Pos

Di Mana Pusaka Bermuara

Indonesia tentu memiliki daftar panjang akan benda pusaka yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Mulai dari mahkota yang pernah bersandar di atas kepala raja-raja, keris dan pedang berhiaskan emas permata, hingga pahatan dengan detail mengagumkan pada lukisan batu dari era megalitikum.

Semua benda pusaka menceritakan kehidupan manusia dan kebudayaan yang membentuknya, dengan ragam rupa dan warna yang mencerminkan kebinekaan Indonesia. Dan saat ini, tidak ada tempat yang lebih menyeluruh untuk mengenal dan mempelajari ribuan pusaka Nusantara selain di Museum Nasional Indonesia.

Museum Nasional Indonesia terletak di jantung kota Jakarta, tepatnya di wilayah Medan Merdeka yang telah tumbuh menjadi area strategis bahkan sejak zaman Hindia-Belanda. Dengan jumlah koleksi yang saat ini mencapai lebih dari 140.000 objek, museum yang berdiri di area seluas 26.500 m2 ini merupakan salah satu museum terbesar di Asia Tenggara dan salah satu museum tertua di Asia.

Sejarah Museum Nasional Indonesia dimulai pada abad ke-18, saat Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment) menyelimuti Belanda dan seluruh Eropa dengan revolusi intelektual dan semangat akan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1778, orang-orang Belanda di Batavia membentuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga yang fokus terhadap penelitian akan seni dan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda. Dengan moto “Ten Nutte van het Algemeen”, lembaga ini bertekad untuk bergerak demi kepentingan masyarakat umum.

Patung karya Nyoman Nuarta

Patung karya Nyoman Nuarta yang menyimbolkan arus perjuangan ini menjadi salah satu ikon dari Museum

Bataviaasch Genootschap pun aktif mengumpulkan berbagai artefak budaya maupun peninggalan bersejarah di sekitar Hindia-Belanda. Meski hanya diawali dengan sumbangan dari koleksi pribadi JCM Radermacher sebagai salah satu pendiri lembaga, koleksi Bataviaasch Genootschap terus bertambah seiring berjalannya waktu.

Hingga pada tahun 1862, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan gedung baru untuk menampung koleksi yang telah mencapai ribuan. Gedung yang resmi dibuka untuk umum pada tahun 1868 itu masih dipakai hingga saat ini sebagai bagian dari Museum Nasional Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, koleksi Bataviaasch Genotschap yang terkumpul selama ratusan tahun dipercayakan kepada Museum Nasional Indonesia dan Perpustakaan Nasional. Sejak itu, Museum Nasional Indonesia memegang peranan penting sebagai salah satu penjahit identitas bangsa lewat koleksinya.

Tidak hanya benda pusaka atau benda bersejarah saja, berbagai instrumen budaya seperti kerajinan, alat musik dan rumah tradisional dengan jenis yang begitu beragam dari seluruh penjuru Indonesia juga dapat dipelajari di museum ini.

Selain dari gedung asli yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda, area museum juga terus mengalami perluasan dan revitalisasi. Koleksi museum di Gedung Gajah terbagi dalam 7 jenis: Arkeologi, Etnografi, Geografi, Keramik, Numesmatik & Heladrik, Prasejarah dan Sejarah. Sedangkan jenis koleksi di Gedung Arca mencakup Manusia & Lingkungan, Ilmu Pengetahuan, Ekonomi dan Teknologi, Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman, serta Koleksi Emas dan Keramik Asing.

Koleksi museum juga kian bertambah lewat sejumlah temuan arkeologi terkini. Pengembalian 1,500 benda bersejarah Indonesia oleh Kerajaan Belanda baru-baru ini juga menambah daftar koleksi di Museum Nasional, dan akan mulai dipamerkan ke publik di pertengahan 2020 mendatang.

Taman Arca

Taman Arca, Museum Nasional Indonesia

Bagian dari museum lainnya yang ikonik adalah Taman Arca yang menampung jajaran arca dalam berbagai bentuk dan ukuran, serta dari tempat dan waktu pembuatan yang juga bervariasi. Salah satu arca yang menonjol adalah Arca Bhairawa yang ditemukan di Sumatra Barat dan menjulang setinggi 4,4 m.

Selain Taman Arca, di area museum terdapat juga Taman Sanken yang kerap menjadi tempat diselenggarakannya berbagai kegiatan museum. Museum Nasional Indonesia banyak mengadakan aktivitas edukasi seperti seminar, diskusi, pameran, pementasan maupun kelas-kelas kesenian tradisional yang terbuka bagi umum.

Arca Bhairawa

Arca Bhairawa yang ditemukan di Sumatra Barat

Hampir setiap negara di dunia memiliki museum nasionalnya sendiri sebagai rumah bagi sejumlah national treasure dan jendela bagi identitas bangsa dan negaranya. Museum Nasional Indonesia memaparkan berbagai cerita kehidupan dalam seluruh lintas sejarah manusia di Indonesia, menjembatani generasi mendatang dengan nenek moyangnya lewat berbagai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan yang terwariskan dalam tiap pusaka. Dan lewat koleksinya yang begitu beragam, Museum Nasional Indonesia adalah presentasi istimewa dari kemajemukan Indonesia yang patut untuk dibanggakan.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramdhani, Nelce Muaya

  • Jl. Medan Merdeka Barat No.12, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110

  • Hubungi

    (021) 3868172

  • Jam Operasional

    Buka hari Selasa – Jumat (pukul 08.00 – 16.00 WIB) dan hari Sabtu – Minggu (pukul 08.00 – 17.00 WIB)


Merindu Batavia

Sebagai ibu kota, kota terbesar dan terpadat di Indonesia saat ini, tiap sudut di Jakarta penuh dengan sejarah dan cerita yang membentuk Indonesia. Riwayat Jakarta sendiri dimulai ratusan tahun sebelum Indonesia lahir. Prasasti Tugu yang ditemukan di Koja, Jakarta Utara membuktikan bahwa daerah ini telah ramai sejak abad ke-5 M sebagai pelabuhan Kerajaan Tarumanegara.

Berabad-abad setelahnya, berbagai kekuatan politik silih berganti meninggalkan jejaknya di daerah ini. Namun wujud yang berperan besar dalam pembentukan kerangka Jakarta sebagai kota modern adalah bangsa Belanda lewat VOC dan masa pendudukannya atas Nusantara, yang di masa kolonial dikenal sebagai Hindia-Belanda.

VOC atau Verenigde Oostindiche Compagnie adalah kongsi dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602. VOC lahir dalam semangat Abad Penjelajahan (Age of Discovery) yang tengah melanda bangsa Eropa untuk berlomba-lomba menjelajah dunia. Demi menemukan sumber kekayaan baru, atau kejayaan atas bangsa lain.

Di awal abad ke-17, Jayakarta adalah kota pelabuhan yang ramai berkat perdagangan rempah. VOC meliriknya sebagai lokasi yang tepat untuk membangun sebuah koloni. Lewat sejumlah kesepakatan dan kekerasan, VOC berhasil menyingkirkan berbagai pesaingnya di atas Jayakarta. Dan nama baru untuk kota ini pun diresmikan pada 1621: Batavia.

Batavia dirancang sebagai markas besar VOC yang berambisi untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara. Gedung-gedung pun didirikan, kanal-kanal digali, dan jalan-jalan dibentangkan. Saat ini, lebih dari 350 tahun kemudian, masih banyak bangunan peninggalan VOC yang tersisa di Jakarta. Setiap bangunan kolonial ini memiliki pesonanya tersendiri lewat arsitektur khas Eropa yang mencolok. Meski banyak yang tidak dibuka untuk umum, ada juga beberapa bangunan peninggalan yang dialihfungsikan sebagai tempat rekreasi dan akan menjadi tujuan yang tepat bagi Travelers pecinta wisata sejarah.

Salah satu peninggalan kolonial yang paling terkenal adalah kawasan Kota Tua Jakarta yang mulai dikembangkan sejak berdirinya Batavia. Deret bangunan buatan Belanda yang masih berdiri membuat suasana kolonial masih sangat kental di sini.

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Kawasan Kota Tua berpusat pada Taman Fatahillah dan Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah yang dulunya berfungsi sebagai balai kota Batavia. Bangunan yang dulu dikenal sebagai Stadhuis ini dibangun pada tahun 1627, namun direnovasi pada tahun 1710 ke bentuk seperti sekarang dengan desain yang terinspirasi dari istana Kerajaan Belanda di Amsterdam. Sesuai namanya, saat ini Museum Sejarah Jakarta menjadi sarana edukasi tentang sejarah Jakarta yang komprehensif.

Masih di Kawasan Kota Tua, Museum Seni Rupa dan Keramik juga tak kalah menarik untuk dikunjungi. Gedung yang kini menjadi rumah bagi banyak lukisan dari berbagai maestro tanah air ini dulunya berfungsi sebagai Dewan Pengadilan Tinggi Batavia dan dibangun pada tahun 1870.

Museum Seni Rupa dan Keramik

Museum Seni Rupa dan Keramik

Ada juga Museum Wayang yang memamerkan koleksi berbagai jenis wayang dari seluruh Indonesia. Gedung Museum Wayang sendiri dibangun pada 1640 sebagai gereja, sehingga di areal museum masih terdapat batu nisan dari Jan Pieterszoon Coen, Gubernur-Jenderal VOC dan salah satu pencetus Batavia. Setelah puas mengelilingi Kota Tua, sempatkan untuk singgah di Café Batavia yang telah berdiri sejak 1830 dan terkenal karena desain interiornya yang iconic.

Batavia berkembang pesat sebagai pusat perdagangan yang sejahtera. Dengan deretan vila di tepi kanal yang dikelilingi rimbun hijau pepohonan tropis khas Nusantara, kota kecil ini sempat dijuluki ‘The Jewel of Asia’ karena keelokannya. VOC pun semakin dikenal dunia sebagai kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang patut diperhitungkan. Namun seiring VOC terus memperluas kekuasaan ke berbagai daerah di Nusantara, Batavia pun, sebagai salah satu kota pelabuhan tersukses di dunia pada saat itu, menjadi semakin padat dan bertambah besar.

Di pertengahan abad ke-18, dengan populasi yang terus bertambah dan sanitasi yang kurang baik di pusat kota, pembangunan di Batavia merambah hingga ke luar benteng Kota Tua. Daerah Weltevreden (kini menjadi Sawah Besar) pun lahir. Salah satu jejak kolonial yang tersisa di daerah ini adalah Gedung Arsip Nasional yang didirikan pada tahun 1760 sebagai kediaman Reiner de Klerk, salah satu gubernur jenderal VOC. Pada tahun 1797, areal permakaman juga dibangun di sekitar Weltevreden, seiring dengan mewabahnya malaria yang memakan begitu banyak korban, terutama di kalangan orang Eropa. Konon, korban yang begitu banyak juga sempat membuat Batavia dijuluki ‘The Cemetery of European’. Areal permakaman itulah yang kini dikenal sebagai Museum Taman Prasasti, salah satu areal permakaman modern tertua di dunia.

Cafe Batavia

Cafe Batavia

Di akhir abad ke-18, VOC mengalami kemunduruan. Secara eksternal, berbagai perang yang berkecamuk di Eropa dan perlawanan sejumlah kerajaan di Nusantara sendiri menggoyahkan perekonomian Belanda. Korupsi besar-besaran dalam internal kompeni juga memperburuk keadaan, sehingga VOC tak mampu lagi bersaing dengan kompetitornya dan menjadi bangkrut. Pada tahun 1800, VOC resmi dibubarkan. Seluruh aset kolonialnya dipindahkan ke tangan Kerajaan Belanda, termasuk seluruh bagian dari Hindia-Belanda. Dan Batavia, tentunya.

Batavia pun memasuki era baru dengan datangnya abad ke-19. Tiap bangunan dari era ini dapat ditandai lewat gaya arsitektur Indies Empire, yaitu gaya Neoklasikisme Eropa yang beratap tinggi untuk menyesuaikan iklim tropis Hindia-Belanda. Seperti dalam desain Paleis te Rijswijk, istana megah yang selesai dibangun pada 1804 sebagai kediaman gubernur – jenderal dan pusat segala aktivitas pemerintahan Hindia-Belanda.

Kegiatan administrasi yang semakin kompleks dan membutuhkan lebih banyak ruang membuat tercetusnya pembangunan istana baru. Paleis te Koningsplein pun berdiri pada tahun 1873. Kedua istana ini kini dikenal sebagai Istana Negara & Istana Merdeka, bagian dari istana kepresidenan serta pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Istana Negara Jakarta

Istana Negara Jakarta

Pusat kota pun berpindah ke sekitar istana gubernur – jenderal yang baru, yang sekarang menjadi kawasan Gambir dan sekitarnya. Selain aktivitas pemerintahan, Kawasan ini juga difokuskan untuk menjadi pusat pelatihan militer dan pemukiman kaum elite Batavia. Sarana hiburan dalam bentuk gedung teater mulai dibangun pada tahun 1814 oleh Stamford Raffles saat pendudukan singkat Inggris di Batavia.

Setelah Batavia kembali ke tangan Belanda, gedung yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta itu direnovasi ke bentuk yang seperti sekarang. Ada juga Witte Huis yang dibangun pada 1828 sebagai kediaman pribadi Herman Willem Daendels dan kini menjadi bagian dari kompleks Kementrian Keuangan. Salah satu gereja tertua di Indonesia, Gereja Immanuel, juga didirikan di kawasan ini di tahun 1839.

Di penghujung abad ke-19, dunia berkembang pesat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai penemuan teknologi. Kehidupan di Batavia pun kian modern dengan pergerakan zaman. Trem mulai menghubungkan berbagai wilayah dalam kota Batavia pada 1869 dan tenaga listrik mulai menerangi Batavia sejak 1897. Saat itu wilayah Hindia-Belanda hampir mencakup keseluruhan wilayah Indonesia saat ini. Dan sebagai ibu kota, populasi Batavia kian membludak dengan para pendatang dari seluruh Nusantara.

Gedung Kesenian Jakarta

Gedung Kesenian Jakarta

Banyak yang merantau ke Batavia demi membina ilmu di STOVIA, perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berkumpulnya para kaum terpelajar Nusantara inilah yang menjadi awal pergerakan dan kesadaran para pribumi untuk bersatu sebagai bangsa yang merdeka dari Belanda. Hal itu dianggap sebagai salah satu tahap penting dalam sejarah Indonesia mencapai kemerdekaan, dan gedung STOVIA kini dapat dikunjungi sebagai Museum Kebangkitan Nasional.

Bangunan peninggalan dari awal abad ke-20 dapat ditandai lewat arsitektur gaya New Indies yang menggabungkan elemen arsitektur modern seperti Art Deco dengan elemen rumah-rumah tradisional di Hindia-Belanda. Contohnya terdapat pada Gedung Museum Bank Indonesia, yang dibangun pada tahun 1909 sebagai kantor dari De Javasche Bank, bank sentral Hindia-Belanda saat itu. Ada juga Gedung Filateli, kantor pos dan telegraf yang dibangun pada 1913 serta Gedung Museum Bank Mandiri yang mulai dibangun pada 1929 sebagai kantor perusahaan dagang dan perbankan milik Belanda.

Gedung Filateli Jakarta

Gedung Filateli Jakarta

Masa kejayaan Batavia berakhir saat Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tahun 1942, memulai masa penjajahan baru di atas Nusantara. Banyak orang Belanda dan Eropa yang meninggalkan Batavia demi menghindari buruan dari tentara Jepang. Nama kota ini pun dikembalikan ke nama sebelum kedatangan Belanda: Jayakarta atau Jakarta. Pada tahun 1945, seiring dengan kekalahan Jepang di Perang Dunia II, masyarakat pribumi di Hindia-Belanda menolak untuk kembali berada di bawah kekuasaan Belanda, dan lewat Proklamasi yang dibacakan pada 17 Agustus 1945, menyatakan merdeka sebagai negara Indonesia dengan Jakarta sebagai ibu kota.

Selama lebih dari 300 tahun, Jakarta dikenal dunia sebagai Batavia, kota pusat perdagangan rempah Asia dan pusat koloni Belanda di Asia Tenggara. Dari julukan ‘permata Asia’ hingga ‘kuburan orang Eropa’, riwayat Batavia mengalami naik dan turun seiring perkembangan zaman yang tercerminkan dalam bentuk peninggalan yang beragam. Dengan mempelajari sejarah Jakarta lewat bangunan-bangunan kolonialnya, kita dapat melihat Jakarta dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana kejayaan Batavia di masa lalu turut membuka jalan bagi Jakarta untuk menjadi seperti saat ini, sebagai salah satu kota terdepan di Asia Tenggara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramdhani, Creativa Images, Nelce Muaya, Donni Yudha

  • Fakta :

    Nama Batavia diambil dari Batavi, salah satu suku di masa Kekaisaran Romawi yang diyakini sebagai leluhur orang Belanda.


Berbeda dengan bir pada umumnya, bir pletok tidak mengandung alkohol. Minuman tradisional khas Betawi ini terbuat dari lada, jahe, dan kulit kayu secang. Awalnya, bir pletok diracik lantaran orang Betawi terinspirasi dari kebiasaan warga Belanda di Indonesia yang seringkali meminum anggur pada saat perayaan. Namun karena anggur masuk kategori minuman yang dilarang agama, orang Betawi akhirnya membuat minuman racikan sendiri yang diberi nama bir pletok.

Beberapa manfaat kesehatannya adalah memperlancar peredaran darah, mengatasi nyeri lambung, meredakan radang sendi, mengobati migrain dan menghangatkan badan. Dapat disajikan secara hangat ataupun dingin, rasa bir pletok terbilang unik karena ada manis dan sedikit pedas, serta aroma yang wangi.

Artikel : Alisa Pratomo

Galeri Seni Manusia Purba

Sebagai negara yang kaya akan sejarah, Indonesia memiliki beberapa peninggalan zaman prasejarah yang menjadi bagian dari identitas bangsa untuk diabadikan dan dilestarikan. Penemuan situs prasejarah membuktikan bahwa nenek moyang orang Indonesia sejak dahulu telah meyakini kepercayaan animisme yaitu pemujaan terhadap roh pada benda-benda tertentu selain makhluk hidup. Salah satu wisata sejarah yang terletak di pegunungan karst unik dan menarik ini dalam bahasa setempat disebut ‘Leang’ yang berarti ‘gua’.

Leang-Leang masih berada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros. Akses menuju ke sana tidak terlalu baik tetapi pemandangan di sekitarnya cukup indah menemani Travelers tiba di pintu masuk Leang-Leang. Hamparan bebatuan hitam besar yang tertumpuk rapi di dataran luas menambah eksotis kawasan purbakala yang dapat ditempuh dari Bandara Sultan Hasanuddin menggunakan angkutan umum. Kawasan ini pertama kali ditemukan oleh dua orang arkeolog dari Belanda bernama Van Heekeren dan CHM Heeren Palm saat melakukan penelitian pada tahun 1950.

Penggambaran kehidupan zaman purbakala dapat dijumpai di Gua Pettae dan Gua Petta Kere. Travelers dapat mengunjungi kedua gua tersebut karena letaknya berdekatan. Gua Pettae ditandai dengan pagar besi setinggi 1,5 m. Dari pintu masuk sudah tampak gambar telapak tangan yang menjadi ikon gua ini. Terlihat lima gambar telapak tangan tetapi hanya tiga telapak tangan yang bergambar utuh.

Taman Wisata Leang Leang

Sejumlah gua di Kompleks Taman Purbakala Leang-Leang menjadi ‘kanvas’ bagi lukisan-lukisan purba yang berusia 30 – 40 ribu tahun.

Menurut masyarakat sekitar, gambar telapak tangan utuh memiliki makna menangkal bala sedangkan gambar telapak tangan dengan empat jari saja memiliki arti berdukacita. Gambar telapak tangan tersebut dibuat dengan teknik negative hand stencil yaitu menyemprotkan warna pada tangan kemudian ditempelkan ke permukaan dinding gua. Warna merah pada seluruh gambar ini diperkirakan berasal dari batuan mineral yang mengandung pigmen merah yang kemudian meresap ke dalam pori-pori dinding gua dan membuatnya bertahan hingga ribuan tahun lamanya.

Berjarak 300 m dari Gua Pettae, terdapat Gua Petta Kere yang dapat diakses melalui dua jalur. Jalur utama yaitu melewati akses yang sudah baik, jalur kedua dengan menaiki anak tangga di antara bebatuan yang menyempit. Suhu udara di dalam gua sekitar 30°C dengan tingkat kelembaban dalam rongga gua berkisar 70% sedangkan kelembaban dinding gua berkisar dari 15%-25%.

stencil tulisan tangan purbakala

Lukisan purba Leang-Leang dianggap sebagai salah satu lukisan
purba tertua nomor tiga di dunia.

Di dalam Gua Petta Kere terdapat lebih banyak stensil telapak tangan. Terdapat 27 stensil telapak tangan, 17 stensil di antaranya merupakan stensil telapak tangan utuh. Selain stensil telapak tangan, terdapat juga gambar binatang yang sedang melompat dengan anak panah tertancap di bagian dada.

Menurut analisa yang dilakukan oleh seorang zoologi, D.A Hooijer, gambar tersebut menggambarkan babirusa. Diperkirakan stensil tangan dan gambar tersebut berusia lebih dari 5000 tahun. Pola stensil di Leang Pettae dan Petta Kere, berkelompok acak yang umumnya terdapat di titik-titik yang sulit dijangkau. Stensil tangan serta lukisan tersebut menggambarkan aktivitas keseharian dan sistem kepercayaan yang dianut pada masa itu.

Situs prasejarah ini dibuka mulai pukul 08:00-18:00 WITA dengan harga tiket masuk Rp 10.000 per orang. Pengelola menyediakan jasa pemandu bagi pengunjung yang ingin mendapatkan informasi lebih banyak mengenai Leang-Leang.

Taman Wisata Leang Leang

Dinding karst yang memesona di Leang-Leang.

Terdapat sekitar 230 gua prasejarah yang sudah terdata di kawasan Maros-Pangkep, sekitar 80 gua di antaranya memiliki peninggalan prasejarah di dalamnya. Berdasarkan jumlah tersebut, diyakini masih banyak terdapat gua-gua lainnya yang belum dieksplor. Seluruh peninggalan prasejarah ini menjadi bagian identitas bangsa untuk dilestarikan agar generasi selanjutnya dapat memahami asal muasal nenek moyang.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly, Ayub Ardiyono

  • Leang-Leang, Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan 90561

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 18.00 WITA


Kuasa Maritim Kerajaan Kembar

Pulau Sulawesi dan lautan yang mengelilinginya telah lama menjadi wilayah penting dalam jaringan ekonomi dan politik di Nusantara. Dengan empat semenanjungnya yang menghadap laut yang berbeda, pulau yang dulunya lebih dikenal dengan nama Celebes ini menjadi rumah dari banyak suku dengan ragam budaya.

Di semenanjung yang kini menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, terbentuk kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Luwu, Bantaeng, Bone, Wajo, Soppeng, dan yang mungkin paling sering terdengar: Kerajaan Gowa – Tallo atau Kesultanan Makassar.

Kesultanan Makassar lahir dari dua kerajaan yang konon berasal dari garis keturunan yang sama: Gowa yang berpusat di kedalaman dan berbasis agraris, dan Tallo yang berada di pesisir dengan akses ke perdagangan maritim.

Mahkota raja-raja Gowa

Pada masa pemerintahan Tumapa’risi Kallona, Raja Gowa IX (1510 – 1547), kedua kerajaan memutuskan untuk bersatu dalam sumpah “Ia iannamo tau ampasiewai Gowa na Tallo iamo nacalla rewata”, yang bermakna “Siapa yang memecah belah Gowa dan Tallo akan mendapat celaka dari dewata”. Sumpah itulah yang menjadi cikal bakal dari salah satu kekuatan politik terbesar di Nusantara bagian timur pada masanya.

Sejak terbentuk di pertengahan abad ke-16, Gowa – Tallo kemudian dikenal sebagai kerajaan kembar dengan sistem pemerintahan Rua Karaeng na Se’re Ata (Dua raja dan satu rakyat), di mana raja-raja Gowa memerintah sebagai raja dengan gelar Sombayya ri Gowa, dan raja-raja Tallo memerintah sebagai Tu’mabicara butta atau perdana menteri.

Gowa merupakan daerah yang unggul dengan pertanian dan komoditas beras, sehingga mampu menopang pertumbuhan penduduk dan membangun militer yang kuat. Tallo juga memungkinkan kerajaan untuk membangun armada laut yang signifikan serta mendukung potensi utama Gowa – Tallo sebagai pelabuhan internasional yang mengedepankan pelayaran dan perdagangan maritim.

Di awal pembentukannya, Gowa – Tallo juga mengalami banyak pembaharuan yang semakin menunjang kemajuan kerajaan. Mulai dari perombakan sistem pemerintahan, pengadaan jabatan menteri dan syahbandar, menyusun undang-undang baru, hingga pembangunan sejumlah landmark seperti Benteng Somba Opu.

Benteng Somba Opu yang dulunya berbatasan dengan laut ini awalnya dibangun hanya dengan tanah liat dan putih telur. Namun struktur bangunannya terus diperkuat dengan batu bata dan penambahan persenjataan seperti sejumlah meriam oleh raja-raja setelah Tumapa’risi Kallona.

Di dalam benteng inilah pusat Kerajaan Gowa – Tallo sempat bertakhta. Dan kehidupan masyarakat pun tumbuh di sekitar benteng dengan kampung-kampung para pedagang, pelaut, petani, hingga para pendatang.

Museum Karaeng Pattingalloang

Travelers dapat mengunjungi peninggalan benteng yang terletak di kelurahan Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa ini. Di areal benteng Travelers juga dapat mengunjungi Baruga Somba Opu, balai dengan arsitektur tradisional yang menawan, serta Museum Karaeng Pattingalloang yang menyimpan berbagai artefak peninggalan kerajaan dan cerita-cerita menarik seputar sosok Karaeng Pattingalloang sendiri, salah satu cendekiawan Makassar dari abad 17 yang dihormati bahkan oleh para koloni-koloni Eropa. Rumah-rumah tradisional suku lainnya yang mendiami Sulawesi Selatan seperti Mandar atau Toraja juga terdapat di area yang sekarang difokuskan menjadi salah satu lokasi wisata sejarah utama di Gowa ini.

Sekitar tahun 1605, raja Gowa – Tallo memeluk Islam yang dibawa oleh para mubalig dari Minangkabau. Agama Islam pun resmi menjadi agama kerajaan yang segera diikuti oleh seluruh masyarakatnya. Sejak itu, kerajaan Gowa – Tallo mulai lebih dikenal sebagai Kesultanan Makassar. Ekspansi wilayah dan penyebaran agama Islam ke daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan juga kian digencarkan, termasuk ke kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone, Wajo, dan Soppeng.

Dengan pusat pemerintahan yang berada di pesisir, laut menjadi kekuatan utama bagi Kesultanan Makassar. Posisinya yang strategis dan kebijakan yang menjunjung tinggi toleransi menjadikan pelabuhan Makassar ramai dengan para saudagar dari seluruh Nusantara.

Apalagi setelah Malaka yang sempat menjadi pusat perdagangan rempah di Nusantara jatuh ke tangan Portugis di awal abad ke-16, Makassar menonjol sebagai poros baru bagi lintas perdagangan internasional yang menghubungkan saudagar-saudagar Cina, Arab, India, Melayu, Jawa, Maluku, dan Eropa.

Kapal siapa pun diperbolehkan untuk bersandar di pelabuhan Makassar, membawa berbagai kargo dan komoditas yang begitu berharga. Salah satu pelabuhan dari zaman kerajaan adalah Pelabuhan Paotere yang sempat menjadi titik pemberangkatan armada Makassar yang terdiri dari ratusan kapal menuju perang.

Pelabuhan Paotere

Salah satu pelabuhan tertua di Nusantara yang sering dianggap sebagai ‘Sunda Kalapa’-nya Makassar ini terletak di Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Pelabuhan ini masih aktif hingga sekarang sebagai pelabuhan bagi para nelayan, di mana Travelers dapat menikmati berbagai santapan seafood yang fresh di tempat ini.

Kesultanan Makassar memasuki puncak kejayaannya di abad ke-17, dengan pengaruh politik yang dapat dirasakan di hampir seluruh Pulau Sulawesi bahkan hingga ke daerah Nusa Tenggara.

Makassar juga memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan berbagai kekuatan politik lain di Nusantara seperti dengan Ternate, Demak, Banjar, Johor dan bahkan Inggris dan Portugis. Akan tetapi, Belanda dengan VOC-nya menentang Makassar yang membuka pintu pelabuhannya bagi siapa pun, terutama pada kekuatan Eropa lainnya seperti Portugis dan Inggris.

Belanda yang pada saat itu telah menduduki pelabuhan Maluku dan Batavia, ingin melancarkan agenda monopoli rempah mereka di atas Nusantara. Di waktu yang sama, Kesultanan Makassar juga mengalami berbagai perlawanan dari kerajaan-kerajaan Bugis yang menentang ekspansi besarnya, seperti Kerajaan Bone.

Perang pun tidak terelakkan. Pertengahan abad 17, Kesultanan Makassar menerima gempuran dari berbagai sisi. Tahun demi tahun, di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki ‘Ayam Jantan dari Timur’, Makassar melewati serangkaian perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya.

Perang Makassar pun terus berlanjut sebagai salah satu perang di Hindia yang paling merugikan pihak Belanda. Namun, meskipun dengan seluruh kegigihan dan kepiawaiannya dalam berperang, pada akhirnya Sultan Hasanuddin harus menerima kemenangan Belanda lewat penandatanganan Perjanjian Bungaya di November 1667, yang mempersempit pengaruh Makassar dan membiarkan Belanda menancapkan kekuasaan politik dan ekonomi terhadapnya.

Benteng Somba Opu yang menjadi pusat pemerintahan Makassar pun jatuh pada tahun 1669, dan poros kehidupan masyarakat setempat berpindah ke Benteng Jumpandang, salah satu benteng Makassar yang jatuh ke tangan Belanda dan setelahnya berganti nama menjadi Benteng Rotterdam.

Meskipun Belanda mendominasi untuk beberapa abad ke depan, Kerajaan Makassar tetap hidup lewat keturunannya. Pada tahun 1936, Raja Gowa XXXV atau I Mangngi Mangngi Daeng Mattutu mendirikan istana untuk kediaman kerajaan yang baru di Sungguminasa, Kabupaten Gowa, atau sekitar 30 menit dari pusat Kota Makassar. Istana Gowa dengan arsitektur Makassar ini kini lebih dikenal dengan nama Museum Balla Lompoa, yang bermakna ‘Rumah Kebesaran’ dalam bahasa Makassar. Museum ini bersebelahan dengan Istana Tamalate yang dibangun pada tahun 1980-an oleh bupati Gowa pada saat itu.

Museum Balla Lompoa

Museum Balla Lompoa dan Istana Tamalate merupakan dua bangunan dengan arsitektur tradisional yang cantik dan menarik untuk Travelers kunjungi. Apalagi bagi Travelers yang tertarik untuk mempelajari seputar Kesultanan Makassar lewat berbagai pusaka seperti mahkota, batu mulia, naskah-naskah lontara, hingga senjata-senjata yang dipakai saat perang perjuangan terdahulu.

Interior Museum Balla Lompoa

Selain beberapa situs yang disebut di atas, Travelers dapat mengunjungi Makam Raja-raja Tallo dan Masjid Katangka yang juga memiliki kaitan historis dengan Kesultanan Makassar. Benteng Rotterdam dan Museum I La Galigo-nya juga menyimpan berbagai peninggalan dan cerita kebesaran Kesultanan Makassar.

Kerajaan Gowa pun berakhir di tahun 1946, saat Andi Idjo, Raja Gowa XXXVI, menyatakan bergabungnya Kesultanan Makassar dengan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Namun kebesaran kerajaan ini tetap lestari lewat berbagai peninggalan dan pengaruh budaya yang ditinggalkannya.

Warna-warni kejayaan Kesultanan Makassar di darat dan di laut tidak dihasilkan oleh satu kekuatan, melainkan sebuah hasil dari persatuan dan kerjasama dua kerajaan yang membentuknya: Gowa dengan kesuburan tanah dan kekuatan agrarisnya; Tallo dengan akses laut dan kekuatan maritimnya.

Kualitas dari kedua kerajaanlah yang menjadi faktor utama kebangkitan Kesultanan Makassar sebagai adidaya di Nusantara yang membuatnya menonjol dalam buku-buku sejarah Indonesia saat ini. Karena itu, cerita mengenai Kesultanan Makassar akan selalu menarik untuk dipelajari dengan kekayaan akan nilai-nilai persatuan dan toleransi yang membawa kesejahteraan kepada setiap jiwa yang bernaung di dalamnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy

  • Catatan
    • ‘Somba’ berarti ‘raja’, dan kawasan Somba Opu sempat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Gowa – Tallo
    • Naskah-naskah lontara menjadikan Kesultaan Makassar sebagai salah satu kerajaan di Nusantara dengan pencatatan sejarah yang baik.

    • Lokasi : Benteng Somba Opu, Kec. Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 90224
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 18.00 WITA
    • Lokasi : Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 17.00 WITA
    • Lokasi : Jl. K. H. Wahid Hasyim No.39, Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 16.00 WITA
    • Lokasi : Jalan Abdul Kadir, Benteng Somba Opu, Kec. Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 90225
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 07.00 – 17.00 WITA
    • Hubungi : 0852-4233-1227