Kreasi 3,000 Tahun

Kain bermotif Kerawang Gayo adalah salah satu budaya Indonesia yang telah diakui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak tahun 2014. Tapi tahukah Anda bahwa kebudayaan Kerawang sendiri telah berkembang dalam masyarakat Gayo sejak 3,000 tahun yang lalu?

Berdasarkan penemuan arkeologi di Loyang Mendale, Aceh Tengah, fragmen-fragmen gerabah kuno setempat telah berhiaskan pola-pola sederhana yang memiliki kemiripan dan diprediksi sebagai cikal bakal motif Kerawang Gayo. Hingga saat ini, Kerawang Gayo menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Gayo itu sendiri. Motif ini dapat ditemukan pada arsitektur rumah tradisional, kerajinan keramik, hingga yang paling menonjol yaitu pada kain dan pakaian tradisional Gayo.

Dengan didasari dari kata iker yang dalam bahasa Gayo berarti pendapat atau buah pikiran, serta rawang yang berarti ramalan atau terawang, Kerawang Gayo menyimpan banyak pesan moral, petuah, dan amanah yang diharapkan dapat dipelihara oleh masyarakat Gayo untuk generasi seterusnya. Sekarang Kerawang Gayo memiliki banyak variasi dan ragam desain, namun mayoritas desain motif Kerawang Gayo adalah representasi dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat Gayo.

Warna-warni dalam Kerawang Gayo menyimbolkan sarak opat, yaitu 4 elemen dalam sistem pemerintahan desa yang mencerminkan kedudukan ideal dalam tatanan sosial masyarakat Gayo. Warna kuning menyimbolkan emas, representasi golongan reje atau raja dan aspek pertama dalam sarak opat yang melambangkan sifat penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Warna berikutnya, merah, menyimbolkan keberanian dan golongan petue atau tetua adat.

Golongan berikutnya, imem, atau petinggi agama, direpresentasikan oleh warna putih yang melambangkan kesucian dan kebijaksanaan dalam memilah antara baik dan buruk. Warna hijau melambangkan reyet atau rakyat dan dapat diartikan sebagai pesan untuk hidup dalam permusyawarahan dan harapan akan kesuburan, karena warna hijau juga dapat diartikan sebagai representasi flora dan fauna yang ada di Tanoh Gayo. Keempat warna Kerawang ini umumnya didasari warna hitam, warna yang melambangkan tanah atau bumi dimana manusia diciptakan, berpijak, dan akan berpulang di akhir hayatnya.

Motif pada Kerawang Gayo menyimpan banyak pola seperti emun beriring, pucuk rebung, puter tali, peger dan lain sebagainya. Pola-pola ini menyiratkan makna dan filsafat tersendiri yang diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat Gayo sehari-hari.

Emun beriring misalnya, yang berwarna putih dan memiliki arti ‘awan berarak’, melambangkan pesan kebersamaan dan persatuan dalam masyarakat Gayo. Bak awan yang meskipun diterpa angin sekuat apapun, akan tetap menggumpal, bersatu dan melayang bersama di udara.

Penyimbolan ini juga menunjukkan keakraban masyarakat Gayo dengan awan sebagai masyarakat pegunungan dan dataran tinggi. Pola emun beriring juga lekat dengan falsafah Gayo yaitu ‘mowen sara tamunen, beloh sara loloten’ yang juga dapat diartikan sebagai pesan kekompakkan yang dianjurkan dalam masyarakat Gayo.

Selain pada baju, kain sarung, topi dan kerudung, pola Kerawang Gayo juga dapat ditemukan pada Upuh Ulen-Ulen, kain besar yang kerap menjadi kebanggaan dan simbol penghormatan kepada pemakainya dari masyarakat Gayo.

Upuh Ulen-Ulen sendiri dapat dibedakan dari desain Kerawang lainnya. Umumnya, pembedanya adalah bentuk ulen (bulan), mandala besar di tengah latar hitam pada Upuh Ulen-Ulen yang merepresentasikan kekuatan spiritual yang menerangi keseharian masyarakat Gayo, layaknya bulan purnama di gelapnya malam.

Melihat dari besarnya ukuran serta signifikansi adat yang terkandung di dalamnya, Upuh Ulen-Ulen kerap menjadi kebanggaan bagi pemiliknya kendatipun dengan harga yang relatif mahal jika dibandingkan dengan kain Kerawang lainnya.

Walaupun Kerawang Gayo bermula dari sebatas keperluan adat, para pengrajin Kerawang Gayo saat ini menawarkan kreasi Kerawang dalam banyak kebutuhan sehari-hari. Kini motif Kerawang Gayo dapat Anda temukan pada gantungan kunci, gelang, kipas, dompet, peci, tas sekolah, dan sebagainya yang dengan mudah Anda dapat peroleh pada pengrajin Kerawang Gayo dengan kisaran harga mulai dari 10,000 hingga 2,000,000 rupiah.

Yang membedakan harga pada umumnya adalah bahan, motif, dan kompleksitas warna yang terdapat dalam desainnya. Industri kerajinan Kerawang Gayo mulai berkembang pada tahun 1980-an melalui program Dewan Kerajinan Nasional yang memberikan pelatihan menjahit kepada para pengrajin agar Kerawang Gayo bisa diproduksi secara massal.

Sekarang, Kerawang Gayo masih tetap menjadi kebanggaan dan ciri khas dari masyarakat Gayo, baik sebagai bagian dari keperluan adat maupun sebagai sekedar cinderamata yang memiliki keistimewaan tersendiri. Itu semua bermula dari sensitivitas berkesenian masyarakat yang mendiami wilayah Tanoh Gayo 3,000 tahun yang lalu.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy & Iqbal Fadly

Kesempurnaan Dalam Rasa Pahit

“Bismillah, Siti Kewe
Kunikahen ko urum kuyu
Wih kin walimu
Tanoh kin saksimu
Lo kin saksi kalammu.”

“Bismillah, Siti Kewe
Kunikahkan kau dengan angin
Air sebagai walimu
Tanah sebagai saksimu
Matahari sebagai saksi kalammu.”

Barisan kalimat tersebutlah yang diucapkan para petani kopi di Tanoh Gayo pada masa lampau, seiring kopi mereka mulai menampakkan bunga-bunga putih yang menari-nari kecil tertiup angin. Mantra Siti Kewe di atas adalah bentuk doa agar kopi-kopi dapat tumbuh dengan subur. Dimana bunganya akan berubah untuk menghasilkan buah-buah kopi yang dapat membawa banyak rezeki bagi para petaninya.

Siti Kewe sendiri adalah nama lain untuk kopi dalam bahasa Gayo. Dan mantra Siti Kewe ini manggambarkan kesakralan tersendiri dalam bagaimana masyarakat Gayo memandang kopi.

Hingga saat ini kopi tidak hanya menjadi komoditas utama dan sumber penghidupan bagi masyarakat di Tanoh Gayo. Bagi mereka, kopi juga menjadi suatu kebanggaan dan bagian dari budaya yang telah mendarah daging.

Awal mulanya, kopi dibudidayakan oleh pemerintahan Belanda di masa kolonial. Kondisi daerah yang berada di ketinggian, berbukit, dan dengan curah hujan yang tinggi membuat Tanoh Gayo menjadi kawasan yang tepat untuk budidaya kopi.

Perkebunan kopi yang di tahun 1908 hanya berada di tepian Danau Lut Tawar lambat-laun merambak ke kaki Gunung Bur Ni Telong, hingga ke daerah Gayo Lues. Sekarang, Dataran Tinggi Gayo merupakan penghasil kopi arabika terbesar di Indonesia, bahkan di seluruh Asia.

Kopi gayo memang terkenal di seluruh dunia karena aroma tajam yang khas dan variasi rasanya yang unik. Kopi arabika gayo bahkan sempat menjadi salah satu kopi termahal di dunia. Salah satu keunikan kopi gayo adalah rasanya yang sangat bervariasi.

Di seluruh Gayo, lokasi kebun yang berbeda menghasilkan kopi dengan cita rasa yang juga berbeda. Ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan cita rasa ini, seperti ketinggian dari permukaan laut, kemiringan tanah, tingkat keasaman tanah serta jenis tanah vulkanik dan non vulkanik.

Varietas kopi yang ditanam di Tanoh Gayo pun bermacam-macam, dengan processing pasca panen yang juga beraneka ragam. Seluruh faktor tersebut membuat kopi gayo kaya akan variasi rasa serta aroma, menjadikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, khususnya turis asing penikmat kopi, untuk datang ke Tanoh Gayo memburu kopi-kopi dengan rasa terbaik.

Lebih dari 70 persen masyarakat Gayo adalah petani kopi, dengan lahan kebun yang pada umumnya diwariskan secara turun-temurun. Banyak dari orang Gayo yang dapat menyekolahkan anak-anak hingga ke jenjang perguruan tinggi berkat kopi.

Namun sayangnya, masih banyak petani kopi di desa-desa yang belum sejahtera. Kebanyakan dari mereka tidak menyadari akan potensi dari kopi di kebun mereka untuk dapat memaksimalkan kualitas dan profit bagi para petani itu sendiri. Ancaman terhadap kopi gayo juga datang dari perubahan iklim yang semakin nyata dampaknya, apalagi terhadap jenis kopi arabika yang hanya dapat hidup di iklim sejuk.

Kopi gayo merupakan salah satu komoditas yang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia, dimana semakin besarnya permintaan asing yang melirik kopi gayo untuk diekspor ke negaranya masing-masing, terutama Amerika, Jepang dan Eropa.

Kenikmatan kopi gayo memang semakin terdengar dalam beberapa tahun terakhir. Para petani dan pengusaha kopi di Tanoh Gayo terus menjaga dan meningkatkan kualitas kopi gayo demi mengharumkan nama Indonesia di mata dunia, lewat harum aroma kopinya.

Perjalanan Anda ke Tanoh Gayo belumlah sempurna sebelum Anda menjelajah hamparan perkebunan kopi nan mempesona dimana Anda bisa melakukan coffee hunting, membeli kopi langsung dari para petaninya. Pastikan Anda datang saat musim panen di bulan April-Mei atau Oktober-November.

Kopi-kopi yang berbuah merah seperti ceri membuatnya lebih menawan dipandang mata, dan Anda bisa ikut memetik kopi sambil bersenda gurau dengan para petani setempat. Selain itu, di Takengon juga terdapat beberapa festival panen yang akan menambah kesan di kunjungan Anda dengan pertunjukan seni tradisional hingga pertunjukan musik jazz yang menjadi perayaan tahunan di Tanoh Gayo kala panen.

Anda dapat mencoba kopi-kopi gayo specialty dengan cita rasa kelas dunia namun harga yang sangat merakyat di kedai-kedai kopi lokal. Dimana terdapat banyak pengamat kopi yang akan selalu antusias untuk menemani Anda berdiskusi seputar kopi gayo mulai dari sejarahnya, proses, hingga perannya dalam masyarakat Gayo sehari-hari. Pembicaraan hingga larut itu tentu saja harus ditemani secangkir kopi gayo. Dan rasa kopi yang melekat di lidah, dijamin akan menagih Anda untuk memesan cangkir berikutnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy & Mardiansyah BP

Jenis kue yang terbuat dari tepung beras, beras, kelapa, dan gula ini adalah snack yang tepat sebagai teman minum kopi maupun sebagai sarapan pagi. Gumpalan beras yang dibungkus dengan daun pandan ini kerap menjadi bekal masyarakat Gayo dalam beraktivitas sehari-hari, seperti saat pergi ke sawah, ke kebun, atau pergi mencari ikan di danau.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Sajian telur yang ini dimasak di atas daun pisang tanpa menggunakan air atau minyak, dan cukup dengan tambahan garam, bawang merah, dan cabai sesuai selera. Umumnya, telur yang digunakan adalah telur bebek, tetapi banyak juga yang menggunakan telur ayam. Tenaruh dedah merupakan sajian omelette khas Gayo yang pas untuk santapan pagi Anda.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Belacan depik merupakan salah satu dari banyak masakan di Tanoh Gayo yang dihasilkan dari ikan depik. Belacan merupakan fermentasi dari ikan depik dan nangka rebus, dan biasa digunakan sebagai campuran untuk sambal. Sekilas, belacan akan mirip dengan sajian terasi biasa, namun ikan depik yang merupakan ikan air tawar membuat belacan tidak menghasilkan rasa amis seperti terasi pada umumnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy