Pos

Berkah dan Tumpah Darah

Ada banyak aspek menarik dari tradisi Sumba yang satu ini, yang membuatnya signifikan jika dibandingkan dengan tradisi Nusantara lainnya. Dalam tiap prosesinya, pasola melibatkan ratusan laki-laki berbusana adat Sumba, yang menunggangi kuda-kuda jantan yang dihias sedemikian rupa. Mereka terbagi ke dalam dua pasukan yang mewakili kampung adat masing-masing. Tiap kesatria berkuda ini bersenjatakan lembing kayu, yang kemudian dilempar ke arah pasukan lawan.

Beruntung jika lembing yang melesat bagai peluru bisa dihindari, atau ditangkis dengan putaran lembing yang juga bisa berfungsi sebagai perisai. Namun para penonton justru akan bersorak ramai ketika lembing tepat mengenai sasarannya. Membuat kesatria dari kubu lawan terjatuh dari kudanya, atau terluka hingga darah bercucuran dari tubuhnya. Tidak jarang peserta hampir kehilangan mata, atau menjadi cacat setelah mengikuti pasola. Bahkan, ada juga kejadian di mana peserta kehilangan nyawa di medan pasola.

Meskipun terlihat berbahaya dan penuh resiko, pasola telah menjadi identitas masyarakat Sumba bagian barat secara turun temurun. Pasola hanya dapat ditemukan di daerah Kodi yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya, serta di daerah Lamboya, Wanokaka, dan Gaura di Kabupaten Sumba Barat.

Nama ‘pasola’ sendiri diambil dari kata sola atau hola yang bermakna ‘lembing’. Ada juga yang berpendapat bahwa nama itu berasal dari kata ghola, bahasa Kodi yang bermakna ‘kejar’. Dan pasola, memang tampak seperti perang persahabatan antar dua pasukan berkuda yang saling mengejar dan saling melempar lembing.

Pada dasarnya, pasola adalah puncak dari salah satu ritual adat Marapu, kepercayaan setempat yang praktiknya masih dapat ditemukan dengan mudah di seluruh Pulau Sumba. Pasola dapat disaksikan hanya sekali dalam setahun, yaitu menjelang musim tanam padi di bulan Nale Bokolo dalam kalender Sumba, yang biasanya jatuh pada bulan Februari atau Maret.

Hanya para rato, atau tetua adat dan petinggi Marapu, yang dapat menentukan kapan tepatnya pasola dapat diselenggarakan. Para rato harus melakukan berbagai ritual adat dan membaca tanda-tanda alam sebelum pasola dapat terlaksana. Salah satu penandanya adalah munculnya nyale, semacam cacing laut, yang dapat ditemukan di pantai-pantai barat dan selatan Pulau Sumba.

Berbagai ritual yang dilakukan sebelum dan setelah pasola merupakan ritual adat yang sakral dalam kepercayaan Marapu. Pasola sendiri sebenarnya adalah bentuk penghormatan pada arwah leluhur maupun Sang Pencipta, di mana para penganut kepercayaan Marapu memohon pengampunan, menyampaikan rasa syukur dan berdoa untuk kemakmuran. Tiap tetes darah kesatria maupun kuda yang jatuh di medan pasola, dianggap sebagai persembahan yang akan membantu kesuburan tanah. Semakin banyak darah, semakin banyak juga hasil panen maupun ternak yang dapat diperoleh nantinya.

Pasola yang berujung fatal memang sudah cukup langka saat ini. Konon, pasola hanya akan memakan korban jika terdapat pelanggaran tabu atas kepercayaan Marapu. Masyarakat setempat percaya bahwa tiap luka yang didapat saat pasola merupakan ganjaran atas perilaku buruk yang pernah mereka lakukan. Luka-luka saat pasola juga melambangkan kepahitan dan penderitaan hidup yang harus dilewati sebelum mencapai keberhasilan di waktu panen nanti.

Ada beberapa versi cerita mengenai asal-usul terjadinya pasola. Menurut cerita rakyat di Kabupaten Sumba Barat Daya, pasola berkaitan dengan Inya Nale, dewi kesuburan yang konon muncul di Pantai Kodi dan menjelma menjadi nyale. Inya Nale menyelamatkan masyarakat dari kelaparan dan peperangan yang berkepanjangan, sehingga pasola dirayakan sebagai bentuk rasa syukur terhadapnya.

Masyarakat di Kabupaten Sumba Barat memiliki cerita yang berbeda. Mereka percaya bahwa asal muasal pasola adalah cerita tentang sosok Umbu Dulla dari kampung Waiwuang dan Teda Gaiparona dari kampung Kodi, yang sama-sama memperebutkan seorang wanita cantik bernama Rabu Kaba. Agar tidak muncul dendam yang berkepanjangan, diadakanlah sparring atau duel antar kampung yang seterusnya berlanjut dan berkembang menjadi tradisi pasola.

Pasola sendiri dapat dilihat sebagai salah satu extreme sport asli Indonesia. Para kesatria yang berpartisipasi dalam pasola harus memiliki keahlian dalam berkuda. Mereka harus memacu kuda dan menjaga keseimbangan tubuh mereka saat melempar lembing, atau menghindarinya.

Ditambah lagi, mereka harus memilih kuda yang cepat dan berani untuk dapat menghadang lembing-lembing yang berhamburan. Tidak sedikit kuda menjadi takut sehingga lari menjauhi medan pasola. Para kesatria juga harus memiliki ketangkasan dengan lembing, untuk dapat melemparnya dengan kuat dan cepat agar bisa mengenai sasaran yang terus bergerak.

Tiap peserta pasola juga harus mentaati beberapa aturan adat. Mereka tidak boleh menggunakan lembing yang tajam, menyerang lawan yang sudah terjatuh dari kuda atau menyerang lawan yang memunggungi mereka. Lembing yang sudah terlempar atau terjatuh ke tanah tidak boleh diambil atau digunakan kembali. Dan para kesatria pasola, dilarang untuk membawa dendam maupun masalah pribadi ke medan pasola.

Tidak ada medan pasola yang sepi penonton. Pasola selalu disaksikan oleh seluruh kabisu, klan atau kampung, yang sedang bertanding saat itu. Keseruannya selalu dapat mengundang spektator dari manapun, di mana masyarakat datang dari kampung dan daerah lain hanya untuk menonton dan meramaikan acara pasola. Sejak dulu, tradisi ini memang selalu menjadi media pemersatu masyarakat Sumba. Memupuk persahabatan dengan kampung seberang, serta ajang bagi rekan kerabat berkumpul dan bersilaturahmi.

Keunikan utama pasola sebagai tradisi asli Indonesia terdapat pada begitu banyaknya nilai yang terkandung di dalamnya. Ritual adat pasola mencerminkan nilai persaudaraan, seni, budaya, olahraga, hiburan, hingga keagamaan. Bagi penganut Marapu, pertumpahan darah yang terjadi di medan pasola justru dapat membuahkan berkah.

Bagai pepatah ‘mati satu tumbuh seribu’, kematian dipercaya mampu melahirkan kehidupan dalam bentuk yang lain. Pertumpahan darah yang dapat membantu kesuburan tanah, panen yang melimpah ruah, dan kemakmuran hidup yang terus dapat disyukuri bersama sebagai masyarakat Sumba. Semua hal itulah yang membuat pasola spesial, sebagai salah satu kekayaan budaya yang menunjukkan ragam Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Pater Robert Ramone

Garang Gemulai dalam Pekik Kemeriahan

Seni tari merupakan salah satu bentuk identitas tiap suku di Indonesia. Semua jenis tari mencerminkan keagungan budaya dan nilai-nilai penting yang dijunjung sebagai karakter bangsa. Di Sumba sendiri, terdapat ragam tarian dengan makna dan sejarah yang bervariasi. Dan setiap tarian adalah ekspresi atas pandangan masyarakat Sumba akan kehidupan, selain menjadi bentuk komunikasi dengan sesama, alam, maupun Sang Pencipta.

Salah satu tarian yang cukup dikenal adalah tari kataga yang dapat ditemui di Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat. Berasal dari istilah katagahu, yang berarti ‘memenggal kepala korban dalam peperangan’, tari kataga adalah salah satu dari banyak jenis tarian perang yang mudah dijumpai di Indonesia bagian timur.

Menurut sejarah, tari kataga lahir dari budaya perang di masa lalu. Pada masa itu, pemenang dalam peperangan akan memenggal dan membawa pulang kepala lawannya. Kepala tersebut kemudian digantung di adung / andung, pohon di pekarangan rumah yang berisikan tengkorak-tengkorak musuh sebagai simbol kekuatan dan kemenangan.

Tengkorak-tengkorak yang bergantungan tersebut baru bisa diambil kembali oleh keluarga mendiang lewat sebuah proses damai yang melibatkan para prajurit yang memperagakan cara mereka berperang. Pemeragaan perang oleh para prajurit itulah yang menjadi asal usul tarian ini.

Pola gerak dalam tari kataga memang terlihat seperti barisan prajurit yang mengayunkan parang (katopu), melompat, dan memukul-mukul perisai (toda) sambil bersahutan kencang. Para penari kataga memakai kain adat dan alas kepala yang disebut rowa / kapauta. Gemerincing lonceng yang terpasang di tiap kaki penari, ditambah derap langkah serta lengking sahutan para penari, menambah nuansa seru dan bersemangat dari tarian ini.

Lain halnya dengan tari woleka dari Kabupaten Sumba Barat Daya. Diperagakan dengan sejumlah penari wanita dan pria, tari woleka sering dipertunjukkan dalam banyak acara besar juga kegiatan seni. Para penari pria akan menari dengan lincah sambil mengayunkan parang seperti dalam tari kataga. Sedangkan para penari wanita akan menari dengan anggun dan lemah gemulai. Para wanita pada tari woleka menari dengan merentangkan tangan sambil memainkan selendang yang menjadi elemen penting dalam tarian ini.

Konon, tari woleka dulunya merupakan bagian dari upacara bentuk syukur kepada para leluhur dalam kepercayaan masyarakat Sumba. Upacara itu juga dipercaya sebagai bentuk pemulihan akan pelanggaran dan kesalahan manusia, yang dirayakan dengan pemotongan hewan korban, perjamuan, serta tari-tarian yang kini berkembang menjadi tari woleka.

Tarian dari Kabupaten Sumba Timur terwakilkan lewat tari-tarian rasa syukur, seperti tari kabokang yang merupakan tarian untuk mensyukuri kelahiran seorang bayi. Tarian ini kini berkembang menjadi salah satu tarian penyambutan tamu. Dalam tarian ini, para wanita berlenggang dengan ayu, sambil berputar membentuk formasi yang berubah-ubah. Biasanya para penari juga dilengkapi dengan warna-warni kain tenun khas Sumba Timur yang menambah pesona tarian ini.

Ada juga tarian yang merayakan panen, seperti tari kandingang dan patanjangung. Penari kandingang menggunakan rumbai-rumbai yang terbuat dari ekor kuda di tiap tangannya. Sambil menggerakkan kaki, para penari memutar-mutar pergelangan tangan dengan rumbai tersebut.

Masih banyak tarian lain dari Pulau Sumba, seperti tari ningguharama yang merupakan tarian penyambutan pahlawan yang kembali dari perang, tari warung kelumbut yang pola geraknya mengikuti gerak binatang, atau tari panapang banu yang menjadi bagian dari upacara melamar gadis.

Tarian-tarian tersebut terus dilestarikan hingga saat ini lewat berbagai upacara adat maupun sanggar kesenian yang tersebar di seluruh Pulau Sumba. Sebagai identitas masyarakat Sumba, maupun sebagai cerminan akan warna-warni pesona budaya bangsa kita yang terus diturunkan untuk generasi mendatang.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Iqbal Fadly & Ibna Alfattah

Tiang-tiang Tradisi, Atap Kehidupan

Sejatinya, wisata yang ideal tidak meninggalkan Anda hanya dengan hasil foto berlatar panorama yang indah. Mempelajari kearifan lokal daerah setempat atau berkenalan dengan masyarakatnya tentu akan menambah kesan yang lebih mendalam dari perjalanan wisata Anda. Pengalaman-pengalaman itulah yang ditawarkan desa-desa adat di Sumba.

Selain menjadi tujuan yang fresh dan kontras dari keramaian kota-kota besar, setiap desa adat Sumba kerap meninggalkan kerinduan tersendiri bagi para pengunjungnya. Dengan berbagai suguhan tarian, sirih pinang, dan keramahan yang khas dari masyarakat Tanah Marapu.

Berkunjung ke desa adat Sumba akan terasa bagai berwisata ke zaman batu. Desa adat Sumba memang terkenal akan keeksotisannya yang memancarkan keindahan panorama rumah-rumah adat di antara alam yang mempesona. Namun selain keindahannya, setiap aspek dari desa dan rumah adat di Sumba juga memancarkan falsafah hidup yang diturunkan dari generasi-generasi sebelumnya.

Ciri utama rumah adat Sumba adalah bubungan atapnya yang menjulang tinggi, dengan arsitektur dan pengaturan ruang yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan setempat. Empat tiang besar dan kokoh selalu menjadi pilar dan rangka utama dari rumah-rumah adat Sumba yang berbentuk persegi. Empat tiang yang mencerminkan arah mata angin tersebut juga dihias dengan ukiran-ukiran khas yang menambah pesona setiap rumah adat.

Setiap desain rumah Sumba secara vertikal terbagi dalam tiga bagian yang merepresentasikan lapisan dunia dalam kepercayaan setempat. Ruang paling atas dianggap sebagai ‘ruang Marapu’ atau ‘dunia atas’, yang dipercaya sebagai ruang bersemayamnya roh para leluhur dan menjadi tempat penyimpanan barang-barang pusaka. Yang dilanjutkan dengan ‘dunia tengah’, bagian utama tempat para penghuni rumah hidup dan melakukan aktivitas sehari-hari. Bagian paling bawah adalah kolong dari rumah adat Sumba yang desainnya memanggung, dan menyimbolkan ‘dunia bawah’ atau tempat lewatnya roh-roh jahat.

‘Dunia tengah’ dalam rumah adat Sumba juga terbagi lagi menjadi sisi kanan dan sisi kiri. Sisi kanan rumah atau kaheli bokulu, menjadi wilayah yang merepresentasikan sisi maskulin, dan tempat dilaksanakannya berbagai upacara adat dan kegiatan laki-laki lainnya. Sisi kiri, atau kaheli maringu, mewakili sisi feminin dan menjadi area para perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga.

Di depan rumah biasanya akan tampak tanduk kerbau yang digantung sebagai pengingat bahwa penghuninya pernah melakukan upacara adat. Semakin besar ukuran atau semakin banyak jumlah koleksi tanduk kerbaunya, semakin tinggi status sosial sang pemilik rumah.

Setiap klan atau kabisu (Sumba bagian barat) dan kabihu (Sumba bagian timur) biasanya memiliki penyebutan yang berbeda untuk tipe-tipe rumah adat di Sumba. Ada yang menyebut uma mbatangu untuk ‘rumah berpuncak’ yang besar dengan atap yang tinggi. Uma kamadungu adalah rumah yang lebih kecil dan tidak memiliki puncak di bagian tengah atap. Ada juga uma bungguru, rumah utama di mana tiap kabihu/kabisu biasa mengadakan acara-acara penting yang melibatkan seluruh desa.

Berbagai jenis dan bentuk rumah adat berdiri berdampingan dengan kubur-kubur batu yang menambah nuansa magis dari tiap desa. Hal ini mencerminkan kepercayaan masyarakat Sumba untuk tetap menjalin hubungan baik dengan sesama, terutama dengan anggota keluarga yang sudah meninggal. Sejumlah kubur batu biasanya juga dilengkapi dengan penji, sebutan untuk menhir yang diukir dengan motif-motif tradisional sebagai penunjuk identitas dan status sosial dari mendiang yang terkubur.

Ada banyak desa adat yang tersebar di seluruh Pulau Sumba. Setiap desa adat mewakili sejumlah sub-etnis Sumba yang kemudian terbagi lagi menjadi beberapa klan. Tiap desa adat tentunya memiliki sejarah, dialek, dan pesonanya tersendiri yang membedakannya dengan desa-desa adat lain di Pulau Sumba.

Salah satu desa adat yang cukup sering dikunjungi wisatawan adalah Desa Adat Ratenggaro di daerah Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Hamparan kubur batu akan menyambut Anda sesampainya di Ratenggaro, dan salah satu kubur batu di sekitar desa ini bahkan diperkirakan berusia sekitar 4,500 tahun. Kata rate sendiri berarti ‘makam’, sedangkan nggaro berarti ‘orang Garo’. Dan desa adat ini memiliki sekitar 300 kubur batu yang tersebar di sekelilingnya.

Rumah besar beratap tinggi di Ratenggaro disebut uma kalada. Dengan atap-atap tinggi rumah adatnya yang dapat mencapai 20 meter, desa adat ini mudah terlihat dari kejauhan. Pesona utama Ratenggaro terdapat di posisinya yang terletak di tepi pantai yang luas dan berpasir putih.

Keasrian alam di desa yang terletak di ujung barat Pulau Sumba ini juga dipercantik dengan aliran sungai yang bermuara di pantai di mana anak-anak sering berenang seru melepas gerah. Memperhatikan kuda-kuda sandel yang berlarian di pantai akan menjadi pengalaman tak terlupakan di Ratenggaro. Apalagi sambil ditemani petikan merdu dari tungga, gitar tradisional Sumba, yang dimainkan penduduk lokal.

 

Di Kabupaten Sumba Barat, tepatnya 3 km dari Kota Waikabubak, terdapat Desa Adat Prai Ijing yang tidak kalah mempesona. Prai Ijing adalah desa adat yang berada di atas bukit dan dipenuhi rimbun rindang pepohonan. Bentuk desanya memanjang, dengan julangan atap rumah adat di antara biru dan hijaunya lapisan perbukitan di sekelilingnya.

Berjalan keliling Prai Ijing, Anda akan menemukan keindahan pada tiap sudutnya, serta senyum warga setempat yang senantiasa ramah menyapa. Letak geografisnya yang berada di ketinggian juga menambah kesegaran suasana desa dengan udara yang sejuk. Di awal tahun 2000-an, desa adat Prai Ijing sempat terbakar dengan puluhan rumah adat habis dilahap api. Namun saat ini rumah-rumah adat telah kembali berdiri dan mengembalikan keindahan desa adat ini.

Berlanjut ke Sumba bagian timur, Kampung Raja Prailiu berdiri di tengah Kota Waingapu. Desa adat ini dulunya merupakan swapraja kerajaan Lewa-Kambera yang diakui oleh Belanda di era kolonial. Posisi yang sangat dekat dari pusat kota membuat Prailiu menjadi salah satu desa adat yang paling banyak dikunjungi di Sumba.

Kampung Raja Prailiu terkenal sebagai salah satu sentra kain tenun khas Sumba bagian timur. Warna-warni kain tenun Sumba seperti hinggi dan lau berjajar cantik di tali jemur kala siang hari. Desa adat ini bahkan memiliki galeri tenunnya sendiri dengan jumlah koleksi yang mengagumkan.

Di desa adat ini, Anda dapat melihat proses pembuatan kain tenun Sumba, serta mempelajari makna di balik tiap motif langsung dari para mama, panggilan akrab untuk para ibu di Sumba Timur. Selain wastra, Kampung Raja Prailiu juga bisa menyuguhkan tarian-tarian khas Sumba Timur yang masih dilestarikan di desa ini.

 

Di ujung timur Pulau Sumba, terdapat Kampung Raja Rindi-Praiyawang, tepatnya di Kecamatan Rindi (sering juga dibaca ‘Rende’), Kabupaten Sumba Timur. Berasal dari swapraja kerajaan Rindi-Mangili, desa adat ini merupakan kampung raja tertua di daerah Sumba bagian timur. Letak geografisnya berada di atas puncak bukit yang datar, dengan padang sabana khas Sumba dan hamparan ilalang yang memenuhi lingkungan sekitarnya.

Selain sejumlah peninggalan megalitik seperti kubur batu dan penji, Kampung Raja Praiyawang memiliki delapan rumah induk yang melambangkan delapan garis keturunan raja yang ada di desa ini. Salah satu rumah yang paling menonjol adalah uma bokul atau haparuna, rumah terbesar di Praiyawang yang menjadi tempat warga menyelenggarakan acara adat besar. Kampung adat ini juga memiliki berbagai benda pusaka yang berusia ratusan tahun, dan masih digunakan pada upacara-upacara tertentu hingga saat ini.

Masih banyak desa adat lain di Sumba yang menjadi tonggak pelestarian budaya masyarakatnya seperti Kampung Tarung, kampung suku Loli yang terkenal dengan festival Wulla Poddu. Ada juga Desa Adat Pasunga dengan kubur-kubur batu yang besar nan megah di Anakalang, Kabupaten Sumba Tengah.

Sebagai situs sejarah dan budaya, tiap desa adat mencerminkan sistem kekerabatan yang begitu erat dalam masyarakat Sumba. Saat ini desa-desa adat menjadi tujuan pariwisata yang semakin ramai akan pengunjung. Lewat donasi turis dan laba penjualan cinderamata yang dibuat sendiri oleh masyarakat lokal, pariwisata juga menunjang perekonomian masyarakat setempat serta membantu pelestarian desa adat itu sendiri.

Anda belum benar-benar merasakan melancong ke Sumba jika belum melihat kehidupan penduduknya, langsung di tengah keseharian mereka di desa-desa adat. Menghabiskan hari di salah satu desa adat adalah suatu kesederhanaan yang mahal nilainya. Di mana Anda akan tenggelam dalam obrolan seputar kepercayaan Marapu, atau obrolan sejarah pahlawan Wono Kaka melawan para penjajah. Semua dengan suguhan secangkir kopi, dan bibir yang merona merah karena sirih pinang. Berbagi cerita dan tawa di teras penduduk, selagi menikmati keindahan warna-warni kain tenun yang melambai pelan tertiup angin.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ibna Alfattah & George Timothy

Pantai Mananga Aba atau disebut juga Pantai Kita merupakan salah satu destinasi wisata pantai yang berada di Desa Karuni, Kecamatan Loura, Sumba Barat Daya. Kurang lebih 10 km dari Kota Tambolaka atau sekitar 30 menit perjalanan. Pantai ini memiliki bibir pantai yang panjang serta pasir putih yang halus dan bersih. Air laut yang jernih berwarna biru dengan ombaknya yang tergolong kecil menjadikannya cocok untuk aktivitas air seperti berenang atau snorkeling.

Akses menuju pantai ini tidaklah sulit. Jalanan menuju Pantai Mananga Aba sudah diaspal dan mempermudah kita untuk mencapainya. Terdapat hotel yang berada tepat di tepi pantai ini, yang sangat cocok bagi Anda yang ingin bersantai dan menjauh dari keramaian kota. Di pantai ini juga terdapat saung-saung untuk para wisatawan yang senang duduk-duduk sambil menikmati angin pantai.

Pantai Mananga Aba merupakan tempat bermain anak-anak warga sekitar di sore hari. Ada yang bermain bola, bermain air, bahkan menyusun pasir. Keceriaan mereka sungguh meneduhkan hati. Pantai ini juga menjadi salah satu sunset spot di Sumba Barat Daya. Tenang rasanya bisa menikmati semua keindahan Pantai Mananga Aba kala senja, bersama anak-anak setempat yang bercanda dan berlarian. Sebuah suasana yang membebaskan kita dari bayang-bayang masalah.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy

 

 

Pantai Bawana atau Bwana adalah salah satu surga tersembunyi yang terletak di sisi barat Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar, Sumba Barat Daya. Pantai ini memiliki ciri yang berbeda dari pantai lainnya. Di tengah hamparan pasir putih dan debur ombak yang mengikis pantai, berdiri kokoh tebing karang setinggi kurang lebih 6 meter dengan lubang besar di tengahnya.

Karang bolong ini terlihat seperti sebuah pintu gerbang menuju suatu tempat, atau tepatnya gerbang senja. Menikmati senja yang turun perlahan dari lubang karang ini akan terasa sangat berkesan. Para wisatawan lokal maupun mancanegara terlihat antusias berfoto-foto di bawah karang bolong, sambil menanti sunset di ufuk barat.

Untuk sampai dan menikmati keindahan Pantai Bawana sedikit dibutuhkan perjuangan lebih. Setelah berkendara menggunakan roda 2 atau roda 4 kurang lebih selama 2 jam dari Tambolaka, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni tebing yang cukup curam dan sedikit licin yang harus dilalui dengan penuh hati-hati.

Setelah menuruni tebing, kita akan disambut garis pantai yang membentang dengan pasir putihnya. Memandang keindahan pantai dengan karang bolongnya yang iconic akan mengembalikan semangat setelah lelah menuruni tebing tersebut.

Pantai Bawana masih tergolong destinasi wisata baru. Bahkan banyak warga Sumba yang belum mengetahui pantai ini, jadi wajar jika akses jalanan belum terlalu baik. Namun kesigapan masyarakat setempat yang peka terhadap peluang wisata sudah mulai membenahi akses menuju tempat ini, juga adanya jasa pelayanan seperti porter dan juru parkir.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy