Duduk dan menanti senja dari ketinggian pepohonan pinus, menghirup udara yang sejuk, berhadapkan danau yang luas bersama langit semburat ungu, adalah momen yang spesial di Kalibiru untuk dinikmati. Kalibiru merupakan sebuah bukit yang terdapat pada Perbukitan Menoreh, tepatnya di Desa Kalibiru, Kulon Progo, Yogyakarta.

Dengan jarak kurang lebih 40 km dari pusat kota, begitu banyak pengunjung mendatangi wisata alam ini. Selain ketinggiannya yang menyuguhkan pemandangan indah, Kalibiru juga dilengkapi dengan fasilitas outbond yang memacu adrenaline seperti wahana high rope dan flying fox. Fasilitas outbond ini dibangun warga sekitar untuk menambah keseruan dalam kunjungan Anda di Kalibiru.

Meluncur dengan flying fox sambil menikmati pemandangan alam sekitar akan menjadi pengalaman yang sangat mengasyikkan. Selain pemandangan yang indah dan wisata outbond, terdapat juga jalur trekking dan lokasi camping.

Di Kalibiru juga dibangun tempat khusus untuk mendapatkan foto yang indah. Menara pandang, sebatang pohon pinus yang berdiri kokoh di tepi jurang, terdapat pada bagian batang yang cukup tinggi dan dipasangi papan kayu beserta tangga gantungnya.

Dari ketinggian ini kita dapat melihat megahnya gugusan Perbukitan Menoreh serta Waduk Sermo yang terletak di kaki bukit Kalibiru ini, yang terlihat bagai mangkuk raksasa lengkap dengan air di dalamnya.

Untuk memasuki objek wisata alam Kalibiru ini tidaklah mahal, hanya Rp5000 untuk satu tiket. Kalibiru merupakan sebuah hutan di kawasan perbukitan yang subur yang diolah menjadi tempat wisata dan edukasi alam yang dikelola oleh pemerintah dan warga sekitar.

Untuk menuju Kalibiru, terdapat dua rute yang bisa kita lalui, rute Sermo dan rute Clereng. Keindahan Kalibiru ini tidak lepas dari peran masyarakat sekitar yang bahu-membahu mereboisasi hutan dan pepohonan yang sebelumnya mulai tandus karena dieksploitasi atau dijadikan lahan olahan. Jadi bagi Anda yang mengunjunginya, usahakan untuk turut menjaga kebersihan dan kelestarian dari tempat ini.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy

Siluet Candi Borobudur di antara embun pagi di Kota Magelang yang tampak dari ketinggian, memukau kita dengan keindahan yang dapat dijumpai di Punthuk Setumbu. Jarak yang tidak terlalu jauh dari pusat Kota Magelang dengan akses yang mudah dicapai membuat wisatawan ramai mendatanginya.

Dengan jalan setapak yang sedikit mendaki, para pengunjung seolah diajak untuk berolahraga sebelum menikmati indahnya sunrise dari Punthuk Setumbu. Jalan setapak menuju spot sunrise ini cukup dilalui untuk mereka yang turun dan naik sekaligus, dengan lebar jalan sekitar 1,5 meter.

Beberapa spot foto Instagramable sengaja dibuat warga sekitar agar lebih menarik pengunjung dan anak-anak seperti ayunan, kursi malas, dan masih banyak lagi. Di area Punthuk Setumbu juga terdapat gereja tua yang populer dengan nama Gereja Ayam atau Gereja Merpati.

Gereja ini bersebelahan dengan spot sunrise Punthuk Setumbu, dimana jika kita teruskan perjalanan dari spot tersebut kita akan sampai di gereja yang berbentuk seperti burung merpati ini. Gereja Ayam semakin populer dan mulai ramai dikunjungi semenjak beberapa film menampilkan footage indah di lokasi ini dan membuat orang penasaran akan keunikan bentuk bangunannya.

Punthuk Setumbu merupakan sebuah bukit setinggi kurang lebih 400 mdpl yang terletak di gugusan Pegunungan Menoreh. Dulunya tempat ini merupakan ladang penduduk. Setelah seorang fotografer mengabadikan gambar sunrise dengan latar Bodobudur yang tampak istimewa dari tempat ini, orang-orang mulai ramai berdatangan untuk turut menikmati pemandangan indah dari Punthuk Setumbu yang kini berkembang menjadi salah satu spot wisata terpopuler di Magelang.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy

Pesona yang Terus Berkobar

Menurut legenda, Pulau Jawa pada zaman dahulu kala miring ke arah barat. Hal ini mendorong para dewa untuk mematok pulau itu dengan Jamurdwipa, sebuah gunung di Laut Selatan. Namun pemindahan gunung terhalang oleh Mpu Rama dan Mpu Permadi. Dua orang sakti ini tengah membuat keris mandraguna di perapian mereka dan menolak imbauan dewa untuk melanjutkan pekerjaan di tempat lain.

Alhasil, para dewa menjatuhkan Jamurdwipa di atas Mpu Rama dan Mpu Permadi, mengubur perapian dan keris mereka yang belum terselesaikan. Keris sakti yang masih membara itulah yang dipercaya sebagai sumber api yang tak pernah padam dari gunung yang sekarang dikenal sebagai Gunung Merapi.

Gunung Merapi yang terletak di utara Jogja ini merupakan salah satu gunung api paling aktif di seluruh dunia, yang rutin mengalami erupsi sekitar 2 – 5 tahun sekali. Dalam kilas sejarah Indonesia, tidak jarang erupsi ini berakibat fatal, dengan erupsi besar terakhirnya pada tahun 2010. Seringnya erupsi juga menjadi keunikan tersendiri bagi Gunung Merapi, yang mengalami perubahan ketinggian dan bentuk puncak dari waktu ke waktu.

Saat ini, kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berada dalam 4 wilayah administratif: Kabupaten Sleman di Provinsi Yogyakarta, Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten di Provinsi Jawa Tengah. Pesona Gunung Merapi selalu dapat menarik wisatawan mancanegara lewat aktivitas yang beragam. Jika Anda ingin berwisata sambil menambah wawasan, mengunjungi Museum Gunungapi Merapi di Sleman akan menambah pengetahuan Anda tentang vulkanologi dan geologi.

Bagi Anda yang gemar bertualang, aktivitas outdoor selain trekking dan pendakian yang dapat dilakukan adalah Merapi Volcano Tour/Lava Tour Merapi. Tour ini mengajak Anda mengitari lereng gunung menggunakan mobil jip. Sejumlah paket tersedia dengan rute dan harga yang beragam.

Selain menikmati keindahan gunung ini dari dekat, dengan tour ini Anda dapat mengunjungi Museum Sisa Hartaku dan melihat perkampungan yang terkena dampak erupsi sebagai pengingat akan dahsyatnya kekuatan alam.

Walau terkadang memakan korban, erupsi Gunung Merapi juga bermanfaat bagi kehidupan sekitar dengan abu vulkanik yang membantu kesuburan tanah dan menunjang pertanian masyarakat setempat. Itulah mengapa dalam ilmu kejawen maupun kepercayaan lokal di Jogja, Merapi selalu menjadi wujud dengan nilai kesakralannya tersendiri. Ibarat pasak yang menjaga kestabilan Pulau Jawa, Gunung Merapi akan selalu berperan penting bagi seluruh masyarakat yang hidup di sekitarnya. Baik dalam legenda, maupun di kehidupan nyata.

Yogyakarta memiliki garis imajiner yang menghubungkan Tugu Jogja, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak secara simetris. Garis yang menyimbolkan kesinambungan antara manusia dengan sesama, alam, dan Tuhannya ini juga sejajar dengan letak Gunung Merapi. Menunjukkan peran sang gunung yang selalu signifikan dalam pandangan masyarakat Jogja.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Reuben Teo

Media Pemersatu Masyarakat Gayo

Terasa ada yang kurang rasanya jika berkunjung ke Tanoh Gayo jika tidak menyaksikan pacuan kuda, atau dengan bahasa setempat disebut pacu kude. Sebuah event perlombaan pacuan kuda tradisional yang selalu ditunggu-tunggu dan membawa berkah di tiga kabupaten Gayo, yaitu Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues.

Dengan segala keunikannya, pacu kude merupakan hiburan rakyat turun-temurun di Tanoh Gayo yang telah berlangsung bahkan sebelum datangnya Belanda. Pada eranya pacu kuda digelar dengan arena pacuan yang lurus di tepi pantai Danau Lut Tawar yang jaraknya sekitar 1,5 km.

Dengan sisi barat berbatas Danau Lut Tawar sementara sisi timur dipagari dengan geluni (sejenis rotan). Pacu kude ini biasa diselengggarakan pada saat luwes belang – masa setelah masa panen padi yang sering kali berada di bulan Agustus. Cuaca pada saat bulan itu juga sangat mendukung karena berada dalam musim kemarau. Hingga kemudian ditetapkanlah pacu kude pada bulan Agustus tersebut.

Uniknya pada saat itu para joki tidak diperkenankan menggunakan baju alias telanjang dada. Para pemenang juga tidak diberi hadiah, lantaran ‘gah’, marwah gengsi atau status sosial yang dipertahankan dan menjadi taruhan utama dalam tiap pacu kude. Kemenangan yang diperoleh tersebut dilanjutkan dengan perayaan dan syukuran oleh penduduk setempat dengan sistem ‘bersigenapen’ yaitu saling sumbang – menyumbang untuk biaya perayaan kemenangan tersebut.

Sekitar tahun 1912, pemerintah Belanda melihat pacu kude sebagai media yang dapat mempersatukan masyarakat Gayo. Melihat peluang itu pemerintah Belanda memindahkan arena pacuan kuda ke Takengon, tepatnya di Blangkolak yang sekarang bernama Lapangan Musara Alun. Pacuan kuda di waktu pendudukan Belanda diselenggarakan setiap ulang tahun Ratu Wilhelmina yang juga bertepatan pada bulan Agustus, dan para pemerintah belanda membuat event ini jauh lebih meriah.

Para pemenangpun diberi hadiah dan piagam juga disediakan biaya makan untuk kuda. Lambat laun tradisi memberi hadiah berlanjut hingga kini. Selain itu semenjak dipindahkannya arena pacu kude, sistem dan aturannya juga berubah. Mulai dari arena yang sebelumnya lurus menjadi oval dengan pagar rotan di kanan-kirinya, hingga para joki yang sebelumnya bertelanjang dada saat mengendarai kuda pada saat itu juga mulai diberi baju warna-warni.

Tradisi ini terus berlangsung hingga sekarang, dengan semakin banyaknya pembaruan. Mulai dari arena yang di pindahkan ke tempat yang lebih besar dan layak, pagar yang menggunakan tiang besi dan start yang menggunakan box start. Bahkan kuda-kuda yang dipacu tidak lagi hanya kuda lokal. Kuda-kuda tinggi, besar, dan gagah hasil persilangan kuda Australiapun berpacu disini.

Yang masih melekat hingga sekarang ialah joki cilik-nya. Ya, para joki di pacuan kuda gayo ini umumnya adalah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kuda-kuda yang mereka tunggangi juga tidak menggunakan pelana melainkan hanya menggunakan tali kekang. Namun mulai dengan masuknya kuda-kuda yang berpostur tinggi, kuda-kuda tersebut mulai menggunakan pelana. Tapi tidak dengan kuda kelas F, yang mana merupakan kuda lokal Gayo.

Umumnya ada 6 klasifikasi yang dipertandingkan disini yaitu A, B, C, D, E, F dan klasifikasi ini dibagi menjadi 2 kategori lagi berdasarkan tua dan muda. Biasanya untuk membedakan klasifikasi ini kuda yang akan dipacu diukur dan didata terlebih dahulu. Dan kuda-kuda lokal Gayo biasanya masuk dalam klasifikasi D, E, dan F, sedangkan untuk kuda-kuda hasil persilangan masuk dalam klasifikasi A, B, dan C.

Selain menjadi hiburan rakyat, pacu kude juga menjadi tempat masyarakat Gayo ataupun wisatawan untuk berbelanja dan menikmati hiburan anak. Karena saat diselenggarakannya pacu kude ini, terdapat banyak pedagang yang menjual aneka jenis barang dan pakaian terpusatkan di hari pacuan kuda.

Bahkan para pedagang yang berjualan di pacuan kuda tidak hanya pedagang lokal, pedagang dari luar kota pun ikut berjualan di lokasi pacuan kuda di Tanoh Gayo ini. Seperti pasar malam dan wahana mainan anakpun ikut meramaikan suasana pacuan kuda di Gayo.

Sekarang pacu kude menjadi event tahunan yang diadakan setahun sekali untuk memperingati hari lahirnya kabupaten-kabupaten itu sendiri. Untuk di Aceh Tengah sendiri pacu kuda bahkan diadakan 2 kali dalam setahun, yaitu di hari ulang tahunnya kota Takengon pada bulan Februari, juga di hari lahirnya bangsa Indonesia pada 17 Agustus.

Jadi, dalam setahun ada 4 kali event pacu kuda yang diselenggarakan di Dataran Tinggi Gayo. Dan buat kalian yang berlibur ke Dataran Tinggi Gayo, jangan sampai melewatkan salah satu hiburan rakyat Gayo yang sangat unik dan menarik ini. Rugi rasanya jika telah sampai Dataran Tinggi Gayo namun tidak menyaksikan pacu kude.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : Iqbal Fadly & Ibna Alfattah

Menilik Trend Kedai Kopi di Tanoh Gayo

Masyarakat Provinsi Aceh, khususnya masyarakat Gayo, sangat sulit dipisahkan dari yang namanya kopi. Kedai kopi sangat banyak kita temui di Gayo. Baik siang maupun malam, berbagai lapisan masyarakat mengisi kedai-kedai kopi untuk bersantai minum kopi.

Tidak terbatas dari yang tua maupun muda, pria atau wanita, semua mampu berbaur tanpa sekat dan batas. Bisa dikatakan, kopi ibarat nafas bagi Orang Gayo yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Sebagai komoditas utama di Tanoh Gayo, banyak masyarakat Gayo yang setuju dengan istilah setempat: “Dari kopi kami hidup, maka dari kopi pula kami mati”.

Budaya minum kopi ini sudah sejak dahulu masyarakat Gayo lakukan, menjadi kebiasaan yang mendarah daging hingga kini sebagai teman disaat ngobrol dan kerja, apalagi mayoritas penghidupan masyarakat Gayo adalah sebagai petani kopi.

Sajian kopi ini juga tidak hanya di kedai-kedai kopi melainkan di setiap rumah masyarakat Gayo. Bahkan sejak dulu, kalau ada orang bertamu ke rumah orang Gayo pasti kopi akan tersedia sebagai suguhan utama dengan makanan ringan lainnya.

Dalam beberapa tahun kebelakang, kopi asal Dataran Tinggi Gayo semakin terkenal dan lebih sering kita dengar dalam dunia perkopian di dalam negeri maupun mancanegara. Kopi gayo ini termasuk dalam jenis arabika terbaik di pasar dunia. Perkebunan kopi yang telah dikembangkan sejak 1908 ini tumbuh subur di Dataran Tinggi Gayo, yang menjadikannya produksi kopi arabika terbesar di Asia yang memiliki cita rasa yang khas dan nikmat.

Seiring itu, pola sajian kopi di warung-warung kopi di Gayo juga mengalami perubahan kearah sajian modern. Jika biasanya sajian minum kopi hanya dengan menggunakan cara tradisional, kini mulai berkembang menggunakan alat modern seperti coffee maker maupun mesin espresso.

Ciri penikmat kopi juga mulai berubah. Jika di kedai kopi biasanya pemesan kopi hanya memesan kopi sanger atau kopi hitam, kini menu varian kopi di kedai kopi modern atau coffee shop lebih banyak kita dapati. Tidak diragukan lagi kalau dari segi cita rasa, kopi gayo sangat menjaga kualitasnya bahkan beberapa produsen kopi besar di indonesia mengambil biji kopi gayo sebagai pelengkap cita rasa kopi mereka. Dan untungnya, untuk menikmati cita rasa kopi gayo yang terkenal di seluruh mancanegara ini, kita tidak perlu mengeluarkan uang banyak, namun cukup dengan Rp.12.000 kita bisa menikmati espresso single origin gayo.

Sekitar tahun 2008, kedai kopi yang bernama Bergendal memperkenalkan konsep kedai kopi modern di Dataran Tinggi Gayo, tepatnya di Gegerung, Kabupaten Bener Meriah. Kedai kopi ini sangat eksis sejak pertama kali dibuka, para pengunjung yang sangat antusias dan penasaran dengan konsep yang diberikan Bergendal kopi ini membuat kedai kopi ini selalu ramai, dari kalangan muda ataupun tua semuanya berbaur bersama di kedai kopi yang bergaya modern ini.

Dengan berjalannya waktu kedai-kedai kopi modern ini pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Kedai-kedai kopi ini selalu dijejali penikmat dan pecandu kopi. Selain untuk menikmati kopi itu sendiri mereka juga menjadikan kedai-kedai kopi modern ini sebagai tempat bergaul dan diskusi. Dan persaingan kedai kopi ini pun terus berlangsung, tidak hanya dari cita rasa dan menu, tapi juga dari tampilan dan konsep kedai-kedai kopi yang di berikan.

Para pengunjung di setiap kedai kopi itu juga berbeda-beda kalangan, sesuai konsep kedai kopi itu sendiri. Seperti kedai kopi ARB, kedai kopi ini sangat mengikuti perkembangan dunia kopi dengan sangat baik, ditambah desain dan tempat yang sangat modern. Membuat para remaja dan pemuda sering berkumpul di sini, untuk berdiskusi atau hanya sekedar menikmati kopi dengan teman.

Lain halnya dengan Seladang kopi, kedai kopi ini memiliki konsep yang sangat unik dan menarik walau hanya memiliki mesin kopi manual. Tapi tidak membuat para pengunjung atau wisatawan cemberut di kedai kopi ini, kedai kopi ini memiliki konsep yang sangat fresh yaitu minum kopi di kebun kopi.

Dengan konsep itulah kedai kopi ini mendatangkan pengunjung lokal maupun luar, untuk merasakan suasana minum kopi di alam terbuka dengan pemandangan di kelilingi pohon kopi. Ada pula kedai kopi yang juga menjadi favorit yaitu Galeri Kopi Indonesia, yang menawarkan pengalaman belajar mengenal dan membuat kopi langsung di kebun kopi.

Dengan semakin banyaknya kedai-kedai kopi modern, maka lapangan perkerjaan pun mulai terbuka lebar dan membuat para remaja-remaja Gayo semakin tertarik dengan kopi. Pihak pemerintahpun mencoba tanggap dengan keadaan ini dengan membuka pelatihan-pelatihan barista atau roaster, atau event pertandingan menyeduh kopi. Dan hingga tahun-tahun kedepan, Dataran Tinggi Gayo diharapkan akan terus menjadi surga bagi semua penikmat kopi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy & Iqbal Fadly