (dan nantinya Kesultanan Mataram) berkali-kali menyerang Blambangan dari sebelah barat. Dari sebelah timur, kerajaan-kerajaan Bali seperti Gelgel, Buleleng, dan Mengwi, juga selalu berusaha menancapkan pengaruhnya atas Bumi Blambangan nan subur itu.

Salah satu peninggalan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi adalah Situs Kawitan yang berada di Taman Nasional Alas Purwo. Situs ini sempat terlupakan oleh peradaban. Menjadi reruntuhan yang tersembunyi jauh di belantara hutan yang juga terkenal akan keangkerannya.

Pada tahun 1967, Situs Kawitan tidak sengaja ditemukan oleh warga setempat yang sedang membuka lahan di hutan Alas Purwo. Di tempat ini ditemukan juga prasasti yang mencatat perjalanan Brawijaya, raja terakhir Majapahit, ke Alas Purwo menjelang runtuhnya Majapahit.

Di sekitar Situs Kawitan pun dibangun Pura Giri Salaka. Pura yang berdiri megah di tengah hutan Alas Purwo ini ramai dikunjungi umat Hindu terutama saat Pagerwesi, upacara yang dilaksanankan setiap 210 hari sekali untuk melindungi ilmu pengetahuan manusia dari kekuatan jahat.

Ada juga Desa Macan Putih di Kecamatan Kabat, Banyuwangi. Di desa ini ditemukan reruntuhan seperti dinding berbahan batu bata yang menyembul dari tanah. Sedari dulu, pecahan batu bata tua, keramik dan gerabah, patung hingga batu mulia juga kerap ditemukan warga setempat. Sayangnya, banyak dari temuan tersebut dijual warga ke para kolektor tanpa penelitian lebih lanjut.

Beberapa catatan Belanda menyebut bahwa dulunya terdapat lebih banyak arsitektur menarik di desa ini. Litograf De kuil van Matjan Poetih dari abad ke-19 bahkan melukiskan bangunan serupa candi berwarna putih dengan pahatan macan pernah berdiri di sekitar desa ini.

Lokasi Desa Macan Putih diyakini sempat menjadi ibukota Kerajaan Blambangan pada masa pemerintahan Prabu Tawang Alun II, yaitu mulai dari tahun 1655 hingga 1692. Prabu Tawang Alun II atau Raden Mas Kembar adalah raja yang membawa Kerajaan Blambangan ke puncak kejayaannya. Di desa ini juga dibangun pendopo kecil yang kini dikenal sebagai Situs Persemedian Tawangalun yang dipercaya sebagai petilasan terakhir dari sang prabu.

Di Kecamatan Muncar, Banyuwangi, terdapat bekas peninggalan Kerajaan Blambangan yang juga ditemukan secara tidak sengaja berkat pembukaan lahan oleh warga. Dikenal dengan nama Situs Umpak Songo, gundukan berundak dengan batu-batu berlubang ini berdiri di tengah pemukiman warga. Diduga, situs ini dulunya berfungsi sebagai balai pertemuan, sebelum terbengkalai dan dilahap oleh pepohonan serta semak belukar.

Di dekat situs ini dibangunlah Pura Agung Blambangan, tepatnya di titik dengan sumber mata air atau sumur yang dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan Blambangan. Pura yang diresmikan pada Hari Raya Kuningan tahun 1980 ini merupakan pura terbesar yang ada di Banyuwangi dan masih aktif hingga saat ini.

Terlepas dari gempuran pengaruh Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan di Bali, Kerajaan Blambangan pada akhirnya juga menjadi target serangan VOC. Sebagian wilayahnya berhasil ditaklukkan Belanda pada tahun 1767-1768. Kerajaan Blambangan yang pada saat itu berpusat di lereng Gunung Raung terus melakukan berbagai pemberontakan terhadap Belanda. Sejumlah perlawanan dipimpin oleh Wong Agung Wilis dan Pangeran Jagapati atau Mas Rempeg yang menolak kerja paksa dan berbagai kebijakan pemerintah VOC lainnya atas Bumi Blambangan.

Pertumpahan darah demi mem­pertahankan Kerajaan Blambangan terkulminasi di Perang Puputan Bayu (1771-1772). Puput memiliki arti ‘habis’, dan perang ini menjadi perang habis-habisan antara warga Blambangan melawan Belanda. Meski beberapa kali sempat memukul mundur pasukan VOC, pada akhirnya Kerajaan Blambangan jatuh sepenuhnya di tangan Belanda.

Menurut catatan Belanda, Puputan Bayu merupakan salah satu perang VOC di Nusantara yang paling menegangkan dan mengenaskan. Bahkan, populasi Blambangan pada saat itu diperkirakan merosot hingga puluhan ribu sebagai korban dari perang ini. Di Rowo Bayu, Kecamatan Songgon, saat ini terdapat Candi Puncak Agung Macan Putih yang didirikan untuk menghormati para pejuang yang gugur di Puputan Bayu.

Kemenangan Belanda dalam Perang Puputan Bayu menandakan berakhirnya kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Wilayah Blambangan pun resmi masuk ke dalam administrasi Karesidenan Basuki di bawah pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1774, pusat pemerintahan Blambangan dipindahkan ke lokasi Kota Banyuwangi saat ini. Didirikanlah Pendopo Sabha Swagata Blambangan sebagai kediaman bupati Banyuwangi pertama, yaitu Tumenggung Wiroguno I atau Mas Alit yang masih keturunan Prabu Tawang Alun. Bangunan pendopo ini masih bertahan sebagai rumah dinas bupati Banyuwangi hingga saat ini.

Meski kini mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, saat ini Banyuwangi menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan jumlah populasi umat Hindu yang signifikan selain Bali. Banyuwangi masih menyimpan sejumlah destinasi wisata religi Hindu lainnya. Mulai dari Situs Pura Beji Ananthaboga dengan kompleks pertirtaan nan asri yang berada di tengah hutan pinus di lereng Gunung Raung; hingga Pura Segara Tawangalun di Pulau Merah yang didirikan untuk mengenang Prabu Tawang Alun. Pura Segara Tawangalun juga dikenal lewat Upacara Melasti yang diadakan setiap menjelang Hari Raya Nyepi, di mana umat Hindu setempat melakukan arak-arakan di tepi Pantai Pulau Merah dengan panorama senjanya yang menawan.

Sejarah memperkenalkan kita dengan banyak cerita. Walau sederhana, peninggalan sejarah di Banyuwangi menceritakan kebesaran Kerajaan Blambangan yang berjaya bahkan beberapa ratus tahun lebih lama dari kerajaan sepupunya, Majapahit yang diagung-agungkan.

Wisata sejarah dan religi di Banyuwangi juga menambah wawasan kita akan kepahlawanan Prabu Tawang Alun, Wong Agung Wilis, Pangeran Jagapati, serta puluhan ribu rakyat Blambangan yang berjuang hingga titik darah penghabisan melawan penjajahan. Sebagai potret lain dalam keagungan nenek moyang kita yang belum sepenuhnya tergali dari permukaan tanah, maupun tercatat dalam buku-buku sejarah.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, Ayub Ardiyono

  • Catatan 1

    Kata Blambangan berasal dari kata balumbungan yang artinya ‘banyak lumbung’. Ada juga yang mengatakan asalnya dari kata bali dan ombo, yang bila digabung bermakna ‘rakyat yang banyak’. Benar saja, wilayah bekas Kerajaan Blambangan memang dikarunai kesuburan tanah dan jumlah populasi yang tinggi bahkan hingga saat ini.

  • Catatan 2

    Karena menganut kepercayaan yang sama, Kerajaan Blambangan cenderung memiliki kedekatan hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Bali. Berbagai ciri khas budaya Bali bahkan dapat ditemukan di sejumlah kesenian Blambangan yang bertahan hingga saat ini di Banyuwangi.

  • Catatan 3

    Cerita seputar Kerajaan Blambangan sendiri cukup jarang untuk dibahas. Salah satu teks tertua yang menyebut keberadaannya adalah Negarakretagama karya Mpu Prapanca yang dibuat pada 1365.


    • Lokasi : Blambangan, Muncar, Dusun Krajan, Tembokrejo, Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68472
    • Lokasi : Taman Nasional Alas Purwo, Kecamatan Tegal Delimo, Kaliagung, Kendalrejo, Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68484
    • Hubungi : (0333) 555 973

Akan Using yang Takkan Usang

Saat mendengar kata ‘desa’, hal yang mungkin terlintas di benak adalah jajaran rumah tradisional di antara asri nuansa persawahan serta senyum ramah para penduduk di tengah kesederhanaan. Sekarang, bayangkan sebuah desa dengan kemeriahan bak festival. Dengan riuh gamelan, angklung dan ragam tari-tarian serta lezatnya aneka jajanan pasar yang berbaris sepanjang jalan.

Sebagai desa wisata, Desa Kemiren di Kecamatan Glagah, Banyuwangi memang istimewa dengan berbagai aktivitas menyenangkan yang mengundang minat para wisatawan. Namun sebagai desa adat, Desa Kemiren juga menjadi penting sebagai salah satu pelestari budaya tradisional suku Using di tengah era modernisasi seperti saat ini.

Suku Using sering disebut sebagai Wong Blambangan atau Wong Banyuwangen, karena diyakini sebagai keturunan Kerajaan Blambangan yang pernah berjaya di ujung timur Pulau Jawa dengan daerah Banyuwangi sebagai pusat pemerintahannya. Sebagai etnis asli dari Banyuwangi, bahasa dan budaya Using memiliki sejumlah perbedaan dari suku Jawa pada umumnya. Kata ‘using’ sendiri berarti ‘tidak’. Penamaan tersebut diasosiasikan dengan bagaimana tertutupnya suku Using di masa kolonial yang memilih untuk hidup menjauh dari birokrasi politik Hindia-Belanda.

Konon Desa Kemiren lahir dari sekelompok masyarakat suku Using yang membentuk pemukiman di tengah hutan demi menghindari pengaruh Belanda. Hutan itu dulunya dipenuhi dengan pohon kemiri dan duren, sehingga nama ‘kemiren’ melekat sebagai nama dari tempat yang kini berkembang menjadi desa wisata yang diresmikan pada tahun 1995 oleh pemerintah setempat.

Tentunya ada banyak hal yang dapat dipelajari dari budaya dan tradisi suku Using di Desa Kemiren. Jenis rumah adat Using misalnya, dengan fungsi dan bentuk atap yang beragam seperti Tikel Balung (atap empat sisi), Baresan (tiga sisi), hingga Cerocogan (dua sisi). Rumah tradisional suku Using juga unik karena pembangunannya yang tidak menggunakan paku, sehingga memungkinkan untuk dibongkar pasang dan dipindah-pindah posisinya.

Hingga saat ini arsitektur tradisional Using masih bertahan sebagai hunian, kedai kopi, hingga galeri seni yang banyak dijumpai di Desa Kemiren. Potret kehidupan suku Using dengan nuansa etnik yang kental dapat Travelers rasakan di tiap sudut, seperti di Sanggar Genjah Arum yang menawan dengan keantikannya.

Ragam kesenian suku Using juga masih dilestarikan di Desa Kemiren secara turun temurun. Mulai dari tari-tarian seperti tari gandrung, aji jaran goyang, atau barong Kemiren, Travelers dapat menyaksikan kemegahannya atau ikut belajar menari bersama para penarinya langsung.

Ada juga kesenian musik tradisional untuk diamati, seperti angklung paglak yang dimainkan di atas gubuk setinggi 7-10 m dan berdiri di tepi sawah, atau gedhogan yang dimainkan ibu-ibu dengan cara memukulkan penumbuk padi ke lesung sehingga menghasilkan irama yang menarik.

Travelers juga dapat mempelajari batik khas Banyuwangi yang memiliki motif dan filosofinya tersendiri. Mulai dari ikut mencanting atau sekedar melihat-lihat koleksi batik masyarakat Using yang biasa menyimpannya di dalam toples-toples besar di rumah mereka.

Tidak hanya itu, Desa Kemiren yang mengetengahkan ecotourism ini juga dapat memberikan Travelers pengalaman turun ke sawah. Selain menjadi pengalaman seru dan menyenangkan, aktivitas ini cocok untuk mengajarkan anak-anak untuk lebih menghargai proses menyawah hingga dapat menghasilkan nasi di atas piring-piring mereka.

Sebagai bagian dari Banyuwangi yang juga dijuluki Kota Festival, di Desa Kemiren terdapat berbagai festival yang dapat Travelers ikuti sepanjang tahun. Seperti Festival Ngopi Sepuluh Ewu, Festival Adat Tumpeng Sewu, Ider Bumi, dan lain sebagainya.

Desa Kemiren memberikan pengalaman autentik dari sebuah desa adat yang dikembangkan secara modern lewat berbagai aktivitas pariwisatanya. Menggabungkan rekreasi dan edukasi, pariwisata di Desa Kemiren terus menunjang perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya hingga saat ini. Itu semua tanpa melepas ajaran dan tradisi leluhur yang telah ada sejak ratusan tahun lamanya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, GeorgeTimothy

  • Catatan

    Di Banyuwangi, angklung yang terbuat dari bambu dibunyikan dengan cara ditabuh. Angklung telah menjadi salah satu budaya seni tertua di Bumi Blambangan yang saat ini memiliki berbagai jenis kesenian angklung seperti angklung caruk, angklung tetak, dan angklung paglak.


  • Jl. Widuri, Dusun Kedaleman, Kemiren, Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68432

  • https://wisata.online/booking/aktivitas?client=kemiren

  • Hubungi

    0857-4911-1502

  • Jam Operasional

    Buka 24 jam setiap hari (senin – minggu)


Mahkota Kesenian Banyuwangi

Saat sinar fajar menyentuh Pulau Jawa, sebuah patung di Watu Dodol akan menjadi salah satu yang pertama menyambutnya. Berdiri anggun dan tinggi di tepi selat Bali, patung ini menggambarkan sesosok penari gandrung, sang maskot pariwisata Banyuwangi.

Dalam patung yang berdiri sejak 2004 itu tergambar berbagai pesona tari gandrung itu sendiri, dari lekuk lenggok si penari hingga kemegahan atribut yang menghias tubuhnya. Patung gandrung memang menghias berbagai sudut di Bumi Blambangan karena gandrung mengakar dalam keseharian masyarakat Banyuwangi sebagai kesenian tradisional yang lestari hingga saat ini.

Dalam Bahasa Indonesia maupun Jawa, gandrung sendiri memiliki arti ‘tergila-gila karena asmara’ atau ‘terpikat’. Dengan ayunan selendang dan mahkota emasnya, barisan penari nan ayu yang meliuk dengan mata yang menggoda memang selalu mencuri perhatian tiap penontonnya, jika bukan membuatnya tergila-gila.

Sebagai salah satu tradisi budaya Using, gandrung tidak pernah luput dipertunjukkan dalam berbagai acara di Banyuwangi, resmi maupun tidak. Gandrung menyiratkan nilai historis dan perjuangan yang dipegang oleh masyarakat Banyuwangi lewat kesenian berestetika tinggi.

Tari gandrung sebagai tarian hiburan untuk para tamu diperkirakan berkembang dari sebuah tarian spiritual khas suku Using yaitu seblang, ritual kuno untuk Dewi Sri menjelang musim panen. Ritual seblang memiliki kemiripan dengan gandrung, di mana penari seblang akan melempar selendangnya ke arah penonton. Siapapun yang dapat selendang, harus menerima ajakan untuk menari bersama penari seblang yang ‘kejimen’ atau kerasukan.

Meskipun bernuansa mistik, ritual seblang juga menjadi hiburan bagi para penontonnya, dengan penari yang kejimen kadang melakukan hal yang mengundang tawa. Elemen itu juga terdapat di tari gandrung yang sangat mengandalkan interaksi penonton. Mulai dari menari bersama penonton, penentuan gending yang akan dinyanyikan, bahkan sawer-menyawer dapat dijumpai di pertunjukan gandrung yang asli.

Cerita asal mula kesenian gandrung sendiri selalu lekat dengan cerita penjajahan Belanda atas Bumi Blambangan. Konon, gandrung merupakan tarian untuk mengecoh para penjajah. Dengan tarian yang menggoda dan suguhan minuman, para musuh yang lengah kemudian dihabisi dengan pisau yang tersembunyi di kipas para penari.

Ada juga yang berpendapat kalau gandrung awalnya ditarikan oleh sekelompok orang Using yang lari ke hutan karena tidak mau tunduk pada penjajahan Belanda. Para pelarian ini kemudian menciptakan kesenian untuk ditarikan keliling kampung, demi imbalan seperti beras dan bahan pangan lainnya untuk menyambung hidup.

Dulunya gandrung hanya ditarikan oleh remaja laki-laki. Pada akhir abad 19, ketika ajaran dan pemikiran Islam semakin kuat tertanam di masyarakat Banyuwangi, penari perempuan mulai bermunculan sehingga kini gandrung menjadi tari yang identik dengan kaum hawa saja.

Dulu bahkan penarinya hanya boleh dari keturunan penari gandrung, sebuah syarat yang juga ada dalam ritual seblang. Pengaruh upacara seblang juga terdapat di kostum penari gandrung. Omprog atau mahkota pelambang kesucian yang menjadi ciri khas gandrung merupakan pengembangan dari mahkota penari seblang.

Pertunjukan gandrung terbagi ke dalam 3 babak yang dimulai dari jejer, di mana penari memulai gandrung dengan gerakan dan nyanyian. Berlanjut ke paju atau ngibing, di mana penari memberikan selendangnya ke arah tamu untuk dapat menari bersama. Biasanya tamu pentinglah yang diajak menari terlebih dulu sebelum penonton lain. Bagian tengah ini selalu menjadi yang paling ramai dari gandrung dan umumnya berlangsung lama.

Setelah semua tamu sudah diajak menari, gandrung diakhiri dengan seblang subuh, yaitu babak perpisahan dengan pelantunan gending yang dibawakan dengan penuh penghayatan. Prosesi sakral dalam seblang subuh merupakan salah satu contoh bagaimana gandrung berkembang dari ritual seblang yang berbau spiritual. Walau saat ini, banyak gandrung yang tidak membawakan seblang subuh dalam pertunjukannya.

Musik khas suku Using yang meriah juga menjadi elemen penting dalam tiap pertunjukan gandrung. Sejumlah alat musik yang menjadi bagian dalam orkestrasi gamelan Using dapat ditemukan di pertunjukan gandrung seperti kenong, kempul, gong, biola, hingga angklung.

Lantunan gending yang merdu melengking bersahutan dengan rancaknya kendang dan riuh denting kluncing, alat musik berbentuk segitiga yang juga berfungsi sebagai penjaga tempo yang kian berganti dalam musik pengiring gandrung. Pemain kluncing biasanya juga menyahuti pertunjukan dengan banyolan dan lawakan yang menambah keceriaan dalam tiap pertunjukan gandrung.

Jenis tari hiburan seperti gandrung juga ditemukan di daerah lainnya, seperti tarian lengger dari Banyumas maupun ronggeng di Jawa Barat. Tarian dengan nama gandrung sendiri juga ditemukan di Pulau Bali dan Lombok. Di Banyuwangi sendiri, gandrung kini telah tumbuh dan berkembang menjadi beberapa versi. Meskipun dengan sejarah tari hiburan yang menyiratkan erotisme, gandrung tetap bertahan sebagai ikon budaya dan pariwisata bagi Banyuwangi.

Bila Travelers bertandang ke Banyuwangi, pastikan untuk menyaksikan kesenian yang sudah menjadi identitas masyarakatnya ini. Salah satu dari banyak agenda festival di Banyuwangi adalah Gandrung Sewu Parade yang digelar sejak 2011, di mana 1000 penari menari gandrung bersama. Pada tahun 2018, Taman Gandrung Terakota juga resmi dibuka di Banyuwangi, yang menampilkan ratusan patung penari gandrung tersebar di area persawahan yang asri.

Saat ini gandrung dicintai bukan hanya sebagai kesenian tradisional, namun juga sebagai representasi masyarakat Banyuwangi yang penuh kegembiraan dan perayaan. Selain menyimpan berbagai cerita sejarah akan perjuangan dan penolakan untuk tunduk pada penjajahan, yang dibalut dalam cantik gemulai gerakan tari gandrung.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly

Estetika Dalam Balutan Sakral

Letak geografis Banyuwangi yang berada di ujung timur Pulau Jawa memang menjadikannya istimewa. Selain dikelilingi oleh bentang alam yang megah nan indah, letak Banyuwangi juga membuatnya tumbuh sebagai melting pot dari berbagai kebudayaan yang ada di sekitarnya.

Dalam sejarahnya, budaya Jawa maupun Bali, Islam atau Hindu, meresap dalam masyarakat Banyuwangi dan terekspresikan sebagai warna-warni kesenian tradisional khasnya. Selain gandrung, Bumi Blambangan menyimpan sejumlah pesona kesenian lainnya dalam bentuk tari-tarian dan pertunjukan yang telah mengakar hingga saat ini.

Tentunya, banyak dari kesenian tradisional Banyuwangi berkaitan erat dengan budaya Using sebagai suku asli dari daerah tersebut. Seni tradisional memang sering dihubungkan dengan nilai-nilai kepercayaan atau religi.

Seperti banyak seni tradisi di Indonesia lainnya, tiap kesenian tradisional Banyuwangi juga mencerminkan kedekatan masyarakatnya dengan mistik, di mana banyak dari ekspresi seninya dianggap keramat atau setidaknya terinspirasi dari unsur-unsur kepercayaan lokal.

Tiap kesenian tradisional di Indonesia pasti memiliki cerita asal-usul dan falsafahnya tersendiri, begitu pun ragam kesenian di Banyuwangi. Tari jaran goyang misalnya. Meskipun baru dikembangkan pada tahun 1960-an oleh para penari lokal, tarian ini terinspirasi dari Aji Jaran Goyang, sebuah ilmu pelet yang dapat memikat lawan jenis hingga jadi tergila-gila. Bentuk tarian yang ditarikan oleh sepasang laki-laki dan perempuan ini memang menjadi menarik karena menceritakan tentang pasangan yang akhirnya bersatu akibat dari pelet Aji Jaran Goyang.

Unsur gerak dan elemen kostum dalam tari jaran goyang memang banyak terinspirasi dari berbagai tarian Banyuwangi lainnya seperti gandrung dan seblang. Karena sajiannya memiliki unsur drama dengan mengandalkan alur cerita, ekspresi wajah para penari juga menjadi elemen menarik dalam tarian ini. Tari jaran goyang kini telah bersanding dengan gandrung sebagai sajian kesenian utama khas Banyuwangi yang sering dipentaskan dalam berbagai acara kebudayaan setempat.

Bentuk kesenian tradisional Banyuwangi lainnya yang menarik untuk dilihat adalah barong Using atau barong Kemiren. Indonesia memang memiliki berbagai jenis barong atau barongan yang umum dijumpai di seluruh Pulau Jawa dan bahkan menjadi salah satu kesenian utama di Bali. Topeng barong di Banyuwangi memiliki rupa gabungan antara naga dan singa yang bersayap, dengan mustoko atau mahkota di bagian punggungnya dan didominasi dengan warna merah menyala.

Seperti di daerah Indonesia lainnya, barong di Banyuwangi memiliki kesakralan tersendiri sehingga keberadaannya sering dikaitkan dengan banyak ritual adat. Suku Using di Desa Kemiren percaya bahwa barong merupakan simbol tolak bala dan selalu menjadi elemen sentral dalam ritual bersih desa atau ider bumi. Barong Kemiren juga sering ditarikan bersamaan dengan tari pitik-pitikan yang menyimbolkan kemenangan, di mana dua orang dengan kostum ayam menari bagai ayam yang sedang beradu.

Meski sejarahnya kental dengan ke­per­­cayaan Hindu dan animisme, di Banyuwangi juga terdapat kesenian yang berkembang dari kebudayaan Islam seperti hadrah dan kuntulan. Tari-tarian yang dibawakan oleh sejumlah remaja perempuan ini biasanya diiringi oleh musik yang didominasi oleh rebana, seperti kesenian Melayu atau kesenian Islam lainnya di Nusantara. Awalnya hadrah dan kuntulan berkembang sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam, hal yang tergambar dalam gerak tarian yang bersimpuh seperti dalam berdoa.

Hadrah dan kuntulan yang saat ini memiliki banyak jenis di Banyuwangi biasanya juga diiringi dengan nyanyian dalam bahasa Using yang juga diselingi dengan lantunan selawat. Kuntulan juga diyakini mencerminkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan ajaran agama Islam, seperti keharmonisan antar sesama manusia serta kedekatan hubungan manusia dengan Tuhannya. Selain sebagai tari-tarian, kuntulan juga dikenal sebagai seni beladiri yang merupakan variasi dari pencak silat di Banyuwangi dan beberapa daerah lainnya di pesisir utara Pulau Jawa.

Lewat berbagai kesenian di atas, Travelers dapat melengkapi kesan dan pengalaman spesial selama berkunjung ke Banyuwangi. Menikmati pesona kesenian tradisional di Nusantara kerap menjadi momen langka di tiap perjalanan wisata. Apalagi jika berkesempatan untuk mempelajari filosofi dan sejarah dari tiap kesenian tersebut, penjelajahan di atas Bumi Nusantara tidak hanya terabadikan dalam foto dan feed Instagram. Tapi juga menjadi bagian dari diri kita sebagai warga Indonesia yang turut peduli akan identitas dan budaya bangsanya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly

  • Catatan

    Warna-warni yang terpancar dari kesenian tradisional Banyuwangi mencerminkan berbagai pengaruh budaya dari daerah lain dan melebur menjadi kekayaan budaya yang unik dan khas di Banyuwangi.

Si Maskot Demokrasi

Mendengar nama ilmiahnya saja, Bos javanicus javanicus, sudah jelas kalau hewan ini identik dengan Pulau Jawa. Tubuh yang besar dan kuat dari spesies ini juga membuatnya sering dianggap sebagai lambang keperkasaan dalam beberapa budaya di Jawa. Dulunya banteng tersebar di seluruh Pulau Jawa. Sayangnya, spesies yang terpampang di lambang negara Indonesia sebagai representasi sila keempat ini malah terancam punah. Saat ini, banteng jawa hanya tersisa di beberapa cagar alam dan taman nasional saja.

Dilihat dari genusnya, banteng jawa berkerabat dengan spesies serupa yang dapat ditemukan di Pulau Kalimantan (Bos javanicus lowi) dan banyak negara lain di Asia Tenggara seperti Myanmar, Thailand, Laos dan Kamboja (Bos javanicus birmanicus). Di pertengahan abad ke-19, banteng jawa bahkan sempat diperkenalkan ke Australia. Dikenal sebagai ‘bali cattle’ atau sapi bali, populasi banteng liar dapat dijumpai di ujung utara Australia saat ini. Di daerah lain banteng jawa juga dikenal dengan beberapa sebutan lain seperti klebo atau tembadau.

Dengan kisaran hidup yang dapat mencapai 20 tahun, rata-rata seekor banteng jantan memiliki berat sekitar 700 kg hingga 1 ton dan tinggi bahu yang dapat mencapai 1,7 m dengan panjang sekitar 2,3 m. Banteng jantan umumnya berwarna hitam kebiruan, sedangkan betinanya berwarna coklat kemerahan. Banteng jantan juga bertanduk lebih besar dan panjang dibanding betina sebagai sistem melindungi diri. Salah satu ciri fisik menarik lain yang membedakan seekor banteng dengan kerbau atau sapi terdapat di bagian kakinya yang berwarna putih, yang tampak seolah spesies ini memakai kaus kaki.

Banteng jawa adalah spesies yang hidup berkelompok, dengan tiap kelompok umumnya dipimpin oleh seekor betina dewasa. Satu kelompok biasanya berjumlah 10-12 ekor. Namun tiap kelompok juga bisa bersatu dengan kelompok lain dan membentuk kawanan yang jumlahnya dapat mencapai 40 ekor.

Umumnya, tiap banteng memilki hubungan yang cukup dekat dengan banteng lain yang berada di kelompok yang sama. Banteng jantan akan membentuk formasi pertahanan jika merasa terancam, dan melindungi para banteng betina serta anggota kelompoknya yang masih kecil. Tidak hanya pada sesama spesiesnya, banteng jawa juga dikenal bersimbiosis dengan makhluk hidup lain di sekitarnya. Bahkan beberapa banteng di taman nasional tidak menunjukkan reaksi agresif terhadap manusia.

Sifat sosial dari banteng jawa dalam berkelompok menjadikannya cerminan akan kualitas kerakyatan dan hidup berdampingan. Alasan itulah yang menjadikan kepala banteng terpilih untuk melambangkan sila keempat dari Pancasila, sila yang juga merepresentasikan semangat demokrasi sebagai bagian dari dasar ideologi negara Indonesia. Namun dengan semakin berkurangnya habitat serta masih adanya pemburuan liar, jumlah banteng jawa di alam liar kian menurun.

Saat ini pemerintah dan taman nasional terus melakukan upaya konservasi banteng jawa lewat pengelolaan habitat yang baik untuk menunjang pertumbuhan populasinya di alam liar. Hewan yang spesial ini merupakan salah satu contoh keanekaragaman hayati di Indonesia yang harus dilestarikan. Agar keberadaannya sebagai salah satu simbol Pancasila, dasar penting negara, tidak punah dan hanya menjadi dongeng untuk generasi Indonesia yang akan datang.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy