Sehati Sepikir di Balik Keberagaman

Dalam setahun, Banyuwangi dapat menggelar ± 100 festival termasuk seni tari, budaya, musik, ritual dan olahraga. Dengan dukungan dari masyarakat setempat serta keindahan alamnya, Banyuwangi menjelma menjadi kota pariwisata yang inovatif dalam mengembangkan potensi daerahnya. Berikut beberapa festival yang kerap kali diadakan di Banyuwangi.

Tour de Ijen

Konsep Tour de Ijen untuk menyatukan olahraga dan pariwisata menjadi agenda rutin yang diselenggarakan setiap tahun di Banyuwangi. Pembalap yang berasal dari Indonesia dan mancanegara akan disuguhkan panorama Banyuwangi saat bersepeda. Rute yang dilalui ialah 599 km melewati beberapa tempat wisata, wilayah pemukiman, area pertanian, perkebunan kopi, karet dan cengkih kemudian jalur tanjakan ke gunung Ijen.

Tour de Ijen telah menjadi atraksi baru yang diminati oleh para turis, baik domestik maupun mancanegara. Secara tidak langsung, Tour de Ijen telah menjadi ajang promo wisata kota Banyuwangi sehingga bisa dikenal di mancanegara. Diselenggarakan setiap tahun, event ini selalu memiliki rute yang variatif sehingga masyarakat pun dapat merasakan dampaknya secara merata. Selain menikmati panorama, pembalap juga dapat berinteraksi dengan warga lokal atau sekedar menikmati kopi panas asli Banyuwangi.


Banyuwangi Ethno Carnival

Kemegahan festival Banyuwangi juga bisa ditemui di dalam Banyuwangi Ethno Carnival yang memadukan kebudayaan tradisional dengan modernisasi. Keunikan festival ini terlihat dari kostum tradisional yang digunakan oleh para model yang didesain dengan stylish dan berkelas internasional. Wisatawan bisa menyaksikan festival ini lebih dekat di sepanjang jalan menuju Kota Banyuwangi. Para model akan berjalan sejauh 2,2 km menggunakan kostum eksotik sambil diiringi atraksi tradisional.


Ijen Summer Jazz

Diselenggarakan di kaki Gunung Ijen, tepatnya di Taman Gandrung Terakota dengan pembelian tiket dimulai dari harga Rp 250.000 – Rp 800.000, Ijen Summer Jazz menawarkan cara menikmati pertunjukan musik jazz di alam terbuka berbalut dengan keindahan alam Banyuwangi yang memesona.Tim penyelenggara Jazz Gunung sengaja membuat panggung dekat dengan penonton agar para penonton dapat merasakan keintiman dengan para musisi yang tampil.

Beberapa musisi yang meramaikan acara Ijen Summer Jazz di antaranya ialah Andien, Idang Rasjidi, Marcell, Mus Mudjiono dan masih banyak lagi. Adanya jamuan makan malam semakin menambah kedekatan antara musisi dan penonton.

Dengan banyaknya festival yang diadakan di Banyuwangi setiap tahunnya, memberikan dampak positif bagi warga Banyuwangi. Perkembangan signifikan seperti pembangunan infrastruktur, penginapan, penyewaan kendaraan bermotor, warung-warung, hingga pusat oleh-oleh telah membawa berkah ekonomi bagi masyarakat setempat. Beragam festival terus diselenggarakan oleh pemerintah kota Banyuwangi setiap tahunnya dalam rangka memperkenalkan potensi wisata yang ada di Banyuwangi selain keindahan alamnya.


Festival Kuwung

Merupakan salah satu festival tertua yang diadakan di Banyuwangi. Kuwung yang berarti pelangi tergambarkan dengan jelas melalui keanekaragaman kesenian dan budaya yang ditampilkan oleh pendukung acara. Dengan jumlah ratusan pendukung termasuk pelaku peran, penari dan pemain musik yang kemudian terbagi ke dalam beberapa kelompok membawakan cerita sejarah zaman dahulu. Setiap adegan yang dibawakan akan diiringi oleh musik dan gending sesuai dengan alur cerita masing-masing kelompok.

Rute Festival Kuwung yaitu sejauh 2,5 km bermula dari kantor Kabupaten Banyuwangi lalu berakhir di Taman Blambangan. Pada Desember 2018, penyelenggara mengusung tema ‘Selendang Wangi’ yang memiliki makna wujud nyata semua pihak dalam menggali, mengembangkan dan melestarikan seni budaya Banyuwangi dengan penuh tanggung jawab dan rasa cinta.

Salah satu kesenian yang ditampilkan yaitu seni jaranan atau yang sering disebut kuda lumping. Kesenian ini mengadaptasi Reog Ponorogo yang awalnya dipopulerkan oleh Asnawi, seorang pendatang yang berasal dari Mataraman, Jawa Timur. Kesenian lain yang ditampilkan yaitu seni janger yang mengadaptasi seni Arja di Bali dan Ande-ande Lumut. Parade ini juga diikuti oleh beberapa daerah di Indonesia seperti Kediri, Probolinggo, Bali dan Yogyakarta. Festival ini menjadi semakin megah dengan adanya penampilan dari luar daerah Banyuwangi yang membawakan kesenian masing-masing daerahnya.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : Iqbal Fadly, Adipati Dolken, Ayub Ardiyono


  • Catatan

    Dengan kalendar event yang padat sepanjang tahun, Banyuwangi juga dikenal dengan julukan Kota Festival.

Untuk Bergabung dengan Para Leluhur

Di seluruh dunia, kematian sering dianggap sebagai akhir dari segalanya. Di mana tangis menyatukan sanak saudara untuk berkumpul dalam duka akan kepergian anggota keluarga. Lain halnya dengan di Sumba, kematian dianggap sebagai sebuah langkah menuju awal yang baru.

Kematian orang Sumba kerap diupacarakan dengan mewah dan dimakamkan dengan megah dalam kubur batu megalitik (batu besar) yang tersebar di seluruh Pulau Sumba. Dengan tradisi penguburan yang unik, Sumba merupakan salah satu dari segelintir kebudayaan di dunia yang masih mempertahankan budaya megalitik hingga saat ini.

Dalam Marapu, sebutan untuk kepercayaan asli Sumba, kematian merupakan suatu perpindahan. Ketika seseorang meninggal, rohnya akan meninggalkan tubuh bagaikan udang dan ular menanggalkan kulitnya. Seperti yang tersebut dalam ungkapan adat ‘Njulu la kura luku, halubu la mandu mara’, yang artinya ‘Menjelma bagai udang sungai, berubah bagai ular darat’. Roh yang kekal diharapkan dapat mencapai Prai Marapu, alam baka atau surga tempat para leluhur Marapu berada. Namun, tiap roh akan sulit mendapat ketenangan jika belum dikebumikan dengan rangkaian upacara adat oleh keluarga yang masih hidup.

Tiap jenazah dibungkus dengan kain-kain tenun terbaik dan dimakamkan dengan posisi duduk meringkuk, layaknya posisi janin dalam kandungan. Hal ini menyimbolkan kelahiran kembali sang jenazah di dunia arwah. Jenazah kemudian disemayamkan selama beberapa hari di beranda rumahnya, sambil menunggu seluruh keluarga untuk berkumpul dan memberikan penghormatan terakhir, seperti me­nyumbangkan hewan korban atau bekal kubur. Setelah itu, jenazah akan diarak menuju tempat peristirahatan terakhir oleh seluruh keluarga dengan meriah.

Cerita di atas hanyalah gambaran kecil dari upacara kematian tradisional Sumba yang begitu kompleks. Tiap daerah di Sumba juga memiliki upacara yang bervariasi antara kampung yang satu dengan yang lainnya, dengan tata cara dan keunikannya tersendiri. Jenazah-jenazah tersebut umumnya dikubur dengan berbagai bekal kubur, mulai dari perhiasan tradisional, senjata, tempat sirih pinang, dan kain-kain tenun yang begitu berharga.

Tiap upacara biasanya melibatkan hewan korban yang rohnya dipercaya akan membantu perjalanan tiap roh manusia yang baru meninggal. Kuda dipercaya akan menjadi tunggangan roh mendiang di Prai Marapu, anjing dipercaya akan menunjukkan jalan dan menjaga roh tersebut, sedangkan ayam dipercaya akan membangunkan roh setibanya di alam seberang.

Tiap jenazah akan dikebumikan di kubur batu yang sudah menjadi pemandangan khas Pulau Sumba. Walau biasanya kubur batu berada di dalam perkampungan, Anda juga dapat menemukan kubur batu di pantai, perbukitan, maupun pinggir jalan. Terdapat beberapa jenis kubur batu di Sumba, mulai dari dolmen yang berbentuk seperti meja besar, hingga dolmen berundak yang berbentuk seperti peti batu yang tinggi dan besar.

Dulunya, seluruh kubur batu ini terbuat dari batu cadas alami dengan berat puluhan ton, dan membutuhkan tenaga ratusan orang untuk memindahkannya ke tempat kubur yang telah ditentukan. Proses ‘menarik batu’ oleh ratusan orang ini memiliki upacaranya tersendiri, yaitu Tingi watu.

Umumnya, kubur batu milik bangsawan disertai penji, semacam tugu dari batu yang dihias dengan ukiran-ukiran yang cantik. Ukiran-ukiran pada penji biasanya merupakan motif yang umum dijumpai pada kain tenun Sumba, yang mengindikasikan klan atau identitas dari mendiang yang terkubur.

Tiap kubur batu juga dapat menampung lebih dari satu orang. Biasanya, sepasang suami istri dikuburkan dalam satu kubur. Namun ada juga kubur batu yang dapat menampung hingga lima anggota keluarga, atau lebih dari itu. Kubur batu juga kebanyakan ditempatkan di halaman kampung untuk menjaga ikatan sakral antara mereka yang telah berpulang dengan keluarga yang ditinggalkan.

Dengan kebutuhan batu alam yang mahal dan sulit didapat, juga untuk mengumpulkan ratusan orang dan menjamu mereka dalam kenduri dengan puluhan hewan korban, seluruh proses untuk sebuah upacara kematian dan penguburan di Sumba dapat mencapai ratusan juta sampai 1 miliar rupiah.

Itulah mengapa banyak yang menunggu berbulan-bulan hingga puluhan tahun sebelum dapat memberikan pemakaman adat yang layak bagi mendiang anggota keluarganya. Banyak juga dari masyarakat Sumba saat ini yang beralih ke beton dan semen biasa untuk mempermudah pembangunan batu kubur.

Upacara kematian dan penguburan yang kompleks ini telah menjadi keunikan dan ciri khas dari Pulau Sumba. Proses pemakaman tradisional yang membutuhkan gotong royong dan kekerabatan yang amat tinggi ini juga mencerminkan nilai-nilai yang merupakan karakteristik masyarakatnya.

Setiap orang yang masih hidup harus berpartisipasi dalam rangkaian upacara kematian keluarga atau kerabat dekatnya. Dengan tiap doa dan ritual adat yang menghantarkannya menuju Prai Marapu, di mana mendiang anggota keluarga akan berkumpul dan berpesta dengan para leluhur dalam ketenangan yang abadi.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Pater Robert Ramone

Berkah dan Tumpah Darah

Ada banyak aspek menarik dari tradisi Sumba yang satu ini, yang membuatnya signifikan jika dibandingkan dengan tradisi Nusantara lainnya. Dalam tiap prosesinya, pasola melibatkan ratusan laki-laki berbusana adat Sumba, yang menunggangi kuda-kuda jantan yang dihias sedemikian rupa. Mereka terbagi ke dalam dua pasukan yang mewakili kampung adat masing-masing. Tiap kesatria berkuda ini bersenjatakan lembing kayu, yang kemudian dilempar ke arah pasukan lawan.

Beruntung jika lembing yang melesat bagai peluru bisa dihindari, atau ditangkis dengan putaran lembing yang juga bisa berfungsi sebagai perisai. Namun para penonton justru akan bersorak ramai ketika lembing tepat mengenai sasarannya. Membuat kesatria dari kubu lawan terjatuh dari kudanya, atau terluka hingga darah bercucuran dari tubuhnya. Tidak jarang peserta hampir kehilangan mata, atau menjadi cacat setelah mengikuti pasola. Bahkan, ada juga kejadian di mana peserta kehilangan nyawa di medan pasola.

Meskipun terlihat berbahaya dan penuh resiko, pasola telah menjadi identitas masyarakat Sumba bagian barat secara turun temurun. Pasola hanya dapat ditemukan di daerah Kodi yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya, serta di daerah Lamboya, Wanokaka, dan Gaura di Kabupaten Sumba Barat.

Nama ‘pasola’ sendiri diambil dari kata sola atau hola yang bermakna ‘lembing’. Ada juga yang berpendapat bahwa nama itu berasal dari kata ghola, bahasa Kodi yang bermakna ‘kejar’. Dan pasola, memang tampak seperti perang persahabatan antar dua pasukan berkuda yang saling mengejar dan saling melempar lembing.

Pada dasarnya, pasola adalah puncak dari salah satu ritual adat Marapu, kepercayaan setempat yang praktiknya masih dapat ditemukan dengan mudah di seluruh Pulau Sumba. Pasola dapat disaksikan hanya sekali dalam setahun, yaitu menjelang musim tanam padi di bulan Nale Bokolo dalam kalender Sumba, yang biasanya jatuh pada bulan Februari atau Maret.

Hanya para rato, atau tetua adat dan petinggi Marapu, yang dapat menentukan kapan tepatnya pasola dapat diselenggarakan. Para rato harus melakukan berbagai ritual adat dan membaca tanda-tanda alam sebelum pasola dapat terlaksana. Salah satu penandanya adalah munculnya nyale, semacam cacing laut, yang dapat ditemukan di pantai-pantai barat dan selatan Pulau Sumba.

Berbagai ritual yang dilakukan sebelum dan setelah pasola merupakan ritual adat yang sakral dalam kepercayaan Marapu. Pasola sendiri sebenarnya adalah bentuk penghormatan pada arwah leluhur maupun Sang Pencipta, di mana para penganut kepercayaan Marapu memohon pengampunan, menyampaikan rasa syukur dan berdoa untuk kemakmuran. Tiap tetes darah kesatria maupun kuda yang jatuh di medan pasola, dianggap sebagai persembahan yang akan membantu kesuburan tanah. Semakin banyak darah, semakin banyak juga hasil panen maupun ternak yang dapat diperoleh nantinya.

Pasola yang berujung fatal memang sudah cukup langka saat ini. Konon, pasola hanya akan memakan korban jika terdapat pelanggaran tabu atas kepercayaan Marapu. Masyarakat setempat percaya bahwa tiap luka yang didapat saat pasola merupakan ganjaran atas perilaku buruk yang pernah mereka lakukan. Luka-luka saat pasola juga melambangkan kepahitan dan penderitaan hidup yang harus dilewati sebelum mencapai keberhasilan di waktu panen nanti.

Ada beberapa versi cerita mengenai asal-usul terjadinya pasola. Menurut cerita rakyat di Kabupaten Sumba Barat Daya, pasola berkaitan dengan Inya Nale, dewi kesuburan yang konon muncul di Pantai Kodi dan menjelma menjadi nyale. Inya Nale menyelamatkan masyarakat dari kelaparan dan peperangan yang berkepanjangan, sehingga pasola dirayakan sebagai bentuk rasa syukur terhadapnya.

Masyarakat di Kabupaten Sumba Barat memiliki cerita yang berbeda. Mereka percaya bahwa asal muasal pasola adalah cerita tentang sosok Umbu Dulla dari kampung Waiwuang dan Teda Gaiparona dari kampung Kodi, yang sama-sama memperebutkan seorang wanita cantik bernama Rabu Kaba. Agar tidak muncul dendam yang berkepanjangan, diadakanlah sparring atau duel antar kampung yang seterusnya berlanjut dan berkembang menjadi tradisi pasola.

Pasola sendiri dapat dilihat sebagai salah satu extreme sport asli Indonesia. Para kesatria yang berpartisipasi dalam pasola harus memiliki keahlian dalam berkuda. Mereka harus memacu kuda dan menjaga keseimbangan tubuh mereka saat melempar lembing, atau menghindarinya.

Ditambah lagi, mereka harus memilih kuda yang cepat dan berani untuk dapat menghadang lembing-lembing yang berhamburan. Tidak sedikit kuda menjadi takut sehingga lari menjauhi medan pasola. Para kesatria juga harus memiliki ketangkasan dengan lembing, untuk dapat melemparnya dengan kuat dan cepat agar bisa mengenai sasaran yang terus bergerak.

Tiap peserta pasola juga harus mentaati beberapa aturan adat. Mereka tidak boleh menggunakan lembing yang tajam, menyerang lawan yang sudah terjatuh dari kuda atau menyerang lawan yang memunggungi mereka. Lembing yang sudah terlempar atau terjatuh ke tanah tidak boleh diambil atau digunakan kembali. Dan para kesatria pasola, dilarang untuk membawa dendam maupun masalah pribadi ke medan pasola.

Tidak ada medan pasola yang sepi penonton. Pasola selalu disaksikan oleh seluruh kabisu, klan atau kampung, yang sedang bertanding saat itu. Keseruannya selalu dapat mengundang spektator dari manapun, di mana masyarakat datang dari kampung dan daerah lain hanya untuk menonton dan meramaikan acara pasola. Sejak dulu, tradisi ini memang selalu menjadi media pemersatu masyarakat Sumba. Memupuk persahabatan dengan kampung seberang, serta ajang bagi rekan kerabat berkumpul dan bersilaturahmi.

Keunikan utama pasola sebagai tradisi asli Indonesia terdapat pada begitu banyaknya nilai yang terkandung di dalamnya. Ritual adat pasola mencerminkan nilai persaudaraan, seni, budaya, olahraga, hiburan, hingga keagamaan. Bagi penganut Marapu, pertumpahan darah yang terjadi di medan pasola justru dapat membuahkan berkah.

Bagai pepatah ‘mati satu tumbuh seribu’, kematian dipercaya mampu melahirkan kehidupan dalam bentuk yang lain. Pertumpahan darah yang dapat membantu kesuburan tanah, panen yang melimpah ruah, dan kemakmuran hidup yang terus dapat disyukuri bersama sebagai masyarakat Sumba. Semua hal itulah yang membuat pasola spesial, sebagai salah satu kekayaan budaya yang menunjukkan ragam Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Pater Robert Ramone

Berada dekat dari banyak titik wisata sejarah seperti Keraton dan Taman Sari, Alun-alun Selatan atau kidul selalu ramai akan wisatawan. Mulai dari anak-anak hingga orang tua, rombongan pelajar atau sekeluarga, tempat ini menjadi favorit karena cocok dengan berbagai kalangan.

Salah satu highlight di sini adalah puluhan becak hiasnya. Lampu warna-warni tiap becak menyemarakkan sekitaran alun-alun dibalik gelapnya malam di Kota Jogja. Becak-becak yang dapat Anda naiki dengan harga terjangkau ini dirancang dengan berbagai bentuk dan warna.

Alun-alun Kidul juga dipenuhi dengan jajanan khas Jogja dan berbagai hidangan kaki lima lainnya, dimana Anda dapat menyantap hidangan dan menikmati riuhnya suasana sambil berlesehan di atas taman alun-alun.

Anda juga bisa menantang diri Anda lewat Masangin, di mana Anda harus berjalan melewati dua pohon beringin yang ada di tengah alun-alun dengan mata tertutup. Menurut kepercayaan setempat, impian Anda akan terwujud bila Anda bisa melewatinya, dan orang yang bisa melewatinya hanyalah orang-orang dengan hati yang tulus. Jika Anda penasaran dengan tantangan ini, jadikanlah Alun-alun Kidul sebagai salah satu tujuan untuk menambah pengalaman wisata Anda di Kota Jogja.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Jalan Prawirotaman adalah tujuan yang tepat bagi Anda yang mengincar hiburan malam, atau Anda yang ingin sekedar escape dari keramaian Malioboro. Jalan yang terkenal dengan berbagai kafe unik dan jejeran barnya ini memang lebih ramai akan turis asing.

Jalan Prawirotaman juga dikenal dengan pilihan hotel dan hostelnya yang menawarkan harga yang terjangkau. Meski jalan yang hidup hingga fajar ini dikenal dengan sebutan ‘kampung bule’, jalan ini juga masih mempertahankan unsur budaya Jawa yang khas.

Prawirotaman juga cukup populer di kalangan muda mudi Jogja berkat sejumlah restoran hipster yang memenuhi jalan ini mulai dari gerai es krim gelato, coffee shop, hingga restoran yang khusus menyediakan makanan vegetarian, semua ada di Prawirotaman.

Selain kuliner seru dan menarik yang harus dicoba, di Jalan Prawirotaman juga terdapat beberapa toko antik dan galeri. Di jalan inilah Anda dapat merasakan keunikan sisi Jogja yang dapat membaurkan nuansa modern dengan tradisional.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy