Pos

Adat Betawi, Ikon Jakarta

“Nyok, kite nonton ondel-ondel
Nyok, kite ngarak ondel-ondel
Ondel-ondel ade anaknye
Anaknye ngigel ter-iteran”

“Yuk kita nonton ondel-ondel
Yuk kita ngiringin ondel-ondel
Ondel-ondel ada anaknya
Anaknya joget sambil muterin tangan”

Bagi warga Jakarta, kutipan lirik di atas sudah tidak asing lagi di telinga. Dinyanyikan oleh almarhum Benyamin Sueb, lagu tersebut menceritakan tentang salah satu kesenian khas Betawi yang kerap dipamerkan pada hari ulang tahun Jakarta dan di berbagai perayaan besar, seperti karnaval, pernikahan, hajatan, sunatan, hingga acara peresmian gedung-gedung. Namun, bukan hanya sekadar hiasan berupa boneka besar yang dirangkai dari bambu dan kain, ondel-ondel ternyata memiliki sejarah yang menarik hingga akhirnya dikenal luas seperti sekarang.

Dengan tinggi sekitar 2.5 meter, ondel-ondel sesungguhnya sudah ada di Jakarta sejak zaman Belanda. Pada awal kemunculannya, ondel-ondel dikenal dengan nama baronga yang konon berasal dari kata berbarengan. Hal ini didasari oleh bagaimana kegiatan pengarakan boneka raksasa ini biasanya dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama. Pada masa itu, masyarakat Betawi percaya bahwa arwah nenek moyang akan senantiasa menjaga keturunannya dan kepercayaan ini diwujudkan dalam bentuk ondel-ondel. Karena dipercaya berfungsi sebagai penolak bala, ondel-ondel tradisional memiliki wajah yang cenderung menyeramkan. Fungsi ini pula yang menjadi alasan mengapa masyarakat Betawi pada zaman dahulu selalu menyiapkan sajen dan melakukan ritual ketika merakit ondel-ondel.

Saat dipentaskan, ondel-ondel pun harus berpasangan, karena masyarakat Betawi mempercayainya sebagai bentuk keseimbangan antara kekuatan baik dan buruk. Biasanya pada ondel-ondel tradisional, wajah boneka laki-laki akan dicat merah, matanya dibuat melotot, dan dilengkapi dengan kumis dan senyuman yang menyeringai. Sedangkan wajah ondel-ondel perempuan biasanya dicat putih dan mulutnya yang bergincu merah nampak tersenyum manis.

Tidak ada ketentuan warna untuk pakaian, namun komposisi warna kontras ciri khas budaya Betawi kerap digunakan. Warna yang sering muncul dalam pakaian ondel-ondel adalah kombinasi dari merah, merah muda, oranye, kuning, hijau, biru, hitam dan putih. Warna-warna tersebut sengaja dikombinasikan bertabrakan untuk memberi kesan meriah agar menarik perhatian orang banyak.

Dengan melajunya zaman, maka tak diingkari telah terjadi pula pergeseran makna, bahkan desain pada boneka yang telah menjadi salah satu ikon Jakarta ini. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin disebut memiliki kontribusi besar dalam perkembangan penampilan ondel-ondel dengan mengubah wajah boneka yang sebelumnya cukup mengintimidasi menjadi lebih bersahabat.

Sekarang ondel-ondel bukan lagi penolak bala, namun telah berubah menjadi media hiburan masyarakat yang tak jarang pula kita temui berkeliling di jalanan ibu kota. Keberadaan ondel-ondel yang berumur panjang dan hampir selalu muncul di setiap kegiatan masyarakat Jakarta membuktikan bahwa ondel-ondel memiliki signifikansi yang penting di berbagai dimensi kehidupan masyarakat Betawi.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Nurhudayanti

Untuk Bergabung dengan Para Leluhur

Di seluruh dunia, kematian sering dianggap sebagai akhir dari segalanya. Di mana tangis menyatukan sanak saudara untuk berkumpul dalam duka akan kepergian anggota keluarga. Lain halnya dengan di Sumba, kematian dianggap sebagai sebuah langkah menuju awal yang baru.

Kematian orang Sumba kerap diupacarakan dengan mewah dan dimakamkan dengan megah dalam kubur batu megalitik (batu besar) yang tersebar di seluruh Pulau Sumba. Dengan tradisi penguburan yang unik, Sumba merupakan salah satu dari segelintir kebudayaan di dunia yang masih mempertahankan budaya megalitik hingga saat ini.

Dalam Marapu, sebutan untuk kepercayaan asli Sumba, kematian merupakan suatu perpindahan. Ketika seseorang meninggal, rohnya akan meninggalkan tubuh bagaikan udang dan ular menanggalkan kulitnya. Seperti yang tersebut dalam ungkapan adat ‘Njulu la kura luku, halubu la mandu mara’, yang artinya ‘Menjelma bagai udang sungai, berubah bagai ular darat’. Roh yang kekal diharapkan dapat mencapai Prai Marapu, alam baka atau surga tempat para leluhur Marapu berada. Namun, tiap roh akan sulit mendapat ketenangan jika belum dikebumikan dengan rangkaian upacara adat oleh keluarga yang masih hidup.

Tiap jenazah dibungkus dengan kain-kain tenun terbaik dan dimakamkan dengan posisi duduk meringkuk, layaknya posisi janin dalam kandungan. Hal ini menyimbolkan kelahiran kembali sang jenazah di dunia arwah. Jenazah kemudian disemayamkan selama beberapa hari di beranda rumahnya, sambil menunggu seluruh keluarga untuk berkumpul dan memberikan penghormatan terakhir, seperti me­nyumbangkan hewan korban atau bekal kubur. Setelah itu, jenazah akan diarak menuju tempat peristirahatan terakhir oleh seluruh keluarga dengan meriah.

Cerita di atas hanyalah gambaran kecil dari upacara kematian tradisional Sumba yang begitu kompleks. Tiap daerah di Sumba juga memiliki upacara yang bervariasi antara kampung yang satu dengan yang lainnya, dengan tata cara dan keunikannya tersendiri. Jenazah-jenazah tersebut umumnya dikubur dengan berbagai bekal kubur, mulai dari perhiasan tradisional, senjata, tempat sirih pinang, dan kain-kain tenun yang begitu berharga.

Tiap upacara biasanya melibatkan hewan korban yang rohnya dipercaya akan membantu perjalanan tiap roh manusia yang baru meninggal. Kuda dipercaya akan menjadi tunggangan roh mendiang di Prai Marapu, anjing dipercaya akan menunjukkan jalan dan menjaga roh tersebut, sedangkan ayam dipercaya akan membangunkan roh setibanya di alam seberang.

Tiap jenazah akan dikebumikan di kubur batu yang sudah menjadi pemandangan khas Pulau Sumba. Walau biasanya kubur batu berada di dalam perkampungan, Anda juga dapat menemukan kubur batu di pantai, perbukitan, maupun pinggir jalan. Terdapat beberapa jenis kubur batu di Sumba, mulai dari dolmen yang berbentuk seperti meja besar, hingga dolmen berundak yang berbentuk seperti peti batu yang tinggi dan besar.

Dulunya, seluruh kubur batu ini terbuat dari batu cadas alami dengan berat puluhan ton, dan membutuhkan tenaga ratusan orang untuk memindahkannya ke tempat kubur yang telah ditentukan. Proses ‘menarik batu’ oleh ratusan orang ini memiliki upacaranya tersendiri, yaitu Tingi watu.

Umumnya, kubur batu milik bangsawan disertai penji, semacam tugu dari batu yang dihias dengan ukiran-ukiran yang cantik. Ukiran-ukiran pada penji biasanya merupakan motif yang umum dijumpai pada kain tenun Sumba, yang mengindikasikan klan atau identitas dari mendiang yang terkubur.

Tiap kubur batu juga dapat menampung lebih dari satu orang. Biasanya, sepasang suami istri dikuburkan dalam satu kubur. Namun ada juga kubur batu yang dapat menampung hingga lima anggota keluarga, atau lebih dari itu. Kubur batu juga kebanyakan ditempatkan di halaman kampung untuk menjaga ikatan sakral antara mereka yang telah berpulang dengan keluarga yang ditinggalkan.

Dengan kebutuhan batu alam yang mahal dan sulit didapat, juga untuk mengumpulkan ratusan orang dan menjamu mereka dalam kenduri dengan puluhan hewan korban, seluruh proses untuk sebuah upacara kematian dan penguburan di Sumba dapat mencapai ratusan juta sampai 1 miliar rupiah.

Itulah mengapa banyak yang menunggu berbulan-bulan hingga puluhan tahun sebelum dapat memberikan pemakaman adat yang layak bagi mendiang anggota keluarganya. Banyak juga dari masyarakat Sumba saat ini yang beralih ke beton dan semen biasa untuk mempermudah pembangunan batu kubur.

Upacara kematian dan penguburan yang kompleks ini telah menjadi keunikan dan ciri khas dari Pulau Sumba. Proses pemakaman tradisional yang membutuhkan gotong royong dan kekerabatan yang amat tinggi ini juga mencerminkan nilai-nilai yang merupakan karakteristik masyarakatnya.

Setiap orang yang masih hidup harus berpartisipasi dalam rangkaian upacara kematian keluarga atau kerabat dekatnya. Dengan tiap doa dan ritual adat yang menghantarkannya menuju Prai Marapu, di mana mendiang anggota keluarga akan berkumpul dan berpesta dengan para leluhur dalam ketenangan yang abadi.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Pater Robert Ramone