Ribuan Derap Kaki di Perbukitan Sumba

Pemandangan alam Sumba yang surgawi memang sudah tidak asing lagi. Hamparan perbukitan dan matahari senja yang tampak sempurna kerap memenuhi feed Instagram siapapun yang berlibur di Sumba. Apalagi, pesona alamnya juga selalu identik dengan kuda-kuda lokal yang selalu menambah keeksotisan pemandangan sabana khas tanah Sumba.

Kuda sandalwood atau kuda sandel, merupakan kuda khas Sumba yang menjadi identitas serta simbol yang melekat pada masyarakat Sumba. Kuda yang termasuk dalam jenis kuda poni ini memiliki postur tubuh yang kecil dengan rata-rata tinggi punggung di bawah 150 cm. Kuda sandel memiliki bentuk kaki dan kuku yang kuat. Lingkar lehernya besar, dan memiliki daya tahan yang tangguh. Kuda sandel juga memiliki warna yang cukup bervariasi seperti hitam, putih, belang, dan banyak warna lainnya.

Jenisnya dinamakan kuda sandel sejak zaman kolonial, di mana Sumba merupakan penghasil kayu cendana (sandalwood) terbesar dan terbaik di dunia. Pada masa itu kuda poni Sumba dilirik sebagai komoditi perdagangan alternatif selain cendana. Dan demi kepentingan usaha dagang, diberikanlah trademark pada kuda Sumba dengan nama ‘sandalwood horse’ yang kemudian nama itu melekat dan berkembang menjadi kuda sandel.

Dalam kehidupan masyarakat Sumba, kuda begitu dihormati dengan fungsi yang sangat penting dan beragam. Pada zaman nenek moyang dahulu kuda sering dijadikan sebagai tunggangan harian, dan sebagai kendaraan berburu atau perang. Juga dalam adat-istiadat tradisi perkawinan masyarakat Sumba, kuda dan mamuli (perhiasan dengan makna kesuburan) menjadi salah satu bagian penting dari perangkat belis (mahar), yang diberikan oleh pihak orang tua laki-laki kepada pihak orang tua perempuan. Kuda juga berperan penting dalam banyak upacara adat di Sumba lainnya, seperti dalam upacara adat pasola.

Bagi masyarakat Sumba, sifat kuda mencerminkan karakter pemiliknya. Kuda dipercaya memiliki hubungan psikologis dengan manusia yang digambarkan dalam ungkapan adat ‘Ndara ole ura, bangga ole ndewa’,  yang bermakna ‘kuda sebagai kawan segaris urat tangan, anjing sebagai kawan sejiwa’.

Sebagai kendaraan hidup, kuda memang tak terpisahkan dari kehidupan pribadi orang Sumba. Memakan daging kuda dipercaya dapat mendatangkan bahaya dan malapetaka karena kuda dianggap hampir setara dengan roh leluhur, khususnya bagi mereka yang menganut kepercayaan Marapu.

Semenjak masuknya Belanda, pacuan kuda berkembang di banyak daerah di Indonesia sebagai bagian dari tradisi yang berlanjut hingga sekarang. Awalnya pacuan kuda diselenggarakan di hari-hari besar dan di hari ulang tahun ratu Belanda saja. Tapi saat ini berbagai golongan masyarakat di Sumba menggemari olahraga ini sebagai ajang pertunjukan daerah, rekreasi dan media untuk mempererat hubungan persahabatan.

Maraknya pacu kuda juga memicu masyarakat Sumba untuk kian meningkatkan mutu dari kuda-kuda lokal dalam postur tubuh, kecepatan, hingga daya tahan. Peningkatan mutu ini sebenarnya bermula di abad 18, di mana kuda-kuda Sumba dikawin silang dengan kuda-kuda yang dibawa para saudagar dari Arab.

Kini kuda sandel dari Sumba menjadi salah satu komoditas yang digalakkan pemerintah setempat lewat berbagai upaya peningkatan kualitas dan kuantitas. Dengan berbagai acara seperti pacuan kuda atau festival Parade 1001 Kuda Sandalwood di Sumba Barat, kuda sandel semakin menjadi ikon budaya dan pariwisata Pulau Sumba. Dengan pesona dan karakternya yang tangguh, kuda sandel diharapkan terus bisa menjadi kawan setia bagi tiap manusia yang menungganginya, serta kebanggaan dari setiap masyarakat yang hidup di Pulau Sumba.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy

Garang Gemulai dalam Pekik Kemeriahan

Seni tari merupakan salah satu bentuk identitas tiap suku di Indonesia. Semua jenis tari mencerminkan keagungan budaya dan nilai-nilai penting yang dijunjung sebagai karakter bangsa. Di Sumba sendiri, terdapat ragam tarian dengan makna dan sejarah yang bervariasi. Dan setiap tarian adalah ekspresi atas pandangan masyarakat Sumba akan kehidupan, selain menjadi bentuk komunikasi dengan sesama, alam, maupun Sang Pencipta.

Salah satu tarian yang cukup dikenal adalah tari kataga yang dapat ditemui di Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat. Berasal dari istilah katagahu, yang berarti ‘memenggal kepala korban dalam peperangan’, tari kataga adalah salah satu dari banyak jenis tarian perang yang mudah dijumpai di Indonesia bagian timur.

Menurut sejarah, tari kataga lahir dari budaya perang di masa lalu. Pada masa itu, pemenang dalam peperangan akan memenggal dan membawa pulang kepala lawannya. Kepala tersebut kemudian digantung di adung / andung, pohon di pekarangan rumah yang berisikan tengkorak-tengkorak musuh sebagai simbol kekuatan dan kemenangan.

Tengkorak-tengkorak yang bergantungan tersebut baru bisa diambil kembali oleh keluarga mendiang lewat sebuah proses damai yang melibatkan para prajurit yang memperagakan cara mereka berperang. Pemeragaan perang oleh para prajurit itulah yang menjadi asal usul tarian ini.

Pola gerak dalam tari kataga memang terlihat seperti barisan prajurit yang mengayunkan parang (katopu), melompat, dan memukul-mukul perisai (toda) sambil bersahutan kencang. Para penari kataga memakai kain adat dan alas kepala yang disebut rowa / kapauta. Gemerincing lonceng yang terpasang di tiap kaki penari, ditambah derap langkah serta lengking sahutan para penari, menambah nuansa seru dan bersemangat dari tarian ini.

Lain halnya dengan tari woleka dari Kabupaten Sumba Barat Daya. Diperagakan dengan sejumlah penari wanita dan pria, tari woleka sering dipertunjukkan dalam banyak acara besar juga kegiatan seni. Para penari pria akan menari dengan lincah sambil mengayunkan parang seperti dalam tari kataga. Sedangkan para penari wanita akan menari dengan anggun dan lemah gemulai. Para wanita pada tari woleka menari dengan merentangkan tangan sambil memainkan selendang yang menjadi elemen penting dalam tarian ini.

Konon, tari woleka dulunya merupakan bagian dari upacara bentuk syukur kepada para leluhur dalam kepercayaan masyarakat Sumba. Upacara itu juga dipercaya sebagai bentuk pemulihan akan pelanggaran dan kesalahan manusia, yang dirayakan dengan pemotongan hewan korban, perjamuan, serta tari-tarian yang kini berkembang menjadi tari woleka.

Tarian dari Kabupaten Sumba Timur terwakilkan lewat tari-tarian rasa syukur, seperti tari kabokang yang merupakan tarian untuk mensyukuri kelahiran seorang bayi. Tarian ini kini berkembang menjadi salah satu tarian penyambutan tamu. Dalam tarian ini, para wanita berlenggang dengan ayu, sambil berputar membentuk formasi yang berubah-ubah. Biasanya para penari juga dilengkapi dengan warna-warni kain tenun khas Sumba Timur yang menambah pesona tarian ini.

Ada juga tarian yang merayakan panen, seperti tari kandingang dan patanjangung. Penari kandingang menggunakan rumbai-rumbai yang terbuat dari ekor kuda di tiap tangannya. Sambil menggerakkan kaki, para penari memutar-mutar pergelangan tangan dengan rumbai tersebut.

Masih banyak tarian lain dari Pulau Sumba, seperti tari ningguharama yang merupakan tarian penyambutan pahlawan yang kembali dari perang, tari warung kelumbut yang pola geraknya mengikuti gerak binatang, atau tari panapang banu yang menjadi bagian dari upacara melamar gadis.

Tarian-tarian tersebut terus dilestarikan hingga saat ini lewat berbagai upacara adat maupun sanggar kesenian yang tersebar di seluruh Pulau Sumba. Sebagai identitas masyarakat Sumba, maupun sebagai cerminan akan warna-warni pesona budaya bangsa kita yang terus diturunkan untuk generasi mendatang.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly & Ibna Alfattah

Bentang Jelita dengan Sejuta Cerita

Keindahan kain Sumba sudah dikenal sejak era kolonial Belanda, sebagai salah satu komoditas berharga yang melambungkan nama Sumba selain kuda sandel dan kayu cendananya. Dengan nilai estetika yang tinggi, sejumlah kain Sumba bahkan dipilih untuk merepresentasikan budaya Indonesia di beberapa museum ternama dunia seperti di Inggris, Belanda, hingga Amerika Serikat. Di balik pesonanya, kain tenun Sumba juga menyimpan begitu banyak cerita menarik yang dapat dipelajari sebagai atribut adat yang memiliki posisi sentral dalam kehidupan di Pulau Sumba.

Seperti banyak seni budaya dari Sumba lainnya, kain tenun Sumba memiliki keterkaitan yang erat dengan Marapu, kepercayaan asli masyarakat yang mendiami pulau ini. Kepercayaan Marapu berpusat pada keseimbangan semesta dan sarat akan konsep dualisme yang terlambangkan dalam ungkapan adat ‘Ina mawolo, Ama marawi’, yang artinya ‘Ibu yang menenun, Bapak yang mencipta’.

Kegiatan menenun memang telah mengakar sebagai lambang kewanitaan yang esensial dalam adat Sumba, di mana perempuan yang mahir menenun kain-kain terbaik cenderung lebih diminati sebagai pasangan hidup yang ideal. Kain-kain tenun yang dilahirkan para perempuan Sumba itulah yang kemudian menyelimuti keseharian seluruh masyarakat di Tanah Marapu ini.

Dalam masyarakat Sumba, kain tenun bukan hanya sekadar pakaian atau pemanis dekorasi ruangan. Kain merupakan simbol prestise yang menunjukkan golongan, klan, atau kampung asal si pemakai atau pemiliknya. Kain juga berperan penting dalam upacara keagamaan atau ritual adat seperti kelahiran, pernikahan dan pemakaman.

Kain tenun menjadi hantaran kala seseorang lahir dan penyelimut jenazah kala seseorang wafat. Kain bahkan dapat mewakilkan kehadiran pemiliknya dalam situasi tertentu. Menurut kepercayaan Marapu, jika seorang ayah tidak bisa hadir di hari kelahiran anaknya, sosoknya dapat diwakilkan dengan kain hinggi miliknya agar sang anak dapat terlahir dengan selamat.

Selain sebagai perangkat adat yang sakral, kain tenun juga berfungsi sebagai pengganti uang yang dapat ditukar dengan hasil panen, perhiasan, logam, dan lain sebagainya. Kain merupakan salah satu indikator kekayaan. Semakin banyak kain yang dimiliki, semakin terpandang pemiliknya di mata masyarakat.

Saat ini industri pariwisata Sumba yang kian berkembang juga meletakkan kain tradisional Sumba sebagai salah satu tonggak ekonomi masyarakatnya, terutama bagi kampung-kampung pengrajin kain yang banyak dijumpai di Kabupaten Sumba Timur.

Terdapat beberapa jenis kain yang dapat Anda temui di Sumba, yang masih difungsikan dalam berbagai upacara adat. Jenis kain yang paling umum dikenal adalah hinggi dan lau. Hinggi adalah kain besar sepanjang kurang lebih 200 – 300 cm yang diperuntukkan bagi pria dan bisa dipakai sebagai selimut, selendang atau ikat pinggang. Lau adalah sarung sepanjang kurang lebih 100 – 200 cm yang dipakai oleh para perempuan.

Keindahan kain-kain hinggi maupun lau terdapat pada motif dan warnanya yang ekspresif, di mana tiap kampung di Sumba biasanya memiliki desain yang khas dengan motif dan corak warnanya tersendiri. Dua jenis warna dasar yang umum menjadi latar kain-kain ini adalah kombu rara (merah kecoklatan) yang didapat dari akar mengkudu, dan kaworu (biru gelap atau indigo) yang didapat dari daun tarum. Untuk menghasilkan warna yang lebih khas dan tahan lama, para penenun tradisional di Sumba masih mengedepankan penggunaan pewarna alami yang terbuat dari buah, biji, bunga, akar dan kulit kayu.

Motif menjadi elemen desain utama dari tiap kain tenun Sumba. Dan pada dasarnya, wastra Sumba memiliki begitu banyak ragam motif dengan arti filosofisnya tersendiri. Motif-motif ini adalah presentasi visual atas nilai-nilai yang dijunjung masyarakat Sumba yang juga terinspirasi dari alam sekitarnya. Tenun dari Sumba bagian barat umumnya memiliki motif geometris, sedangkan Sumba bagian timur memiliki kain dengan motif fauna, flora, benda-benda adat, hingga elemen dari cerita sejarah, agama, dan mitologi setempat.

Tiap motif memiliki cerita dan latar belakang sejarahnya tersendiri, seperti motif buaya yang selalu disandingkan dengan penyu. Buaya melambangkan kekuatan dan keberanian, sedangkan penyu melambangkan kesabaran dan kebijaksanaan. Dua motif fauna ini kerap bermunculan pada kain sebagai salah satu elemen dualisme terpenting dalam kepercayaan Marapu. Buaya dan penyu melambangkan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin, dan kain dengan motif keduanya merupakan simbol keluarga kerajaan atau golongan maramba di Sumba Timur.

Motif lainnya yang banyak menghias kain-kain di Sumba bagian timur termasuk lobster yang menyimbolkan keabadian, regenerasi dan reinkarnasi. Rusa melambangkan status bangsawan, sedangkan kuda melambangkan kegagahan pria. Ayam melambangkan kewanitaan dan rumah tangga, sedangkan ayam jantan melambangkan keperkasaan. Burung kakatua melambangkan kebersamaan bagai burung yang selalu berkelompok, sedangkan burung merak melambangkan keindahan dunia yang harus dilestarikan bersama.

Motif yang menceritakan kepercayaan maupun sejarah juga dapat ditemukan, seperti halnya motif ana tau. Motif ini berbentuk manusia dengan posisi tangan serupa bayi yang sedang terlentang. Sebagai elemen penting dalam kepercayaan Marapu, motif ana tau melambangkan kepolosan manusia dan pengingat akan Sang Pencipta yang maha mengetahui.

Lain halnya dengan motif andung yang berbentuk seperti pohon tengkorak. Motif ini menceritakan tradisi lama Sumba untuk menggantung tengkorak-tengkorak musuh di pohon yang ada di pekarangan rumah mereka sebagai tanda kekuatan dan kekuasaan.

Selain motif-motif ini ada juga motif epik yang menceritakan pendaratan pertama para nenek moyang orang Sumba di Tanjung Mareha, atau sosok mili mongga, makhluk raksasa yang dipercaya hidup di pedalaman hutan Sumba Timur.

Desain kain-kain di Sumba Timur umumnya terdiri dari baris-baris yang mewakili kelompok motif yang berbeda, dengan desain utama di baris yang paling tengah. Alhasil, sehelai kain dapat menjadi kolase motif dengan harapan agar pemakainya dapat memancarkan seluruh kualitas yang disimbolkan dari motif-motif yang beragam.

Pentingnya konsep dualisme dalam Marapu juga tertuang dalam motif-motif yang kebanyakan muncul dalam jumlah 2, 4, 8, atau 16. Angka dua dan kelipatannya merupakan elemen penting dalam ilmu kosmologi dan spiritual kepercayaan Marapu, yang menambah kesakralan tersendiri dari setiap kain yang dikenakan.

Satu hal yang menarik dari kain tradisional Sumba juga terdapat pada keterbukaannya pada pengaruh luar, yang makin memperkaya variasi desain kain Sumba yang sudah begitu beragam. Hubungan dengan kebudayaan lain melahirkan motif-motif baru seperti motif naga yang terinspirasi dari keramik-keramik Cina, motif singa yang dipengaruhi koin-koin pada masa kolonial Belanda, hingga motif patola ratu, motif geometris abstrak yang dipengaruhi India dan hanya diperuntukkan bagi golongan bangsawan hingga saat ini.

Cerita-cerita seputar wastra memang selalu lekat dengan para wanita. Segala keistimewaan tenun Sumba sebagai salah satu mahakarya budaya Indonesia, dimulai dari kesabaran, ketekunan, dan kreativitas para wanitanya. Bagaikan motif habak, sebuah bunga dari mitos Sumba yang melambangkan kegigihan dan keuletan wanita dalam bekerja, kain tenun dan seluruh prosesnya mencerminkan pengaruh wanita yang signifikan dalam budaya Sumba itu sendiri. Bahwa setiap mama, ibu, nenek, dan gadis di Sumba turut beperan dalam menghantarkan kain yang mereka tenun di sudut kampungnya, berkibar jauh hingga ke perhatian dunia.

Di balik fungsi dan maknanya yang beragam, tiap kain tenun Sumba selalu menjadi bentuk ungkapan akan harapan dan nilai-nilai adat lewat motif-motif nan indah jelita. Dalam budaya yang tak memiliki aksara asli, kain menjadi salah satu medium bagi nenek moyang masyarakat Sumba untuk bercerita pada generasi selanjutnya.

Tiap bentangan kain Sumba adalah paparan tentang sejarah masa lalu dan tradisi yang harus dijunjung bersama sebagai perwujudan identitas masyarakat Sumba. Dan selayaknya, keindahan akan warna dan ragam kain Sumba yang terpajang di banyak museum mancanegara, juga akan selalu menjadi paparan dan cerita akan keindahan, ragam dan warna-warni budaya di Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly & George Timothy

Tiang-tiang Tradisi, Atap Kehidupan

Sejatinya, wisata yang ideal tidak meninggalkan Anda hanya dengan hasil foto berlatar panorama yang indah. Mempelajari kearifan lokal daerah setempat atau berkenalan dengan masyarakatnya tentu akan menambah kesan yang lebih mendalam dari perjalanan wisata Anda. Pengalaman-pengalaman itulah yang ditawarkan desa-desa adat di Sumba.

Selain menjadi tujuan yang fresh dan kontras dari keramaian kota-kota besar, setiap desa adat Sumba kerap meninggalkan kerinduan tersendiri bagi para pengunjungnya. Dengan berbagai suguhan tarian, sirih pinang, dan keramahan yang khas dari masyarakat Tanah Marapu.

Berkunjung ke desa adat Sumba akan terasa bagai berwisata ke zaman batu. Desa adat Sumba memang terkenal akan keeksotisannya yang memancarkan keindahan panorama rumah-rumah adat di antara alam yang mempesona. Namun selain keindahannya, setiap aspek dari desa dan rumah adat di Sumba juga memancarkan falsafah hidup yang diturunkan dari generasi-generasi sebelumnya.

Ciri utama rumah adat Sumba adalah bubungan atapnya yang menjulang tinggi, dengan arsitektur dan pengaturan ruang yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan setempat. Empat tiang besar dan kokoh selalu menjadi pilar dan rangka utama dari rumah-rumah adat Sumba yang berbentuk persegi. Empat tiang yang mencerminkan arah mata angin tersebut juga dihias dengan ukiran-ukiran khas yang menambah pesona setiap rumah adat.

Setiap desain rumah Sumba secara vertikal terbagi dalam tiga bagian yang merepresentasikan lapisan dunia dalam kepercayaan setempat. Ruang paling atas dianggap sebagai ‘ruang Marapu’ atau ‘dunia atas’, yang dipercaya sebagai ruang bersemayamnya roh para leluhur dan menjadi tempat penyimpanan barang-barang pusaka. Yang dilanjutkan dengan ‘dunia tengah’, bagian utama tempat para penghuni rumah hidup dan melakukan aktivitas sehari-hari. Bagian paling bawah adalah kolong dari rumah adat Sumba yang desainnya memanggung, dan menyimbolkan ‘dunia bawah’ atau tempat lewatnya roh-roh jahat.

‘Dunia tengah’ dalam rumah adat Sumba juga terbagi lagi menjadi sisi kanan dan sisi kiri. Sisi kanan rumah atau kaheli bokulu, menjadi wilayah yang merepresentasikan sisi maskulin, dan tempat dilaksanakannya berbagai upacara adat dan kegiatan laki-laki lainnya. Sisi kiri, atau kaheli maringu, mewakili sisi feminin dan menjadi area para perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga.

Di depan rumah biasanya akan tampak tanduk kerbau yang digantung sebagai pengingat bahwa penghuninya pernah melakukan upacara adat. Semakin besar ukuran atau semakin banyak jumlah koleksi tanduk kerbaunya, semakin tinggi status sosial sang pemilik rumah.

Setiap klan atau kabisu (Sumba bagian barat) dan kabihu (Sumba bagian timur) biasanya memiliki penyebutan yang berbeda untuk tipe-tipe rumah adat di Sumba. Ada yang menyebut uma mbatangu untuk ‘rumah berpuncak’ yang besar dengan atap yang tinggi. Uma kamadungu adalah rumah yang lebih kecil dan tidak memiliki puncak di bagian tengah atap. Ada juga uma bungguru, rumah utama di mana tiap kabihu/kabisu biasa mengadakan acara-acara penting yang melibatkan seluruh desa.

Berbagai jenis dan bentuk rumah adat berdiri berdampingan dengan kubur-kubur batu yang menambah nuansa magis dari tiap desa. Hal ini mencerminkan kepercayaan masyarakat Sumba untuk tetap menjalin hubungan baik dengan sesama, terutama dengan anggota keluarga yang sudah meninggal. Sejumlah kubur batu biasanya juga dilengkapi dengan penji, sebutan untuk menhir yang diukir dengan motif-motif tradisional sebagai penunjuk identitas dan status sosial dari mendiang yang terkubur.

Ada banyak desa adat yang tersebar di seluruh Pulau Sumba. Setiap desa adat mewakili sejumlah sub-etnis Sumba yang kemudian terbagi lagi menjadi beberapa klan. Tiap desa adat tentunya memiliki sejarah, dialek, dan pesonanya tersendiri yang membedakannya dengan desa-desa adat lain di Pulau Sumba.

Salah satu desa adat yang cukup sering dikunjungi wisatawan adalah Desa Adat Ratenggaro di daerah Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Hamparan kubur batu akan menyambut Anda sesampainya di Ratenggaro, dan salah satu kubur batu di sekitar desa ini bahkan diperkirakan berusia sekitar 4,500 tahun. Kata rate sendiri berarti ‘makam’, sedangkan nggaro berarti ‘orang Garo’. Dan desa adat ini memiliki sekitar 300 kubur batu yang tersebar di sekelilingnya.

Rumah besar beratap tinggi di Ratenggaro disebut uma kalada. Dengan atap-atap tinggi rumah adatnya yang dapat mencapai 20 meter, desa adat ini mudah terlihat dari kejauhan. Pesona utama Ratenggaro terdapat di posisinya yang terletak di tepi pantai yang luas dan berpasir putih.

Keasrian alam di desa yang terletak di ujung barat Pulau Sumba ini juga dipercantik dengan aliran sungai yang bermuara di pantai di mana anak-anak sering berenang seru melepas gerah. Memperhatikan kuda-kuda sandel yang berlarian di pantai akan menjadi pengalaman tak terlupakan di Ratenggaro. Apalagi sambil ditemani petikan merdu dari tungga, gitar tradisional Sumba, yang dimainkan penduduk lokal.

 

Di Kabupaten Sumba Barat, tepatnya 3 km dari Kota Waikabubak, terdapat Desa Adat Prai Ijing yang tidak kalah mempesona. Prai Ijing adalah desa adat yang berada di atas bukit dan dipenuhi rimbun rindang pepohonan. Bentuk desanya memanjang, dengan julangan atap rumah adat di antara biru dan hijaunya lapisan perbukitan di sekelilingnya.

Berjalan keliling Prai Ijing, Anda akan menemukan keindahan pada tiap sudutnya, serta senyum warga setempat yang senantiasa ramah menyapa. Letak geografisnya yang berada di ketinggian juga menambah kesegaran suasana desa dengan udara yang sejuk. Di awal tahun 2000-an, desa adat Prai Ijing sempat terbakar dengan puluhan rumah adat habis dilahap api. Namun saat ini rumah-rumah adat telah kembali berdiri dan mengembalikan keindahan desa adat ini.

Berlanjut ke Sumba bagian timur, Kampung Raja Prailiu berdiri di tengah Kota Waingapu. Desa adat ini dulunya merupakan swapraja kerajaan Lewa-Kambera yang diakui oleh Belanda di era kolonial. Posisi yang sangat dekat dari pusat kota membuat Prailiu menjadi salah satu desa adat yang paling banyak dikunjungi di Sumba.

Kampung Raja Prailiu terkenal sebagai salah satu sentra kain tenun khas Sumba bagian timur. Warna-warni kain tenun Sumba seperti hinggi dan lau berjajar cantik di tali jemur kala siang hari. Desa adat ini bahkan memiliki galeri tenunnya sendiri dengan jumlah koleksi yang mengagumkan.

Di desa adat ini, Anda dapat melihat proses pembuatan kain tenun Sumba, serta mempelajari makna di balik tiap motif langsung dari para mama, panggilan akrab untuk para ibu di Sumba Timur. Selain wastra, Kampung Raja Prailiu juga bisa menyuguhkan tarian-tarian khas Sumba Timur yang masih dilestarikan di desa ini.

 

Di ujung timur Pulau Sumba, terdapat Kampung Raja Rindi-Praiyawang, tepatnya di Kecamatan Rindi (sering juga dibaca ‘Rende’), Kabupaten Sumba Timur. Berasal dari swapraja kerajaan Rindi-Mangili, desa adat ini merupakan kampung raja tertua di daerah Sumba bagian timur. Letak geografisnya berada di atas puncak bukit yang datar, dengan padang sabana khas Sumba dan hamparan ilalang yang memenuhi lingkungan sekitarnya.

Selain sejumlah peninggalan megalitik seperti kubur batu dan penji, Kampung Raja Praiyawang memiliki delapan rumah induk yang melambangkan delapan garis keturunan raja yang ada di desa ini. Salah satu rumah yang paling menonjol adalah uma bokul atau haparuna, rumah terbesar di Praiyawang yang menjadi tempat warga menyelenggarakan acara adat besar. Kampung adat ini juga memiliki berbagai benda pusaka yang berusia ratusan tahun, dan masih digunakan pada upacara-upacara tertentu hingga saat ini.

Masih banyak desa adat lain di Sumba yang menjadi tonggak pelestarian budaya masyarakatnya seperti Kampung Tarung, kampung suku Loli yang terkenal dengan festival Wulla Poddu. Ada juga Desa Adat Pasunga dengan kubur-kubur batu yang besar nan megah di Anakalang, Kabupaten Sumba Tengah.

Sebagai situs sejarah dan budaya, tiap desa adat mencerminkan sistem kekerabatan yang begitu erat dalam masyarakat Sumba. Saat ini desa-desa adat menjadi tujuan pariwisata yang semakin ramai akan pengunjung. Lewat donasi turis dan laba penjualan cinderamata yang dibuat sendiri oleh masyarakat lokal, pariwisata juga menunjang perekonomian masyarakat setempat serta membantu pelestarian desa adat itu sendiri.

Anda belum benar-benar merasakan melancong ke Sumba jika belum melihat kehidupan penduduknya, langsung di tengah keseharian mereka di desa-desa adat. Menghabiskan hari di salah satu desa adat adalah suatu kesederhanaan yang mahal nilainya. Di mana Anda akan tenggelam dalam obrolan seputar kepercayaan Marapu, atau obrolan sejarah pahlawan Wono Kaka melawan para penjajah. Semua dengan suguhan secangkir kopi, dan bibir yang merona merah karena sirih pinang. Berbagi cerita dan tawa di teras penduduk, selagi menikmati keindahan warna-warni kain tenun yang melambai pelan tertiup angin.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ibna Alfattah & George Timothy

Pantai Watu Bela adalah sebuah pantai yang terletak di Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat. Pantai ini berjarak 50 km dari pusat Kota Waikabubak, atau sekitar 1,5 jam perjalanan. Pantai ini hanya memiliki lebar kurang lebih 200 meter dan diapit oleh dua bebatuan kokoh yang menjaganya dari lautan lepas.

Birunya lautan berkilau dengan hamparan pasir putih yang halus dan bersih serta tebing-tebing bebatuan yang ada di sekitarnya. Pantai Watu Bela cukup sepi akan pengunjung dan berada jauh dari pemukiman penduduk, sehingga tepat bagi Anda yang menginginkan ketenangan dalam berwisata.

Terdapat berbagai aktivitas yang bisa kita lakukan di sana. Ombak lautan yang menggoda di bawah teriknya matahari, selalu berhasil mengundang pengunjung untuk berenang di antaranya. Walau begitu, usahakan untuk selalu memperhatikan kondisi gelombang laut agar kita tetap aman.

Selain itu, di bawah pepohonan yang rindang kita bisa menikmati keindahan Pantai Watu Bela ini, atau berfoto ria dengan latar tebing besar yang menjadi daya tarik pantai ini. Setelah lelah bermain dengan ombak atau selesai mengabadikan foto, kita dapat menikmati segarnya air kelapa muda yang dijual oleh penduduk setempat.

Di area pantai ini juga terdapat banyak kerbau dan kuda ternak yang berkeliaran, bahkan ada warga sekitar yang menyewakan kudanya untuk ditunggangi oleh wisatawan dan diabadikan, mengingat Pulau Sumba terkenal dengan kuda sandelnya.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy