Pos

Tenunan Untaian Harapan

Salah satu wujud kekayaan budaya Indonesia tercerminkan dari lahirnya wastra atau kain tradisional Nusantara. Sebagai peninggalan turun menurun, wastra melekat menjadi sebuah identitas khusus dari tiap daerah dan memiliki sebutannya masing-masing.

Diolah dengan indahnya, tiap helai, motif, serta corak pun memiliki nilai dan arti. Begitu pula dengan adanya sarung tenun sutra Bugis Lipa’ Sabbe yang kerap menjadi buah tangan pilihan Travelers yang berkunjung ke Kota Anging Mamiri.

Nama Lipa’ Sabbe sendiri berasal dari bahasa Bugis yang artinya sarung sutra. Dalam pemakaiannya, Lipa’ Sabbe digunakan sebagai bawahan sarung yang dipadukan dengan jas tutup bagi laki-laki. Untuk perempuan, sarung ini dikenakan sebagai bawahan dari baju bodo, di mana biasanya salah satu ujung Lipa Sabbe’ dibiarkan menjuntai dan cukup dipegang menggunakan tangan kiri. Khusus untuk pertunjukan tari tradisional, umumnya Lipa’ Sabbe akan digulung di bagian punggung dengan simpul menyerupai kipas.

Apabila Travelers ingin mengunjungi langsung sentra kerajinan Lipa’ Sabbe, maka wajib untuk mampir ke Kota Sengkang, Kabupaten Wajo. Berjarak sekitar 4 – 5 jam dari Kota Makassar, menggunakan kendaraan pribadi maupun umum.

Ketika Travelers memasuki Kota Sengkang maka akan terlihat sebuah gapura besar yang bertuliskan “Selamat Datang di Sengkang Kota Sutera”. Diajarkan secara turun-temurun, keterampilan masyarakat Sengkang dalam mengolah sutra sudah tersohor di Sulawesi Selatan.

Mulanya, benang sutra yang digunakan merupakan benang impor, namun kini warga sudah melakukan proses pemeliharaan ulat sutra sendiri di rumah-rumah. Kondisi tanah yang subur di wilayah ini pun memudahkan para warga untuk menanam pohon murbei yang menjadi pakan utama ulat sutra.

Terkenal dengan teksturnya yang halus dan mengkilat, Lipa’ Sabbe asli Kota Sengkang ditenun menggunakan dua teknik. Yang pertama adalah dengan menggunakan alat tenun gedongan, di mana menenun dilakukan sembari duduk dan meluruskan kedua kaki ke depan, atau dengan melipat salah satu kaki. Kedua adalah dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang dilakukan dengan posisi duduk sambil menginjak sepasang pedal kayu yang terdapat di bagian bawah ATBM secara silih berganti dengan kaki kiri dan kanan.

Untuk satu potong Lipa’ Sabbe biasanya memakan waktu 3 hari hingga 1 minggu untuk diselesaikan, tergantung dari motif maupun coraknya, dan tiap potong Lipa’ Sabbe asli Sengkang ini dijual dengan kisaran harga antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000.

Seiring dengan perkembangan zaman, elemen-elemen kain Lipa’ Sabbe pun menjadi lebih variatif. Bermula dari motif tradisional kotak-kotak kecil berwarna cerah yang disebut balo renni atau motif kotak-kotak besar dengan warna merah terang hingga merah keemasan yang disebut balo lobang, kini motif-motif modern pun sudah semakin banyak diproduksi. Akan tetapi, perkembangan ke arah lebih modern dilakukan dengan tetap menjaga nilai-nilai keunikan dan warna khasnya.

Sarung tenun sutra Bugis ini tentunya menjadi salah satu gambaran nyata akan keelokan dan kekayaan budaya Sulawesi Selatan, di mana tiap helai benang, motif, corak serta warna, mencerminkan harapan kebaikan dari sosok penenun di balik keindahan Lipa’ Sabbe.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Iqbal Fadly

  • Catatan

    Hingga saat ini, masyarakat Sulawesi Selatan kerap mengenakan Lipa’ Sabbe dalam acara adat, acara pernikahan seperti mappacci, dan juga sebagai hadiah pernikahan untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki. Pada tahun 2016, Lipa’ Sabbe resmi menjadi bagian dari 33 kain tradisional yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Bentang Jelita dengan Sejuta Cerita

Keindahan kain Sumba sudah dikenal sejak era kolonial Belanda, sebagai salah satu komoditas berharga yang melambungkan nama Sumba selain kuda sandel dan kayu cendananya. Dengan nilai estetika yang tinggi, sejumlah kain Sumba bahkan dipilih untuk merepresentasikan budaya Indonesia di beberapa museum ternama dunia seperti di Inggris, Belanda, hingga Amerika Serikat. Di balik pesonanya, kain tenun Sumba juga menyimpan begitu banyak cerita menarik yang dapat dipelajari sebagai atribut adat yang memiliki posisi sentral dalam kehidupan di Pulau Sumba.

Seperti banyak seni budaya dari Sumba lainnya, kain tenun Sumba memiliki keterkaitan yang erat dengan Marapu, kepercayaan asli masyarakat yang mendiami pulau ini. Kepercayaan Marapu berpusat pada keseimbangan semesta dan sarat akan konsep dualisme yang terlambangkan dalam ungkapan adat ‘Ina mawolo, Ama marawi’, yang artinya ‘Ibu yang menenun, Bapak yang mencipta’.

Kegiatan menenun memang telah mengakar sebagai lambang kewanitaan yang esensial dalam adat Sumba, di mana perempuan yang mahir menenun kain-kain terbaik cenderung lebih diminati sebagai pasangan hidup yang ideal. Kain-kain tenun yang dilahirkan para perempuan Sumba itulah yang kemudian menyelimuti keseharian seluruh masyarakat di Tanah Marapu ini.

Dalam masyarakat Sumba, kain tenun bukan hanya sekadar pakaian atau pemanis dekorasi ruangan. Kain merupakan simbol prestise yang menunjukkan golongan, klan, atau kampung asal si pemakai atau pemiliknya. Kain juga berperan penting dalam upacara keagamaan atau ritual adat seperti kelahiran, pernikahan dan pemakaman.

Kain tenun menjadi hantaran kala seseorang lahir dan penyelimut jenazah kala seseorang wafat. Kain bahkan dapat mewakilkan kehadiran pemiliknya dalam situasi tertentu. Menurut kepercayaan Marapu, jika seorang ayah tidak bisa hadir di hari kelahiran anaknya, sosoknya dapat diwakilkan dengan kain hinggi miliknya agar sang anak dapat terlahir dengan selamat.

Selain sebagai perangkat adat yang sakral, kain tenun juga berfungsi sebagai pengganti uang yang dapat ditukar dengan hasil panen, perhiasan, logam, dan lain sebagainya. Kain merupakan salah satu indikator kekayaan. Semakin banyak kain yang dimiliki, semakin terpandang pemiliknya di mata masyarakat.

Saat ini industri pariwisata Sumba yang kian berkembang juga meletakkan kain tradisional Sumba sebagai salah satu tonggak ekonomi masyarakatnya, terutama bagi kampung-kampung pengrajin kain yang banyak dijumpai di Kabupaten Sumba Timur.

Terdapat beberapa jenis kain yang dapat Anda temui di Sumba, yang masih difungsikan dalam berbagai upacara adat. Jenis kain yang paling umum dikenal adalah hinggi dan lau. Hinggi adalah kain besar sepanjang kurang lebih 200 – 300 cm yang diperuntukkan bagi pria dan bisa dipakai sebagai selimut, selendang atau ikat pinggang. Lau adalah sarung sepanjang kurang lebih 100 – 200 cm yang dipakai oleh para perempuan.

Keindahan kain-kain hinggi maupun lau terdapat pada motif dan warnanya yang ekspresif, di mana tiap kampung di Sumba biasanya memiliki desain yang khas dengan motif dan corak warnanya tersendiri. Dua jenis warna dasar yang umum menjadi latar kain-kain ini adalah kombu rara (merah kecoklatan) yang didapat dari akar mengkudu, dan kaworu (biru gelap atau indigo) yang didapat dari daun tarum. Untuk menghasilkan warna yang lebih khas dan tahan lama, para penenun tradisional di Sumba masih mengedepankan penggunaan pewarna alami yang terbuat dari buah, biji, bunga, akar dan kulit kayu.

Motif menjadi elemen desain utama dari tiap kain tenun Sumba. Dan pada dasarnya, wastra Sumba memiliki begitu banyak ragam motif dengan arti filosofisnya tersendiri. Motif-motif ini adalah presentasi visual atas nilai-nilai yang dijunjung masyarakat Sumba yang juga terinspirasi dari alam sekitarnya. Tenun dari Sumba bagian barat umumnya memiliki motif geometris, sedangkan Sumba bagian timur memiliki kain dengan motif fauna, flora, benda-benda adat, hingga elemen dari cerita sejarah, agama, dan mitologi setempat.

Tiap motif memiliki cerita dan latar belakang sejarahnya tersendiri, seperti motif buaya yang selalu disandingkan dengan penyu. Buaya melambangkan kekuatan dan keberanian, sedangkan penyu melambangkan kesabaran dan kebijaksanaan. Dua motif fauna ini kerap bermunculan pada kain sebagai salah satu elemen dualisme terpenting dalam kepercayaan Marapu. Buaya dan penyu melambangkan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin, dan kain dengan motif keduanya merupakan simbol keluarga kerajaan atau golongan maramba di Sumba Timur.

Motif lainnya yang banyak menghias kain-kain di Sumba bagian timur termasuk lobster yang menyimbolkan keabadian, regenerasi dan reinkarnasi. Rusa melambangkan status bangsawan, sedangkan kuda melambangkan kegagahan pria. Ayam melambangkan kewanitaan dan rumah tangga, sedangkan ayam jantan melambangkan keperkasaan. Burung kakatua melambangkan kebersamaan bagai burung yang selalu berkelompok, sedangkan burung merak melambangkan keindahan dunia yang harus dilestarikan bersama.

Motif yang menceritakan kepercayaan maupun sejarah juga dapat ditemukan, seperti halnya motif ana tau. Motif ini berbentuk manusia dengan posisi tangan serupa bayi yang sedang terlentang. Sebagai elemen penting dalam kepercayaan Marapu, motif ana tau melambangkan kepolosan manusia dan pengingat akan Sang Pencipta yang maha mengetahui.

Lain halnya dengan motif andung yang berbentuk seperti pohon tengkorak. Motif ini menceritakan tradisi lama Sumba untuk menggantung tengkorak-tengkorak musuh di pohon yang ada di pekarangan rumah mereka sebagai tanda kekuatan dan kekuasaan.

Selain motif-motif ini ada juga motif epik yang menceritakan pendaratan pertama para nenek moyang orang Sumba di Tanjung Mareha, atau sosok mili mongga, makhluk raksasa yang dipercaya hidup di pedalaman hutan Sumba Timur.

Desain kain-kain di Sumba Timur umumnya terdiri dari baris-baris yang mewakili kelompok motif yang berbeda, dengan desain utama di baris yang paling tengah. Alhasil, sehelai kain dapat menjadi kolase motif dengan harapan agar pemakainya dapat memancarkan seluruh kualitas yang disimbolkan dari motif-motif yang beragam.

Pentingnya konsep dualisme dalam Marapu juga tertuang dalam motif-motif yang kebanyakan muncul dalam jumlah 2, 4, 8, atau 16. Angka dua dan kelipatannya merupakan elemen penting dalam ilmu kosmologi dan spiritual kepercayaan Marapu, yang menambah kesakralan tersendiri dari setiap kain yang dikenakan.

Satu hal yang menarik dari kain tradisional Sumba juga terdapat pada keterbukaannya pada pengaruh luar, yang makin memperkaya variasi desain kain Sumba yang sudah begitu beragam. Hubungan dengan kebudayaan lain melahirkan motif-motif baru seperti motif naga yang terinspirasi dari keramik-keramik Cina, motif singa yang dipengaruhi koin-koin pada masa kolonial Belanda, hingga motif patola ratu, motif geometris abstrak yang dipengaruhi India dan hanya diperuntukkan bagi golongan bangsawan hingga saat ini.

Cerita-cerita seputar wastra memang selalu lekat dengan para wanita. Segala keistimewaan tenun Sumba sebagai salah satu mahakarya budaya Indonesia, dimulai dari kesabaran, ketekunan, dan kreativitas para wanitanya. Bagaikan motif habak, sebuah bunga dari mitos Sumba yang melambangkan kegigihan dan keuletan wanita dalam bekerja, kain tenun dan seluruh prosesnya mencerminkan pengaruh wanita yang signifikan dalam budaya Sumba itu sendiri. Bahwa setiap mama, ibu, nenek, dan gadis di Sumba turut beperan dalam menghantarkan kain yang mereka tenun di sudut kampungnya, berkibar jauh hingga ke perhatian dunia.

Di balik fungsi dan maknanya yang beragam, tiap kain tenun Sumba selalu menjadi bentuk ungkapan akan harapan dan nilai-nilai adat lewat motif-motif nan indah jelita. Dalam budaya yang tak memiliki aksara asli, kain menjadi salah satu medium bagi nenek moyang masyarakat Sumba untuk bercerita pada generasi selanjutnya.

Tiap bentangan kain Sumba adalah paparan tentang sejarah masa lalu dan tradisi yang harus dijunjung bersama sebagai perwujudan identitas masyarakat Sumba. Dan selayaknya, keindahan akan warna dan ragam kain Sumba yang terpajang di banyak museum mancanegara, juga akan selalu menjadi paparan dan cerita akan keindahan, ragam dan warna-warni budaya di Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly & George Timothy

Tiang-tiang Tradisi, Atap Kehidupan

Sejatinya, wisata yang ideal tidak meninggalkan Anda hanya dengan hasil foto berlatar panorama yang indah. Mempelajari kearifan lokal daerah setempat atau berkenalan dengan masyarakatnya tentu akan menambah kesan yang lebih mendalam dari perjalanan wisata Anda. Pengalaman-pengalaman itulah yang ditawarkan desa-desa adat di Sumba.

Selain menjadi tujuan yang fresh dan kontras dari keramaian kota-kota besar, setiap desa adat Sumba kerap meninggalkan kerinduan tersendiri bagi para pengunjungnya. Dengan berbagai suguhan tarian, sirih pinang, dan keramahan yang khas dari masyarakat Tanah Marapu.

Berkunjung ke desa adat Sumba akan terasa bagai berwisata ke zaman batu. Desa adat Sumba memang terkenal akan keeksotisannya yang memancarkan keindahan panorama rumah-rumah adat di antara alam yang mempesona. Namun selain keindahannya, setiap aspek dari desa dan rumah adat di Sumba juga memancarkan falsafah hidup yang diturunkan dari generasi-generasi sebelumnya.

Ciri utama rumah adat Sumba adalah bubungan atapnya yang menjulang tinggi, dengan arsitektur dan pengaturan ruang yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan setempat. Empat tiang besar dan kokoh selalu menjadi pilar dan rangka utama dari rumah-rumah adat Sumba yang berbentuk persegi. Empat tiang yang mencerminkan arah mata angin tersebut juga dihias dengan ukiran-ukiran khas yang menambah pesona setiap rumah adat.

Setiap desain rumah Sumba secara vertikal terbagi dalam tiga bagian yang merepresentasikan lapisan dunia dalam kepercayaan setempat. Ruang paling atas dianggap sebagai ‘ruang Marapu’ atau ‘dunia atas’, yang dipercaya sebagai ruang bersemayamnya roh para leluhur dan menjadi tempat penyimpanan barang-barang pusaka. Yang dilanjutkan dengan ‘dunia tengah’, bagian utama tempat para penghuni rumah hidup dan melakukan aktivitas sehari-hari. Bagian paling bawah adalah kolong dari rumah adat Sumba yang desainnya memanggung, dan menyimbolkan ‘dunia bawah’ atau tempat lewatnya roh-roh jahat.

‘Dunia tengah’ dalam rumah adat Sumba juga terbagi lagi menjadi sisi kanan dan sisi kiri. Sisi kanan rumah atau kaheli bokulu, menjadi wilayah yang merepresentasikan sisi maskulin, dan tempat dilaksanakannya berbagai upacara adat dan kegiatan laki-laki lainnya. Sisi kiri, atau kaheli maringu, mewakili sisi feminin dan menjadi area para perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga.

Di depan rumah biasanya akan tampak tanduk kerbau yang digantung sebagai pengingat bahwa penghuninya pernah melakukan upacara adat. Semakin besar ukuran atau semakin banyak jumlah koleksi tanduk kerbaunya, semakin tinggi status sosial sang pemilik rumah.

Setiap klan atau kabisu (Sumba bagian barat) dan kabihu (Sumba bagian timur) biasanya memiliki penyebutan yang berbeda untuk tipe-tipe rumah adat di Sumba. Ada yang menyebut uma mbatangu untuk ‘rumah berpuncak’ yang besar dengan atap yang tinggi. Uma kamadungu adalah rumah yang lebih kecil dan tidak memiliki puncak di bagian tengah atap. Ada juga uma bungguru, rumah utama di mana tiap kabihu/kabisu biasa mengadakan acara-acara penting yang melibatkan seluruh desa.

Berbagai jenis dan bentuk rumah adat berdiri berdampingan dengan kubur-kubur batu yang menambah nuansa magis dari tiap desa. Hal ini mencerminkan kepercayaan masyarakat Sumba untuk tetap menjalin hubungan baik dengan sesama, terutama dengan anggota keluarga yang sudah meninggal. Sejumlah kubur batu biasanya juga dilengkapi dengan penji, sebutan untuk menhir yang diukir dengan motif-motif tradisional sebagai penunjuk identitas dan status sosial dari mendiang yang terkubur.

Ada banyak desa adat yang tersebar di seluruh Pulau Sumba. Setiap desa adat mewakili sejumlah sub-etnis Sumba yang kemudian terbagi lagi menjadi beberapa klan. Tiap desa adat tentunya memiliki sejarah, dialek, dan pesonanya tersendiri yang membedakannya dengan desa-desa adat lain di Pulau Sumba.

Salah satu desa adat yang cukup sering dikunjungi wisatawan adalah Desa Adat Ratenggaro di daerah Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Hamparan kubur batu akan menyambut Anda sesampainya di Ratenggaro, dan salah satu kubur batu di sekitar desa ini bahkan diperkirakan berusia sekitar 4,500 tahun. Kata rate sendiri berarti ‘makam’, sedangkan nggaro berarti ‘orang Garo’. Dan desa adat ini memiliki sekitar 300 kubur batu yang tersebar di sekelilingnya.

Rumah besar beratap tinggi di Ratenggaro disebut uma kalada. Dengan atap-atap tinggi rumah adatnya yang dapat mencapai 20 meter, desa adat ini mudah terlihat dari kejauhan. Pesona utama Ratenggaro terdapat di posisinya yang terletak di tepi pantai yang luas dan berpasir putih.

Keasrian alam di desa yang terletak di ujung barat Pulau Sumba ini juga dipercantik dengan aliran sungai yang bermuara di pantai di mana anak-anak sering berenang seru melepas gerah. Memperhatikan kuda-kuda sandel yang berlarian di pantai akan menjadi pengalaman tak terlupakan di Ratenggaro. Apalagi sambil ditemani petikan merdu dari tungga, gitar tradisional Sumba, yang dimainkan penduduk lokal.

 

Di Kabupaten Sumba Barat, tepatnya 3 km dari Kota Waikabubak, terdapat Desa Adat Prai Ijing yang tidak kalah mempesona. Prai Ijing adalah desa adat yang berada di atas bukit dan dipenuhi rimbun rindang pepohonan. Bentuk desanya memanjang, dengan julangan atap rumah adat di antara biru dan hijaunya lapisan perbukitan di sekelilingnya.

Berjalan keliling Prai Ijing, Anda akan menemukan keindahan pada tiap sudutnya, serta senyum warga setempat yang senantiasa ramah menyapa. Letak geografisnya yang berada di ketinggian juga menambah kesegaran suasana desa dengan udara yang sejuk. Di awal tahun 2000-an, desa adat Prai Ijing sempat terbakar dengan puluhan rumah adat habis dilahap api. Namun saat ini rumah-rumah adat telah kembali berdiri dan mengembalikan keindahan desa adat ini.

Berlanjut ke Sumba bagian timur, Kampung Raja Prailiu berdiri di tengah Kota Waingapu. Desa adat ini dulunya merupakan swapraja kerajaan Lewa-Kambera yang diakui oleh Belanda di era kolonial. Posisi yang sangat dekat dari pusat kota membuat Prailiu menjadi salah satu desa adat yang paling banyak dikunjungi di Sumba.

Kampung Raja Prailiu terkenal sebagai salah satu sentra kain tenun khas Sumba bagian timur. Warna-warni kain tenun Sumba seperti hinggi dan lau berjajar cantik di tali jemur kala siang hari. Desa adat ini bahkan memiliki galeri tenunnya sendiri dengan jumlah koleksi yang mengagumkan.

Di desa adat ini, Anda dapat melihat proses pembuatan kain tenun Sumba, serta mempelajari makna di balik tiap motif langsung dari para mama, panggilan akrab untuk para ibu di Sumba Timur. Selain wastra, Kampung Raja Prailiu juga bisa menyuguhkan tarian-tarian khas Sumba Timur yang masih dilestarikan di desa ini.

 

Di ujung timur Pulau Sumba, terdapat Kampung Raja Rindi-Praiyawang, tepatnya di Kecamatan Rindi (sering juga dibaca ‘Rende’), Kabupaten Sumba Timur. Berasal dari swapraja kerajaan Rindi-Mangili, desa adat ini merupakan kampung raja tertua di daerah Sumba bagian timur. Letak geografisnya berada di atas puncak bukit yang datar, dengan padang sabana khas Sumba dan hamparan ilalang yang memenuhi lingkungan sekitarnya.

Selain sejumlah peninggalan megalitik seperti kubur batu dan penji, Kampung Raja Praiyawang memiliki delapan rumah induk yang melambangkan delapan garis keturunan raja yang ada di desa ini. Salah satu rumah yang paling menonjol adalah uma bokul atau haparuna, rumah terbesar di Praiyawang yang menjadi tempat warga menyelenggarakan acara adat besar. Kampung adat ini juga memiliki berbagai benda pusaka yang berusia ratusan tahun, dan masih digunakan pada upacara-upacara tertentu hingga saat ini.

Masih banyak desa adat lain di Sumba yang menjadi tonggak pelestarian budaya masyarakatnya seperti Kampung Tarung, kampung suku Loli yang terkenal dengan festival Wulla Poddu. Ada juga Desa Adat Pasunga dengan kubur-kubur batu yang besar nan megah di Anakalang, Kabupaten Sumba Tengah.

Sebagai situs sejarah dan budaya, tiap desa adat mencerminkan sistem kekerabatan yang begitu erat dalam masyarakat Sumba. Saat ini desa-desa adat menjadi tujuan pariwisata yang semakin ramai akan pengunjung. Lewat donasi turis dan laba penjualan cinderamata yang dibuat sendiri oleh masyarakat lokal, pariwisata juga menunjang perekonomian masyarakat setempat serta membantu pelestarian desa adat itu sendiri.

Anda belum benar-benar merasakan melancong ke Sumba jika belum melihat kehidupan penduduknya, langsung di tengah keseharian mereka di desa-desa adat. Menghabiskan hari di salah satu desa adat adalah suatu kesederhanaan yang mahal nilainya. Di mana Anda akan tenggelam dalam obrolan seputar kepercayaan Marapu, atau obrolan sejarah pahlawan Wono Kaka melawan para penjajah. Semua dengan suguhan secangkir kopi, dan bibir yang merona merah karena sirih pinang. Berbagi cerita dan tawa di teras penduduk, selagi menikmati keindahan warna-warni kain tenun yang melambai pelan tertiup angin.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ibna Alfattah & George Timothy