Petarung Tangguh dari Karaenta

Alkisah terdapat sebuah kerajaan kera di Kampung Abbo, Kelurahan Leang-Leang, kerajaan tersebut dipimpin oleh Toakala. Menurut penduduk setempat, legenda Toakala ini memiliki beberapa versi.

Pertama, Toakala sang pemimpin kerajaan kera ingin mempersunting I Bissu Daeng yang merupakan putri dari Raja Pattiro. Namun, keinginannya tidak mendapat restu dari Raja Pattiro sehingga ia dikutuk menjadi batu.

Versi kedua, Toakala akhirnya diperbolehkan untuk mempersunting I Bissu Daeng. Ketika rombongan Toakala mendatangi Raja Pattiro di satu ruangan besar, seketika ruangan itu dibakar oleh pasukan Raja Pattiro. Toakala berhasil melarikan diri ke hutan dan memilih untuk mengasingkan diri ke sebuah gua.

Cerita rakyat mengenai Toakala di atas sering dikaitkan dengan jenis kera endemik Sulawesi Selatan yang termasuk ke dalam spesies Macaca maura ini. Kera dare memiliki ciri khas tidak memiliki ekor dan rata-rata memiliki bulu yang berwarna hitam pekat. Apabila ada yang berwarna putih, menandakan bahwa kera dare tersebut telah memasuki usia lanjut, bagai uban pada manusia lansia pada umumnya.

Tergolong sebagai satwa yang hampir punah dan dilindungi, kera dare juga dikenal hidup berkelompok, di mana setiap kelompoknya berjumlah 25-30 ekor. Seperti manusia, kera dare pun memiliki pemimpin dalam setiap kelompoknya seperti kepala suku yang ditentukan dalam suatu pertarungan.

Kera dare ini tergolong sebagai kera yang pintar dengan massa otak yang besar serta memiliki daya tangkap yang cepat. Kemampuan indra pendengar dan penglihatannya pun telah berkembang dengan baik sehingga mampu membedakan warna. Kera dare bahkan bisa berdiri tegak dengan kedua kaki layaknya manusia.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup, kera dare mengonsumsi buah-buahan dari pepohonan. Sayangnya, beberapa kali kera dare terlihat di jalur lintas Makassar-Kendari via Camba dan Bone, kera dare ini mengharapkan makanan dari penumpang kendaraan yang melintas.

Sebenarnya, pihak Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sudah menghimbau untuk tidak memberikan makanan kepada kera dare. Tindakan ini dilakukan agar rantai makanan yang sudah ada tidak rusak serta mencegah kera dare masuk ke daerah pemukiman warga yang akan mengeksploitasi kera dare.

Jika Travelers ingin bertemu langsung dengan kera dare, bisa berkunjung ke Cagar Alam Karaenta yang merupakan kawasan hutan yang dilindungi serta habitat asli dari kera dare. Cagar Alam Karaenta sendiri adalah bagian dari konservasi alam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Di area taman nasional ini bahkan terdapat patung kera setinggi 25 m, menunjukkan peran kera dare sebagai salah satu ikon dari taman nasional.

Travelers pun bisa meminta bantuan dari jagawana yaitu sebutan untuk polisi hutan di taman nasional yang dikenal mempunyai trik khusus untuk berinteraksi serta bercengkerama bersama kera dare.

Jangan lewatkan untuk melihat secara langsung satwa liar yang tergolong pintar ini jika Travelers berkunjung ke kota Makassar, ya!

Artikel : Nelce Muaya | Foto : Syaief Husain

Si Maskot Demokrasi

Mendengar nama ilmiahnya saja, Bos javanicus javanicus, sudah jelas kalau hewan ini identik dengan Pulau Jawa. Tubuh yang besar dan kuat dari spesies ini juga membuatnya sering dianggap sebagai lambang keperkasaan dalam beberapa budaya di Jawa. Dulunya banteng tersebar di seluruh Pulau Jawa. Sayangnya, spesies yang terpampang di lambang negara Indonesia sebagai representasi sila keempat ini malah terancam punah. Saat ini, banteng jawa hanya tersisa di beberapa cagar alam dan taman nasional saja.

Dilihat dari genusnya, banteng jawa berkerabat dengan spesies serupa yang dapat ditemukan di Pulau Kalimantan (Bos javanicus lowi) dan banyak negara lain di Asia Tenggara seperti Myanmar, Thailand, Laos dan Kamboja (Bos javanicus birmanicus). Di pertengahan abad ke-19, banteng jawa bahkan sempat diperkenalkan ke Australia. Dikenal sebagai ‘bali cattle’ atau sapi bali, populasi banteng liar dapat dijumpai di ujung utara Australia saat ini. Di daerah lain banteng jawa juga dikenal dengan beberapa sebutan lain seperti klebo atau tembadau.

Dengan kisaran hidup yang dapat mencapai 20 tahun, rata-rata seekor banteng jantan memiliki berat sekitar 700 kg hingga 1 ton dan tinggi bahu yang dapat mencapai 1,7 m dengan panjang sekitar 2,3 m. Banteng jantan umumnya berwarna hitam kebiruan, sedangkan betinanya berwarna coklat kemerahan. Banteng jantan juga bertanduk lebih besar dan panjang dibanding betina sebagai sistem melindungi diri. Salah satu ciri fisik menarik lain yang membedakan seekor banteng dengan kerbau atau sapi terdapat di bagian kakinya yang berwarna putih, yang tampak seolah spesies ini memakai kaus kaki.

Banteng jawa adalah spesies yang hidup berkelompok, dengan tiap kelompok umumnya dipimpin oleh seekor betina dewasa. Satu kelompok biasanya berjumlah 10-12 ekor. Namun tiap kelompok juga bisa bersatu dengan kelompok lain dan membentuk kawanan yang jumlahnya dapat mencapai 40 ekor.

Umumnya, tiap banteng memilki hubungan yang cukup dekat dengan banteng lain yang berada di kelompok yang sama. Banteng jantan akan membentuk formasi pertahanan jika merasa terancam, dan melindungi para banteng betina serta anggota kelompoknya yang masih kecil. Tidak hanya pada sesama spesiesnya, banteng jawa juga dikenal bersimbiosis dengan makhluk hidup lain di sekitarnya. Bahkan beberapa banteng di taman nasional tidak menunjukkan reaksi agresif terhadap manusia.

Sifat sosial dari banteng jawa dalam berkelompok menjadikannya cerminan akan kualitas kerakyatan dan hidup berdampingan. Alasan itulah yang menjadikan kepala banteng terpilih untuk melambangkan sila keempat dari Pancasila, sila yang juga merepresentasikan semangat demokrasi sebagai bagian dari dasar ideologi negara Indonesia. Namun dengan semakin berkurangnya habitat serta masih adanya pemburuan liar, jumlah banteng jawa di alam liar kian menurun.

Saat ini pemerintah dan taman nasional terus melakukan upaya konservasi banteng jawa lewat pengelolaan habitat yang baik untuk menunjang pertumbuhan populasinya di alam liar. Hewan yang spesial ini merupakan salah satu contoh keanekaragaman hayati di Indonesia yang harus dilestarikan. Agar keberadaannya sebagai salah satu simbol Pancasila, dasar penting negara, tidak punah dan hanya menjadi dongeng untuk generasi Indonesia yang akan datang.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Ribuan Derap Kaki di Perbukitan Sumba

Pemandangan alam Sumba yang surgawi memang sudah tidak asing lagi. Hamparan perbukitan dan matahari senja yang tampak sempurna kerap memenuhi feed Instagram siapapun yang berlibur di Sumba. Apalagi, pesona alamnya juga selalu identik dengan kuda-kuda lokal yang selalu menambah keeksotisan pemandangan sabana khas tanah Sumba.

Kuda sandalwood atau kuda sandel, merupakan kuda khas Sumba yang menjadi identitas serta simbol yang melekat pada masyarakat Sumba. Kuda yang termasuk dalam jenis kuda poni ini memiliki postur tubuh yang kecil dengan rata-rata tinggi punggung di bawah 150 cm. Kuda sandel memiliki bentuk kaki dan kuku yang kuat. Lingkar lehernya besar, dan memiliki daya tahan yang tangguh. Kuda sandel juga memiliki warna yang cukup bervariasi seperti hitam, putih, belang, dan banyak warna lainnya.

Jenisnya dinamakan kuda sandel sejak zaman kolonial, di mana Sumba merupakan penghasil kayu cendana (sandalwood) terbesar dan terbaik di dunia. Pada masa itu kuda poni Sumba dilirik sebagai komoditi perdagangan alternatif selain cendana. Dan demi kepentingan usaha dagang, diberikanlah trademark pada kuda Sumba dengan nama ‘sandalwood horse’ yang kemudian nama itu melekat dan berkembang menjadi kuda sandel.

Dalam kehidupan masyarakat Sumba, kuda begitu dihormati dengan fungsi yang sangat penting dan beragam. Pada zaman nenek moyang dahulu kuda sering dijadikan sebagai tunggangan harian, dan sebagai kendaraan berburu atau perang. Juga dalam adat-istiadat tradisi perkawinan masyarakat Sumba, kuda dan mamuli (perhiasan dengan makna kesuburan) menjadi salah satu bagian penting dari perangkat belis (mahar), yang diberikan oleh pihak orang tua laki-laki kepada pihak orang tua perempuan. Kuda juga berperan penting dalam banyak upacara adat di Sumba lainnya, seperti dalam upacara adat pasola.

Bagi masyarakat Sumba, sifat kuda mencerminkan karakter pemiliknya. Kuda dipercaya memiliki hubungan psikologis dengan manusia yang digambarkan dalam ungkapan adat ‘Ndara ole ura, bangga ole ndewa’,  yang bermakna ‘kuda sebagai kawan segaris urat tangan, anjing sebagai kawan sejiwa’.

Sebagai kendaraan hidup, kuda memang tak terpisahkan dari kehidupan pribadi orang Sumba. Memakan daging kuda dipercaya dapat mendatangkan bahaya dan malapetaka karena kuda dianggap hampir setara dengan roh leluhur, khususnya bagi mereka yang menganut kepercayaan Marapu.

Semenjak masuknya Belanda, pacuan kuda berkembang di banyak daerah di Indonesia sebagai bagian dari tradisi yang berlanjut hingga sekarang. Awalnya pacuan kuda diselenggarakan di hari-hari besar dan di hari ulang tahun ratu Belanda saja. Tapi saat ini berbagai golongan masyarakat di Sumba menggemari olahraga ini sebagai ajang pertunjukan daerah, rekreasi dan media untuk mempererat hubungan persahabatan.

Maraknya pacu kuda juga memicu masyarakat Sumba untuk kian meningkatkan mutu dari kuda-kuda lokal dalam postur tubuh, kecepatan, hingga daya tahan. Peningkatan mutu ini sebenarnya bermula di abad 18, di mana kuda-kuda Sumba dikawin silang dengan kuda-kuda yang dibawa para saudagar dari Arab.

Kini kuda sandel dari Sumba menjadi salah satu komoditas yang digalakkan pemerintah setempat lewat berbagai upaya peningkatan kualitas dan kuantitas. Dengan berbagai acara seperti pacuan kuda atau festival Parade 1001 Kuda Sandalwood di Sumba Barat, kuda sandel semakin menjadi ikon budaya dan pariwisata Pulau Sumba. Dengan pesona dan karakternya yang tangguh, kuda sandel diharapkan terus bisa menjadi kawan setia bagi tiap manusia yang menungganginya, serta kebanggaan dari setiap masyarakat yang hidup di Pulau Sumba.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy

Mencegah Kepunahan Orangutan Sumatra

Sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, Taman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu spot wisata favorit bagi turis mancanegara dengan orangutan sumatra yang kerap menjadi daya tarik utamanya. Walau dulunya orangutan hidup di seluruh kawasan Asia Tenggara, kini orangutan hanya dapat dijumpai di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra. Dan untuk dapat menjumpai orangutan sumatra dari jarak dekat, Anda bisa berkunjung ke taman nasional yang berada di Tanoh Gayo ini.

Dengan usia yang bisa mencapai 40-50 tahun, orangutan sumatra hidup berdampingan dengan masyarakat yang mendiami kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Di Gayo Lues sendiri, orangutan sangat mudah untuk dijumpai. Dari Desa Kedah, hanya dengan sedikit trekking Anda sudah bisa bertemu orangutan liar di belantara rimba Gunung Leuser. Walau sering terlihat berkeliaran di sekitar pemukiman penduduk, orangutan sumatra umumnya adalah binatang yang pemalu, apalagi dengan manusia.

Orangutan sumatra memiliki postur yang lebih kecil dari kerabatnya di Pulau Kalimantan. Dengan bulu berwarna kemerahan, panjang tubuh orangutan dapat mencapai 1,25 hingga 1,5 meter, dengan berat yang berkisar antara 50-90 kg untuk jantan, dan 30-50 kg untuk betinanya. Orangutan jantan umumnya penyendiri, sedangkan orangutan betina sering dijumpai dalam kelompok bersama anak-anaknya.

Orangutan betina memiliki interval antar tiap kehamilan yang cukup lama, yaitu satu anak dalam setiap 8 tahun. Waktu kehamilan orangutan juga mirip dengan manusia, yaitu kurang lebih 9 bulan. Setelah lahir, anak orangutan akan diasuh oleh ibunya hingga usia sekitar 7 tahun, dan seorang anak orangutan akan memiliki ikatan yang sangat erat dengan ibunya.

Pada dasarnya, jumlah populasi orangutan sumatra jauh lebih sedikit dibandingkan orangutan Kalimantan, dan sayangnya, jumlah populasi orangutan sumatra ditakutkan akan terus berkurang kedepannya.

Terdapat estimasi bahwa orangutan sumatra akan menjadi salah satu spesies great apes pertama yang punah di alam liar. Mengapa? Banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan dan pemukiman, serta pembalakan liar semakin mengurangi habitat alami dari begitu banyak orangutan sumatra. Kebakaran hutan dan perburuan juga menjadi penyebab merosotnya populasi orangutan sumatra di alam liar.

Saat ini, terdapat banyak organisasi dari luar maupun dalam negeri yang berjuang untuk menyelamatkan orangutan sumatra dari ancaman kepunahan. Orangutan adalah hewan yang memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang hampir mirip dengan manusia, dengan kemiripan DNA yang mencapai 95%. Maka dari itu, sebagai kerabat terdekat dari spesies kita, kelangsungan hidup orangutan sumatra di alam liar adalah tanggung jawab kita bersama.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Mardiansyah BP