Pos

Potret Permai Dalam Berbagai Warna

Tak lengkap rasanya jika destinasi pariwisata tanpa adanya hamparan pasir pantai yang membentang luas. Beberapa akses yang masih sulit dijangkau menjadikan pantai-pantai yang ada di Banyuwangi menjadi surga tersembunyi yang layak untuk dikunjungi. Berikut pantai-pantai yang memiliki nama identik dengan dominasi warna yang ada di pantai tersebut.

Pulau Merah

Terletak di Kecamatan Pesanggaran, dengan jarak 69 km atau sekitar 2 jam perjalanan dari Banyuwangi dengan kendaraan pribadi. Ikon yang menjadi daya tarik di tempat ini ialah bukit yang berada di tengah laut. Asal usul nama Pulau Merah diambil dari bukit yang memiliki dasar tanah yang berwarna merah ini.

Faktanya, karena tertutup oleh pepohonan maka yang tampak dari jauh ialah bukit dengan warna kehijauan. Dari puncak bukit, Travelers dapat menikmati keindahan laut bertemu dengan pantulan cahaya senja yang terbenam di permukaan laut.

Di tempat ini Travelers juga bisa berselancar. Ombak yang tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 2-4 m membuatnya tepat untuk surfer pemula. Tersedia juga tempat penyewaan papan selancar serta alat snorkel jika ingin melihat keindahan biota laut.

Nah, untuk akomodasi, di sini juga tersedia beberapa pilihan tempat menginap seperti hostel, homestay, hotel dan resort. Travelers bisa memanfaatkan transportasi gratis dari pemerintah Banyuwangi dengan mendaftarkan diri di www.banyuwangitourism/jalanjalan.com. Alternatif lainnya ialah menggunakan angkutan umum menuju Pesanggaran dari Banyuwangi yang dilanjutkan dengan menggunakan ojek ke Pulau Merah.


Teluk Hijau

Terletak di Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, teluk ini berada di dalam kawasan TN Meru Betiri yang berjarak sekitar 28 km dari Pantai Pulau Merah. Keunikan dari Teluk Hijau ialah airnya yang berwarna hijau. Akses menuju ke sini masih berbatu. Disarankan untuk menggunakan kendaraan yang sesuai jika hendak ke sini. Pastikan menggunakan alas kaki yang sesuai seperti sepatu olahraga atau sandal gunung karena jalurnya cukup menantang.

Tidak jauh dari Teluk Hijau terdapat air terjun setinggi 8 m. Kesegaran alami saat berada di bawah air terjun ini mampu menghilangkan keletihan setelah trekking menuju Teluk Hijau atau setelah puas bermain air laut. Suara angin sepoi-sepoi, debur gulungan ombak yang menghantam bibir pantai menjadi relaksasi yang disuguhkan Teluk Hijau. Jika berkunjung saat weekdays, Travelers bisa menikmati tempat ini layaknya teluk pribadi karena belum banyak pengunjung yang singgah dikarenakan aksesnya yang masih sulit.


Teluk Biru

Bagi Travelers yang hobi menyelam, Teluk Biru merupakan destinasi yang cocok untuk dikunjungi. Warna air yang kebiru-biruan didukung oleh pesona keindahan terumbu karang menambah kian eksotik pantai yang bisa diakses dengan perahu nelayan dari pelabuhan ikan Desa Muncar. Dengan biaya berkisar dari Rp 300.000 – Rp 500.000, Travelers bisa menyewa perahu hingga tiba di Teluk Biru. Lokasinya yang hanya bisa diakses melalui laut, menjadikan tempat ini sangat istimewa bagi yang ingin rehat sejenak dari kebisingan ibu kota. Perjalanan yang menempuh waktu selama 2,5 jam akan terbayar begitu melihat kejernihan air berwarna biru dengan latar belakang barisan pepohonan TN Alas Purwo.

Jika hendak bertandang, ada baiknya menyebutkan nama Pantai Senggrong, karena nama Teluk Biru memang belum akrab bagi warga setempat. Selain menyelam, aktivitas lainnya yang bisa dilakukan yaitu bersnorkel, ski air, canoing dan memancing. Waktu terbaik mengunjungi Teluk Biru yaitu di bulan Oktober-Mei. Usahakan sudah menyeberang dari pagi hari untuk menghindari ombak yang terlalu besar di siang hari. Jika beruntung, wisatawan bisa menjumpai whale shark yang sedang mencari makan di area Teluk Biru.

Selain itu,Teluk Biru juga merupakan tempat untuk transplantasi terumbu karang, penanaman hutan mangrove dan penambahan fish apartment yang digagas langsung oleh Komunitas Gemuruh (Gerakan Muncar Rumahku). Adanya gerakan ini menjadi motivasi bagi para masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian dan kualitas lingkungan yang ada di Teluk Biru.


Wedi Ireng

Berada di satu jalur dengan Pulau Merah, Wedi Ireng berjarak 65 km dari Banyuwangi yang bisa ditempuh dengan waktu 2-3 jam perjalanan menuju arah Dusun Pancer. Sebenarnya tidak sulit untuk mencapai Wedi Ireng, tapi pengunjung membutuhkan sedikit perjuangan ekstra untuk menuju ke sana. Begitu tiba di Dusun Pancer, bisa mendaki bukit ataupun memilih untuk menyewa perahu nelayan sekitar 30 menit perjalanan menuju Pantai Wedi Ireng.

Bagi pecinta petualangan, jalur melewati hutan dan menuruni bukit terjal menjadi aktivitas yang menantang. Dianjurkan untuk menyeberangi muara terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan menelusuri jalan setapak yang ada di sebelah barat atau sebelah kanan. Jalur yang akan dilalui merupakan track curam dengan tingkat kemiringan 80 derajat dengan waktu tempuh sekitar 30 menit melewati rimbunan pepohonan serta semak belukar.

Meninjau dari letak geografisnya, Wedi Ireng diapit oleh Pulau Merah dan Teluk Hijau. Asal nama pantai ini diambil dari bahasa jawa wedi yang artinya pasir, dan ireng berarti hitam. Keunikan pantai ini terletak pada warna pasirnya. Di balik hamparan pasir putihnya, akan ditemukan butiran berwarna hitam di dalamnya. Itu yang menjadi alasan pantai ini dinamakan Pantai Wedi Ireng. Meskipun terpencil, namun fasilitas di sana cukup memadai seperti toilet, penginapan dan tempat penyewaan alat snorkel juga sudah tersedia. Tidak jauh dari Wedi Ireng, terdapat juga Air Terjun Plosoan yang berjarak sekitar 1 km dari bibir pantai. Warna batu kehijauan menjadi daya tarik wisatawan yang hendak mengunjungi air terjun yang dapat dijangkau dengan menelusuri semak belukar serta menyeberangi anak sungai.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy, Ayub Ardiyono

  • Catatan

    Keterbatasan infrastruktur men­jadikan beberapa pantai cenderung jarang dilirik wisatawan. Hal yang juga menjadikan keasrian dan nuansa alami dari pantai-pantai ini masih terjaga dengan baik.


    • Lokasi : Dusun Pancer, Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi Regency, East Java 68488
    • Jam Operasional : Buka 24 jam setiap hari (senin – minggu)
    • Lokasi : Sengrong, Purworejo Alas Purwo National Park Purworejo Purworejo, Purworejo, Kalipait, Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68484
    • Jam Operasional : Buka 24 jam setiap hari (senin – minggu)
    • Website : pantaitelukbiru.business.site
    • Lokasi : Dusun Pancer, Sumberagung, Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68488
    • Jam Operasional : Buka 24 jam setiap hari (senin – minggu)

Menguak Kerajaan Hindu Terakhir di Pulau Jawa

Mungkin Travelers ingat akan pelajaran sejarah di bangku sekolah dulu, bagaimana sejumlah kerajaan bercorak Hindu sempat berjaya di berbagai belahan Nusantara. Banyak dari kita yang mengagumi Mataram Kuno dengan peninggalan Borobudur dan Prambanan-nya, atau Majapahit dengan kisah Gajah Mada dan Sumpah Palapa-nya yang melegenda. Namun banyak dari kita yang tidak menyadari kalau sebenarnya masih banyak kerajaan Hindu lain yang mewarnai lintas sejarah negeri kita.

Salah satu kerajaan bercorak Hindu yang sempat berjaya di tanah Jawa adalah Kerajaan Blambangan. Walau penyebutan Bumi Blambangan kini lebih sering diasosiasikan dengan Banyuwangi saja, wilayah Kerajaan Blambangan dulu mencakup Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Saat ini situs-situs yang berkaitan dengan Kerajaan Blambangan masih tersisa di Banyuwangi. Selain menjadi tujuan wisata religi bagi umat Hindu, beberapa peninggalan sederhana ini menceritakan sejarah yang masih penuh misteri dan menarik untuk dipelajari.

Kerajaan Blambangan diperkirakan lahir di akhir abad ke-13 saat Raden Wijaya menyerahkan ‘Istana timur’ yang berpusat di Lumajang kepada Arya Wiraraja atas bantuannya mendirikan Majapahit. Istana timur inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Blambangan.

Dengan letak yang strategis di ujung timur Pulau Jawa, Blambangan berkembang sebagai persimpangan budaya, bahasa, dan agama. Walau di sisi lain, posisinya juga mendatangkan sejumlah ancaman politik dari sekitarnya.

Ketika Kesultanan Demak menaklukkan Majapahit di abad ke-16, Kerajaan Blambangan sempat berkuasa di timur Jawa. Seiring menguatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa, Kesultanan Demak (dan nantinya Kesultanan Mataram) berkali-kali menyerang Blambangan dari sebelah barat. Dari sebelah timur, kerajaan-kerajaan Bali seperti Gelgel, Buleleng, dan Mengwi, juga selalu berusaha menancapkan pengaruhnya atas Bumi Blambangan nan subur itu.

Salah satu peninggalan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi adalah Situs Kawitan yang berada di Taman Nasional Alas Purwo. Situs ini sempat terlupakan oleh peradaban. Menjadi reruntuhan yang tersembunyi jauh di belantara hutan yang juga terkenal akan keangkerannya.

Pada tahun 1967, Situs Kawitan tidak sengaja ditemukan oleh warga setempat yang sedang membuka lahan di hutan Alas Purwo. Di tempat ini ditemukan juga prasasti yang mencatat perjalanan Brawijaya, raja terakhir Majapahit, ke Alas Purwo menjelang runtuhnya Majapahit.

Di sekitar Situs Kawitan pun dibangun Pura Giri Salaka. Pura yang berdiri megah di tengah hutan Alas Purwo ini ramai dikunjungi umat Hindu terutama saat Pagerwesi, upacara yang dilaksanankan setiap 210 hari sekali untuk melindungi ilmu pengetahuan manusia dari kekuatan jahat.

Ada juga Desa Macan Putih di Kecamatan Kabat, Banyuwangi. Di desa ini ditemukan reruntuhan seperti dinding berbahan batu bata yang menyembul dari tanah. Sedari dulu, pecahan batu bata tua, keramik dan gerabah, patung hingga batu mulia juga kerap ditemukan warga setempat. Sayangnya, banyak dari temuan tersebut dijual warga ke para kolektor tanpa penelitian lebih lanjut.

Beberapa catatan Belanda menyebut bahwa dulunya terdapat lebih banyak arsitektur menarik di desa ini. Litograf De kuil van Matjan Poetih dari abad ke-19 bahkan melukiskan bangunan serupa candi berwarna putih dengan pahatan macan pernah berdiri di sekitar desa ini.

Lokasi Desa Macan Putih diyakini sempat menjadi ibukota Kerajaan Blambangan pada masa pemerintahan Prabu Tawang Alun II, yaitu mulai dari tahun 1655 hingga 1692. Prabu Tawang Alun II atau Raden Mas Kembar adalah raja yang membawa Kerajaan Blambangan ke puncak kejayaannya. Di desa ini juga dibangun pendopo kecil yang kini dikenal sebagai Situs Persemedian Tawangalun yang dipercaya sebagai petilasan terakhir dari sang prabu.

Di Kecamatan Muncar, Banyuwangi, terdapat bekas peninggalan Kerajaan Blambangan yang juga ditemukan secara tidak sengaja berkat pembukaan lahan oleh warga. Dikenal dengan nama Situs Umpak Songo, gundukan berundak dengan batu-batu berlubang ini berdiri di tengah pemukiman warga. Diduga, situs ini dulunya berfungsi sebagai balai pertemuan, sebelum terbengkalai dan dilahap oleh pepohonan serta semak belukar.

Di dekat situs ini dibangunlah Pura Agung Blambangan, tepatnya di titik dengan sumber mata air atau sumur yang dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan Blambangan. Pura yang diresmikan pada Hari Raya Kuningan tahun 1980 ini merupakan pura terbesar yang ada di Banyuwangi dan masih aktif hingga saat ini.

Terlepas dari gempuran pengaruh Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan di Bali, Kerajaan Blambangan pada akhirnya juga menjadi target serangan VOC. Sebagian wilayahnya berhasil ditaklukkan Belanda pada tahun 1767-1768. Kerajaan Blambangan yang pada saat itu berpusat di lereng Gunung Raung terus melakukan berbagai pemberontakan terhadap Belanda. Sejumlah perlawanan dipimpin oleh Wong Agung Wilis dan Pangeran Jagapati atau Mas Rempeg yang menolak kerja paksa dan berbagai kebijakan pemerintah VOC lainnya atas Bumi Blambangan.

Pertumpahan darah demi mem­pertahankan Kerajaan Blambangan terkulminasi di Perang Puputan Bayu (1771-1772). Puput memiliki arti ‘habis’, dan perang ini menjadi perang habis-habisan antara warga Blambangan melawan Belanda. Meski beberapa kali sempat memukul mundur pasukan VOC, pada akhirnya Kerajaan Blambangan jatuh sepenuhnya di tangan Belanda.

Menurut catatan Belanda, Puputan Bayu merupakan salah satu perang VOC di Nusantara yang paling menegangkan dan mengenaskan. Bahkan, populasi Blambangan pada saat itu diperkirakan merosot hingga puluhan ribu sebagai korban dari perang ini. Di Rowo Bayu, Kecamatan Songgon, saat ini terdapat Candi Puncak Agung Macan Putih yang didirikan untuk menghormati para pejuang yang gugur di Puputan Bayu.

Kemenangan Belanda dalam Perang Puputan Bayu menandakan berakhirnya kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Wilayah Blambangan pun resmi masuk ke dalam administrasi Karesidenan Basuki di bawah pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1774, pusat pemerintahan Blambangan dipindahkan ke lokasi Kota Banyuwangi saat ini. Didirikanlah Pendopo Sabha Swagata Blambangan sebagai kediaman bupati Banyuwangi pertama, yaitu Tumenggung Wiroguno I atau Mas Alit yang masih keturunan Prabu Tawang Alun. Bangunan pendopo ini masih bertahan sebagai rumah dinas bupati Banyuwangi hingga saat ini.

Meski kini mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, saat ini Banyuwangi menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan jumlah populasi umat Hindu yang signifikan selain Bali. Banyuwangi masih menyimpan sejumlah destinasi wisata religi Hindu lainnya. Mulai dari Situs Pura Beji Ananthaboga dengan kompleks pertirtaan nan asri yang berada di tengah hutan pinus di lereng Gunung Raung; hingga Pura Segara Tawangalun di Pulau Merah yang didirikan untuk mengenang Prabu Tawang Alun. Pura Segara Tawangalun juga dikenal lewat Upacara Melasti yang diadakan setiap menjelang Hari Raya Nyepi, di mana umat Hindu setempat melakukan arak-arakan di tepi Pantai Pulau Merah dengan panorama senjanya yang menawan.

Sejarah memperkenalkan kita dengan banyak cerita. Walau sederhana, peninggalan sejarah di Banyuwangi menceritakan kebesaran Kerajaan Blambangan yang berjaya bahkan beberapa ratus tahun lebih lama dari kerajaan sepupunya, Majapahit yang diagung-agungkan.

Wisata sejarah dan religi di Banyuwangi juga menambah wawasan kita akan kepahlawanan Prabu Tawang Alun, Wong Agung Wilis, Pangeran Jagapati, serta puluhan ribu rakyat Blambangan yang berjuang hingga titik darah penghabisan melawan penjajahan. Sebagai potret lain dalam keagungan nenek moyang kita yang belum sepenuhnya tergali dari permukaan tanah, maupun tercatat dalam buku-buku sejarah.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly, Ayub Ardiyono

  • Catatan 1

    Kata Blambangan berasal dari kata balumbungan yang artinya ‘banyak lumbung’. Ada juga yang mengatakan asalnya dari kata bali dan ombo, yang bila digabung bermakna ‘rakyat yang banyak’. Benar saja, wilayah bekas Kerajaan Blambangan memang dikarunai kesuburan tanah dan jumlah populasi yang tinggi bahkan hingga saat ini.

  • Catatan 2

    Karena menganut kepercayaan yang sama, Kerajaan Blambangan cenderung memiliki kedekatan hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Bali. Berbagai ciri khas budaya Bali bahkan dapat ditemukan di sejumlah kesenian Blambangan yang bertahan hingga saat ini di Banyuwangi.

  • Catatan 3

    Cerita seputar Kerajaan Blambangan sendiri cukup jarang untuk dibahas. Salah satu teks tertua yang menyebut keberadaannya adalah Negarakretagama karya Mpu Prapanca yang dibuat pada 1365.


    • Lokasi : Blambangan, Muncar, Dusun Krajan, Tembokrejo, Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68472
    • Lokasi : Taman Nasional Alas Purwo, Kecamatan Tegal Delimo, Kaliagung, Kendalrejo, Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68484
    • Hubungi : (0333) 555 973