Kekayaan Rasa yang Melegenda

Makassar dan kuliner adalah kombinasi yang sangat tepat untuk mengenal lebih dekat tentang kekayaan Indonesia. Makassar termasuk salah satu kota di Indonesia yang terkenal akan ragam pilihan menunya dengan rasa yang istimewa. Berikut ini adalah menu khas terbaik yang layak Travelers coba ketika mengunjungi Makassar.

COTO MAKASSAR

Makanan ini merupakan makanan berkuah yang menggunakan jeroan atau isi perut sapi sebagai bahan dasar utama. Sebelum disantap bersama kuah segar, jeroan sapi harus direbus dan dibumbui terlebih dahulu dengan bumbu yang diracik secara khusus. Coto makassar biasanya disajikan dengan ketupat dan burasa yang umumnya disajikan pada hari-hari spesial masyarakat Makassar.


ES PISANG IJO

Kudapan asli Kota Daeng ini menjadi favorit bukan hanya karena kesegarannya, tetapi juga karena penampilannya yang menarik. Bahan utama yang digunakan untuk membuat es pisang ijo ini terdiri dari pisang segar yang dibalut dengan adonan khusus berwarna hijau. Adonan pisang kemudian dikukus dan disajikan bersama es batu, bubur sumsum, susu kental, dan sirup merah. Menurut filosofinya, warna hijau pada menu ini melambangkan kesucian, sejuk dan tenteram.


ES PALLU BUTUNG

Sekilas menu ini mirip dengan es pisang ijo yang juga berbahan utama pisang. Perbedaan antara kedua menu ini terletak pada pengolahan pisangnya. Pada es pallu butung, pisang yang sudah direbus akan dipotong kecil-kecil sebelum disiram dengan bubur berwarna putih yang terbuat dari tepung beras dan santan. Setelah itu ditambahkan es serut, sirup berwarna merah secukupnya serta susu kental manis untuk memberikan rasa manis pada es.


BARONGKO

Kue khas Bugis di Makassar ini terbuat dari bahan dasar pisang yang dihaluskan bersama gula pasir, garam, telur, dan santan yang diolah menjadi adonan. Adonan kue barongko yang sudah jadi akan dibungkus dengan daun pisang dan dikukus hingga matang, sebelum disimpan ke dalam lemari es. Pada zaman kerajaan dulu, kue khas Makassar ini menjadi hidangan penutup untuk kalangan raja-raja Bugis.


SUP KONRO

Menu ini dibuat dari iga sapi yang harus melewati proses perebusan terlebih dahulu sebelum disantap, agar iga sapi empuk dan bisa terlepas dari tulang. Rasa kuah yang sedap ini berasal dari paduan rempah-rempah khas Indonesia dan campuran bahan seperti ketumbar, keluwak (buah yang menyebabkan masakan berwarna hitam), sedikit pala, kunyit, kencur, kayu manis, asam, daun lemon, cengkih, dan juga daun salam.


KONRO BAKAR

Perbedaan konro bakar dengan sup konro berada pada olahan daging iganya. Daging iga pada konro bakar disajikan dengan dibakar terlebih dahulu dan disajikan terpisah dari sup. Konro bakar tak kalah enak dengan sup konro, tulang iga yang masih terbalut dengan daging sapi tersebut dapat disantap bersama guyuran bumbu kacang serta kuah sup konro yang kaya rempah dan berwarna hitam pekat.


PALLUBASA

Makanan khas dengan olahan sapi selanjutnya adalah pallubasa. Masakan khas Makassar yang satu ini terbuat dari jeroan sapi atau kerbau dan memiliki perbedaan dengan makanan khas Makassar berkuah lainnya, seperti coto makassar. Perbedaannya dengan coto makassar terdapat pada rasa yang dihasilkan. Meski tampilan menu berkuah ini serupa, pallubasa memiliki cara memasak serta bagian daging yang digunakan berbeda dengan coto makassar. Selain itu cara penyajian pallubasa menggunakan taburan kelapa sangrai di atasnya.


PALLUMARA

Nama kuliner khas Makassar yang satu ini terdengar mirip dengan pallubasa. Namun terdapat perbedaan dari segi bahan utama dan rempah yang digunakan sebagai bumbunya. Pallumara merupakan makanan berkuah asal Makassar yang menggunakan daging ikan atau kepala ikan kakap merah besar sebagai bahan utamanya. Setelah daging ikan diolah dan dibumbui, daging ikan tersebut dicelupkan ke dalam kuah kental berbahan dasar kemiri yang menghasilkan cita rasa gurih, asam dan pedas. Filosofinya, suku Makassar dan Bugis sering memasak bagian kepala ikan untuk sang anak. Kepala ikan ini melambangkan posisi yang tinggi dan sebagai bentuk doa dari orang tua agar kelak sang anak menjadi pemimpin.


SONGKOLO BAGADANG

Songkolo atau yang juga kerap disebut Sokko, adalah sajian nasi ketan hitam atau putih yang ditaburkan serundeng atau parutan kelapa sangrai. Songkolo ini biasanya dimakan bersama sambal goreng pedas dan ikan kering teri, atau ikan bete-bete (ikan petek) kering yang digoreng. Untuk penyajian lebih nikmat, menu ini biasanya disajikan dengan telur bebek asin.


CUCURU BAYAO

Kue ini dibuat dari puluhan kuning telur, kenari, dan gula pasir murni. Rasa yang sangat manis dan aroma yang kuat adalah ciri khas dari kue berwarna kuning ini. Kue ini terbuat dari campuran kuning telur dan tepung terigu yang dikukus di atas api kecil. Kue yang biasanya dihias dengan kenari ini merupakan sajian wajib di Makassar dalam acara-acara keluarga seperti pesta pernikahan.

Artikel : Linda | Foto : George Timothy, Ariyani Tedjo, Ayub Ardiyono

Tenunan Untaian Harapan

Salah satu wujud kekayaan budaya Indonesia tercerminkan dari lahirnya wastra atau kain tradisional Nusantara. Sebagai peninggalan turun menurun, wastra melekat menjadi sebuah identitas khusus dari tiap daerah dan memiliki sebutannya masing-masing.

Diolah dengan indahnya, tiap helai, motif, serta corak pun memiliki nilai dan arti. Begitu pula dengan adanya sarung tenun sutra Bugis Lipa’ Sabbe yang kerap menjadi buah tangan pilihan Travelers yang berkunjung ke Kota Anging Mamiri.

Nama Lipa’ Sabbe sendiri berasal dari bahasa Bugis yang artinya sarung sutra. Dalam pemakaiannya, Lipa’ Sabbe digunakan sebagai bawahan sarung yang dipadukan dengan jas tutup bagi laki-laki. Untuk perempuan, sarung ini dikenakan sebagai bawahan dari baju bodo, di mana biasanya salah satu ujung Lipa Sabbe’ dibiarkan menjuntai dan cukup dipegang menggunakan tangan kiri. Khusus untuk pertunjukan tari tradisional, umumnya Lipa’ Sabbe akan digulung di bagian punggung dengan simpul menyerupai kipas.

Apabila Travelers ingin mengunjungi langsung sentra kerajinan Lipa’ Sabbe, maka wajib untuk mampir ke Kota Sengkang, Kabupaten Wajo. Berjarak sekitar 4 – 5 jam dari Kota Makassar, menggunakan kendaraan pribadi maupun umum.

Ketika Travelers memasuki Kota Sengkang maka akan terlihat sebuah gapura besar yang bertuliskan “Selamat Datang di Sengkang Kota Sutera”. Diajarkan secara turun-temurun, keterampilan masyarakat Sengkang dalam mengolah sutra sudah tersohor di Sulawesi Selatan.

Mulanya, benang sutra yang digunakan merupakan benang impor, namun kini warga sudah melakukan proses pemeliharaan ulat sutra sendiri di rumah-rumah. Kondisi tanah yang subur di wilayah ini pun memudahkan para warga untuk menanam pohon murbei yang menjadi pakan utama ulat sutra.

Terkenal dengan teksturnya yang halus dan mengkilat, Lipa’ Sabbe asli Kota Sengkang ditenun menggunakan dua teknik. Yang pertama adalah dengan menggunakan alat tenun gedongan, di mana menenun dilakukan sembari duduk dan meluruskan kedua kaki ke depan, atau dengan melipat salah satu kaki. Kedua adalah dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang dilakukan dengan posisi duduk sambil menginjak sepasang pedal kayu yang terdapat di bagian bawah ATBM secara silih berganti dengan kaki kiri dan kanan.

Untuk satu potong Lipa’ Sabbe biasanya memakan waktu 3 hari hingga 1 minggu untuk diselesaikan, tergantung dari motif maupun coraknya, dan tiap potong Lipa’ Sabbe asli Sengkang ini dijual dengan kisaran harga antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000.

Seiring dengan perkembangan zaman, elemen-elemen kain Lipa’ Sabbe pun menjadi lebih variatif. Bermula dari motif tradisional kotak-kotak kecil berwarna cerah yang disebut balo renni atau motif kotak-kotak besar dengan warna merah terang hingga merah keemasan yang disebut balo lobang, kini motif-motif modern pun sudah semakin banyak diproduksi. Akan tetapi, perkembangan ke arah lebih modern dilakukan dengan tetap menjaga nilai-nilai keunikan dan warna khasnya.

Sarung tenun sutra Bugis ini tentunya menjadi salah satu gambaran nyata akan keelokan dan kekayaan budaya Sulawesi Selatan, di mana tiap helai benang, motif, corak serta warna, mencerminkan harapan kebaikan dari sosok penenun di balik keindahan Lipa’ Sabbe.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Iqbal Fadly

  • Catatan

    Hingga saat ini, masyarakat Sulawesi Selatan kerap mengenakan Lipa’ Sabbe dalam acara adat, acara pernikahan seperti mappacci, dan juga sebagai hadiah pernikahan untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki. Pada tahun 2016, Lipa’ Sabbe resmi menjadi bagian dari 33 kain tradisional yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Istana di Atas Samudra

Hamparan laut yang mengelilingi Indonesia telah menyaksikan timbul tenggelamnya berbagai jenis perahu dan kapal. Dengan gaya tradisional, atau modern. Dengan fungsi kapal nelayan, dagang, atau perang.

Di antara kapal-kapal yang menghias laut Nusantara, pinisi mungkin menjadi yang paling dikenal saat ini. Dengan bentuknya yang gagah dan anggun, kapal-kapal pinisi konon selalu meramaikan tiap pelabuhan utama Hindia-Belanda pada masa kolonial.

Namun keistimewaan pinisi bukan hanya terdapat pada perannya dalam sejarah kelautan Indonesia. Tapi juga pada seni pembuatannya yang penuh dengan nilai dan cerita yang menarik untuk kita pelajari bersama.

Sejatinya, penyebutan pinisi sebenarnya lebih merujuk ke seni pembuatan kapal dengan jenis layarnya yang khas, yaitu memiliki dua tiang, dan tujuh layar. Ketujuh layar melambangkan tujuh samudra di dunia yang siap diarungi tiap kapal pinisi. Umumnya, panjang tiap kapal pinisi adalah 20 – 35 m, dengan bobot yang dapat mencapai ratusan ton. Seni pembuatan kapal pinisi berasal dari suku Konjo, sub-etnis suku Bugis yang mendiami bagian pesisir dari ujung selatan Pulau Sulawesi.

Sebagai suku dengan skill maritim yang melegenda, orang Bugis dikenal sebagai ahli navigasi, pelayaran, dan tentunya pembuatan perahu. Dengan kapal-kapalnya, orang-orang Bugis berlayar hingga ke daerah lain di Asia Tenggara, Australia hingga Afrika untuk merantau dan mencari peruntungan. Pinisi merupakan salah satu cerminan falsafah hidup masyarakat Bugis pesisir untuk mengembara di lautan lepas. Dengan perahu sebagai kaki untuk hidup, dan mencari penghidupan.

Legenda seputar pinisi banyak terdengar. Beberapa masyarakat setempat percaya kalau asal-usul pinisi berangkat dari cerita Sawerigading, seorang tokoh sentral dalam sastra epik Bugis Sureq Galigo yang diperkirakan ditulis antara abad 13 dan 15.

Legenda menceritakan bagaimana Sawerigading yang merantau ke negeri Tiongkok, mencoba untuk melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak kembali ke tempat asalnya di tanah Bugis. Kapalnya pun hancur diterjang badai, dan pecahan kapalnya berserakan hingga ke perairan Bulukumba. Pecahan-pecahan kapal itulah yang ditemukan warga setempat dan dijadikan sebuah kapal baru yang dikenal sebagai pinisi.

Akan tetapi, para ahli dan sejarawan memperkirakan kalau pinisi mulai ada di perairan Nusantara pada pertengahan abad 19 sebagai kapal kargo untuk perdagangan. Bentuk kapal pinisi yang seperti sekarang ini merupakan hasil dari gabungan berbagai elemen pembuatan kapal tradisional di Sulawesi, seperti sistem layar tanjaq serta lambung dasar tipe pa’dewakang atau palari. Elemen-elemen tradisional ini kemudian digabungkan dengan teknik pembuatan schooner atau sekunar yang diperkenalkan oleh orang-orang Eropa pada masa kolonial.

Travelers dapat mempelajari dan melihat langsung pembuatan kapal-kapal pinisi di Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, atau sekitar 5 – 6 jam perjalanan dari Makassar dengan kendaraan pribadi. Di wilayah pesisir ini, terdapat tiga desa yang identik dengan kesenian pinisi, yaitu Ara, Bira, dan Lemo-Lemo. Mata pencaharian utama masyarakat di ketiga desa itu adalah pembuatan kapal yang masih ditekuni hingga saat ini, salah satunya kapal pinisi.

Jelas, pembuatan tiap kapal pinisi membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit. Pemesanan satu buah kapal pinisi dapat menghabiskan ratusan juta hingga milyaran rupiah, dengan waktu pengerjaan setidaknya 4 bulan, hingga bertahun-tahun.

Ahli pembuat kapal pinisi disebut sebagai panrita lopi atau punggawa. Tidak sembarang orang dapat menjadi punggawa. Kalau bukan karena bakat dan keterampilan yang istimewa, hanya garis keturunanlah yang dapat menentukan seseorang untuk bisa menjadi seorang punggawa yang dihormati penduduk setempat. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas lahirnya sebuah kapal, punggawa dituntut untuk menguasai setiap aspek dalam pembuatan kapal pinisi, dari segi teknik maupun nilai-nilai kesakralan yang harus diperhatikan.

Tanpa desain tertulis, para punggawa merangkai kapal untuk tiap sambalu, pemesan yang mendanai pembangunan kapal. Dalam prosesnya, punggawa dibantu oleh sejumlah sawi dengan tugasnya masing-masing. Sebagai sebuah bentuk kesenian turun-temurun, tiap pembuatan pinisi disertai dengan serangkaian upacara adat dalam tiap tahap pembuatannya. Kapal merupakan ‘anak’ dari para punggawa. Dan tiap upacara mengibaratkan pinisi bagai seorang anak yang baru lahir, sehingga punggawa perlu memimpin berbagai ritual demi mendoakan keselamatannya.

Dimulai dari memilih kayu, yang biasanya dilakukan di hari ke-5 atau ke-7 dari setiap bulan karena dipercaya sebagai hari baik dan dapat mendatangkan rezeki. Kayu yang umum digunakan sebagai bahan pembuatan kapal pinisi adalah kayu besi, ulin dan pude untuk bagian fondasi kapal, dan kayu jati untuk kamar dan bagian lain yang tidak langsung terkena air laut. Upacara adat saat proses mencari kayu dikenal sebagai Anna’bang Kalabiseang, yang dilaksanakan seiring kayu yang telah dipilih sebagai lunas, jatuh ke tanah.

Sebagai fondasi utama dan tulang dari kapal, bagian lunas atau kalabiseang memegang peranan penting dan menjadi hal pertama yang diproses dalam pembangunan pinisi. Bagian yang berada di bawah kapal ini dulunya hanya terbuat dari kayu pohon bitti yang terkenal akan kekokohannya dan sering dijadikan tiang rumah penduduk setempat. Namun saat ini banyak juga pinisi yang memakai kayu besi sebagai lunasnya. Proses pemotongan dan penyatuan bagian dari lunas juga disertai dengan upacara Annattara, ritual yang melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dalam pernikahan.

Tahap selanjutnya adalah proses memasang dinding atau kulit kapal, kemudian rangka perahu yang mengikuti kulit kapal. Proses ini menjadi salah satu keunikan pembuatan pinisi dibanding kapal-kapal lain yang umumnya mendahulukan pemasangan kerangka.

Badan yang membentuk lambung kapal pun menjadi tahap berikutnya. Papan-papan kayu disatukan dengan metode sambungan layaknya susunan batu bata, yang kemudian dipasak, direkatkan, dan didempul. Badan kapal lalu ditutup dengan geladak atau deck, serta penambahan ruang-ruang kamar di atasnya.

Peluncuran kapal pinisi ke laut juga disertai upacara tolak bala, yaitu Appasili. Tahap berikutnya, para punggawa membuat pusar di tengah-tengah bagian lunas dalam upacara Ammosi Biseang. Upacara ini mengibaratkan ritual ‘pemotongan tali pusar’ pada bayi yang baru lahir.

Setelah kapal pinisi terapung di lautan, kedua tiang serta ketujuh layar yang menjadi ikon pinisi pun dipasang. Sebagai sentuhan terakhir, kapal dihias dan diisi dengan berbagai furnitur istimewa sesuai keinginan para sambalu.

Saat ini fungsi pinisi memang bukan lagi sebagai pengangkut kargo antarpulau, dan lebih banyak difungsikan sebagai kapal pesiar untuk tujuan wisata. Travelers bisa menemukan berbagai paket trip sailing atau live-on-board dengan pinisi di Teluk Jakarta, Bali, Labuan Bajo, Raja Ampat, dan lain sebagainya. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti bar atau Jacuzzi, kapal-kapal pinisi yang dibangun di bantilang atau galangan tradisional yang sederhana, mengapung di perairan biru bagai hotel bintang lima di tengah samudra. Dengan kisaran harga sewa yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per malamnya.

Meski saat ini semua kapal pinisi telah dibantu tenaga mesin, pinisi dianggap sebagai salah satu kapal layar di dunia yang masih berlayar di era modern seperti saat ini. Pada tahun 2017, UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal pinisi sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan.

Selain menjadi kebanggaan Indonesia, seni pembuatan pinisi secara tradisional yang masih bertahan di Sulawesi Selatan ini mencerminkan bagaimana ilmu pelayaran dan kelautan telah lama mengakar di darah masyarakat Nusantara. Dengan berbagai legenda dan kehebatannya menerjang ombak di atas samudra, pinisi mungkin menjadi bukti kalau benar, ‘nenek moyangku seorang pelaut.”

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Cece Chan

  • Catatan

    Pinisi semakin dikenal dunia sejak Expo Vancouver tahun 1986, saat Indonesia mengirimkan pinisi dari Jakarta menyeberangi Samudra Pasifik hingga ke Vancouver, Kanada.

Sepak Bola Tak Bergawang

Sekilas, mungkin permainan paraga mengingatkan Travelers akan sepak takraw di sejumlah daerah Melayu. Di mana sejumlah laki-laki bermain mengendalikan bola yang terbuat dari rotan dengan kaki mereka. Hanya saja, permainan khas Bugis dan Makassar ini memiliki sejumlah ciri khas yang menonjol. Sehingga permainan ini sering dikategorikan lebih dari sebatas olahraga atau permainan tradisional saja, tapi juga sebuah bentuk kesenian yang sarat akan nilai-nilai tradisi.

Menurut naskah-naskah lontara, paraga (sering juga disebut a’raga atau ma’raga) telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar setidaknya sejak zaman Kerajaan Gowa – Tallo. Bahkan ada yang menyebut bahwa paraga pertama kali dimainkan pada masa To Manurung, sosok yang diyakini sebagai raja Gowa pertama.

Awalnya paraga hanya dimainkan oleh kaum bangsawan dan dipertunjukkan pada saat acara tertentu saja, seperti penobatan raja atau penerimaan tamu-tamu istimewa. Seiring waktu, paraga berkembang menjadi permainan rakyat yang juga digemari masyarakat umum, bahkan menjadi ajang ketangkasan dan kejantanan tiap bujang yang ingin menarik hati para gadis pujaannya. Di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, paraga juga menjadi salah satu media komunikasi selama penyebaran agama Islam.

Paraga dimainkan oleh 5-15 orang dan umumnya oleh kaum adam saja. Pemain paraga harus mengenakan pakaian tradisional Bugis – Makassar, lengkap dengan passapu atau destar khas daerah setempat yang menjadi salah satu elemen penting dari permainan ini. Paraga biasanya juga diiringi dengan pemain musik. Alat musik tradisional seperti gong, gendang, pui-pui dan calung-calung kerap meramaikan atraksi ini.

Bola raga yang terbuat dari anyaman rotan menjadi atribut utama dari paraga. Dengan kaki, tangan, dan kepala, para pemain memainkan bola raga dan mengendalikannya agar tidak jatuh ke tanah. Bola raga juga dimainkan dalam berbagai posisi. Mulai dari berdiri, duduk di tanah, posisi jongkok maupun rebah. Para pemain juga bisa men-juggle bola raga di tangan, lengan atau bahu mereka. Bahkan para pemain juga bisa menangkap dan menahan bola raga di kepala dengan bantuan passapu.

Biasanya para pemain akan membentuk formasi lingkaran dan memegang kendali bola raga secara bergantian. Tiap pemain akan mendapat kesempatannya masing-masing, mereka tidak boleh merebut bola dan harus menunggu giliran untuk dioper. Peraturan ini merupakan sebuah cerminan nilai tradisional akan pembagian peran dalam kehidupan sehari-hari. Saat mengendalikan dan mengoper bola raga, para pemain paraga juga menyelingi gerakan-gerakan seperti tarian yang mengikuti irama musik yang ada.

Salah satu hal menarik dari paraga sebagai atraksi yang mengundang penonton terdapat di sejumlah formasi yang para pemain bentuk. Ada beberapa jenis formasi ‘menara’, di mana para pemain saling mengangkat atau appanca dalam bahasa setempat. Susunan formasi menara dapat terdiri dari 6 orang, dan orang yang berada di puncak formasilah yang mengendalikan bola raga dengan tangkasnya. Formasi menara ini dipercaya mencerminkan nilai gotong-royong dalam budaya Bugis – Makassar.

Meski sudah berusia ratusan tahun, semangat masyarakat setempat untuk melestarikan paraga masih dapat terlihat, dengan generasi tua dan muda yang bermain bersama. Paraga memang mengandung nilai-nilai tradisional Bugis dan Makassar yang telah ada sejak zaman kerajaan terdahulu. Meski dalam sejarahnya, paraga terus beralih fungsi, diawali dari kegiatan kerajaan yang berkembang menjadi permainan tradisional, kini paraga dirayakan sebagai salah satu atraksi yang turut mewarnai ragam budaya di Indonesia.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Rezki Sugiarto Nurdin

Akan Safari di Timur Jawa

Begitu tiba di Banyuwangi dan sekitarnya, Travelers akan disuguhkan dengan pemandangan alam yang kaya akan flora dan fauna. Tak disangka jika ujung timur Pulau Jawa ini menjadi habitat bagi satwa-satwa liar yang dilindungi dan aneka macam tanaman langka.

Eksotisme ketiga taman nasional yang ada di Banyuwangi dan sekitarnya ini menghadirkan pesona tersendiri di tiap kawasannya. Berikut ialah beberapa taman nasional (TN) yang mengelilingi Banyuwangi dengan keunikannya masing-masing.

Taman Nasional Alas Purwo

Diyakini sebagai hutan tertua di Pulau Jawa, TN Alas Purwo terkenal angker dan keramat. Warga setempat yang mayoritas memeluk agama Islam dan Hindu ini masih datang ke TN Alas Purwo setiap tanggal 1 Suro untuk bersemedi dan bertapa. Konon, Alas Purwo merupakan tempat pelarian rakyat Majapahit dari penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.

Beberapa objek wisata yang dapat dikunjungi di dalam kawasan TN Alas Purwo yaitu Situs Kawitan, Gua Istana, Gua Mayangkoro, Gua Padepokan, Gua Persembunyian dan Meriam Jepang. Pura Giri Salaka merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit dari abad ke-14 yang ditemukan oleh warga secara tidak sengaja pada tahun 1967.

Beberapa mitos pun kerap kali bermunculan. Masyarakat sekitar meyakini bahwa di dalam taman nasional ini terdapat gapura-gapura gaib yang hanya bisa dilihat setelah melakukan ritual brata, yakni meditasi secara tiga hari berturut-turut tanpa makan dan minum serta dilarang untuk memiliki amarah kepada siapapun. Sesudah melakukan ritual brata, gapura gaib lengkap dengan para prajuritnya baru akan menampakkan wujudnya.

Tak hanya itu, TN Alas Purwo yang memiliki jenis tanah liat berpasir hampir di keseluruhan area, juga memiliki objek wisata lainnya yang sayang untuk dilewatkan. Objek wisata bahari seperti Plengkung atau G-Land, Cungur, Marengan, Triangulasi, Pancur, Pasir Putih, Sembulungan, Perpat dan Teluk Banyubiru dapat Travelers kunjungi saat tiba di kawasan taman nasional yang didominasi oleh rimbunan pohon mahoni ini.

Lokasi TN Alas Purwo berada di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur, dengan luas 43.420 ha serta ketinggian 322 mdpl. Taman Nasional yang diresmikan pada tahun 1993 ini memiliki beberapa padang Sadengan, yaitu area yang berfungsi sebagai penggembalaan dan monitoring banteng jawa. Inisiatif ini dilakukan untuk mengetahui jumlah populasi banteng jawa yang mulai berkurang di setiap tahunnya.

Di area penggembalaan ini pun sengaja ditempatkan sumber air buatan bagi banteng jawa dan satwa lainnya. Adanya area Sadengan ini pun memudahkan pengawas dalam menghitung jumlah populasi satwa yang ada. Terdapat 50 jenis mamalia, 700 jenis flora, 320 jenis burung, 48 jenis hewan reptil dan 15 jenis amfibi.

Satwa yang dapat ditemui di TN Alas Purwo di antaranya yaitu lutung, kera abu-abu, rusa, biawak, kijang, ajag, macan tutul dan babi hutan. Jika tiba di pagi hari sekitar pukul 06.00-10.00, Travelers bisa menyaksikan kawanan merak yang beriringan keluar.

Tipe hutan hujan dataran rendah yang secara geografis berada di ujung tenggara Pulau Jawa ini memiliki beberapa tipe ekosistem di dalamnya. Di antaranya yaitu hutan bambu, hutan pantai, hutan mangrove, hutan alam serta hutan tanaman.

Pesona keindahan yang ditawarkan menjadikan TN Alas Purwo ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia oleh UNESCO-PBB dan Geopark Nasional. Perbaikan infrastruktur menuju TN Alas Purwo menjadi salah satu alasan adanya kenaikan pengunjung mencapai 53,5 % atau sejumlah 211.049 orang di tahun 2018. Sejumlah fasilitas pun telah dibangun untuk mendukung kenyamanan para pengunjung seperti kantin, musala dan toilet.

Meskipun akses ke TN Alas Purwo sudah cukup baik, tapi sampai saat ini belum ada kendaraan umum yang melintasi kawasan tersebut. Pilihan terbaik ialah menggunakan kendaraan pribadi ataupun menyewa mobil. Rute dari Banyuwangi bisa memilih untuk mengarah ke Rogojampi kemudian melanjutkan ke arah Srono lalu mengambil arah ke Muncar. Setelah bertemu dengan perempatan Tembok, belok kanan menuju Pasar Sumberberas hingga tiba di Tegaldlimo. Dari situ bisa melanjutkan ke arah Pos Retribusi Karcis Rowobendo.

Dengan membeli tiket masuk TN Alas Purwo sebesar Rp 15.000 per orang, Travelers sudah berada di dalam kawasan TN Alas Purwo yang termasuk di dalam minat khusus yakni wisata religi, wisata spiritual, bahari maupun sejarah. Himbauan untuk para pengunjung agar menaati setiap peraturan yang ada di dalam kawasan TN Alas Purwo serta menghormati pengunjung lainnya yang kerap kali datang untuk melakukan kunjungan religi.


Taman Nasional Baluran

Taman nasional berikutnya berada di Situbondo, kabupaten di sebelah utara Banyuwangi. Taman Nasional Baluran merupakan kawasan konservasi serta habitat dari berbagai macam flora dan fauna. Eksotiknya alam Baluran yang sempat ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa pada tahun 1962, mengundang wisatawan baik itu domestik maupun mancanegara untuk berkunjung ke taman nasional dengan luas 25.000 ha ini.

Rumput sabana yang terbentang luas merupakan tempat di mana pengunjung bisa menyaksikan kerumunan satwa secara langsung berkeliaran layaknya di Afrika. Menyusuri taman nasional yang diresmikan pada tahun 1980 ini, Travelers akan bertemu dengan banteng jawa yang menjadi maskot Taman Nasional Baluran.

TN Baluran memiliki luas zona sekitar 12.000 ha. Rimba seluas 5.537 ha, perairan 1.063 ha dan daratan 4.574 ha. TN Baluran juga merupakan rumah bagi 444 jenis tumbuhan dan 26 jenis mamalia. Sempat mengalami kebakaran pada bulan Juli 2018, tidak mengurungkan niat pengunjung yang ingin melihat secara langsung banteng jawa, kerbau liar, rusa, kancil, kijang, kucing bakau, macan tutul, burung merak, burung ayam hutan merah dan satwa lainnya yang ada di TN Baluran.

Dugaan sementara, kebakaran hutan dipicu oleh kondisi kemarau dan adanya orang yang membuang puntung rokok sembarangan. Pengunjung dihimbau untuk lebih waspada jika sudah memasuki kawasan TN Baluran, terlebih lagi saat musim kemarau. Dedaunan kering yang menumpuk akan dengan mudah terbakar jika disulut oleh percikan api.

Terletak di tiga wilayah yaitu Banyuputih, Situbondo dan Wongsorejo, nama Baluran diambil dari nama gunung yang berada di daerah ini yaitu Gunung Baluran. TN Baluran terdiri dari sabana, hutan mangrove, hutan hijau, hutan tropis, hutan musim, hutan pantai, hutan pegunungan bawah dan hutan rawa. Di TN Baluran juga disediakan area camping yang sudah memiliki fasilitas kamar mandi dan air bersih.

Karena keindahan alamnya yang eksotik serta keragaman flora dan fauna, TN Baluran memiliki beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi. Di antaranya yaitu Bekol, Pantai Bama, Gua Jepang, Curah Tangis, Manting, Dermaga, Evergreen Forest, Lempuyang, Teluk Air Tawar dan Candi Bang.


Untuk melihat banteng jawa, kerbau liar, burung ayam hutan, rusa, burung merak, kijang, Travelers dapat singgah di Pos Bekol. Area Bekol ditandai dengan adanya kerangka kepala banteng dan kerbau liar yang digantung di sebuah papan.

Bekol sangat cocok bagi Travelers yang ingin hunting foto bertema kehidupan satwa liar. Namun, jika Travelers ingin menikmati suasana pantai, menyelam, snorkeling di area TN Baluran, bisa menyempatkan diri untuk singgah di Pos Bama. Lain halnya bagi pecinta olahraga panjat tebing, Travelers bisa singgah di Pos Curah Tangis yang memiliki tebing dengan ketinggian 10-30 meter serta tingkat kemiringan hingga 85 derajat.

Tidak ada waktu khusus yang ditetapkan untuk mengunjungi TN Baluran yang berjarak 45 km atau sekitar 1-1,5 jam dari Banyuwangi ini. Musim kemarau merupakan waktu yang pas untuk melihat hamparan sabana yang membentang luas, sedangkan keindahan bunga-bunga bisa dlihat pada waktu musim hujan.

Dari kota Banyuwangi Travelers bisa menggunakan bus menuju Terminal Probolinggo kemudian dilanjutkan dengan menggunakan bus tujuan Pelabuhan Ketapang lalu turun di pintu masuk TN Baluran. Jika memiliki kendaraan pribadi, Travelers bisa memilih jalur Banyuwangi-Batangan yang menempuh jarak 35 km dilanjutkan menuju arah Bekol sekitar 12 km. Jalur Bekol-Bama ini menuntun Travelers hingga ke pintu masuk TN Baluran.

Memang untuk menuju ke sana cukup menyita waktu, tetapi Travelers tidak akan menyesal begitu tiba di kawasan TN Baluran. Jangan lewatkan ke menara pandang untuk melihat lanskap TN Baluran yang dihuni oleh satwa liar yang berkeliaran dengan bebas. Menjelang matahari terbenam, terlihat gerombolan satwa yang hendak kembali ke habitatnya berbaris rapi dengan latar belakang senja yang indah layaknya film dokumenter yang ada di National Geographic.


Taman Nasional Meru Betiri

Terletak di pesisir selatan Pulau Jawa tepatnya di Kabupaten Pesanggaran di wilayah Banyuwangi dan Jember, Jawa Timur. Kawasan ini merupakan konservasi alam dengan luas 58 ha. Sama seperti Taman Nasional Baluran dan Alas Purwo, Travelers juga bisa mendapati kehidupan satwa-satwa liar secara langsung. Satwa liar yang dilindungi di TN Meru Betiri di antaranya yaitu banteng, macan tutul, ajag, rusa, monyet ekor panjang, merak, penyu belimbing, penyu sisik, penyu hijau, rusa, kucing hutan dan elang.

Yang membedakan TN Meru Betiri dengan kedua taman nasional lainnya yang ada di Banyuwangi ialah terdapat tempat penangkaran penyu. Bahkan dalam jangka waktu tertentu, pihak pengelola melepaskan tukik atau anak penyu di Pantai Sukamade yang masih berada di dalam kawasan TN Meru Betiri ini.

Pesona TN Meru Betiri semakin memukau sebagai habitat bagi bunga Rafflesia zollingeriana yang memiliki diameter 15-33 cm dengan kepala sari berjumlah 32-40 butir. Nama Meru Betiri diambil dari nama dua gunung yang ada di dalam kawasan ini, Gunung Meru dan Gunung Betiri.

Dahulu sebelum ditetapkan menjadi taman nasional, Meru Betiri telah dibuka oleh Belanda sebagai salah satu wilayah perkebunan. Maka tak heran jika di balik rimbunnya hutan TN Meru Betiri, masih terdapat perkebunan karet yang masih beroperasi hingga sekarang.

Mendukung potensi wisata yang ada, beberapa fasilitas penginapan juga disediakan untuk para pengunjung yang ingin menghabiskan malam. Tak hanya itu, fasilitas seperti kantin, musala, kamar mandi umum dan area parkir pun sudah tersedia. Jika menelusuri TN Meru Betiri, Travelers akan menjumpai beberapa pantai elok yang masih jarang dikunjungi oleh wisatawan.

Selain Kawah Ijen, ternyata Banyuwangi dan sekitarnya memiliki tiga taman nasional dengan ciri khas masing-masing. Sungguh keistimewaan yang patut dibanggakan oleh Provinsi Jawa Timur karena pesona alamnya yang luar biasa. Potensi wisata yang dimiliki oleh Banyuwangi, mendorong pemerintah setempat untuk bekerja lebih keras lagi untuk semakin memperkenalkan pariwisata Banyuwangi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy