Pos

Kuasa Maritim Kerajaan Kembar

Pulau Sulawesi dan lautan yang mengelilinginya telah lama menjadi wilayah penting dalam jaringan ekonomi dan politik di Nusantara. Dengan empat semenanjungnya yang menghadap laut yang berbeda, pulau yang dulunya lebih dikenal dengan nama Celebes ini menjadi rumah dari banyak suku dengan ragam budaya.

Di semenanjung yang kini menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, terbentuk kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Luwu, Bantaeng, Bone, Wajo, Soppeng, dan yang mungkin paling sering terdengar: Kerajaan Gowa – Tallo atau Kesultanan Makassar.

Kesultanan Makassar lahir dari dua kerajaan yang konon berasal dari garis keturunan yang sama: Gowa yang berpusat di kedalaman dan berbasis agraris, dan Tallo yang berada di pesisir dengan akses ke perdagangan maritim.

Mahkota raja-raja Gowa

Pada masa pemerintahan Tumapa’risi Kallona, Raja Gowa IX (1510 – 1547), kedua kerajaan memutuskan untuk bersatu dalam sumpah “Ia iannamo tau ampasiewai Gowa na Tallo iamo nacalla rewata”, yang bermakna “Siapa yang memecah belah Gowa dan Tallo akan mendapat celaka dari dewata”. Sumpah itulah yang menjadi cikal bakal dari salah satu kekuatan politik terbesar di Nusantara bagian timur pada masanya.

Sejak terbentuk di pertengahan abad ke-16, Gowa – Tallo kemudian dikenal sebagai kerajaan kembar dengan sistem pemerintahan Rua Karaeng na Se’re Ata (Dua raja dan satu rakyat), di mana raja-raja Gowa memerintah sebagai raja dengan gelar Sombayya ri Gowa, dan raja-raja Tallo memerintah sebagai Tu’mabicara butta atau perdana menteri.

Gowa merupakan daerah yang unggul dengan pertanian dan komoditas beras, sehingga mampu menopang pertumbuhan penduduk dan membangun militer yang kuat. Tallo juga memungkinkan kerajaan untuk membangun armada laut yang signifikan serta mendukung potensi utama Gowa – Tallo sebagai pelabuhan internasional yang mengedepankan pelayaran dan perdagangan maritim.

Di awal pembentukannya, Gowa – Tallo juga mengalami banyak pembaharuan yang semakin menunjang kemajuan kerajaan. Mulai dari perombakan sistem pemerintahan, pengadaan jabatan menteri dan syahbandar, menyusun undang-undang baru, hingga pembangunan sejumlah landmark seperti Benteng Somba Opu.

Benteng Somba Opu yang dulunya berbatasan dengan laut ini awalnya dibangun hanya dengan tanah liat dan putih telur. Namun struktur bangunannya terus diperkuat dengan batu bata dan penambahan persenjataan seperti sejumlah meriam oleh raja-raja setelah Tumapa’risi Kallona.

Di dalam benteng inilah pusat Kerajaan Gowa – Tallo sempat bertakhta. Dan kehidupan masyarakat pun tumbuh di sekitar benteng dengan kampung-kampung para pedagang, pelaut, petani, hingga para pendatang.

Museum Karaeng Pattingalloang

Travelers dapat mengunjungi peninggalan benteng yang terletak di kelurahan Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa ini. Di areal benteng Travelers juga dapat mengunjungi Baruga Somba Opu, balai dengan arsitektur tradisional yang menawan, serta Museum Karaeng Pattingalloang yang menyimpan berbagai artefak peninggalan kerajaan dan cerita-cerita menarik seputar sosok Karaeng Pattingalloang sendiri, salah satu cendekiawan Makassar dari abad 17 yang dihormati bahkan oleh para koloni-koloni Eropa. Rumah-rumah tradisional suku lainnya yang mendiami Sulawesi Selatan seperti Mandar atau Toraja juga terdapat di area yang sekarang difokuskan menjadi salah satu lokasi wisata sejarah utama di Gowa ini.

Sekitar tahun 1605, raja Gowa – Tallo memeluk Islam yang dibawa oleh para mubalig dari Minangkabau. Agama Islam pun resmi menjadi agama kerajaan yang segera diikuti oleh seluruh masyarakatnya. Sejak itu, kerajaan Gowa – Tallo mulai lebih dikenal sebagai Kesultanan Makassar. Ekspansi wilayah dan penyebaran agama Islam ke daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan juga kian digencarkan, termasuk ke kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone, Wajo, dan Soppeng.

Dengan pusat pemerintahan yang berada di pesisir, laut menjadi kekuatan utama bagi Kesultanan Makassar. Posisinya yang strategis dan kebijakan yang menjunjung tinggi toleransi menjadikan pelabuhan Makassar ramai dengan para saudagar dari seluruh Nusantara.

Apalagi setelah Malaka yang sempat menjadi pusat perdagangan rempah di Nusantara jatuh ke tangan Portugis di awal abad ke-16, Makassar menonjol sebagai poros baru bagi lintas perdagangan internasional yang menghubungkan saudagar-saudagar Cina, Arab, India, Melayu, Jawa, Maluku, dan Eropa.

Kapal siapa pun diperbolehkan untuk bersandar di pelabuhan Makassar, membawa berbagai kargo dan komoditas yang begitu berharga. Salah satu pelabuhan dari zaman kerajaan adalah Pelabuhan Paotere yang sempat menjadi titik pemberangkatan armada Makassar yang terdiri dari ratusan kapal menuju perang.

Pelabuhan Paotere

Salah satu pelabuhan tertua di Nusantara yang sering dianggap sebagai ‘Sunda Kalapa’-nya Makassar ini terletak di Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Pelabuhan ini masih aktif hingga sekarang sebagai pelabuhan bagi para nelayan, di mana Travelers dapat menikmati berbagai santapan seafood yang fresh di tempat ini.

Kesultanan Makassar memasuki puncak kejayaannya di abad ke-17, dengan pengaruh politik yang dapat dirasakan di hampir seluruh Pulau Sulawesi bahkan hingga ke daerah Nusa Tenggara.

Makassar juga memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan berbagai kekuatan politik lain di Nusantara seperti dengan Ternate, Demak, Banjar, Johor dan bahkan Inggris dan Portugis. Akan tetapi, Belanda dengan VOC-nya menentang Makassar yang membuka pintu pelabuhannya bagi siapa pun, terutama pada kekuatan Eropa lainnya seperti Portugis dan Inggris.

Belanda yang pada saat itu telah menduduki pelabuhan Maluku dan Batavia, ingin melancarkan agenda monopoli rempah mereka di atas Nusantara. Di waktu yang sama, Kesultanan Makassar juga mengalami berbagai perlawanan dari kerajaan-kerajaan Bugis yang menentang ekspansi besarnya, seperti Kerajaan Bone.

Perang pun tidak terelakkan. Pertengahan abad 17, Kesultanan Makassar menerima gempuran dari berbagai sisi. Tahun demi tahun, di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki ‘Ayam Jantan dari Timur’, Makassar melewati serangkaian perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya.

Perang Makassar pun terus berlanjut sebagai salah satu perang di Hindia yang paling merugikan pihak Belanda. Namun, meskipun dengan seluruh kegigihan dan kepiawaiannya dalam berperang, pada akhirnya Sultan Hasanuddin harus menerima kemenangan Belanda lewat penandatanganan Perjanjian Bungaya di November 1667, yang mempersempit pengaruh Makassar dan membiarkan Belanda menancapkan kekuasaan politik dan ekonomi terhadapnya.

Benteng Somba Opu yang menjadi pusat pemerintahan Makassar pun jatuh pada tahun 1669, dan poros kehidupan masyarakat setempat berpindah ke Benteng Jumpandang, salah satu benteng Makassar yang jatuh ke tangan Belanda dan setelahnya berganti nama menjadi Benteng Rotterdam.

Meskipun Belanda mendominasi untuk beberapa abad ke depan, Kerajaan Makassar tetap hidup lewat keturunannya. Pada tahun 1936, Raja Gowa XXXV atau I Mangngi Mangngi Daeng Mattutu mendirikan istana untuk kediaman kerajaan yang baru di Sungguminasa, Kabupaten Gowa, atau sekitar 30 menit dari pusat Kota Makassar. Istana Gowa dengan arsitektur Makassar ini kini lebih dikenal dengan nama Museum Balla Lompoa, yang bermakna ‘Rumah Kebesaran’ dalam bahasa Makassar. Museum ini bersebelahan dengan Istana Tamalate yang dibangun pada tahun 1980-an oleh bupati Gowa pada saat itu.

Museum Balla Lompoa

Museum Balla Lompoa dan Istana Tamalate merupakan dua bangunan dengan arsitektur tradisional yang cantik dan menarik untuk Travelers kunjungi. Apalagi bagi Travelers yang tertarik untuk mempelajari seputar Kesultanan Makassar lewat berbagai pusaka seperti mahkota, batu mulia, naskah-naskah lontara, hingga senjata-senjata yang dipakai saat perang perjuangan terdahulu.

Interior Museum Balla Lompoa

Selain beberapa situs yang disebut di atas, Travelers dapat mengunjungi Makam Raja-raja Tallo dan Masjid Katangka yang juga memiliki kaitan historis dengan Kesultanan Makassar. Benteng Rotterdam dan Museum I La Galigo-nya juga menyimpan berbagai peninggalan dan cerita kebesaran Kesultanan Makassar.

Kerajaan Gowa pun berakhir di tahun 1946, saat Andi Idjo, Raja Gowa XXXVI, menyatakan bergabungnya Kesultanan Makassar dengan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Namun kebesaran kerajaan ini tetap lestari lewat berbagai peninggalan dan pengaruh budaya yang ditinggalkannya.

Warna-warni kejayaan Kesultanan Makassar di darat dan di laut tidak dihasilkan oleh satu kekuatan, melainkan sebuah hasil dari persatuan dan kerjasama dua kerajaan yang membentuknya: Gowa dengan kesuburan tanah dan kekuatan agrarisnya; Tallo dengan akses laut dan kekuatan maritimnya.

Kualitas dari kedua kerajaanlah yang menjadi faktor utama kebangkitan Kesultanan Makassar sebagai adidaya di Nusantara yang membuatnya menonjol dalam buku-buku sejarah Indonesia saat ini. Karena itu, cerita mengenai Kesultanan Makassar akan selalu menarik untuk dipelajari dengan kekayaan akan nilai-nilai persatuan dan toleransi yang membawa kesejahteraan kepada setiap jiwa yang bernaung di dalamnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, George Timothy

  • Catatan
    • ‘Somba’ berarti ‘raja’, dan kawasan Somba Opu sempat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Gowa – Tallo
    • Naskah-naskah lontara menjadikan Kesultaan Makassar sebagai salah satu kerajaan di Nusantara dengan pencatatan sejarah yang baik.

    • Lokasi : Benteng Somba Opu, Kec. Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 90224
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 18.00 WITA
    • Lokasi : Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 17.00 WITA
    • Lokasi : Jl. K. H. Wahid Hasyim No.39, Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92111
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 08.00 – 16.00 WITA
    • Lokasi : Jalan Abdul Kadir, Benteng Somba Opu, Kec. Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 90225
    • Jam Operasional : Buka setiap hari (senin – minggu) pukul 07.00 – 17.00 WITA
    • Hubungi : 0852-4233-1227