Pos

Istana di Atas Samudra

Hamparan laut yang mengelilingi Indonesia telah menyaksikan timbul tenggelamnya berbagai jenis perahu dan kapal. Dengan gaya tradisional, atau modern. Dengan fungsi kapal nelayan, dagang, atau perang.

Di antara kapal-kapal yang menghias laut Nusantara, pinisi mungkin menjadi yang paling dikenal saat ini. Dengan bentuknya yang gagah dan anggun, kapal-kapal pinisi konon selalu meramaikan tiap pelabuhan utama Hindia-Belanda pada masa kolonial.

Namun keistimewaan pinisi bukan hanya terdapat pada perannya dalam sejarah kelautan Indonesia. Tapi juga pada seni pembuatannya yang penuh dengan nilai dan cerita yang menarik untuk kita pelajari bersama.

Sejatinya, penyebutan pinisi sebenarnya lebih merujuk ke seni pembuatan kapal dengan jenis layarnya yang khas, yaitu memiliki dua tiang, dan tujuh layar. Ketujuh layar melambangkan tujuh samudra di dunia yang siap diarungi tiap kapal pinisi. Umumnya, panjang tiap kapal pinisi adalah 20 – 35 m, dengan bobot yang dapat mencapai ratusan ton. Seni pembuatan kapal pinisi berasal dari suku Konjo, sub-etnis suku Bugis yang mendiami bagian pesisir dari ujung selatan Pulau Sulawesi.

Sebagai suku dengan skill maritim yang melegenda, orang Bugis dikenal sebagai ahli navigasi, pelayaran, dan tentunya pembuatan perahu. Dengan kapal-kapalnya, orang-orang Bugis berlayar hingga ke daerah lain di Asia Tenggara, Australia hingga Afrika untuk merantau dan mencari peruntungan. Pinisi merupakan salah satu cerminan falsafah hidup masyarakat Bugis pesisir untuk mengembara di lautan lepas. Dengan perahu sebagai kaki untuk hidup, dan mencari penghidupan.

Legenda seputar pinisi banyak terdengar. Beberapa masyarakat setempat percaya kalau asal-usul pinisi berangkat dari cerita Sawerigading, seorang tokoh sentral dalam sastra epik Bugis Sureq Galigo yang diperkirakan ditulis antara abad 13 dan 15.

Legenda menceritakan bagaimana Sawerigading yang merantau ke negeri Tiongkok, mencoba untuk melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak kembali ke tempat asalnya di tanah Bugis. Kapalnya pun hancur diterjang badai, dan pecahan kapalnya berserakan hingga ke perairan Bulukumba. Pecahan-pecahan kapal itulah yang ditemukan warga setempat dan dijadikan sebuah kapal baru yang dikenal sebagai pinisi.

Akan tetapi, para ahli dan sejarawan memperkirakan kalau pinisi mulai ada di perairan Nusantara pada pertengahan abad 19 sebagai kapal kargo untuk perdagangan. Bentuk kapal pinisi yang seperti sekarang ini merupakan hasil dari gabungan berbagai elemen pembuatan kapal tradisional di Sulawesi, seperti sistem layar tanjaq serta lambung dasar tipe pa’dewakang atau palari. Elemen-elemen tradisional ini kemudian digabungkan dengan teknik pembuatan schooner atau sekunar yang diperkenalkan oleh orang-orang Eropa pada masa kolonial.

Travelers dapat mempelajari dan melihat langsung pembuatan kapal-kapal pinisi di Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, atau sekitar 5 – 6 jam perjalanan dari Makassar dengan kendaraan pribadi. Di wilayah pesisir ini, terdapat tiga desa yang identik dengan kesenian pinisi, yaitu Ara, Bira, dan Lemo-Lemo. Mata pencaharian utama masyarakat di ketiga desa itu adalah pembuatan kapal yang masih ditekuni hingga saat ini, salah satunya kapal pinisi.

Jelas, pembuatan tiap kapal pinisi membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit. Pemesanan satu buah kapal pinisi dapat menghabiskan ratusan juta hingga milyaran rupiah, dengan waktu pengerjaan setidaknya 4 bulan, hingga bertahun-tahun.

Ahli pembuat kapal pinisi disebut sebagai panrita lopi atau punggawa. Tidak sembarang orang dapat menjadi punggawa. Kalau bukan karena bakat dan keterampilan yang istimewa, hanya garis keturunanlah yang dapat menentukan seseorang untuk bisa menjadi seorang punggawa yang dihormati penduduk setempat. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas lahirnya sebuah kapal, punggawa dituntut untuk menguasai setiap aspek dalam pembuatan kapal pinisi, dari segi teknik maupun nilai-nilai kesakralan yang harus diperhatikan.

Tanpa desain tertulis, para punggawa merangkai kapal untuk tiap sambalu, pemesan yang mendanai pembangunan kapal. Dalam prosesnya, punggawa dibantu oleh sejumlah sawi dengan tugasnya masing-masing. Sebagai sebuah bentuk kesenian turun-temurun, tiap pembuatan pinisi disertai dengan serangkaian upacara adat dalam tiap tahap pembuatannya. Kapal merupakan ‘anak’ dari para punggawa. Dan tiap upacara mengibaratkan pinisi bagai seorang anak yang baru lahir, sehingga punggawa perlu memimpin berbagai ritual demi mendoakan keselamatannya.

Dimulai dari memilih kayu, yang biasanya dilakukan di hari ke-5 atau ke-7 dari setiap bulan karena dipercaya sebagai hari baik dan dapat mendatangkan rezeki. Kayu yang umum digunakan sebagai bahan pembuatan kapal pinisi adalah kayu besi, ulin dan pude untuk bagian fondasi kapal, dan kayu jati untuk kamar dan bagian lain yang tidak langsung terkena air laut. Upacara adat saat proses mencari kayu dikenal sebagai Anna’bang Kalabiseang, yang dilaksanakan seiring kayu yang telah dipilih sebagai lunas, jatuh ke tanah.

Sebagai fondasi utama dan tulang dari kapal, bagian lunas atau kalabiseang memegang peranan penting dan menjadi hal pertama yang diproses dalam pembangunan pinisi. Bagian yang berada di bawah kapal ini dulunya hanya terbuat dari kayu pohon bitti yang terkenal akan kekokohannya dan sering dijadikan tiang rumah penduduk setempat. Namun saat ini banyak juga pinisi yang memakai kayu besi sebagai lunasnya. Proses pemotongan dan penyatuan bagian dari lunas juga disertai dengan upacara Annattara, ritual yang melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dalam pernikahan.

Tahap selanjutnya adalah proses memasang dinding atau kulit kapal, kemudian rangka perahu yang mengikuti kulit kapal. Proses ini menjadi salah satu keunikan pembuatan pinisi dibanding kapal-kapal lain yang umumnya mendahulukan pemasangan kerangka.

Badan yang membentuk lambung kapal pun menjadi tahap berikutnya. Papan-papan kayu disatukan dengan metode sambungan layaknya susunan batu bata, yang kemudian dipasak, direkatkan, dan didempul. Badan kapal lalu ditutup dengan geladak atau deck, serta penambahan ruang-ruang kamar di atasnya.

Peluncuran kapal pinisi ke laut juga disertai upacara tolak bala, yaitu Appasili. Tahap berikutnya, para punggawa membuat pusar di tengah-tengah bagian lunas dalam upacara Ammosi Biseang. Upacara ini mengibaratkan ritual ‘pemotongan tali pusar’ pada bayi yang baru lahir.

Setelah kapal pinisi terapung di lautan, kedua tiang serta ketujuh layar yang menjadi ikon pinisi pun dipasang. Sebagai sentuhan terakhir, kapal dihias dan diisi dengan berbagai furnitur istimewa sesuai keinginan para sambalu.

Saat ini fungsi pinisi memang bukan lagi sebagai pengangkut kargo antarpulau, dan lebih banyak difungsikan sebagai kapal pesiar untuk tujuan wisata. Travelers bisa menemukan berbagai paket trip sailing atau live-on-board dengan pinisi di Teluk Jakarta, Bali, Labuan Bajo, Raja Ampat, dan lain sebagainya. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti bar atau Jacuzzi, kapal-kapal pinisi yang dibangun di bantilang atau galangan tradisional yang sederhana, mengapung di perairan biru bagai hotel bintang lima di tengah samudra. Dengan kisaran harga sewa yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per malamnya.

Meski saat ini semua kapal pinisi telah dibantu tenaga mesin, pinisi dianggap sebagai salah satu kapal layar di dunia yang masih berlayar di era modern seperti saat ini. Pada tahun 2017, UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal pinisi sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan.

Selain menjadi kebanggaan Indonesia, seni pembuatan pinisi secara tradisional yang masih bertahan di Sulawesi Selatan ini mencerminkan bagaimana ilmu pelayaran dan kelautan telah lama mengakar di darah masyarakat Nusantara. Dengan berbagai legenda dan kehebatannya menerjang ombak di atas samudra, pinisi mungkin menjadi bukti kalau benar, ‘nenek moyangku seorang pelaut.”

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Cece Chan

  • Catatan

    Pinisi semakin dikenal dunia sejak Expo Vancouver tahun 1986, saat Indonesia mengirimkan pinisi dari Jakarta menyeberangi Samudra Pasifik hingga ke Vancouver, Kanada.

Sepak Bola Tak Bergawang

Sekilas, mungkin permainan paraga mengingatkan Travelers akan sepak takraw di sejumlah daerah Melayu. Di mana sejumlah laki-laki bermain mengendalikan bola yang terbuat dari rotan dengan kaki mereka. Hanya saja, permainan khas Bugis dan Makassar ini memiliki sejumlah ciri khas yang menonjol. Sehingga permainan ini sering dikategorikan lebih dari sebatas olahraga atau permainan tradisional saja, tapi juga sebuah bentuk kesenian yang sarat akan nilai-nilai tradisi.

Menurut naskah-naskah lontara, paraga (sering juga disebut a’raga atau ma’raga) telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar setidaknya sejak zaman Kerajaan Gowa – Tallo. Bahkan ada yang menyebut bahwa paraga pertama kali dimainkan pada masa To Manurung, sosok yang diyakini sebagai raja Gowa pertama.

Awalnya paraga hanya dimainkan oleh kaum bangsawan dan dipertunjukkan pada saat acara tertentu saja, seperti penobatan raja atau penerimaan tamu-tamu istimewa. Seiring waktu, paraga berkembang menjadi permainan rakyat yang juga digemari masyarakat umum, bahkan menjadi ajang ketangkasan dan kejantanan tiap bujang yang ingin menarik hati para gadis pujaannya. Di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, paraga juga menjadi salah satu media komunikasi selama penyebaran agama Islam.

Paraga dimainkan oleh 5-15 orang dan umumnya oleh kaum adam saja. Pemain paraga harus mengenakan pakaian tradisional Bugis – Makassar, lengkap dengan passapu atau destar khas daerah setempat yang menjadi salah satu elemen penting dari permainan ini. Paraga biasanya juga diiringi dengan pemain musik. Alat musik tradisional seperti gong, gendang, pui-pui dan calung-calung kerap meramaikan atraksi ini.

Bola raga yang terbuat dari anyaman rotan menjadi atribut utama dari paraga. Dengan kaki, tangan, dan kepala, para pemain memainkan bola raga dan mengendalikannya agar tidak jatuh ke tanah. Bola raga juga dimainkan dalam berbagai posisi. Mulai dari berdiri, duduk di tanah, posisi jongkok maupun rebah. Para pemain juga bisa men-juggle bola raga di tangan, lengan atau bahu mereka. Bahkan para pemain juga bisa menangkap dan menahan bola raga di kepala dengan bantuan passapu.

Biasanya para pemain akan membentuk formasi lingkaran dan memegang kendali bola raga secara bergantian. Tiap pemain akan mendapat kesempatannya masing-masing, mereka tidak boleh merebut bola dan harus menunggu giliran untuk dioper. Peraturan ini merupakan sebuah cerminan nilai tradisional akan pembagian peran dalam kehidupan sehari-hari. Saat mengendalikan dan mengoper bola raga, para pemain paraga juga menyelingi gerakan-gerakan seperti tarian yang mengikuti irama musik yang ada.

Salah satu hal menarik dari paraga sebagai atraksi yang mengundang penonton terdapat di sejumlah formasi yang para pemain bentuk. Ada beberapa jenis formasi ‘menara’, di mana para pemain saling mengangkat atau appanca dalam bahasa setempat. Susunan formasi menara dapat terdiri dari 6 orang, dan orang yang berada di puncak formasilah yang mengendalikan bola raga dengan tangkasnya. Formasi menara ini dipercaya mencerminkan nilai gotong-royong dalam budaya Bugis – Makassar.

Meski sudah berusia ratusan tahun, semangat masyarakat setempat untuk melestarikan paraga masih dapat terlihat, dengan generasi tua dan muda yang bermain bersama. Paraga memang mengandung nilai-nilai tradisional Bugis dan Makassar yang telah ada sejak zaman kerajaan terdahulu. Meski dalam sejarahnya, paraga terus beralih fungsi, diawali dari kegiatan kerajaan yang berkembang menjadi permainan tradisional, kini paraga dirayakan sebagai salah satu atraksi yang turut mewarnai ragam budaya di Indonesia.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Rezki Sugiarto Nurdin

Raungan Sang Dewa Angin

Gunung Raung adalah stratovolcano atau gunung api kerucut yang terbaring di antara tiga kabupaten di Jawa Timur: Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi. Gunung api dengan empat puncak ini menjulang sebagai titik tertinggi di rantai Pegunungan Ijen. Ketinggiannya bahkan membuatnya terlihat dari beberapa bagian di Pulau Bali.

Dengan letusan terakhirnya di tahun 2015 silam, Gunung Raung memang termasuk ke dalam daftar gunung api yang paling aktif di Nusantara. Bahkan dalam sejarahnya, tidak jarang gunung ini ‘meraungkan’ kedahsyatannya hingga memakan korban jiwa.

Gunung Raung yang juga menjadi salah satu gunung tertinggi di Jawa Timur ini berdiri sebagai kekayaan alam dengan potensi wisata yang menawarkan pesona keindahan berikut tantangannya tersendiri. Pendakian Gunung Raung mengundang minat para petualang dan pecinta alam dari seluruh Indonesia, walau pendakiannya juga disebut sebagai salah satu pendakian gunung yang paling ekstrem di Pulau Jawa.

Petualangan mendaki Gunung Raung dapat ditempuh lewat dua jalur pendakian yaitu jalur Sumber Waringin via Bondowoso atau Kalibiru via Banyuwangi. Pendakiannya rata-rata membutuhkan waktu 3-5 hari. Seperti aktivitas pendakian gunung lainnya, seluruh pendaki diharuskan untuk menyiapkan surat keterangan sehat, mendaftar dan membayar tarif terlebih dahulu. Para pendaki juga disarankan untuk menyewa jasa porter untuk memandu, mempermudah dan membantu menjaga keselamatan selama pendakian, mengingat beratnya medan yang akan ditempuh selama pendakian.

Travelers akan melewati sejumlah pos pendakian yang memiliki nama yang unik serta cerita yang seru dibalik penamaannya. Dan seperti banyak bentang alam lain di seluruh Indonesia, Gunung Raung tentu tidak lepas dari sejumlah mitos dan cerita yang berbau mistik. Sebut saja Pos Pondok Demit, yang menurut mitos setempat merupakan pasar bagi para makhluk gaib.

Ada juga Pos Mayit, yang konon pada zaman penjajahan sempat ditemukan jenazah seorang Belanda yang tergantung di salah satu pohonnya. Pos Angin, salah satu pos terakhir sebelum menuju puncak, dipercaya sebagai bekas lokasi Kerajaan Macan Putih yang misterius dan menyimpan gerbang rahasia menuju dimensi lain.

Puncak Sejati sebagai titik tertinggi dari Gunung Raung memang menawarkan panorama istimewa akan kaldera keringnya. Bagai mulut raksasa yang menganga dan terus mengeluarkan asap putih serta gemuruh suara yang mengagumkan. Untuk mencapainya dibutuhkan pemahaman serta perlengkapan climbing.

Puncak Gunung Raung memang dipenuhi bongkahan batu-batu besar yang berserakan dan menjadi panorama yang mencolok. Pengalaman memuncak di Gunung Raung akan dipenuhi dengan tantangan memanjat batu hingga menelusuri jalan kecil dengan jurang nan curam di kanan dan kirinya.

Di puncak, kuatnya hembusan angin memang terdengar bagai raungan sang dewa di telinga. Angin yang bertiup amat kencang kadang mengharuskan pendaki untuk duduk agar tidak kehilangan keseimbangan hingga terjatuh ke dasar jurang.

Gunung Raung senantiasa menarik minat banyak para petualang pemberani untuk bisa menginjakkan kaki di puncaknya. Selain kesiapan yang matang dan fisik yang memungkinkan, menaklukkan Gunung Raung hingga puncak tertingginya jelas membutuhkan tekad, kalau bukan kenekatan. Para pendaki juga harus memiliki konsentrasi dan kewaspadaan penuh selama proses memuncak.

Hanya jerih payah, niat dan keberanian para pendakilah yang dapat menikmati pesona dari Puncak Sejati. Dengan megahnya view kaldera kering terbesar kedua di Indonesia, sambil menghirup nafas segar di antara angin puncak yang bertiup kencang.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Rizal Agustin

Semakin Mudah Menuju Kaldera

Sebutan kawah memberikan kesan yang mendalam ketika berkunjung ke Kawah Ijen. Kawah Ijen merupakan danau kawah yang bersifat asam yang berada di Gunung Ijen. Ijen memiliki ketinggian 2.386 mdpl dengan luas kawah 5.466 ha disertai dengan kedalaman kawah yaitu 200 m.

Dimulai dari pukul 01:00 WIB, area parkir yang berada di bawah kaki Gunung Ijen sudah dipadati oleh kendaraan bermotor yang mengantarkan wisatawan domestik maupun mancanegara. Pendakian yang diawali dengan dataran yang landai melewati barisan pepohonan, kemudian mulai menanjak di pertengahan, lalu jalur mulai berliku nan landai turut menghantar pengunjung hingga ke kaldera.

Aroma belerang serta pijakan berbatu menjadi pertanda bahwa pengunjung sudah tiba di bibir Kawah Ijen. Masing-masing pengunjung sudah diberikan masker khusus yang harus dipakai selama berada di kawasan Kawah Ijen. Masker ini diberikan sebagai antisipasi agar pengunjung terhindar dari bahaya gas beracun.

Medan pendakian di Ijen tergolong mudah meskipun bagi pendaki pemula. Jadi Travelers tidak perlu khawatir jika baru pertama kali ingin mencoba naik gunung, Ijen bisa menjadi salah satu pilihannya. Waktu terbaik untuk mengunjungi Ijen yaitu pada saat musim kemarau yakni di bulan Juli-September. Dikarenakan, kontur medan pendakian saat musim kemarau lebih kering sehingga lebih aman untuk dilalui.

Selain itu jika datang pada musim kemarau, para pengunjung akan menikmati fenomena keindahan blue fire yang hanya terdapat di dua tempat di dunia. Blue fire yang pertama berada di Islandia, sedangkan yang kedua berada di Ijen.

Blue fire terbentuk karena adanya reaksi dari gas bumi yang berasal dari kawah bertemu dengan suhu udara di Ijen yang dapat menembus hingga lebih dari 200°C sehingga membentuk kepulan asap yang mengeluarkan warna biru. Waktu yang tepat untuk melihat blue fire ialah sekitar pukul 02:00-04:00 WIB. Pastikan Travelers sudah berada di bibir kawah sebelum pukul 02:00 WIB sehingga tidak melewatkan fenomena alam vulkanologi itu.

Jelang fajar, sinar mentari pagi yang begitu hangat mulai melawan hawa dingin yang ada di Kawah Ijen. Semakin tampak dinding bongkahan belerang berwarna kuning muda yang cantik selaras dengan warna toska yang dipancarkan danau Ijen.

Melalui bukunya yang berjudul À l’assaut des volcans, Islande, Indonésie pada tahun 1975, Maurice Kraft dan Katia Kraft memperkenalkan Ijen ke dunia internasional khususnya Eropa. Tidak heran jika banyak wisatawan mancanegara yang datang ke Ijen berasal dari Eropa khususnya dari Perancis.

Kawah Ijen terletak di perbatasan, sehingga untuk menuju ke sana bisa menggunakan dua rute yaitu Banyuwangi dan Bondowoso. Para pengunjung lebih banyak yang memilih rute Banyuwangi karena jaraknya lebih dekat dibandingkan dengan rute Bondowoso. Tetapi jika Travelers memilih rute Bondowoso, keuntungannya ialah wisatawan bisa melewati beberapa destinasi lainnya seperti pemandian air panas Blawan, agrowisata kopi, Bukit Megasari dan Kawah Wurung.

Perjalanan menuju Kawah Ijen dari pintu masuk Pos Paltuding menghabiskan waktu 1-3 jam tergantung dari kemampuan masing-masing pendaki. Harga tiket masuk bagi wisatawan domestik per orang yaitu Rp 5.000 (hari biasa) dan Rp 7.500 (hari libur). Sedangkan untuk wisatawan mancanegara yaitu Rp 100.000 (hari biasa) dan Rp 150.000 (hari libur).

Penginapan yang berada di sekitar Ijen pun beragam, dari hostel, hotel maupun resort. Kisaran harga penginapan dimulai dari Rp 80.000 – Rp 1.000.000/malam. Dikarenakan sering terjadinya kecelakaan di sepanjang jalan menuju Kawah Ijen, pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menghimbau agar pengunjung tidak menggunakan sepeda motor matic saat berkunjung ke Kawah Ijen.

Kabar baiknya, pemerintah menyediakan angkutan gratis menuju kawasan wisata Banyuwangi seperti Kawah Ijen, Taman Nasional Baluran, Pantai Pulau Merah dan Wisata Alam Glenmore. Wisatawan dapat mendaftar ke www.banyuwangitourism/jalanjalan.com untuk mendapatkan tiket angkutan gratis. Tiket gratis ini hanya berlaku untuk angkutan kendaraan saja, sedangkan tiket masuk wisata dan konsumsi ditanggung oleh masing-masing wisatawan.

Aksesnya yang bisa dilalui dari Pelabuhan Ketapang, memungkinkan para wisatawan yang sedang berlibur di Bali juga kerap kali mengunjungi Kawah Ijen sebagai salah satu tujuan destinasi di Banyuwangi. Beberapa penginapan di sekitar Ijen dan Banyuwangi pun sudah bekerja sama dengan tur perjalanan setempat yang mengantar pengunjung ke Kawah Ijen. Jadi Travelers tidak perlu khawatir mencari tur ke Kawah Ijen. Paket yang ditawarkan juga beragam, dari mulai paket yang sudah termasuk dengan pemandu lokal sampai dengan paket yang sudah termasuk makan siang.

Pada dasarnya, sekarang ini akses menuju Ijen sudah semakin membaik. Beberapa agen perjalanan pun sudah membuka open trip, group trip dan private trip ke sana. Jika sudah berada di dalam kota Banyuwangi, bisa melanjutkan dengan menyewa mobil hingga ke desa terdekat di Ijen seperti Desa Licin ataupun Desa Glagah.

Pihak penginapan biasanya menyediakan penjemputan dari/ke bandara, stasiun maupun pelabuhan dengan biaya tambahan yang masih terjangkau. Bahkan beberapa penginapan di antaranya sudah menyediakan fasilitas tersebut secara gratis. Jika Travelers memilih untuk menggunakan pesawat, silahkan memilih untuk turun di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi. Tapi jika menggunakan kereta api, Travelers bisa memilih tujuan pemberhentian di Stasiun Karang Asem.

Selain bisa menikmati sunrise dari puncak Ijen, pengunjung bisa melihat sejumlah gunung seperti Gunung Merapi, Gunung Raung, Gunung Suket, Gunung Meranti dan Gunung Rante. Di samping menjadi destinasi wisata, Ijen merupakan tempat mata pencaharian bagi para penambang belerang.

Dalam satu hari, penambang belerang dapat mengangkut belerang sekitar 100 kg. Penambang menghabiskan 9-12 jam dalam sehari untuk membawa belerang dari Ijen menembus asap belerang di kawah Ijen. Tidak heran jika kita hendak trekking turun kembali, pasti akan berpapasan dengan para penambang belerang yang mengangkut belerang. Jika pada saat trekking naik, kita tidak bisa melihat apa-apa karena gelap, lain halnya saat kita hendak turun. Mata Travelers akan langsung dimanjakan oleh hamparan hijau pepohonan yang membentang di sepanjang perjalanan.

Sejak maraknya media sosial, pengunjung Kawah Ijen pun meningkat setiap harinya. PT Angkasa Pura mencatat adanya kenaikan jumlah penumpang di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi sebanyak 92% selama tahun 2018. Maka dari itu rencananya di tahun 2019 ini, sistem pemesanan tiket akan diberlakukan secara online demi mencegah jumlah pengunjung yang membeludak.

Cara pemesanan menyerupai pemesanan tiket kereta ataupun pesawat seperti biasanya. Apabila dalam satu hari kuota sudah terpenuhi, calon pengunjung bisa memilih berkunjung di hari lainnya. Saat ini, Kawah Ijen sudah memberlakukan penutupan setiap hari Jumat di minggu pertama setiap bulan. Diharapkan dengan adanya penerapan sistem online dan penutupan reguler setiap awal bulan ini, keindahan serta kebersihan Kawah Ijen akan semakin terjaga dengan baik.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy, Adipati Dolken, Valentin Geiß

  • Catatan

    Pendakian ke Kawah Ijen biasanya dimulai di tengah malam agar dapat menyaksikan blue fire saat dini hari, waktu terbaik untuk mengamati fenomena alam yang langka ini.


Tenteram Teduh Trembesi

Hutan memang selalu menjadi bagian dari keindahan panorama Nusantara dengan berbagai jenis flora yang menarik lagi cantik untuk diamati. Apalagi sebagai Zamrud Khatulistiwa. Dengan kombinasi tanah vulkanik, hembusan angin laut, dan sinar matahari tropisnya, Indonesia mampu menunjang begitu banyak jenis kehidupan. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia terpancar di De Djawatan dengan pohon-pohon trembesinya yang mengundang khayal kita karena bentuknya yang unik.

Di Pulau Jawa ada beberapa hutan yang berada di bawah pengawasan Perhutani, salah satunya ialah Hutan De Djawatan. Djawatan menjadi rumah bagi rimbunan pohon trembesi yang hidup di dalamnya. Memiliki nama binomial yaitu Albizia saman, pohon trembesi berkemampuan untuk menyerap air tanah yang kuat. Pohon hujan, ki hujan atau trembesi merupakan pohon besar yang terkenal sebagai pohon peneduh.

Terletak di Desa Benculuk, Kecamatan Cluring, yang berjarak 45 km atau sekitar 1 jam dari kota Banyuwangi. Hadirnya Djawatan, menambah makin besarnya potensi wisata yang ada di Banyuwangi. Konon Djawatan dikenal dengan nama Tapal Pelas (TP) yang berfungsi sebagai tempat penimbunan kayu berkualitas. Lalu sempat terlupakan karena adanya penjarahan kayu jati besar-besaran pada tahun 1970. Tetapi sekarang, Djawatan telah menjadi salah satu destinasi wisata yang sayang untuk dilewatkan.

Sinar fajar yang lembut di pagi hari menembus ranting-ranting kokoh pohon trembesi turut menyambut kedatangan Travelers di Djawatan. Dilihat dari volume yang ada, diperkirakan pohon-pohon trembesi ini telah berusia selama ratusan tahun.

Djawatan yang disinyalir mirip dengan Hutan Fangorn yang ada di film The Lord of The Rings, menjadi destinasi baru bagi wisatawan khususnya para fotografer. Tidak hanya untuk mengambil gambar panorama semata, beberapa juga mengabadikan momen pre-wedding di sini atau sekedar foto bersama pasangan, teman dan keluarga.

Tekstur ranting yang seakan menari dengan gerakan yang dinamis, menyisakan sedikit ruang untuk masuknya sinar matahari menjadi pelengkap lanskap yang mengagumkan. Akses yang mudah dijangkau karena masih berada di dekat perkotaan menjadi alasan yang tepat untuk berkunjung.

Jika Travelers berasal dari luar kota, pilihan transportasi umum yang mudah dijangkau ialah dengan menggunakan kereta api. Travelers bisa memilih untuk turun di dua stasiun yakni Stasiun Rogojampi dan Stasiun Banyuwangi. Dari dua stasiun tersebut, Travelers bisa menggunakan angkutan umum untuk menuju pertigaan lampu merah Benculuk dengan biaya Rp 20.000. Setelah sampai di pertigaan, Travelers bisa melanjutkan hanya dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 100 meter menuju pintu masuk Djawatan.

Fasilitas seperti lapangan sepak bola, voli, karate, lapangan tenis, musala, kantin dan toilet pun sudah tersedia. Cukup dengan membeli tiket masuk Rp 3.000/orang, tiket parkir Rp 2.000/orang, Travelers sudah bisa menikmati lanskap pohon trembesi yang eksotik dilengkapi dengan harmonisasi suara burung yang bersahutan.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy