Pos

Ketika Tradisi Menjadi Inspirasi

Selesai menjelajah keindahan alam dan budaya di Sumba, menandakan saatnya belanja oleh-oleh atau kenang-kenangan. Dengan potensi wisata yang semakin ramai mengundang turis, masyarakat di Pulau Sumba juga semakin giat mengembangkan berbagai kerajinan. Mulai dari kain tenun Sumba yang penuh warna, hingga katopo atau parang tradisional yang beragam bentuknya.

Pernak-pernik Sumba juga menjadi salah satu pilihan cinderamata yang paling umum. Selain sederhana dan praktis untuk dibawa, keunikan dari pernak-pernik Sumba juga terdapat di bentuknya yang terinspirasi dari tradisi dan budaya setempat.

Contoh bentuk tradisi Sumba yang tertuang dalam cinderamata setempat adalah mamuli dan lulu amah. Entah itu sebagai motif pada kain-kain tenun atau pada relief yang terpahat di kubur batu, mamuli adalah bentuk yang paling umum dijumpai di segala aspek kerajinan di Sumba.

Mamuli pada dasarnya adalah perhiasan dari emas atau perak yang berbentuk seperti vulva wanita. Seperti bentuknya, mamuli melambangkan kewanitaan dan kesuburan. Sandingan mamuli terdapat pada lulu amah, semacam tali yang juga terbuat dari emas atau perak, dan dianggap sebagai simbol kejantanan.

Sejak dulu, mamuli dan lulu amah yang terbuat dalam berbagai ukuran ini merupakan bagian terpenting dalam belis, mahar atau mas kawin dalam pernikahan. Mamuli sering diwariskan secara turun temurun dan dipercaya sebagai penghubung ikatan dengan para leluhur.

Bahkan tidak jarang mamuli dijadikan salah satu bekal kubur sebagai benda pusaka keluarga. Namun saat ini, bentuk mamuli juga diaplikasikan di pernak-pernik yang terbuat dari kuningan dan tembaga, sebagai cinderamata yang berupa kalung, anting atau bros.

Di Sumba juga terdapat beberapa kerajinan yang terbuat dari bagian tubuh hewan, seperti tanduk dan tulang kerbau. Sisir tradisional Sumba atau haikara bahkan terbuat dari cangkang penyu, yang diukir dengan motif-motif yang juga sering dijumpai pada kain tenun Sumba. Para wanita Sumba biasanya menancapkan haikara di rambut mereka pada upacara adat atau kegiatan formal lainnya, sehingga haikara terlihat bagai tiara yang memahkotai para wanita Sumba.

Cinderamata menarik lainnya yang dapat Anda temui di Sumba adalah walaona dan anahida, manik-manik tradisional yang awalnya difungsikan sebagai aksesoris pengantin. Ada juga tongal, dompet atau tas kecil yang terbuat dari kayu, dan biasanya dililitkan di pinggang para lelaki.

Semua kerajinan tersebut dapat Anda temui di pasar-pasar tradisional maupun desa-desa adat di Sumba. Pernak-pernik yang tidak hanya menarik, namun juga mencerminkan bagaimana masyarakat Sumba mampu mengembangkan nilai-nilai tradisi menjadi suatu komoditas yang turut menunjang perekonomian setempat. Jika Anda berwisata ke Sumba, jangan lupa untuk membawa pulang satu atau dua dari kerajinan ini, sebagai pengingat akan keramahan dan kearifan lokal dari masyarakat di Pulau Sumba.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Ribuan Derap Kaki di Perbukitan Sumba

Pemandangan alam Sumba yang surgawi memang sudah tidak asing lagi. Hamparan perbukitan dan matahari senja yang tampak sempurna kerap memenuhi feed Instagram siapapun yang berlibur di Sumba. Apalagi, pesona alamnya juga selalu identik dengan kuda-kuda lokal yang selalu menambah keeksotisan pemandangan sabana khas tanah Sumba.

Kuda sandalwood atau kuda sandel, merupakan kuda khas Sumba yang menjadi identitas serta simbol yang melekat pada masyarakat Sumba. Kuda yang termasuk dalam jenis kuda poni ini memiliki postur tubuh yang kecil dengan rata-rata tinggi punggung di bawah 150 cm. Kuda sandel memiliki bentuk kaki dan kuku yang kuat. Lingkar lehernya besar, dan memiliki daya tahan yang tangguh. Kuda sandel juga memiliki warna yang cukup bervariasi seperti hitam, putih, belang, dan banyak warna lainnya.

Jenisnya dinamakan kuda sandel sejak zaman kolonial, di mana Sumba merupakan penghasil kayu cendana (sandalwood) terbesar dan terbaik di dunia. Pada masa itu kuda poni Sumba dilirik sebagai komoditi perdagangan alternatif selain cendana. Dan demi kepentingan usaha dagang, diberikanlah trademark pada kuda Sumba dengan nama ‘sandalwood horse’ yang kemudian nama itu melekat dan berkembang menjadi kuda sandel.

Dalam kehidupan masyarakat Sumba, kuda begitu dihormati dengan fungsi yang sangat penting dan beragam. Pada zaman nenek moyang dahulu kuda sering dijadikan sebagai tunggangan harian, dan sebagai kendaraan berburu atau perang. Juga dalam adat-istiadat tradisi perkawinan masyarakat Sumba, kuda dan mamuli (perhiasan dengan makna kesuburan) menjadi salah satu bagian penting dari perangkat belis (mahar), yang diberikan oleh pihak orang tua laki-laki kepada pihak orang tua perempuan. Kuda juga berperan penting dalam banyak upacara adat di Sumba lainnya, seperti dalam upacara adat pasola.

Bagi masyarakat Sumba, sifat kuda mencerminkan karakter pemiliknya. Kuda dipercaya memiliki hubungan psikologis dengan manusia yang digambarkan dalam ungkapan adat ‘Ndara ole ura, bangga ole ndewa’,  yang bermakna ‘kuda sebagai kawan segaris urat tangan, anjing sebagai kawan sejiwa’.

Sebagai kendaraan hidup, kuda memang tak terpisahkan dari kehidupan pribadi orang Sumba. Memakan daging kuda dipercaya dapat mendatangkan bahaya dan malapetaka karena kuda dianggap hampir setara dengan roh leluhur, khususnya bagi mereka yang menganut kepercayaan Marapu.

Semenjak masuknya Belanda, pacuan kuda berkembang di banyak daerah di Indonesia sebagai bagian dari tradisi yang berlanjut hingga sekarang. Awalnya pacuan kuda diselenggarakan di hari-hari besar dan di hari ulang tahun ratu Belanda saja. Tapi saat ini berbagai golongan masyarakat di Sumba menggemari olahraga ini sebagai ajang pertunjukan daerah, rekreasi dan media untuk mempererat hubungan persahabatan.

Maraknya pacu kuda juga memicu masyarakat Sumba untuk kian meningkatkan mutu dari kuda-kuda lokal dalam postur tubuh, kecepatan, hingga daya tahan. Peningkatan mutu ini sebenarnya bermula di abad 18, di mana kuda-kuda Sumba dikawin silang dengan kuda-kuda yang dibawa para saudagar dari Arab.

Kini kuda sandel dari Sumba menjadi salah satu komoditas yang digalakkan pemerintah setempat lewat berbagai upaya peningkatan kualitas dan kuantitas. Dengan berbagai acara seperti pacuan kuda atau festival Parade 1001 Kuda Sandalwood di Sumba Barat, kuda sandel semakin menjadi ikon budaya dan pariwisata Pulau Sumba. Dengan pesona dan karakternya yang tangguh, kuda sandel diharapkan terus bisa menjadi kawan setia bagi tiap manusia yang menungganginya, serta kebanggaan dari setiap masyarakat yang hidup di Pulau Sumba.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy