Rantai Mutiara di Laut Jawa

 

Laju kehidupan dan gemerlap ibu kota seakan memberi janji bagi para pendatang dari luar kota untuk mengadu nasib di Jakarta. Tingkat urbanisasi yang terus mengalami kenaikan ini menjadikan Jakarta sebagai kota terpadat kedua di dunia. Kesibukan jam kerja yang seolah-olah tanpa henti pun kerap berujung pada terbatasnya waktu bersama keluarga dan kerabat.

Rekreasi maupun liburan menjadi prioritas kesekian setelah kepentingan dunia kerja. Nongkrong untuk memperluas jaringan dan memenuhi gaya hidup metropolitan dianggap sudah cukup menjawab kebutuhan bersantai warga ibu kota.

Waktu telah menjadi satu hal yang sangat berharga, sehingga liburan untuk sejenak keluar dari kepenatan ibu kota yang dapat diperoleh dalam waktu singkat pun senantiasa menjadi persoalan bagi warga Jakarta.

Salah satu jawaban dari situasi tersebut sebenarnya dapat Travelers temui di satu wilayah yang dijuluki Maldiven van Java. Predikat yang didapat karena keelokan kumpulan pulau-pulau tropis layaknya di Maladewa ini, melekat pada Kepulauan Seribu yang masih berada di bawah administrasi DKI Jakarta.

Kepulauan Seribu

Menikmati keindahan biota laut menjadi salah satu aktivitas utama di Kepulauan Seribu.

Mendengar nama Kepulauan Seribu sudah pasti Travelers langsung membayangkan jika pulau yang ada di sana berjumlah seribu. Faktanya, jumlah pulau yang ada di Kepulauan Seribu berjumlah 342. Namun layaknya pulau-pulau lain di Indonesia, sebagian besar pulau di Kepulauan Seribu tidak berpenghuni, melainkan hanya pulau-pulau pasir dan terumbu karang, baik yang bervegetasi maupun yang tidak.

Walau terletak berdekatan dengan Jakarta, budaya penduduk Kepulauan Seribu cukup berbeda dengan masyarakat Betawi. Budaya dan karakteristik masyarakat Kepuluan Seribu justru terlahir dari perpaduan budaya Banten, Kalimantan, Sunda, dan suku Mandar dari Sulawesi. Hasil campuran tersebut lalu menghasilkan satu budaya dan karakter yang baru, yakni kebudayaan ‘Orang Pulo’.

Sebagai destinasi liburan, Kepulauan Seribu menawarkan berbagai aktivitas air yang seru seperti snorkeling, diving dan memancing. Jika Travelers tertarik untuk mengunjungi Kepulauan Seribu, berikut adalah rekomendasi beberapa pulau.


• PULAU ONRUST

Sempat menjadi wilayah pertahanan VOC, Pulau Onrust masih menjadi rumah bagi beberapa bangunan peninggalan penjajahan Belanda seperti benteng pertahanan dan pelabuhan kuno, walaupun bentuknya memang sudah tidak utuh seperti sedia kala. Untuk menuju ke sini, Travelers bisa memilih paket trip yang disediakan oleh trip organizer, biasanya hanya tersedia one day trip dengan tujuan destinasi seperti Pulau Onrust, Pulau Kelor dan Pulau Untung Jawa. Harga paket trip pun bervariasi, namun masih terjangkau, apalagi jika Travelers pergi beramai-ramai dan bisa sharing harga.


• PULAU PRAMUKA

Sebagai pusat administrasi dan pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Pulau Pramuka menawarkan fasilitas yang paling lengkap dibandingkan pulau-pulau lainnya, baik fasilitas umum maupun fasilitas penunjang pariwisata. Salah satu aktivitas yang wajib Travelers lalukan di Pulau Pramuka adalah mengunjungi pelestarian salah satu satwa dilindungi yaitu penyu sisik. Travelers dapat mencapai Pulau Pramuka menggunakan perahu motor tradisional dari pelabuhan Kali Adem Muara Angke atau dengan speedboat dari dermaga kapal Marina Ancol. Dari pulau ini, Travelers juga dapat mengunjungi beberapa pulau sekitar yang tak kalah memikat, seperti Pulau Semak Daun untuk camping, Pulau Air untuk snorkeling atau sekadar menikmati pemandangan matahari terbenam. Daya tarik pulau-pulau sekitarnya dapat Travelers nikmati dengan menyewa ojek kapal. Di Pulau Pramuka juga tersedia penginapan yang disewakan oleh warga dengan harga yang cukup terjangkau.


• PULAU HARAPAN

Dengan jarak kurang lebih 30 menit dari Pulau Pramuka, Pulau Harapan salah satu destinasi yang sering dikunjungi di Kepulauan Seribu. Letaknya yang jauh dari ibu kota menjadikan Pulau Harapan dan sekitarnya jarang tersentuh sehingga masih minim dari polusi. Setibanya di Pulau Harapan, Travelers langsung disambut oleh air laut yang bening, sehingga snorkeling untuk menikmati pesona keindahan terumbu karang pun menjadi salah satu aktivitas pilihan. Perlengkapan snorkeling juga tersedia untuk disewa dengan harga yang terjangkau. Hilir mudik ojek kapal kerap terlihat mengantar pengunjung yang ingin berkeliling hingga ke pulau sekitarnya seperti Pulau Macan, Pulau Genteng, Pulau Papa Theo, Pulau Dolphin dan Pulau Bira. Biasanya Travelers membutuhkan waktu seharian untuk mengunjungi lebih dari tiga pulau sebelum kembali ke penginapan setelah matahari terbenam.


• PULAU BIRA

Pulau resort yang kian digemari oleh wisatawan ini terletak tidak jauh dari Pulau Harapan. Daya tarik Pulau Bira terletak di keindahan pantai landainya dengan pasir putih serta air yang bening. Selain bersantai di tepi pantai sambil menikmati suara ombak dan jernihnya air laut, Travelers juga dapat melakukan atktivitas snorkeling maupun diving. Mengingat memang ada keterbatasan jumlah cottages yang tersedia, Travelers yang berkunjung ke Pulau Bira hendaklah memesan penginapan jauh sebelum hari keberangkatan. Karena Pulau Bira bukanlah pulau berpenghuni, maka jangan heran apabila sering melihat ojek kapal yang berlabuh di dermaga. Sebagian mengantar tamu dan sebagian lagi mengantarkan makanan dari Pulau Harapan. Malam hari di Pulau Bira, Travelers dapat bersantai di dermaga sembari mendengarkan deburan ombak dan menikmati taburan bintang.

Pulau Gosong

Pesona salah satu pulau gosong di Kepulauan Seribu.

Akses menuju Kepulauan Seribu dapat menggunakan kapal dari Kali Adem Muara Angke dengan waktu tempuh sekitar 1.5 hingga 3.5 jam, tergantung destinasi yang dituju. Ingin tiba lebih cepat? Maka Travelers dapat menggunakan speedboat dari Marina Ancol dengan waktu tempuh 1 hingga 1.5 jam tergantung destinasi yang dituju.

Selain empat pulau di atas, tentunya masih ada pulau-pulau lainnya seperti Pulau Bidadari, Pulau Macan dan Pulau Sepa yang juga menawarkan keindahan Kepulauan Seribu, lengkap dengan layanan resort dan fasilitasnya. Aktivitas yang ditawarkan kurang lebih hampir sama yaitu island hopping, snorkeling, dan diving.

Suguhan keindahan dan keseruan wisata pulau bagi warga Jakarta yang kerap kali memilki keterbatasan waktu, berhasil menjadikan Kepulauan Seribu sebagai salah satu destinasi liburan incaran. Jadi sudah siap untuk membuat itinerary staycation di Kepulauan Seribu? Ayo bersiap untuk mendapatkan pengalaman seru yang tidak jauh dari ibu kota!

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy


Mengamati Fauna Liar di Metropolis

 

Seperti yang kita ketahui, Jakarta merupakan kota metropolitan yang terkenal dengan semarak dan gemerlapnya. Namun di sisi lain, sudah menjadi lumrah menyandingkan nama Jakarta dengan kemacetan dan polusi. Maka dari itu, kebutuhan Jakarta akan ruang terbuka hijau telah menjadi konsentrasi dari berbagai pihak untuk terus digalakkan, sebagai salah satu upaya mengurangi pencemaran udara. Ruang terbuka hijau di tengah kota Jakarta dapat memberikan udara segar serta alternatif baru bagi warga ibu kota untuk ikut andil dalam konservasi alam sedini mungkin.

Salah satu ruang hijau terbuka yang ada di Jakarta adalah kawasan Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk yang terletak di utara ibu kota. Terletak di garis pantai dengan kadar garam yang tinggi, kawasan yang lebih akrab disebut TWA Mangrove ini adalah sebuah ekosistem lahan basah yang didominasi oleh beberapa jenis pepohonan mangrove.

Biasa tumbuh di atas rawa-rawa, tepatnya di daerah pantai dan sekitar muara sungai, kawasan hutan bakau atau mangrove memiliki berbagai fungsi. Mulai dari mencegah erosi dan abrasi pantai hingga mencegah intrusi laut atau perembesan air laut ke tanah daratan yang menyebabkan air tanah menjadi payau dan tidak layak untuk dikonsumsi. Melalui akar-akarnya, pepohonan mangrove ini berfungsi sebagai pelindung bagi tanah agar terhindar dari pengikisan yang disebabkan oleh air.

Selain sebagai upaya untuk menstabilkan ekosistem pantai yang berada tidak jauh dari Jakarta, keberadaan ruang hijau terbuka ini juga dipercaya dapat menyerap karbondioksida lima kali lebih banyak daripada hutan tropis. Sehingga menjadi sebuah keuntungan bahwa di tengah kota Jakarta yang memiliki tingkat polusi udara yang cukup tinggi, masih terdapat surga hijau seluas 99,82 hektar yang dapat dinikmati oleh warga ibu kota dan sekitarnya. Tidak hanya sebagai konservasi alam saja, TWA Mangrove pun dapat dimanfaatkan sebagai pariwisata, rekreasi alam bahkan sebagai sarana edukasi.

Sebagai bagian dari kawasan hutan Angke Kapuk dan selain merumahi beberapa jenis mangrove, TWA Mangrove juga menjadi habitat bagi beragam satwa liar yang hampir seluruhnya merupakan satwa yang dilindungi. Saat menelusuri perairan TWA Mangrove, Travelers akan menemui beragam jenis burung seperti cangak abu, cekakak sungai, belibis, belekok, elang laut, kokokan laut, dan itik benju yang terbang bebas ataupun hinggap di pepohonan.

TWA_Mangrove

Suaka bagi sejumlah kehidupan fauna liar, biota yang dapat ditemukan di TWA Mangrove Angke Kapuk saat ini mencerminkan ekosistem alami yang dulu dapat ditemukan di seluruh pesisir Jakarta.

Selain itu, ada pula satwa liar lainnya seperti biawak air, udang bakau dan ikan gelodok. Semua dapat Travelers jumpai dengan menyewa speedboat seharga Rp.30.000 per orang, dengan minimum empat orang setiap perjalanannya. Setiap menyewa speedboat, Travelers akan ditemani oleh sepasang pemandu yang sudah hafal akan seluk-beluk kawasan ini. Sepanjang perjalanan, mereka akan menjelaskan satwa-satwa apa saja yang dijumpai dan kebiasaan para satwa ini. Demi keamanan pengunjung, speedboat pun sudah dilengkapi dengan life vest.

Selain menggunakan speedboat, Travelers juga dapat menelusuri kawasan TWA Mangrove dengan berjalan kaki untuk menikmati suasana alami nan asri berkat deretan tumbuhan mangrove di dalamnya. Mulai dari mangrove jenis api-api, bakau, bidara, warakas, buta-buta hingga cantinggi, semuanya membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk dapat terlihat rimbun seperti di kawasan ini.

Salah satu aktivitas lainnya yang terbuka bagi umum, baik secara individu maupun kelompok, adalah penanaman bibit mangrove di beberapa titik yang telah ditentukan. Uniknya, setelah bibit diberikan dan ditanam, Travelers juga dapat memberikan nama untuk tumbuhan mangrove tersebut. Aktivitas ini merupakan salah satu cara TWA Mangrove untuk menarik perhatian dan mendidik publik akan isu konservasi alam, terutama kelestarian ruang terbuka hijau di ibu kota

Terletak di Kelurahan Kamal Muara, tak jauh dari Yayasan Buddha Tsu Chi Indonesia, TWA Mangrove dapat diakses melalui Toll JORR atau dengan transportasi umum seperti TransJakarta. Dengan lokasi yang cukup strategis ini, tak heran apabila TWA Mangrove telah menjadi salah satu destinasi liburan di Jakarta.

Namun perlu diingat, bagi Travelers yang membawa kamera masuk untuk melakukan sesi foto bersama kerabat maupun keluarga, TWA Mangrove memang mengenakan biaya tambahan. Biaya ini tentunya sepadan saat Travelers dapat menyaksikan indahnya pemandangan matahari terbenam di antara hutan mangrove.

TWA_Mangrove

Aktivitas safari dengan menyusuri sungai di TWA Mangrove Angke Kapuk.

Selain itu, TWA Mangrove juga menawarkan fasilitas penginapan bagi Travelers yang ingin merasakan bermalam di tengah suasana hutan mangrove. Sudah dilengkapi dengan AC, TV Cable, WiFi, serta kamar mandi dengan air panas, letak penginapan ini pun tidak jauh dari restoran yang menyajikan masakan khas Indonesia.

Untuk menjamin kenyamanan pengunjung, fasilitas lain yang ditawarkan di TWA Mangrove adalah masjid, aula, area bermain anak dan perkemahan, serta kamar mandi. Penawaran khusus seperti pembebasan tiket masuk ke TWA Mangrove tersedia di tiap hari Sabtu dan Minggu, khusus untuk Travelers yang datang sebelum pukul 07:00 atau untuk yang berusia di atas 60 tahun. Bagi teman-teman pelajar dan mahasiswa, ada pula harga khusus yang ditawarkan yaitu Rp15.000 per orang yang berlaku setiap Senin hingga Jumat.

Bagi Travelers yang ingin menghabiskan waktu di Jakarta namun ingin beristirahat dari riuhnya ibu kota, maka menjelajahi TWA Mangrove adalah pilihan yang tepat. Bagai firdaus tersembunyi di tengah belantara pencakar langit, pesona panorama suakanya akan memberikan ketenangan yang tak ada duanya.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : Nelce Muaya, George Timothy

  • Fakta

    Sebelum mulai dikembangkan pada tahun 1998, area Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk sempat menjadi kawasan pertambakan liar. Namun saat ini, hamparan seluas 99,82 ha ini telah dimaanfaatkan sebagai suaka alam dan tempat rekreasi yang turut mengurangi tingkat polusi di Jakarta dengan rimbun pepohonan mangrove-nya.



Api Kemerdekaan yang Tak Akan Padam

“Belum ke Jakarta, jika belum ke Monas.” Penggalan komentar yang tak jarang terdengar di telinga ini, terutama dari warga luar Jakarta, seakan menggambarkan posisi Monas sebagai ikon kota Jakarta. Bahkan lebih dari itu, Monas juga sering dijadikan ikon dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah keluarnya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Soekarno mulai menggagaskan pembangunan sebuah monumen megah yang berlokasi di lapangan depan Istana Merdeka.

Monumen ini bertujuan untuk mengenang dan mengabadikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus menginspirasi semangat patriotisme pada generasi penerus bangsa.

Monumen yang akrab disebut Monas ini akhirnya mulai dibangun pada 17 Agustus 1961, diarsiteki oleh Frederich Silaban dan R. M. Soedarsono, lalu diresmikan serta dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto.

Monas

Monas yang kian menjadi simbol semangat perjuangan dan kemerdekaan Republik Indonesia.

Layaknya sebuah monumen negara, Monas pun dibangun sarat dengan simbol dan makna. Adalah ide dari Presiden Soekarno untuk membentuk Tugu Monas dengan konsep lingga dan yoni. Tugu obelisk yang menjulang setinggi 117,7 m adalah lingga yang melambangkan aspek maskulin, sedangkan pelataran landasan obelisk adalah yoni yang melambangkan aspek feminin. Keduanya melambangkan kesatuan Indonesia yang harmonis dan saling melengkapi sejak dahulu kala.

Di puncak Monas pun terdapat bentuk cawan yang menopang api dengan berat 14,5 ton dan dilapisi emas 35 kg. Bagian yang disebut lidah api ini adalah simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Awal dibangun, lidah api dihiasi oleh lapisan emas seberat 35 kilogram, di mana 28 kilogramnya adalah hadiah dari seorang saudagar bernama Teuku Markam dari Aceh. Akan tetapi, pada ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-50, lapisan emas pada lidah api ditambah lagi beratnya hingga 50 kilogram. Lidah api yang tidak pernah padam ini menjadi sebuah simbol agar kita senantiasa memiliki semangat perjuangan yang terus membara.

Banyak aktivitas yang Travelers dapat lakukan ketika berada di Monas. Elevator pada pintu sisi selatan akan membawa Travelers ke puncak Monas untuk melihat pemandangan Jakarta dari ketinggian. Ada pula Museum Sejarah Nasional Indonesia yang memamerkan 51 diorama mengenai sejarah Indonesia sejak masa prasejarah hingga masa Orde Baru.

Peta Indonesia

Peta Indonesia berlapis emas yang terletak di dalam Monas.

Travelers juga dapat melihat beberapa simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia di dalam Ruang Kemerdekaan, peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, serta naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas. Gerbang ini dihiasi ukiran bunga wijayakusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga teratai yang melambangkan kesucian.

Beranjak ke halaman Monas, Travelers dapat melihat relief yang menggambarkan sejarah Indonesia di tiap sudutnya. Relief ini secara kronologis menggambarkan sejarah bangsa Indonesia dalam meraih kejayaan. Mulai dari masa Majapahit, penjajahan Belanda, perlawanan rakyat dan pahlawan-pahlawan nasional, kependudukan Jepang dan Perang Dunia II, proklamasi kemerdekaan Indonesia, hingga masa pembangunan Indonesia modern.

Selain itu Travelers yang berkunjung di akhir pekan juga dapat menikmati pertunjukan air mancur diiringi lagu-lagu Indonesia pada pukul 19:30 dan 20:30 WIB. Untuk Travelers yang tidak ingin kelelahan saat mengelilingi Monas, dapat menggunakan fasilitas kereta gratis di setiap halte yang disediakan.

Dengan berbagai cerita di balik pembangunannya, bagi Travelers yang ingin mengenal lebih dalam mengenai sejarah Indonesia sembari ditemani berbagai aktivitas menarik, maka Monas adalah pilihan situs yang tepat untuk dikunjungi selama di Jakarta. Begitu kental dan signifikannya sosok Monumen Nasional ini dalam sejarah Indonesia, sehingga menjelajahi ibu kota pertama Indonesia pun rasanya belum lengkap kalau tak mampir ke Monas.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly

  • Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta

  • Hubungi

    (021) 3822255

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari, Senin – Minggu (pukul 08.00 – 22.00 WIB)

  • Informasi
    • Mulai dibangun : 17 Agustus 1961
    • Selesai : 12 Juli 1975
    • Diresmikan : 12 Juli 1975
    • Tinggi : 137 meter
    • Arsitek : Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono
    • Kontraktor Utama : P.N. Adhi Karya (tiang fondasi)
    • Bentuk Tugu Monas kerap ditafsirkan sebagai sepasang alu dan lesung. Kedua alat penumbuk padi ini seyogyanya selalu ada dalam rumah tangga petani tradisional di
      Indonesia. Interpretasi ini semakin mengokohkan makna Monumen Nasional sebagai bangunan memorial akan sejarah bangsa dengan balutan budaya Indonesia yang kental.

Di Mana Pusaka Bermuara

Indonesia tentu memiliki daftar panjang akan benda pusaka yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Mulai dari mahkota yang pernah bersandar di atas kepala raja-raja, keris dan pedang berhiaskan emas permata, hingga pahatan dengan detail mengagumkan pada lukisan batu dari era megalitikum.

Semua benda pusaka menceritakan kehidupan manusia dan kebudayaan yang membentuknya, dengan ragam rupa dan warna yang mencerminkan kebinekaan Indonesia. Dan saat ini, tidak ada tempat yang lebih menyeluruh untuk mengenal dan mempelajari ribuan pusaka Nusantara selain di Museum Nasional Indonesia.

Museum Nasional Indonesia terletak di jantung kota Jakarta, tepatnya di wilayah Medan Merdeka yang telah tumbuh menjadi area strategis bahkan sejak zaman Hindia-Belanda. Dengan jumlah koleksi yang saat ini mencapai lebih dari 140.000 objek, museum yang berdiri di area seluas 26.500 m2 ini merupakan salah satu museum terbesar di Asia Tenggara dan salah satu museum tertua di Asia.

Sejarah Museum Nasional Indonesia dimulai pada abad ke-18, saat Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment) menyelimuti Belanda dan seluruh Eropa dengan revolusi intelektual dan semangat akan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1778, orang-orang Belanda di Batavia membentuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga yang fokus terhadap penelitian akan seni dan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda. Dengan moto “Ten Nutte van het Algemeen”, lembaga ini bertekad untuk bergerak demi kepentingan masyarakat umum.

Patung karya Nyoman Nuarta

Patung karya Nyoman Nuarta yang menyimbolkan arus perjuangan ini menjadi salah satu ikon dari Museum

Bataviaasch Genootschap pun aktif mengumpulkan berbagai artefak budaya maupun peninggalan bersejarah di sekitar Hindia-Belanda. Meski hanya diawali dengan sumbangan dari koleksi pribadi JCM Radermacher sebagai salah satu pendiri lembaga, koleksi Bataviaasch Genootschap terus bertambah seiring berjalannya waktu.

Hingga pada tahun 1862, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan gedung baru untuk menampung koleksi yang telah mencapai ribuan. Gedung yang resmi dibuka untuk umum pada tahun 1868 itu masih dipakai hingga saat ini sebagai bagian dari Museum Nasional Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, koleksi Bataviaasch Genotschap yang terkumpul selama ratusan tahun dipercayakan kepada Museum Nasional Indonesia dan Perpustakaan Nasional. Sejak itu, Museum Nasional Indonesia memegang peranan penting sebagai salah satu penjahit identitas bangsa lewat koleksinya.

Tidak hanya benda pusaka atau benda bersejarah saja, berbagai instrumen budaya seperti kerajinan, alat musik dan rumah tradisional dengan jenis yang begitu beragam dari seluruh penjuru Indonesia juga dapat dipelajari di museum ini.

Selain dari gedung asli yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda, area museum juga terus mengalami perluasan dan revitalisasi. Koleksi museum di Gedung Gajah terbagi dalam 7 jenis: Arkeologi, Etnografi, Geografi, Keramik, Numesmatik & Heladrik, Prasejarah dan Sejarah. Sedangkan jenis koleksi di Gedung Arca mencakup Manusia & Lingkungan, Ilmu Pengetahuan, Ekonomi dan Teknologi, Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman, serta Koleksi Emas dan Keramik Asing.

Koleksi museum juga kian bertambah lewat sejumlah temuan arkeologi terkini. Pengembalian 1,500 benda bersejarah Indonesia oleh Kerajaan Belanda baru-baru ini juga menambah daftar koleksi di Museum Nasional, dan akan mulai dipamerkan ke publik di pertengahan 2020 mendatang.

Taman Arca

Taman Arca, Museum Nasional Indonesia

Bagian dari museum lainnya yang ikonik adalah Taman Arca yang menampung jajaran arca dalam berbagai bentuk dan ukuran, serta dari tempat dan waktu pembuatan yang juga bervariasi. Salah satu arca yang menonjol adalah Arca Bhairawa yang ditemukan di Sumatra Barat dan menjulang setinggi 4,4 m.

Selain Taman Arca, di area museum terdapat juga Taman Sanken yang kerap menjadi tempat diselenggarakannya berbagai kegiatan museum. Museum Nasional Indonesia banyak mengadakan aktivitas edukasi seperti seminar, diskusi, pameran, pementasan maupun kelas-kelas kesenian tradisional yang terbuka bagi umum.

Arca Bhairawa

Arca Bhairawa yang ditemukan di Sumatra Barat

Hampir setiap negara di dunia memiliki museum nasionalnya sendiri sebagai rumah bagi sejumlah national treasure dan jendela bagi identitas bangsa dan negaranya. Museum Nasional Indonesia memaparkan berbagai cerita kehidupan dalam seluruh lintas sejarah manusia di Indonesia, menjembatani generasi mendatang dengan nenek moyangnya lewat berbagai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan yang terwariskan dalam tiap pusaka. Dan lewat koleksinya yang begitu beragam, Museum Nasional Indonesia adalah presentasi istimewa dari kemajemukan Indonesia yang patut untuk dibanggakan.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramdhani, Nelce Muaya

  • Jl. Medan Merdeka Barat No.12, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110

  • Hubungi

    (021) 3868172

  • Jam Operasional

    Buka hari Selasa – Jumat (pukul 08.00 – 16.00 WIB) dan hari Sabtu – Minggu (pukul 08.00 – 17.00 WIB)


Merindu Batavia

Sebagai ibu kota, kota terbesar dan terpadat di Indonesia saat ini, tiap sudut di Jakarta penuh dengan sejarah dan cerita yang membentuk Indonesia. Riwayat Jakarta sendiri dimulai ratusan tahun sebelum Indonesia lahir. Prasasti Tugu yang ditemukan di Koja, Jakarta Utara membuktikan bahwa daerah ini telah ramai sejak abad ke-5 M sebagai pelabuhan Kerajaan Tarumanegara.

Berabad-abad setelahnya, berbagai kekuatan politik silih berganti meninggalkan jejaknya di daerah ini. Namun wujud yang berperan besar dalam pembentukan kerangka Jakarta sebagai kota modern adalah bangsa Belanda lewat VOC dan masa pendudukannya atas Nusantara, yang di masa kolonial dikenal sebagai Hindia-Belanda.

VOC atau Verenigde Oostindiche Compagnie adalah kongsi dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602. VOC lahir dalam semangat Abad Penjelajahan (Age of Discovery) yang tengah melanda bangsa Eropa untuk berlomba-lomba menjelajah dunia. Demi menemukan sumber kekayaan baru, atau kejayaan atas bangsa lain.

Di awal abad ke-17, Jayakarta adalah kota pelabuhan yang ramai berkat perdagangan rempah. VOC meliriknya sebagai lokasi yang tepat untuk membangun sebuah koloni. Lewat sejumlah kesepakatan dan kekerasan, VOC berhasil menyingkirkan berbagai pesaingnya di atas Jayakarta. Dan nama baru untuk kota ini pun diresmikan pada 1621: Batavia.

Batavia dirancang sebagai markas besar VOC yang berambisi untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara. Gedung-gedung pun didirikan, kanal-kanal digali, dan jalan-jalan dibentangkan. Saat ini, lebih dari 350 tahun kemudian, masih banyak bangunan peninggalan VOC yang tersisa di Jakarta. Setiap bangunan kolonial ini memiliki pesonanya tersendiri lewat arsitektur khas Eropa yang mencolok. Meski banyak yang tidak dibuka untuk umum, ada juga beberapa bangunan peninggalan yang dialihfungsikan sebagai tempat rekreasi dan akan menjadi tujuan yang tepat bagi Travelers pecinta wisata sejarah.

Salah satu peninggalan kolonial yang paling terkenal adalah kawasan Kota Tua Jakarta yang mulai dikembangkan sejak berdirinya Batavia. Deret bangunan buatan Belanda yang masih berdiri membuat suasana kolonial masih sangat kental di sini.

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Kawasan Kota Tua berpusat pada Taman Fatahillah dan Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah yang dulunya berfungsi sebagai balai kota Batavia. Bangunan yang dulu dikenal sebagai Stadhuis ini dibangun pada tahun 1627, namun direnovasi pada tahun 1710 ke bentuk seperti sekarang dengan desain yang terinspirasi dari istana Kerajaan Belanda di Amsterdam. Sesuai namanya, saat ini Museum Sejarah Jakarta menjadi sarana edukasi tentang sejarah Jakarta yang komprehensif.

Masih di Kawasan Kota Tua, Museum Seni Rupa dan Keramik juga tak kalah menarik untuk dikunjungi. Gedung yang kini menjadi rumah bagi banyak lukisan dari berbagai maestro tanah air ini dulunya berfungsi sebagai Dewan Pengadilan Tinggi Batavia dan dibangun pada tahun 1870.

Museum Seni Rupa dan Keramik

Museum Seni Rupa dan Keramik

Ada juga Museum Wayang yang memamerkan koleksi berbagai jenis wayang dari seluruh Indonesia. Gedung Museum Wayang sendiri dibangun pada 1640 sebagai gereja, sehingga di areal museum masih terdapat batu nisan dari Jan Pieterszoon Coen, Gubernur-Jenderal VOC dan salah satu pencetus Batavia. Setelah puas mengelilingi Kota Tua, sempatkan untuk singgah di Café Batavia yang telah berdiri sejak 1830 dan terkenal karena desain interiornya yang iconic.

Batavia berkembang pesat sebagai pusat perdagangan yang sejahtera. Dengan deretan vila di tepi kanal yang dikelilingi rimbun hijau pepohonan tropis khas Nusantara, kota kecil ini sempat dijuluki ‘The Jewel of Asia’ karena keelokannya. VOC pun semakin dikenal dunia sebagai kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang patut diperhitungkan. Namun seiring VOC terus memperluas kekuasaan ke berbagai daerah di Nusantara, Batavia pun, sebagai salah satu kota pelabuhan tersukses di dunia pada saat itu, menjadi semakin padat dan bertambah besar.

Di pertengahan abad ke-18, dengan populasi yang terus bertambah dan sanitasi yang kurang baik di pusat kota, pembangunan di Batavia merambah hingga ke luar benteng Kota Tua. Daerah Weltevreden (kini menjadi Sawah Besar) pun lahir. Salah satu jejak kolonial yang tersisa di daerah ini adalah Gedung Arsip Nasional yang didirikan pada tahun 1760 sebagai kediaman Reiner de Klerk, salah satu gubernur jenderal VOC. Pada tahun 1797, areal permakaman juga dibangun di sekitar Weltevreden, seiring dengan mewabahnya malaria yang memakan begitu banyak korban, terutama di kalangan orang Eropa. Konon, korban yang begitu banyak juga sempat membuat Batavia dijuluki ‘The Cemetery of European’. Areal permakaman itulah yang kini dikenal sebagai Museum Taman Prasasti, salah satu areal permakaman modern tertua di dunia.

Cafe Batavia

Cafe Batavia

Di akhir abad ke-18, VOC mengalami kemunduruan. Secara eksternal, berbagai perang yang berkecamuk di Eropa dan perlawanan sejumlah kerajaan di Nusantara sendiri menggoyahkan perekonomian Belanda. Korupsi besar-besaran dalam internal kompeni juga memperburuk keadaan, sehingga VOC tak mampu lagi bersaing dengan kompetitornya dan menjadi bangkrut. Pada tahun 1800, VOC resmi dibubarkan. Seluruh aset kolonialnya dipindahkan ke tangan Kerajaan Belanda, termasuk seluruh bagian dari Hindia-Belanda. Dan Batavia, tentunya.

Batavia pun memasuki era baru dengan datangnya abad ke-19. Tiap bangunan dari era ini dapat ditandai lewat gaya arsitektur Indies Empire, yaitu gaya Neoklasikisme Eropa yang beratap tinggi untuk menyesuaikan iklim tropis Hindia-Belanda. Seperti dalam desain Paleis te Rijswijk, istana megah yang selesai dibangun pada 1804 sebagai kediaman gubernur – jenderal dan pusat segala aktivitas pemerintahan Hindia-Belanda.

Kegiatan administrasi yang semakin kompleks dan membutuhkan lebih banyak ruang membuat tercetusnya pembangunan istana baru. Paleis te Koningsplein pun berdiri pada tahun 1873. Kedua istana ini kini dikenal sebagai Istana Negara & Istana Merdeka, bagian dari istana kepresidenan serta pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Istana Negara Jakarta

Istana Negara Jakarta

Pusat kota pun berpindah ke sekitar istana gubernur – jenderal yang baru, yang sekarang menjadi kawasan Gambir dan sekitarnya. Selain aktivitas pemerintahan, Kawasan ini juga difokuskan untuk menjadi pusat pelatihan militer dan pemukiman kaum elite Batavia. Sarana hiburan dalam bentuk gedung teater mulai dibangun pada tahun 1814 oleh Stamford Raffles saat pendudukan singkat Inggris di Batavia.

Setelah Batavia kembali ke tangan Belanda, gedung yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta itu direnovasi ke bentuk yang seperti sekarang. Ada juga Witte Huis yang dibangun pada 1828 sebagai kediaman pribadi Herman Willem Daendels dan kini menjadi bagian dari kompleks Kementrian Keuangan. Salah satu gereja tertua di Indonesia, Gereja Immanuel, juga didirikan di kawasan ini di tahun 1839.

Di penghujung abad ke-19, dunia berkembang pesat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai penemuan teknologi. Kehidupan di Batavia pun kian modern dengan pergerakan zaman. Trem mulai menghubungkan berbagai wilayah dalam kota Batavia pada 1869 dan tenaga listrik mulai menerangi Batavia sejak 1897. Saat itu wilayah Hindia-Belanda hampir mencakup keseluruhan wilayah Indonesia saat ini. Dan sebagai ibu kota, populasi Batavia kian membludak dengan para pendatang dari seluruh Nusantara.

Gedung Kesenian Jakarta

Gedung Kesenian Jakarta

Banyak yang merantau ke Batavia demi membina ilmu di STOVIA, perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berkumpulnya para kaum terpelajar Nusantara inilah yang menjadi awal pergerakan dan kesadaran para pribumi untuk bersatu sebagai bangsa yang merdeka dari Belanda. Hal itu dianggap sebagai salah satu tahap penting dalam sejarah Indonesia mencapai kemerdekaan, dan gedung STOVIA kini dapat dikunjungi sebagai Museum Kebangkitan Nasional.

Bangunan peninggalan dari awal abad ke-20 dapat ditandai lewat arsitektur gaya New Indies yang menggabungkan elemen arsitektur modern seperti Art Deco dengan elemen rumah-rumah tradisional di Hindia-Belanda. Contohnya terdapat pada Gedung Museum Bank Indonesia, yang dibangun pada tahun 1909 sebagai kantor dari De Javasche Bank, bank sentral Hindia-Belanda saat itu. Ada juga Gedung Filateli, kantor pos dan telegraf yang dibangun pada 1913 serta Gedung Museum Bank Mandiri yang mulai dibangun pada 1929 sebagai kantor perusahaan dagang dan perbankan milik Belanda.

Gedung Filateli Jakarta

Gedung Filateli Jakarta

Masa kejayaan Batavia berakhir saat Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tahun 1942, memulai masa penjajahan baru di atas Nusantara. Banyak orang Belanda dan Eropa yang meninggalkan Batavia demi menghindari buruan dari tentara Jepang. Nama kota ini pun dikembalikan ke nama sebelum kedatangan Belanda: Jayakarta atau Jakarta. Pada tahun 1945, seiring dengan kekalahan Jepang di Perang Dunia II, masyarakat pribumi di Hindia-Belanda menolak untuk kembali berada di bawah kekuasaan Belanda, dan lewat Proklamasi yang dibacakan pada 17 Agustus 1945, menyatakan merdeka sebagai negara Indonesia dengan Jakarta sebagai ibu kota.

Selama lebih dari 300 tahun, Jakarta dikenal dunia sebagai Batavia, kota pusat perdagangan rempah Asia dan pusat koloni Belanda di Asia Tenggara. Dari julukan ‘permata Asia’ hingga ‘kuburan orang Eropa’, riwayat Batavia mengalami naik dan turun seiring perkembangan zaman yang tercerminkan dalam bentuk peninggalan yang beragam. Dengan mempelajari sejarah Jakarta lewat bangunan-bangunan kolonialnya, kita dapat melihat Jakarta dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana kejayaan Batavia di masa lalu turut membuka jalan bagi Jakarta untuk menjadi seperti saat ini, sebagai salah satu kota terdepan di Asia Tenggara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramdhani, Creativa Images, Nelce Muaya, Donni Yudha

  • Fakta :

    Nama Batavia diambil dari Batavi, salah satu suku di masa Kekaisaran Romawi yang diyakini sebagai leluhur orang Belanda.